#2
Aku berusaha untuk terlihat tenang, meskipun saat ini aku ingin sekali mencolok kedua matanya. Mata itu dengan sangat kurang ajarnya menulusuri tubuhku yang masih terendam di dalam bathtub.Untungnya masih ada busa yang menghalangi tubuhku dari tatapan kelaparan vampir sialan itu, sehingga aku masih bisa bernafas lega. Tanpa sadar aku mendesis dan orang itu—maksudku vampir itu—membelalakkan matanya. Ia mundur selangkah dan menggeram hingga matanya semakin menghitam dan taringnya semakin memanjang. Cakarnya pun juga ikut memanjang. Entah sejak kapan taringku keluar, yang jelas aku hanya ingin mempertahankan diri. Aku enggan mengobatinya jika ia berhasil meminum darahku. Vampir pria berambut dirty blonde itu tiba-tiba saja melesat ke arahku dan mencakar lenganku, lalu mengarahkan taringnya ke leherku. "Ashton, jangan!" teriak Sharon dari ambang pintu. Dia menarik vampir itu dan membantingnya hingga merusak pintu kamar mandi. Vampir itu ternyata keras kepala. Ia tetap berusaha untuk kembali menyerangku dan menghisap darahku. "Kau akan mati jika menghisap darahnya! Dia adalah dacros!" jerit Sharon yang berhasil membuat vampir pria itu membeku di tempatnya. Dengan perlahan taringnya menghilang, begitu juga dengan kuku panjangnya. Warna matanya berubah menjadi biru laut yang menyejukkan. "Da-Dacros?" tanya pria itu. Tiba-tiba matanya membelalak dan terpancar kengerian di sana. Ia melangkah mundur dan mengambil jarak terjauh dariku. "Candice, maafkan aku. Aku tidak tahu bahwa Ashton akan masuk kemari. Kau tidak apa-apa? Astaga, lukamu!" pekik Sharon panik, namun sedetik kemudian tertegun sambil menatap lenganku yang tadi terluka. Lukaku bisa menutup dengan sendirinya seperti yang dialami oleh vampir. Bukan hal yang aneh. "Bisakah kau menyuruhnya untuk keluar? Aku tidak ingin masuk angin jika terus bersembunyi di sini," mohonku sambil mengeratkan kedua lenganku untuk menutupi dadaku. Kulihat vampir pria bernama Ashton itu langsung salah tingkah dan buru-buru melesat keluar dari kamar mandi. Sharon membantuku berdiri lalu segera memakaikan handuk ke tubuhku. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya masih dengan raut wajah menyesal. "Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa mendapatkan luka seperti ini," jawabku. Aku bergegas keluar dari kamar mandi dan mengambil pakaian dari lemari. Kuambil celana pendek dan t-shirt longgar, lalu menyisir rambut hitam bergelombangku dengan cepat setelah selesai memakai pakaian sederhana itu. Saat aku menatap pantulan wajahku di cermin, mataku langsung membelalak kaget. Pantas saja Ashton tadi langsung bersikap siaga. Ternyata warna mataku berubah menjadi hitam pekat. Perlahan warna itu berubah lagi menjadi hijau, lalu violet. "Wow! Warna matamu bisa berubah-ubah? Indah sekali," gumam Sharon dengan takjub di belakangku. "Yah, memang hanya aku yang bisa melakukannya. Makanya banyak yang bilang aku ini aneh," sahutku sambil mengamati kedua mataku. "Tidak, tidak! Kau sangat cantik, Candice. Apalagi saat kau mengeluarkan taring tadi. Aromamu berubah menjadi sangat wangi dan memabukkan, seperti percampuran antara bunga-bungaan dan buah-buahan atau apapun itu yang membuat nafsu makan makhluk supernatural manapun meningkat drastis. Ashton saja sampai tak bisa menahan diri untuk menghisap darahmu. Yah, meskipun darahmu adalah yang terlezat sekaligus mematikan," ujarnya lalu tertawa kecil. Aku tertawa