Suara kicauan burung yang begitu nyaring membuat telingaku sedikit berdenging. Ingin sekali aku menyentil burung itu hingga terjatuh dan mati, namun segera kuurungkan niatku. Aku bukanlah pembunuh.
Mengingat satu kata itu membuat dadaku kembali berdenyut nyeri. Aku benci semua orang yang tak mau mendengarkan penjelasanku, apalagi saat pria yang kucintai lebih memilih untuk mempercayai wanita sialan itu—wanita yang sayang sekali adalah kakakku, yang menusukku dari belakang hanya demi Alvon. Srek. Aku bergeming dan berpura-pura masih tidur saat mendengar suara itu. Gerakan yang sangat halus—bahkan tak bisa ditangkap oleh indera manusia—mendekat ke arahku dengan sangat cepat seperti hembusan angin. Ia mendekatiku dan baunya langsung tercium. Vampir. Sesaat kemudian, sesuatu yang tajam menusuk pangkal leherku. Darahku terasa mengalir menuju ke area itu karena hisapan dari si vampir. Aku membuka mata dan melihat rambut cokelat panjangnya menutupi sebagian wajahku. Vampir itu terlalu sibuk, membuatku tersenyum dan membiarkannya mengambil apa yang dia mau. "Agh!" Terdengar suara seperti tercekik dari atasku. Wanita itu mengangkat wajahnya. Mata merahnya menatapku nanar dan dia melangkah mundur. "Bagaimana rasanya?" tanyaku seraya menyeringai. Aku bangkit dari posisi tidurku di atas rerumputan lalu mendekatinya dengan perlahan. Wanita itu semakin cepat berjalan mundur, tapi sayang sekali tubuhnya semakin melemah dan akhirnya jatuh tersungkur setelah menabrak sebuah pohon besar. "Ka-kau...da...da..." "Yup, kau benar," jawabku. Dalam sepersekian detik aku sudah berada tepat di hadapannya."T-tapi...baumu seperti...manusia. Aku mohon...tolong...a-aku. Aku benar-benar...kelaparan tadi. Aku mohon," mohonnya sambil mencengkeram lehernya dengan erat. Wanita itu mulai menitikkan air matanya yang membuatku heran. Vampir bisa menangis? Kukira mereka tidak punya emosi. "Ak-aku...mohon. Aku masih...ingin hidup," lanjutnya dengan suara yang hampir tidak terdengar. Aku menghela nafas panjang. Aku bukan makhluk jahat. Dan aku bukanlah pembunuh. Sialan dengan satu kata itu! Memejamkan mata sebentar, aku berjongkok dan melepaskan cengkeraman tangannya dari lehernya. Lehernya mulai membiru dan hampir sebagian besar tubuhnya sudah ditumbuhi sesuatu seperti akar berwarna hitam. Hanya tinggal wajahnya saja yang masih terlihat putih pucat. "Tolong...aku. Kau adalah...orang baik. Maafkan...aku," ucapnya, mulai kehilangan fokus dan nafas yang mulai melemah. Sekali lagi aku menghela nafas. Dengan segera aku menggigit lehernya, menghisap darahnya dan meludahkannya ke samping, lalu memasukkan racun yang ada di taringku ke dalam tubuhnya.Beberapa saat kemudian, akar-akar yang tadi menjalari tubuhnya berangsur lenyap. Wanita itu kembali normal hanya dalam hitungan detik. Setelah wanita itu sudah kembali sehat, dia langsung memelukku. "Terima kasih karena sudah menyelamatkanku. Maafkan aku karena telah berusaha memakanmu tadi," ucapnya seraya menangis. Aku mengelus punggungnya lalu melepaskan pelukannya. "Hei, tidak apa-apa. Aku mengerti dengan apa yang kau rasakan. Ngomong-ngomong, aku Candice. Siapa namamu?" kataku seraya mengulurkan tangan padanya. Dia menatap tanganku dengan takjub sebelum beralih menatap mataku. Alisku berkerut melihat reaksinya. Kenapa? "Kau mengajakku untuk berkenalan? Setelah tadi aku berusaha membunuhmu?" tanyanya dengan kerutan dalam di antara kedua alisnya. Aku mengangkat bahu tak peduli. "Memangnya ada masalah?" "Eh? Oh, umm...seingatku tak ada yang berani dekat-dekat denganku. Biasanya manusia akan takut melihatku ketika aku sedang