Di kondisi itu pun, Pandya masih berusaha untuk bergerak.
Melihat itu, para pembunuh bayaran tak senang. Salah satu dari mereka kembali menancapkan dan menarik pedangnya kembali dengan sangat cepat."Pelan-pelan. Matilah dengan menyakitkan, Pangeran!" ucap pembunuh itu sambil kembali menginjak perut Pandya."AARGH!!!!!" teriak Pandya kesakitan.Zing!
Anehnya, dari kejauhan, tampak cahaya yang tiba-tiba semakin mendekat. Tanpa diduga, cahaya itu mengenai pembunuh bayaran yang melukai Pandya.BOM!
Tubuh itu tiba-tiba meledak dengan hebat.
Semua yang menyaksikan tampak menegang melihat kejadian yang terjadi dalam sekejap itu.Pemimpin gerombolan langsung mencari asal serangan. Tapi, mereka tidak dapat menemukan sosok yang menyerang.Situasi saat ini membuat mereka menyadari satu hal. Tanpa aba-aba, gerombolan pria bertopeng itu berusaha untuk melarikan diri.BOM! BOM! BOM!
Hanya saja, baru beberapa langkah mereka melarikan diri, tubuh mereka mulai meledak satu per satu.
"ARRGH!!!!!!!!"
"TOLONG!"
"Hahaha... rasakan!" ucap Pandya di sisa-sisa kesadarannya.
Sayangnya, ada satu orang yang menyadari itu.
Dia menertawai tingkah Pandya. "Hahaha... bocah ini masih bisa tertawa saat akan mati. Apakah kau sesenang itu?"
Pandya mencoba memicingkan matanya untuk melihat siapa yang berbicara. Namun, dia hanya bisa melihat cahaya terang."Siapa kau? Apa yang kau katakan?" tanya Pandya dengan suara lirih.Sayangnya, Pandya hanya dapat merasakan dingin menjalari tubuhnya. Pandangannya pun semakin memudar."Ah... sial!" ucap suara asing itu lagi, "Tidak ada cara lain. Sepertinya, dia nyaris mati. Seharusnya, aku datang lebih awal untuk mengajarkan penyerapan ilmu padanya."
Pandya hanya bisa mendengar suara itu tanpa bisa bertanya atau menanggapi."Hei, Bocah! Terimalah kekuatanku ini, dan jangan sampai mati!"Itu suara terakhir yang dapat Pandya dengar sebelum matanya benar-benar terpejam. Dan setelahnya, sekujur tubuh Pandya seperti tersengat listrik yang sangat menyakitkan.KRAK!
GRAG!
Seluruh organ dalam Pandya seperti tercabik-cabik. Tulang-tulang miliknya bahkan bergeretak dengan suara sangat keras.
Pandya yang sudah terbiasa dengan rasa sakit, hanya bisa menahan di keheningan dan kegelapan itu.Namun, kesakitan itu tidak berlangsung terlalu lama. Rasa sakit yang Pandya rasakan mulai mereda secara perlahan.Secara aneh, ada perasaan lega dan bersemangat yang merasuki dirinya--meski matanya tetap terpejam dan tubuhnya masih belum bisa ia gerakan.******
Setelah bulan berganti dengan matahari, tubuhnya masih tetap belum bergerak. Hanya, dadanya yang mengembang dan mengempis--menjadi penanda Pandya masih hidup.Sinar matahari yang terasa hangat, Pandya perlahan bangun dari tidurnya.Secara ajaib, dia merasakan tubuhnya kini juga terasa sangat ringan dan bertenaga.Bahkan, dia merasa seperti bisa menebas salah satu pohon dengan tangannya.
Pandya berpikir jika dia sudah berada di alam baka. Karena, jika dia masih di dunia, tidak mungkin tubuhnya yang lemah bisa merasakan hal seperti itu."Hei, anak muda!" teriak sebuah suara dengan lantang, "ternyata, kamu cukup kuat menerima kekuatanku."Pandya berusaha mencari asal suara itu, tetapi dia tidak melihat orang lain di sekitarnya."Siapa kamu?!" tanya Pandya dengan waspada, "apakah kamu malaikat penjaga alam baka ini?""Hah! Baru seperti ini saja, kau takut," ucap suara asing itu lagi. "Bagaimana bisa keturunan pendekar nomor satu di zamannya, menjadi sosok yang sangat lemah seperti ini?""Apa maksudmu?" tanya Pandya sambil mencari asal suara. "Siapa kamu sebenarnya? Keluarlah!"Namun, tidak ada jawaban apapun. Pandya semakin bingung."Tidak mungkin bukan jika kamu dewa iblis?" tanya Pandya dengan ragu."Sialan!" umpat suara asing, "Kamu samakan aku dengan dewa iblis itu?"Kemarahan sosok asing itu terlalu kuat bagi Pandya, hingga sedetik kemudian remaja itu tidak sadarkan diri--tanpa ada aba-aba sebelumnya.*******
Dari kejauhan, tampak Akandra tergopoh-gopoh lari menuju Pandya. Dia datang bersama seorang abdi dan salah satu pasukan Ajaran Pedang yang masih selamat dengan luka ringan.Pria itu lantas memerhatikan keponakannya itu yang sedang tergeletak tidak sadarkan diri di tengah hutan. Pandya dikelilingi sesuatu yang merngerikan.
