Share

Bab 6. Keributan di Pagi Hari

Hari ini hari minggu, waktunya libur.

Sengaja setiap hari minggu pagi, jualanku di marketplace, aku off. Begitu juga produksi, hari minggu aku tidak membuat saus.

Hari libur ini aku gunakan untuk olah raga, perawatan tubuh dan malas-malasan. 

Me Time.

Sebutan keren jaman sekarang.

Seperti sekarang ini, lari-lari kecil dengan tujuan Serabi Solo Mbok Darmi, sebelah pasar. Yang penting niat awalnya olah raga walaupun terdampar di tempat makanan.

Rasa gurih serabi yang dikasih taburan potongan nangka di atasnya, dan bau santan kentalnya terbayang di memoriku. Menggerakkan kakiku untuk berlari dengan sendirinya.

Awalnya, kegiatan pagiku ini terlihat aneh di mata para tetangga. Kalau di kota sudah biasa, setiap minggu jalan dipenuhi orang lari pagi, kalau di kampung mana ada. Pertama-tama mereka rajin bertanya kepadaku, kenapa dan mau kemana. Lama kelamaan mungkin sudah bosan.

Hanya yang membuatku heran, semakin hari pengikut lariku semakin bertambah. Walaupun mayoritas mas-mas dan bapak-bapak dengan tujuan finish sama, serabi Mbok Darmi.

Ah, cuek saja!

Berbaju training warna biru dan sepatu lari warna putih. Aku menyusuri jalan kampung yang indah ini. Sesekali bertemu dan menyapa orang yang aku temui di jalan. Hampir semua orang di kampung ini aku kenal.

Di depan lapangan volli sebelah kantor desa, aku berhenti dulu. Disana ada pelataran yang sudah disemen. Aku latihan peregangan di sana dan senam sedikit untuk melemaskan otot.

"Sendirian, Mbak?" 

Aku menoleh ke belakang kearah suara yang menyapaku itu. 

Eh, ada mas yang kemarin. Dia tersenyum dan mendekat ke arahku.

"Mas, kok belum pulang ke kota?" tanyaku menghadap ke arahnya dan menghentikan gerakan senamku.

"Pulang ke kota? Ke rumah siapa, Mbak? Aku tinggal di kampung ini," katanya sambil duduk di tanah siap-siap sit-up.

"Oya?" tanyaku heran.

Seluruh orang penghuni kampung ini, saya kenal. Orang ini siapa, sih?

Dengan heran, aku melihat ke arahnya. Peluhnya membasahi kaos putihnya, pasti dia sudah lari keliling desa. Gerakan sit-up  memperlihatkan perut sixpacknya yang berbayang dibalik kaos tipisnya. 

Aku palingkan mukaku ke arah lain dan membuat gerakan-gerakan ringan.

"Mbak Tika, kita belum kenalan," katanya setelah menghentikan kegiatannya tadi.

"Aku Ilham. Mbak namanya Kartika, kan? Sama seperti label di saus?" 

Dia mendekatiku dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan denganku.

"Muhammad Ilham."

"Kartika Dewi."

"Sah, ya!" teriaknya sambil tertawa.

"Maksudnya?" tanyaku tidak mengerti. Seorang janda sepertiku sensitif kalau mendengar kata SAH.

"Sah kenalannya. Sebelumnya kita cuma panggil mbak atau mas. Iya, kan? Sah, yang lainnya menyusul!" ucapnya sambil tertawa.

Ternyata dia anak Bu Aisyah, adik Pak Lurah. Bu Aisyah orang asli kampung sini, tetapi lama merantau di Kalimantan mengikuti suami. Setelah suaminya meninggal, beliau ingin menghabiskan masa tuanya di kampung halamannya. 

Dan orang di depanku ini, anak satu-satunya Bu Aisyah.

"Sekarang aku panggil Kartika saja, ya. Kalau panggil mbak, kok seperti aku muda banget," katanya setelah tahu kalau dia lebih muda dua tahun dariku.

"Memang kamu lebih muda, kan," kataku sambil beringsut menjauh darinya. Kalau ada yang melihat kami duduk berdua seperti ini, bisa gosip merebak.

"Selisih dua tahun saja. Pokoknya aku panggil Kartika, saja. Kalau kamu, tetep panggil aku Mas Ilham. Biar kelihatan mesra," ucapnya sambil tertawa. 

"Jangan bercanda seperti itu! Kalau istrimu tahu, bisa jadi masalah!" kataku kesal.

"Istri? Siapa yang punya istri?"

"Lo, kamu, kan. Istrimu yang titip belanjaan yang banyak itu."

"Itu belanjaan mamaku. Jadi selama ini, kamu salah paham. Pantesan jutek!" teriaknya sambil tertawa.

"Aku masih singel, perjaka seratus persen. Kalau begitu, boleh dong mesra dikit," katanya menggodaku.

Anak ini lama-lama ngeselin, ya!

Aku langsung berdiri dan berlari meninggalkan dia menuju tujuan awal. Serabi Mbok Darmi.

