Share

Perlawanan Terakhir

Remaja laki-laki itu berusaha mengintimidasi lawannya.

Hanya saja, di hadapan Pandya saat ini, bukan hanya satu atau dua orang saja. Segerombolan orang-orang bertopeng itu jelas terlihat tidak takut sama sekali.

Entah 'Ajaran' mana yang mengirimnya, tapi Pandya yakin itu ulah salah satu dari saudara tirinya.

Ibu mereka berasal dari keluarga Ajaran terpandang, tidak seperti dirinya. Dengan kuasa dan uang, mereka memang sudah sering melakukan upaya pembunuhan pada Pandya. Hanya saja, kali ini, skalanya terlihat benar-benar mematikan.

"Hahahaha … entahlah,” tawa salah satu dari mereka, “yang jelas, kami sudah menunggu cukup lama, hingga merasa bosan dan mengantuk." 

Mendengar itu, Pandya semakin bingung dengan situasinya saat ini. Dia bahkan sudah tidak memiliki tenaga untuk kabur.

"Siapa?!" bentak Pandya--berusaha mengintimidasi lagi.

Namun, tidak ada jawaban dari sosok-sosok itu. 

Pandya semakin marah dan frustasi. Semua sosok bertopeng itu memiliki topeng dan pedang yang sama– membuat Pandya tidak dapat membedakannya.

"Sebenarnya apa yang terjadi?” lirih remaja laki-laki itu, “aku sudah menyerah untuk masuk ke akademi. Jadi, apa alasan kalian untuk mengambil nyawaku?"

Semua pertanyaan yang membuatnya penasaran sedari tadi, akhirnya bisa dia tanyakan secara langsung. Padahal, selama ini Pandya sudah berusaha hidup tenang. 

Pandya sudah menepati janjinya untuk tidak mempelajari tentang ilmu tenaga dalam meski ingin.

Dia juga tidak ingin untuk masuk ke dalam pertarungan untuk memperebutkan posisi pewaris. Jadi, dia merasa apa yang dihadapinya kini sangatlah tidak adil untuknya.

"Pangeran Pandya, kau tahu kalau itu tidak ada hubungannya bukan? Kamu adalah salah satu calon pewaris. Jadi, itulah takdir yang Pangeran miliki," ucap salah satu pembunuh bayaran.

Mendengar ucapan salah satu sosok bertopeng itu, membuat Pandya terdiam. 

Walau bagaimanapun kehidupan yang akan dia jalani, dia akan tetap menjadi ancaman bagi para calon pewaris lainnya. 

Ujung dari kehidupannya akan tetap sama: mati.

Padahal, Pandya sudah berusaha untuk berdiam diri, terutama setelah ibunya meninggal. Namun, tetap saja dia akan menjadi ancaman untuk para saudara yang dilahirkan oleh lima istri ayahnya yang lain.

Sungguh, kehidupan yang sangat lucu bagi Pandya. 

"Menyerahlah, Pangeran! Walaupun Pangeran memiliki darah rakyat jelata, tapi Pangeran tetaplah anak dari Pemimpin Padepokan. Jadi, kami takkan membuat kematian Pangeran terlalu menyakitkan."

Ucapan itu sontak membuat tangan Pandya mengepal marah.

"Rakyat Jelata?” geram Pandya. “Beraninya kau menghina ibuku?!"

Pandya seketika mengeluarkan pedang kecil dari dalam bajunya lalu mengacungkannya kepada mereka dengan kuda-kuda yang diajarkan oleh sang paman.

Toh, kalau dia mati pun, setidaknya dia harus mempertahankan harga diri dari orang yang dicintainya. Tak hanya itu, ini kesempatan untuk menggunakan ajaran sang paman yang selama ini dia pelajari.

"Haha … Pisau?” ejek salah satu pembunuh. 

“Apa kau sudah mempelajari suatu hal dari Tuan Akandra, sang Penjaga Timur?" ucap yang lain dengan nada suara merendahkan.

"Sepertinya darah tidak bisa bohong. Kau ternyata masih berusaha melawan meski dengan kemampuan seadanya dan dalam keadaan yang sudah terjepit. Perburuan kali ini, tidak terlalu membosankan.”

“Habisi dia!" Tiba-tiba pemimpin pembunuh itu berteriak.

Para pembunuh bayaran pun langsung menyerang Pandya dengan kecepatan penuh. 

Untungnya, reflek Pandya yang sudah sering berlatih dengan sang Paman–bisa membuatnya menangkis serangan itu dengan pedang kecilnya.

Pandya cukup tangkas untuk menghindar dan menangkis semua serangan dari pembunuh bayaran itu. Hanya saja, tenaga yang dimilikinya, tidak cukup untuk membuatnya dapat bertahan dengan lama.

Salah satu pembunuh bayaran kini mendesak Pandya, hingga pedang kecil di tangannya terlepas dari genggaman.

Melihat itu, leher Pandya segera disergap dan tubuhnya dicengkeram kuat.

"Hahahaha … apa perlawananmu sudah selesai?" tanya pembunuh yang mencekik leher Pandya merasa puas.

Pandya yang tidak habis akal, langsung mengeluarkan pedang kecil lagi dari balik punggungnya. Namun salah satu pembunuh yang melihatnya, langsung memperingatkan temannya.

"Awas!" teriak salah satu pembunuh.

"Apa?"

Saat fokus pembunuh itu teralihkan, Pandya langsung menancapkan pedangnya ke leher pembunuh bayaran yang mencekiknya itu. Sedangkan kawan dari pembunuh bayaran, hanya bisa menatap kejadian itu dengan tatapan tidak percaya.

"Rasakan!" ucap Pandya sambil tertawa puas.

Kini semua pembunuh bayaran tampak lebih waspada. Mereka tidak habis pikir bagaimana anak yang tidak belajar bela diri–bisa menghabisi salah satu dari mereka.

Mereka curiga kalau sebenarnya Pandya hanya pura-pura ceroboh, untuk mengecoh mereka dan sudah merencanakan semuanya dengan licik.

"Licik sekali! Ternyata, kau benar-benar sudah belajar bela diri. Dasar berandal tengik!"

Para pembunuh bayaran itu kembali melancarkan serangannya ke arah Pandya. Kali ini, dengan serangan bertubi-tubi. 

Hanya saja, tenaga Pandya sudah habis. Akhirnya, dia pun tumbang dengan tubuh terlentang.

Memanfaatkan kesempatan, salah satu pembunuh menikam perutnya dengan pedang panjang–tepat di tengah perutnya. 

Darah pun mengalir sangat deras  ketika pedang itu kembali ditarik dari perut Pandya.

"Bagaimana rasanya perutmu ditusuk dengan pedang, hah?" ucap pembunuh itu sambil menginjak perut Pandya yang tertusuk pedang sebelumnya.

"AARGH...!!!" Pandya mengerang kesakitan. Tubuhnya tiba-tiba ambruk.

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status