mendengar pendeskripsiannya mengenai diriku. "Aku jadi ragu kalau besok kau benar-benar ikut bekerja denganku di perusahaan yang penuh dengan manusia. Kau akan membuat semua wanita iri dan laki-laki meneteskan air liur," desahnya. Benarkah? Kupikir itu terlalu berlebihan. Bukankah cantik itu relatif, jadi tidak mungkin semua wanita dan pria yang melihatku akan bereaksi seperti itu. "Candice?" panggil Sharon dengan hati-hati. "Hmm?" gumamku sebagai jawaban. "Kau...aku baru sadar bahwa kau memiliki taring. Kudengar kalau dacros memiliki taring, berarti dia adalah Black Dacros..." Sharon menghentikan perkataannya, lalu tiba-tiba membelalak. Ada ketakutan yang terpancar di matanya. Apa dia suka membaca buku sejarah sehingga mengetahui seluk beluk mengenai dacros secara detail? "Jadi, itukah sebabnya mengapa darahmu bisa membunuh vampir? Karena kau adalah Black Dacros?" tanyanya. Aku melirik pintu sebentar, lalu kembali menatap Sharon. "Black Dacros tidak bisa menyembuhkan," jawabku lirih. Sharon mengerutkan keningnya, terlihat bingung. "Lalu? Kau ini termasuk yang mana? Aku benar-benar tidak mengerti mengenai bangsamu. Aku hanya membaca sekilas saja mengenai sejarah dacros karena kukira mereka hanyalah mitos untuk menakuti vampir yang masih anak-anak." Haruskah aku mengatakannya? Apakah ini tidak terlalu cepat? "Aku memiliki darah campuran," jawabku singkat lalu berjalan melewatinya dan keluar dari kamar. Itulah mengapa aku menjadi buronan, karena darah sialanku inilah yang membuat ibuku meninggal. Aku benci memiliki darah ini. Aku benci menjadi pembunuh. Tanpa sadar aku menangis.Tidak! Aku tidak boleh menangis. Tapi dikhianati itu rasanya sakit sekali! Aku mencengkeram pegangan tangga sambil mencengkeram dada kiriku. Aku seperti terbuang. Tidak ada yang menginginkanku, bahkan ayahku sekalipun. Huh, ayah? Masih pantaskah aku memanggilnya ayah setelah apa yang dia lakukan padaku? Bahkan dia sudah tak mau lagi untuk sekedar menoleh ke arahku karena aku bukanlah anak kandungnya.Pantas saja selama aku hidup, ia hanya memanjakan Airis. Itu benar-benar menyakitkan. Dia juga selalu membuang muka saat melihat sayap emas yang keluar dari punggungku. Dia hanya memuji Airis meskipun wanita tolol itu tidak pernah berubah menjadi pintar. "Candice, kau tidak apa-apa?" tanya Sharon seraya menggenggam kedua tanganku. Aku menggeleng dan tersenyum tipis. Untungnya Sharon bukanlah tipe wanita yang suka ikut campur atau memaksakan kehendaknya sejauh ini. Kami segera menuruni tangga dan menuju ke meja makan agar tidak membuang-buang waktu. Banyak sekali makanan disana, sementara Ashton sedang menikmati sepotong daging mentah dengan lahap.Di sampingnya ada segelas darah yang pastinya akan membuat manusia mual jika melihatnya. Ia mendongak dan melihatku sekilas, lalu kembali melanjutkan kegiatannya. "Aku tidak tahu seleramu, jadi aku memasak ini semua. Makanan manusia rasanya lumayan enak," ucap Sharon memecah keheningan di antara kami. Aku tak membalas perkataannya karena mendadak aku sangat kelaparan. Ada apa denganku? Tiba-tiba saja aku sudah melahap habis makanan di hadapanku tanpa sisa, membuat Ashton dan Sharon melongo. "Candice?" panggil Sharon dengan hati-hati. Aku mendongak dan melihat tatapan ingin tahu dari mereka berdua. Tubuhku terasa sakit sekali. "Aku masih lapar. Apa yang terjadi padaku?" tanyaku panik lalu berlari menuju ke dapur dan melahap apapun yang kutemui. "Bahkan