kelaparan," jawabnya masih dengan raut wajah bingung. "Yeah, itulah mereka. Tapi tidak denganku," balasku. Aku melirik tanganku, dan dia cepat-cepat menjabatnya. "Maaf membuatmu menunggu lama. Aku Sharon. Senang berkenalan denganmu. Jadi, mulai sekarang kita berteman?" tanyanya dengan wajah berseri-seri. Aku baru tahu bahwa ternyata wajah vampir bisa berseri-seri. Dia terlihat lebih cantik. "Tentu saja," jawabku sambil tersenyum. "Ayo, ikut ke rumahku. Oh iya, jadi sebenarnya kau ini apa? Baumu manusia, tapi kenapa darahmu beracun?" tanya Sharon sambil menggandeng tanganku dan berjalan keluar dari hutan. "Aku? Aku adalah dacros," jawabku dengan santai, namun mendadak Sharon menghentikan langkahnya. Dia menegang dan aura ketakutan memancar di sekitar tubuhnya. "Tak usah khawatir, aku tidak akan membunuhmu. Kita adalah teman, ingat?" ucapku berusaha menenangkan. Sharon masih belum merespon. "Aku terpaksa harus menyamarkan bauku karena aku sedang melarikan diri. Aku...adalah seorang buronan," lanjutku dengan wajah muram. Ya, aku adalah buronan, dan itu benar-benar menyakitkan. Dengan perlahan tubuh Sharon mulai rileks, lalu dia berbalik menghadapku. "Kenapa?" tanyanya bingung. "Aku dituduh telah membunuh ibuku, padahal aku sama sekali tidak pernah melakukannya," jawabku, lantas mengangkat bahu. Sharon memegang kedua tanganku. "Aku di sini untukmu. Aku yakin kau bukanlah makhluk yang jahat. Tolong jangan bersedih. Aku tidak mau teman baruku bersedih," ucapnya dengan wajah memelas. Aku tersenyum, lalu memeluknya. Teman. Entah kenapa kata itu membuatku merasa nyaman. Selama ini aku tidak pernah memiliki teman yang tulus. Mereka mau berteman denganku karena aku adalah seorang putri dari kerajaan tertinggi White Dacros. Aku tidak butuh orang-orang munafik seperti mereka. Yang aku butuhkan adalah makhluk seperti Sharon, meskipun dia adalah vampir. Tapi aku tidak peduli. Mulai detik ini aku berjanji, akan melindungi Sharon dan memasukkannya ke dalam daftar orang yang sangat penting dalam hidupku setelah ibuku.***"Selamat datang di rumahku!" teriak Sharon dengan riang sambil menarikku masuk kedalam rumahnya. Rumah yang terlihat minimalis di luar, namun begitu luas di dalam. Setidaknya rumah ini terasa nyaman dan jauh dari hutan. "Jadi, kenapa kau lebih memilih untuk tinggal di sini? Apa kau tidak khawatir jika manusia akan curiga padamu?" tanyaku sambil mendekat ke perapian. "Saat aku tidak haus, mereka akan bersikap biasa saja padaku. Terkadang aku terpaksa harus memakai kontak lens untuk menutupi mata merahku sebelum datang ke kantor." "Kantor?" tanyaku bingung. Seperti...tempat kerja? "Uh-huh. Aku harus berpura-pura menjadi manusia jika ingin diterima di sini. Aku sudah lelah hidup di dunia vampir. Mereka selalu saja berperang untuk memperebutkan kekuasaan," jawab Sharon sebelum beranjak ke dapur. Aku memandang perapian dengan pikiran kosong. "Um, Candice? Kau mau minum apa? Aku tidak begitu tahu dengan makanan dan minuman yang disukai oleh bangsa dacros," tanya Sharon sambil menggaruk tengkuknya. Aku mengerjap lalu menatapnya yang berdiri beberapa kaki jauhnya dariku. "Oh, um, sebenarnya aku sangat menyukai air bunga mawar. Tapi kalau kau memiliki teh, aku akan tetap meminumnya," jawabku. Sharon mengernyitkan alisnya. Mungkin dia heran dengan minuman kesukaanku. Di dunia Dacros, kami biasanya meminum air yang dicampur dengan bunga. Aku sangat menyukai air mawar, sedangkan Alvon....Oh, tidak. Aku malas untuk membahas si brengsek itu. "Kenapa kau tidak mandi dulu? Kau bisa memakai bajuku untuk sementara. Besok ikutlah denganku. Rasanya