Tidak kuhiraukan teriakannya memanggil namaku. Pesona serabi Mbok Darmi lebih menggoda daripada pesona Mas Ilham, eh, Ilham.

*

"Selamat pagi, Dek Tika."

"Eh, Pak Bambang. Selamat Pagi. Monggo, Pak," jawabku sambil terus berlari.

Dia itu guru olah raga SMP di kampung ini. Aku agak kurang nyaman kalau bersamanya.  Selain genit, julukannya sebagai duda playboy  sangat melekat di dia. Hampir semua perempuan di sini pernah di dekatinya. Bermodal badan atletis dan profesi pegawai negeri dengan mudahnya dia mendapatkan yang dia mau.

Huuh, kalau aku, ogah!

Aku percepat lariku ketika sadar dia berusaha mengejarku. Mantan juara lari ketika SMA akhirnya mengalahkan guru olah raga. Aku lari melesat dan belok mengambil jalan lain. Lega rasanya, keluar dari incaran buaya. 

Aku menoleh ke belakang.

Aman.

Bruuk!

Aduh! Aku menabrak seseorang. Kami terjatuh bersama di tanah. 

"Tika!"

"Mas Ilham!" teriakku kaget.

Aku terjatuh di atasnya, untung tanganku reflek berada di depan dadaku, sehingga ada sekat diantara kami. Aku secepatnya berdiri, beranjak dari tubuhnya. Terlalu dekat dengan laki-laki seperti tadi membuatku tidak nyaman. Bau keringat dan tatapan matanya mengobrak-abrik syarafku.

Kuulurkan tanganku kepadanya untuk berdiri. 

"Ternyata kamu berat juga, ya," ucapnya sambil mengibas-ngibaskan tanah yang menempel di baju.

"Aduh!" teriaknya ketika aku membersihkan tanah di punggungnya.

"Sakit? Mungkin luka, Mas!" kataku cemas. Dia meringis menahan sakit. Mungkin ketika jatuh tadi terantuk batu.

"Tidak apa-apa. Ayo, kita lari lagi," ajaknya.

"Jalan saja, Mas. Sudah dekat."

Selain capek, tempat Mbok Darmi juga sudah dekat.

"Lo, memang mau kemana? Bukannya kita muter disana untuk balik, ya," tanyanya dengan langkah panjangnya. Aku berlari kecil untuk mensejajarinya. 

"Mas, pelan! Aku mau beli serabi Mbok Darmi. Ayok, ikut. Aku traktir. Anggap saja obat sakit punggung," kataku sambil senyum berusaha mengusir rasa bersalahku.

Bagaimana tidak, karena kecerobohanku dia terluka.

"Okey, siapa takut. Tetapi jangan protes, ya. Kalau makanku banyak!" katanya sambil tertawa.

Dari jauh terlihat sudah banyak antrian di Mbok Darmi. Ibu bilang, Mbok Darmi ini generasi ketiga dan sudah terkenal dari dulu. Setiap hari, dia jualan, tetapi di hari minggu pembelinya membludak.

"Tunggu di sini, ya. Aku antri," kataku menunjuk kerumunan antrian.

"Aku temenin, ya. Kerumunan seperti itu. Aman?" 

"Tenang saja, aman!" teriakku langsung meninggalkannya.

Banyak sekali yang antri, kalau hari minggu, biasanya orang dari desa sebelah juga ikutan ke sini. Nama besar serabi ini sudah terkenal dimana-mana.

"Dek Tika, tadi belok dimana? Mas, kejar kok ngilang."

Suara Pak Bambang mengagetkanku. Aku menoleh ke belakang dan benar, Pak Bambang dengan tampang sok gantengnya tersenyum lebar.

Aduh! 

Orang yang aku hindari malah bertemu disini. Pas dibelakangku, lagi.

"Dek Tika keringetan," katanya dengan tangan mengarah ke wajahku. Secepatnya aku tepis tangannya. 

"Maaf, Pak!" kataku dengan mengerutkan kedua alisku. Aku tidak suka dengan sikapnya yang seperti ini. 

"Dek Tika ini. Jangan sok jual mahal," katanya dengan mata berkedip genit.

Ih, begidik aku melihatnya. 

Geli.

"Ada apa ini, ya?!" 

Mas Ilham langsung menarik tanganku untuk mendekat ke arahnya. Aku langsung berdiri berlindung di belakangnya.

"Eh, Mas Ilham. A-apa kabar," kata Pak Bambang dengan menundukkan badannya sedikit. 

"Jangan sekali-kali ganggu dia. Awas, ya!" ancamnya dengan mata mendelik.

"Ayok, kita pulang!" 

Tanganku di tariknya keluar dari kerumunan antrian itu. 

Beberapa orang berbisik melihat kejadian itu. Beberapa menyalahkan Pak Bambang, dan ada juga yang komentar tentang statusku yang janda.

Entah, kabar apa yang akan tersiar sebentar lagi.

Gawat!

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status