ini semua tak mampu menghentikan rasa laparku!" Aku menenggak sebotol darah dengan cepat. "Hei, itu darahku!" teriak Ashton sambil berusaha merebut botol itu dari tanganku. Aku membanting botol itu lalu menatap mereka dengan nafas terengah-engah. Ashton dan Sharon melangkah mundur dengan waspada begitu aku merasakan ada yang tidak beres dengan gigiku saat melihat mereka. "Apa yang terjadi denganku? Aku tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya. Aku...agh." Tiba-tiba dada kiriku terasa sangat perih dan panas. "Sharon! Tubuhku seperti terbakar! Tolong aku!" jeritku sambil berusaha mencakari dada kiriku. Seseorang menahan tanganku dan aku tidak bisa melihat dengan jelas siapa orang itu. Tubuhku seperti melayang sebelum dibaringkan di atas sesuatu yang empuk. "Panas....lapar....tolong aku," desisku. "Hei, berhenti mencakari tubuhmu sendiri! Sharon, cepatlah!" Tiba-tiba aku merasakan sengatan di lenganku dua kali. Aku masih menggelepar kepanasan dan meronta-ronta. Rasanya seperti terbakar dan itu menyakitkan. "Lagi!" Sekali lagi aku merasakan sengatan itu dan cairan entah apa itu memasuki pembuluh darahku, hingga lama kelamaan aku merasakan mataku mulai memberat.Aku mengerjap beberapa kali, dan akhirnya kedua mataku menutup dengan sempurna. Masih sempat kudengar sayup-sayup suara Sharon dan Ashton, lalu rambutku dibelai dengan lembut, dan setelah itu aku sudah tidak bisa merasakan apa-apa lagi."Kau milikku, Candice," kata seorang pria yang wajahnya tak begitu jelas. "Siapa kau?" tanyaku sambil berusaha menajamkan penglihatanku. "Kau melupakanku, hm? Setelah apa yang kau lakukan padaku di kamarku?" tanya pria itu dengan nada menggoda. Kamar? "Aku bisa menghentikan rasa laparmu itu, Sayang. Karena aku juga merasakan hal yang sama," kata pria itu lagi. Oh, aku baru bisa melihat wajahnya dengan jelas. Astaga! Tidak Mungkin! Dia...dia adalah... "Hayden," gumamku tak percaya. "Ya, Sayang. Aku ingin kau merasakan hal yang sama seperti waktu itu," jawabnya lalu tersenyum lebar. "Jangan," gumamku saat dia mulai mendekatiku. Hentikan! Jangan lakukan itu! Tapi aku merasa tidak sanggup untuk menolak sensasi yang menyenangkan dan luar biasa ini. "Kau adalah ratuku. Tak akan kubiarkan siapapun memilikimu," ucapnya dengan nada yang terdengar begitu mendominasi.*** "Hah!" Aku tersentak dan langsung membuka mata. "Candice, kau tak apa-apa?" tanya seorang wanita yang terdengar
"Sharon, kau bilang kau sudah mengubah penampilanku. Tapi kenapa masih banyak yang melirikku?" bisikku sambil memeluk lengannya dengan erat. Sharon tadi menggelung rambutku dan memberiku kacamata besar berbingkai hitam. Dia juga memoleskan lipstik berwarna nude dan bedak berwarna coklat agar wajahku terlihat tua dan kusam. "Sepertinya tidak mempan. Kau terlalu menyilaukan. Kau lebih mirip seperti model Victoria's Secret ketimbang pekerja kantoran," bisiknya sebelum menarikku memasuki sebuah ruangan. "Miss Devine, ada perlu apa kau kemari?" tanya seorang pria berambut pirang sambil tersenyum ramah pada Sharon. Kutebak usianya di atas 30 tahun, dilihat dari kerutan-kerutan yang muncul di sekitar matanya meskipun wajahnya terlihat masih muda. Dia menatap Sharon dengan kagum. Pria itu tadi terlihat menikmati duduk di kursinya yang nyaman, tapi sekarang ia lebih memilih untuk berdiri dan menghampiri kami. "Mr. Shayne, aku membawa temanku. Kuharap kau mengijinkannya bekerja di sini.