sangat menyenangkan berteman dengan manusia. Bagaimana menurutmu?" kata Sharon dengan antusias sambil meletakkan secangkir teh ke atas meja. "Kupikir itu ide yang bagus. Aku tidak mau terus bergantung padamu." "Hei, kau boleh tinggal di sini selama yang kau mau. Aku punya banyak kamar dan pakaian di sini, jadi kau tidak usah...""Sharon." Aku tersenyum geli melihat Sharon langsung salah tingkah dan meringis. Rupanya dia sudah terpengaruh oleh manusia, hingga menjadikannya sosok vampir yang cerewet seperti ini. "Maaf, aku sudah terbiasa bergaul dengan manusia, jadi aku banyak bicara," ucapnya dengan malu-malu. Aku hanya tertawa melihat tingkahnya yang membuatnya terlihat imut, alih-alih terlihat kejam seperti kebanyakan vampir. "Aku penasaran dengan bagaimana caranya kau bisa pergi ke dunia manusia," ujarnya dengan memusatkan seluruh perhatiannya padaku. Aku menghela nafas panjang. "Pertanyaan itu juga berlaku untukmu, Sharon. Kau yang terlebih dulu datang kesini.” Sharon memutar matanya ke atas seperti sedang mengingat sesuatu. "Ah, kau benar. Aku datang ke dunia ini melalui portal khusus yang dijaga ketat oleh selusin vampir. Butuh waktu yang cukup lama untuk melumpuhkan penjaga-penjaga itu agar aku bisa melewati portal.” "Aku datang kesini juga melalui portal, tapi portal itu hanya bisa dilewati oleh dacros yang benar-benar kuat. Dacros yang lemah atau biasa-biasa saja tidak bisa melewatinya, karena perpindahan dari dunia dacros ke dunia lain membutuhkan energi yang sangat besar. Mereka bisa mati dalam prosesnya atau terombang-ambing diantara dua dunia tanpa bisa kembali lagi ke dunia dacros, jelasku." "Benarkah? Ternyata fatal sekali akibatnya. Pantas saja keberadaan dacros tidak pernah diketahui oleh siapapun selama ini," gumam Sharon. "Benar. Dacros lebih suka berada di dunianya sendiri. Namun dalam kasusku, aku terpaksa sekali harus melakukan ini karena tidak punya pilihan lain," sambungku lagi. "Yah, aku mengerti," sahut Sharon seraya mengagguk. Kami berdua terdiam cukup lama setelah itu, sampai tiba-tiba Sharon mengamatiku dan mengernyitkan hidungnya seperti mencium sesuatu yang tidak enak. Aku menatapnya heran. "Sebaiknya kau mandi dulu. Kau bisa memakai kamar kosong di sebelah kamarku. Di sana sudah ada pakaian bersih di dalam lemari. Ayo," paksa Sharon sambil menarikku menuju ke tangga. Aku mengikutinya dengan pasrah hingga akhirnya kami sampai di sebuah ruangan yang terlihat bersih dan nyaman. "Kalau kau lapar, kau bisa turun ke bawah setelah ini." Sharon meremas lenganku lalu keluar dari kamar. Sebelum membersihkan diri, aku mengamati kamar ini. Dindingnya berwarna beige, karpet merah marun lembut yang hangat di atas lantai kayu keras, dan sebuah ranjang berukuran besar di dekat lemari kayu.Ada lorong kecil di dekat pintu dan satu pintu lagi di sana yang ternyata adalah kamar mandi. Setidaknya kamar ini lebih baik daripada kamarku yang dulu. Rasanya lebih nyaman. Baiklah, Candice. Lupakan tentang kamar lamamu karena sekarang kau adalah buronan. Bergegas aku melepaskan pakaianku dan menuju ke kamar mandi. Setelah menyiapkan air hangat di dalam bak mandi, aku segera berendam dan menikmati rasa hangat yang membuat tubuhku langsung terasa rileks. Aku lupa kapan terakhir kalinya memanjakan tubuhku dengan air hangat seperti ini. Mungkin dua bulan? Tiga? Empat? Entahlah. Sambil memejamkan mata, aku teringat dengan reaksi Sharon ketika tahu bahwa aku adalah dacros. Memang benar bahwa keberadaan kami sangat jarang diketahui oleh siapapun. Hanya iblis, beberapa penyihir tingkat tinggi, malaikat, dan tentu saja Sang Pencipta yang tahu. Para tetua sengaja menyembunyikan dunia kami agar tidak ada yang mengganggu, entah bagaimana caranya. Kami memang tidak suka jika ada makhluk supernatural lain memasuki dunia kami, terutama iblis yang suka berbuat ulah. Selama ini dacros hanya dianggap sebagai mitos bagi makhluk supernatural lain, bahkan ada yang tidak tahu sama sekali. Kekuatan Raja dan Ratu Dacros sangatlah besar, tapi masih kalah dengan kekuatan yang dimiliki oleh para malaikat—karena mereka mendapatkan kekuatan penuh dari Sang Pencipta. Dacros dibagi menjadi dua ras, yaitu ras White Dacros dan ras Black Dacros. Kedua ras sering berperang dan sampai sekarang aku masih belum tahu pasti apa penyebabnya.Bangsa kami memiliki bau yang khas. Jika ada makhluk supernatural yang bertemu dengan salah satu dari kami, mereka akan lupa daratan dan memburu kami karena mabuk dengan aroma yang menguar dari tubuh kami. Itu benar-benar mengganggu. White Dacros dan Black Dacros memiliki cukup banyak perbedaan. White Dacros lebih suka mengenakan pakaian berwarna putih atau biru, dan suka memakan buah-buahan. Sedangkan Black Dacros lebih suka memakai pakaian berwarna gelap dan memakan daging.Darah dacros sangat beracun bagi vampir dan werewolf. Setidaknya itu yang kutahu dari buku sejarah di perpustakaan kerajaan. Tapi setelah melihat bagaimana efek darahku bagi Sharon, aku baru benar-benar percaya sekarang. White Dacros memiliki sayap berwarna putih dan senjatanya adalah tombak dan panah. Sedangkan Black Dacros memiliki kekuatan hitam, tidak memiliki sayap atau mungkin mereka memilikinya namun aku belum pernah melihatnya, dan senjatanya adalah pedang.Jika salah satu dari mereka terkena kekuatan lawan, maka ia akan terluka cukup parah, bahkan ada yang sampai meninggal. Maka dari itulah setiap individu dacros pintar bertarung untuk mempertahankan diri. Untungnya tidak setiap hari kedua ras berperang. Mereka akan berperang setahun sekali, saat perayaan pergantian tahun. Dan selama ini White Dacros selalu menang karena ayahku begitu kuat.Namun saat ini raja baru Black Dacros masih sangat muda dan kuat. Kekuatannya setara dengan kekuatan ayah, atau bahkan mungkin melebihi? Entahlah, aku tidak terlalu mengenal raja baru itu. Untuk itulah ayahku sedikit khawatir jika suatu saat nanti ia kalah dan dunia dacros akan dikuasai oleh Black Dacros. Ada satu hal yang harus diketahui bahwa White Dacros tidak selalu baik dan Black Dacros tidak selalu jahat. Pada kenyataannya, ras White Dacros bernafsu sekali ingin melenyapkanku begitu ibuku meninggal di depan mata kepalaku sendiri.Berbeda sekali dengan ras Black Dacros yang tidak mempermasalahkan saat aku menyelinap ke kamar....Oh, sial! Kenapa aku harus mengingat kejadian itu lagi? Baiklah, abaikan. Jika kalian mengira bahwa aku adalah White Dacros, maka kalian salah besar. Aku bukan White Dacros ataupun Black Dacros, melainkan... "Siapa kau?" Aku terlonjak kaget ketika mendengar bentakan dari samping kananku. Seorang pria dengan mata merah dan taring panjang. Dia menatapku seolah-olah aku adalah makanan terlezat di dunia. Aku menaikkan sebelah alis. Huh, vampir lagi? Bisakah aku beristirahat lebih lama tanpa adanya insiden merepotkan seperti ini lagi?