"Kau telah mencuri kalung milik Raja Black Dacros." Tunggu! Kenapa dia bisa tahu? Aku menunduk dan mendapati kalungku yang benar-benar tersembunyi di balik pakaian kerjaku. Tak ada yang bisa melihat kalung itu, kecuali.... "Kenapa kau bisa mengetahuinya?" tanyaku sambil menyipitkan mataku curiga. "Aku bisa dengan mudah melihat apa yang ada di balik pakaianmu," jawabnya dengan santai. Mataku langsung membelalak dan darahku terasa mendidih saat itu juga. Berani-beraninya dia! Kurang ajar! Dia benar-benar pria lancang! "Kau! Kau sungguh lancang!" teriakku yang membuatnya terkejut bukan main dengan ekspresi wajah tak terima. Dengan serta-merta aku mengeluarkan taringku dan mengarahkan tangan kananku ke arahnya, membuatnya terlempar jauh hingga menabrak tembok pembatas. Jari-jari tanganku sedikit kulengkungkan, dan Giga meringis kesakitan dengan sorot mata kebingungan. "Apa kau tak pernah diajarkan sopan santun, huh? Dasar laki-laki kurang ajar!" pekikku sambil berlari menerjangnya.
"Yang Mulia, saya telah berhasil memukul mundur para demon dan vam...." Itu terdengar seperti suara Giga."Hayden, aku bilang kita harus menikah dulu," gumamku."Oh, tidak!" sergah Giga yang begitu nyaring di telingaku."Keluar dari kamarku, Giga!" teriak Hayden dengan wajah memerah.Tubuhku terasa sangat lelah sekarang setelah Hayden akhirnya menurutiku untuk melakukannya melalui pikiran, namun sialnya tenagaku malah semakin bertambah. Terkutuklah kelaparan sialan ini. Aku tidak mau menjadi budak nafsu hanya karena hubungan mate ini. Aku tidak mau merasakan sakit yang lebih parah lagi. Aku akan meminta tolong pada Sharon setelah ini, siapa tahu dia bisa menghentikannya."Sudah, aku sudah tak sanggup lagi. Sekarang perutku yang kelaparan," keluhku. Aku berbaring di atas ranjang dengan tubuh penuh keringat."Giga! Carikan pakaian wanita untuk ratuku!" perintah Hayden tanpa menoleh sama sekali."Arrgghh...dasar raja sialan!" umpat Giga dengan suara lirih, namun masih bisa kudenga
"Lelucon kalian sama sekali tidak lucu," kataku lalu tertawa hambar, namun segera berhenti saat melihat wajah serius mereka.Aku berdehem lalu bangkit dari sofa untuk menuju ke dapur. Aku sedang tak ingin mendengarkan kenyataan apapun. Tidak, aku tidak siap. Atau mungkin belum."Apa yang menyebabkanmu menjadi buronan?" tanya Hayden tetap dari tempatnya."Bisakah kalian tidak membahas tentang hal ini? Rasanya...sakit," gumamku dengan lirih seraya mengambil sebotol air putih dan meneguknya langsung dari sana."Tidak, Candice. Kami harus mengetahui secara detail tentang mengapa kau bisa menjadi buronan, agar penjelasan mengenai kau adalah Gold Dacros bisa kau terima...""Harus berapa kali lagi kubilang jangan membahas tentang hal itu di depanku!" Aku melempar botol di tanganku ke lantai ubin sampai pecah berkeping-keping. Aku sedang tidak ingin membayangkan ibuku yang meregang nyawa di depanku.Tiba-tiba semua benda tajam melayang. Tubuhku gemetaran saat mengingat peristiwa terkutu
Aku tiba di sebuah hutan yang sangat lebat dan luas dengan suara gemuruh tak jauh dari tempatku berpijak. Entah berada di mana ini, sepertinya tempat ini memiliki sesuatu yang sangat luar biasa dan akan menarik minat siapa saja untuk datang ke sini. Mungkin lebih baik aku tinggal di sini saja. Dengan lesu aku bersandar di sebuah pohon besar yang di sekitarnya terdapat berbagai macam tanaman liar yang sudah berbuah dan siap untuk dimakan.Kembali aku teringat dengan penjelasan Giga dan Hayden mengenai darahku yang beracun bagi dacros. Itukah sebabnya mengapa Airis menjebakku? Aku kira itu hanyalah perkiraanku saja bahwa ibuku meninggal karena darahku. Aku berharap bukan itu yang menjadi penyebabnya.Mataku memanas dan dadaku terasa sesak. Sakit sekali. Aku benar-benar sendiri sekarang. Tak ada yang mau menerimaku. Aku bahkan tak yakin bahwa Hayden benar-benar mencintaiku seperti yang tadi dia bilang. Bisa saja kan, dia mendekatiku karena ada maksud tertentu. Omong kosong dengan cin
"Kenapa?" tanyaku dengan polos.Fidel terlihat menelan ludahnya kemudian mundur dengan perlahan. "Dacros? A-aku kira kalian hanyalah mitos. A-aku tidak tahu bahwa...""Candice? Apa yang kau lakukan di sini?"Aku dan Fidel menoleh ke asal suara itu. Fidel menggeram dan menatapku dengan pandangan menuduh. Ada apa dengan makhluk ini? Tanpa berkata apapun lagi, dia berbalik kemudian berubah kembali menjadi serigala gendut berbulu coklat dan berlari dengan cepat meninggalkanku. Hahh, baru saja aku mendapatkan teman baru, tiba-tiba pergi begitu saja karena kehadiran makhluk lain.Aku berbalik dan menatap makhluk itu dengan tajam. "Kau menakutinya!" sergahku sambil menunjuk wajahnya.Dia menyeringai salah tingkah sambil menggaruk tengkuknya. "Aku hanya mengeluarkan taringku."Aku menepuk keningku sebelum meninggalkannya menuju ke sumber suara gemuruh yang sejak tadi sebenarnya sudah menarik perhatianku. Semakin dekat ke sumber suara, semakin berdebar jantungku karena pemandangan yang
Dalam satu sentakan kuat, tubuhku sudah berada dalam pelukan seseorang dengan posisi berdiri dan aku berada di depannya. Mulutku dibekap dengan sebelah tangannya dan kami mundur beberapa langkah menjauhi Ashton. Kulihat Ashton mendadak kebingungan dan pandangannya beredar ke segala arah."Candice? Di mana kau?"(Hei, aku masih berada di depanmu, bodoh. Kenapa dia tidak bisa melihatku?)"Berbisiklah kalau kau ingin berbicara agar kehadiran kita tidak diketahui," bisik pria yang memelukku dari belakang."Hayden, kenapa kau bisa menemukanku?" tanyaku ikut berbisik."Dacros akan sangat mudah melacak keberadaan pasangannya. Apalagi kita sudah bertukar darah dan tanda mate di dada kiri kita menjadi penghubung," jawabnya lalu memakaikan sesuatu ke leherku.Bertukar darah? Bukankah dacros akan meninggal jika meminum darahku? Lagipula sejak kapan dia meminum darahku?"Tenang saja, Sayang. Aku adalah mate-mu, jadi aku tak akan terkena racunmu. Kau tahu, aku adalah semacam penawar bagimu.