#2Aku berusaha untuk terlihat tenang, meskipun saat ini aku ingin sekali mencolok kedua matanya. Mata itu dengan sangat kurang ajarnya menulusuri tubuhku yang masih terendam di dalam bathtub. Untungnya masih ada busa yang menghalangi tubuhku dari tatapan kelaparan vampir sialan itu, sehingga aku masih bisa bernafas lega. Tanpa sadar aku mendesis dan orang itu—maksudku vampir itu—membelalakkan matanya. Ia mundur selangkah dan menggeram hingga matanya semakin menghitam dan taringnya semakin memanjang. Cakarnya pun juga ikut memanjang.Entah sejak kapan taringku keluar, yang jelas aku hanya ingin mempertahankan diri. Aku enggan mengobatinya jika ia berhasil meminum darahku. Vampir pria berambut dirty blonde itu tiba-tiba saja melesat ke arahku dan mencakar lenganku, lalu mengarahkan taringnya ke leherku."Ashton, jangan!" teriak Sharon dari ambang pintu. Dia menarik vampir itu dan membantingnya hingga merusak pintu kamar mandi.Vampir itu ternyata keras kepala. Ia tetap berusaha unt
"Kau milikku, Candice," kata seorang pria yang wajahnya tak begitu jelas. "Siapa kau?" tanyaku sambil berusaha menajamkan penglihatanku. "Kau melupakanku, hm? Setelah apa yang kau lakukan padaku di kamarku?" tanya pria itu dengan nada menggoda. Kamar? "Aku bisa menghentikan rasa laparmu itu, Sayang. Karena aku juga merasakan hal yang sama," kata pria itu lagi. Oh, aku baru bisa melihat wajahnya dengan jelas. Astaga! Tidak Mungkin! Dia...dia adalah... "Hayden," gumamku tak percaya. "Ya, Sayang. Aku ingin kau merasakan hal yang sama seperti waktu itu," jawabnya lalu tersenyum lebar. "Jangan," gumamku saat dia mulai mendekatiku. Hentikan! Jangan lakukan itu! Tapi aku merasa tidak sanggup untuk menolak sensasi yang menyenangkan dan luar biasa ini. "Kau adalah ratuku. Tak akan kubiarkan siapapun memilikimu," ucapnya dengan nada yang terdengar begitu mendominasi.*** "Hah!" Aku tersentak dan langsung membuka mata. "Candice, kau tak apa-apa?" tanya seorang wanita yang terdengar
"Sharon, kau bilang kau sudah mengubah penampilanku. Tapi kenapa masih banyak yang melirikku?" bisikku sambil memeluk lengannya dengan erat. Sharon tadi menggelung rambutku dan memberiku kacamata besar berbingkai hitam. Dia juga memoleskan lipstik berwarna nude dan bedak berwarna coklat agar wajahku terlihat tua dan kusam. "Sepertinya tidak mempan. Kau terlalu menyilaukan. Kau lebih mirip seperti model Victoria's Secret ketimbang pekerja kantoran," bisiknya sebelum menarikku memasuki sebuah ruangan. "Miss Devine, ada perlu apa kau kemari?" tanya seorang pria berambut pirang sambil tersenyum ramah pada Sharon. Kutebak usianya di atas 30 tahun, dilihat dari kerutan-kerutan yang muncul di sekitar matanya meskipun wajahnya terlihat masih muda. Dia menatap Sharon dengan kagum. Pria itu tadi terlihat menikmati duduk di kursinya yang nyaman, tapi sekarang ia lebih memilih untuk berdiri dan menghampiri kami. "Mr. Shayne, aku membawa temanku. Kuharap kau mengijinkannya bekerja di sini.
"Kau telah mencuri kalung milik Raja Black Dacros." Tunggu! Kenapa dia bisa tahu? Aku menunduk dan mendapati kalungku yang benar-benar tersembunyi di balik pakaian kerjaku. Tak ada yang bisa melihat kalung itu, kecuali.... "Kenapa kau bisa mengetahuinya?" tanyaku sambil menyipitkan mataku curiga. "Aku bisa dengan mudah melihat apa yang ada di balik pakaianmu," jawabnya dengan santai. Mataku langsung membelalak dan darahku terasa mendidih saat itu juga. Berani-beraninya dia! Kurang ajar! Dia benar-benar pria lancang! "Kau! Kau sungguh lancang!" teriakku yang membuatnya terkejut bukan main dengan ekspresi wajah tak terima. Dengan serta-merta aku mengeluarkan taringku dan mengarahkan tangan kananku ke arahnya, membuatnya terlempar jauh hingga menabrak tembok pembatas. Jari-jari tanganku sedikit kulengkungkan, dan Giga meringis kesakitan dengan sorot mata kebingungan. "Apa kau tak pernah diajarkan sopan santun, huh? Dasar laki-laki kurang ajar!" pekikku sambil berlari menerjangnya.
"Yang Mulia, saya telah berhasil memukul mundur para demon dan vam...." Itu terdengar seperti suara Giga."Hayden, aku bilang kita harus menikah dulu," gumamku."Oh, tidak!" sergah Giga yang begitu nyaring di telingaku."Keluar dari kamarku, Giga!" teriak Hayden dengan wajah memerah.Tubuhku terasa sangat lelah sekarang setelah Hayden akhirnya menurutiku untuk melakukannya melalui pikiran, namun sialnya tenagaku malah semakin bertambah. Terkutuklah kelaparan sialan ini. Aku tidak mau menjadi budak nafsu hanya karena hubungan mate ini. Aku tidak mau merasakan sakit yang lebih parah lagi. Aku akan meminta tolong pada Sharon setelah ini, siapa tahu dia bisa menghentikannya."Sudah, aku sudah tak sanggup lagi. Sekarang perutku yang kelaparan," keluhku. Aku berbaring di atas ranjang dengan tubuh penuh keringat."Giga! Carikan pakaian wanita untuk ratuku!" perintah Hayden tanpa menoleh sama sekali."Arrgghh...dasar raja sialan!" umpat Giga dengan suara lirih, namun masih bisa kudenga
"Lelucon kalian sama sekali tidak lucu," kataku lalu tertawa hambar, namun segera berhenti saat melihat wajah serius mereka.Aku berdehem lalu bangkit dari sofa untuk menuju ke dapur. Aku sedang tak ingin mendengarkan kenyataan apapun. Tidak, aku tidak siap. Atau mungkin belum."Apa yang menyebabkanmu menjadi buronan?" tanya Hayden tetap dari tempatnya."Bisakah kalian tidak membahas tentang hal ini? Rasanya...sakit," gumamku dengan lirih seraya mengambil sebotol air putih dan meneguknya langsung dari sana."Tidak, Candice. Kami harus mengetahui secara detail tentang mengapa kau bisa menjadi buronan, agar penjelasan mengenai kau adalah Gold Dacros bisa kau terima...""Harus berapa kali lagi kubilang jangan membahas tentang hal itu di depanku!" Aku melempar botol di tanganku ke lantai ubin sampai pecah berkeping-keping. Aku sedang tidak ingin membayangkan ibuku yang meregang nyawa di depanku.Tiba-tiba semua benda tajam melayang. Tubuhku gemetaran saat mengingat peristiwa terkutu
Aku tiba di sebuah hutan yang sangat lebat dan luas dengan suara gemuruh tak jauh dari tempatku berpijak. Entah berada di mana ini, sepertinya tempat ini memiliki sesuatu yang sangat luar biasa dan akan menarik minat siapa saja untuk datang ke sini. Mungkin lebih baik aku tinggal di sini saja. Dengan lesu aku bersandar di sebuah pohon besar yang di sekitarnya terdapat berbagai macam tanaman liar yang sudah berbuah dan siap untuk dimakan.Kembali aku teringat dengan penjelasan Giga dan Hayden mengenai darahku yang beracun bagi dacros. Itukah sebabnya mengapa Airis menjebakku? Aku kira itu hanyalah perkiraanku saja bahwa ibuku meninggal karena darahku. Aku berharap bukan itu yang menjadi penyebabnya.Mataku memanas dan dadaku terasa sesak. Sakit sekali. Aku benar-benar sendiri sekarang. Tak ada yang mau menerimaku. Aku bahkan tak yakin bahwa Hayden benar-benar mencintaiku seperti yang tadi dia bilang. Bisa saja kan, dia mendekatiku karena ada maksud tertentu. Omong kosong dengan cin
"Kenapa?" tanyaku dengan polos.Fidel terlihat menelan ludahnya kemudian mundur dengan perlahan. "Dacros? A-aku kira kalian hanyalah mitos. A-aku tidak tahu bahwa...""Candice? Apa yang kau lakukan di sini?"Aku dan Fidel menoleh ke asal suara itu. Fidel menggeram dan menatapku dengan pandangan menuduh. Ada apa dengan makhluk ini? Tanpa berkata apapun lagi, dia berbalik kemudian berubah kembali menjadi serigala gendut berbulu coklat dan berlari dengan cepat meninggalkanku. Hahh, baru saja aku mendapatkan teman baru, tiba-tiba pergi begitu saja karena kehadiran makhluk lain.Aku berbalik dan menatap makhluk itu dengan tajam. "Kau menakutinya!" sergahku sambil menunjuk wajahnya.Dia menyeringai salah tingkah sambil menggaruk tengkuknya. "Aku hanya mengeluarkan taringku."Aku menepuk keningku sebelum meninggalkannya menuju ke sumber suara gemuruh yang sejak tadi sebenarnya sudah menarik perhatianku. Semakin dekat ke sumber suara, semakin berdebar jantungku karena pemandangan yang