Semua terkejut. Bahkan, sang abdi tidak dapat menahan rasa mualnya.Potongan tubuh tersebar dan darah berceceran dimana-mana.Akandra mencoba tidak menghiraukan apa yang dilihatnya. Perlahan, ia mendekat ke arah Pandya dan mendeteksi denyut nadi keponakannya itu.Untunglah, yang Akandra khawatirkan tidak terjadi.Pandya masih hidup walau denyut nadinya cukup lemah.
Akandra lantas memperhatikan sebuah pedang yang belum pernah dilihatnya dan digenggam Pandya begitu erat.Pedang itu dipenuhi dengan darah. Namun, Akandra sadar ukuran pedangnya tidak sama dengan pedang yang digunakan untuk menikam Pandya."Apa Pandya yang melakukan kekacauan ini?" gumam Akandra tanpa sadar. Namun, Akandra menggelengkan kepalanya. Dialah yang merawat Pandya dari kecil dan paling tahu tahu bagaimana kondisi Pandya. Tidak mungkin keponakannya itu mampu memotong tubuh para pembunuh bayaran dengan ilmu tinggi."Tuan, bagaimana keadaan pangeran Pandya?" tanya sang abdi. Di belakangnya, juga seorang prajurit ikut menghampiri Akandra dan Pandya setelah berhasil mengendalikan diri dari rasa ngeri."Pandya masih selamat," jawab Akandra, "hanya saja, perutnya ditikam pedang, sehingga nadinya melemah sekarang."Pria itu menghela napas. Sejak awal, dia sudah menduga jika pembunuh bayaran itu akan mendatangi Pandya begitu mereka memilih mundur begitu saja saat bertarung dengannya.Akandra merasa sangat bersalah. Namun, inilah usaha terbaik yang bisa dia lakukan untuk bisa melindungi Ajaran Pedang.Semalam, Akandra sudah ingin segera mencari Pandya. Namun, keadaan di dalam sanggar juga cukup memprihatinkan.Banyak pasukan yang gugur, bahkan tidak ada yang lolos dari sebuah luka. Untunglah, sebelum banyak korban yang jatuh, para pembunuh bayaran itu memilih untuk mundur.Akandra kembali menatap Pandya yang masih terpejam dengan wajah pucat. Ada banyak pertanyaan dalam dirinya saat ini."Sebenarnya apa yang terjadi padamu, Pandya?"Bersambung...Sesampainya di sanggar, Akandra menidurkan Pandya pada salah satu ranjang di ruang kesehatan dalam sanggar.Tabib Suma langsung memeriksa kondisi Pandya. Namun, sedetik kemudian dia dibuat terkejut dengan apa yang dirasakannya."Apa yang sebenarnya terjadi pada Pangeran?" tanya sang tabib. Akandra hanya menjawab dengan gelengan kepala. Pria itu pun bingung dengan apa yang dia lihat, saat menemukan Pandya tadi.Tabib Suma lantas melanjutkan pemeriksaanya. 'Dia merasakan ada tenaga dalam yang cukup kuat di dalam tubuh Pandya. Bahkan, tampak lebih baik dari anak seusianya. Padahal, sebelumnya dia tidak pernah mengetahui jika sang Pangeran memilikinya.Hanya saja, pemikiran itu disimpan oleh tabib Suma. Dia pikir kondisi sang Pangeran ada sangkut pautnya dengan pemimpin padepokan.Tabib Suma menganggap ini hal yang memang seharusnya seorang ayah lakukan kepada anaknya."Tuan tidak perlu khawatir," ucap Tabib Suma. "Pangeran Pandya kondisinya sudah lebih baik.""Benarkah?" tanya Akandra
"Angkat aku lebih dulu, baru bertanya!" protes suara asing itu. "Anak muda zaman sekarang, tidak punya sopan santun sama sekali."Pandya yang masih terkejut--langsung mengambil pedang yang dia jatuhkan tadi, dan meletakkannya di atas ranjang. Dia benar-benar tidak mengerti, dengan apa yang terjadi. Tapi, dia yakin suara yang dia dengar sama seperti orang yang membantunya semalam."Benar. Akulah yang membunuh semua musuh-musuhmu," ucap pedang itu, "Dan aku pula yang menyelamatkan nyawamu. Tapi, tidak perlu berterima kasih karena itu memang sudah tugasku."Mata Pandya mengerjap cepat. "Bagaimana sebuah pedang bisa melakukan itu semua?" "Lalu tugas apa yang kamu maksud?"Kebingungan Pandya menjadi hiburan bagi pedang itu. Dengan sombong, ia pun berkata, "Tentu aku bisa! "Aku relief langka yang memiliki kemampuan tinggi. Tenaga dalam yang aku berikan padamu bukan sekedar tenaga dalam biasa. Bahkan, itu bisa menyelamatkanmu yang hampir tewas karena mengandung elemen penyembuh yang akura
"Pemilikku sebelumnya merupakan pendekar legendaris Empu Catra Arkatama. Nama itu selalu di elu-elukan pada masanya," ucap Sakra mengenang masa lalu."Arkatama?" Pandya mengerutkan dahinya. "Jadi, beliau leluhur dari ibuku? Bukan ayahku?""Jika Arkatama adalah marga dari ibumu, berarti itu benar," jawab Sakra.Pandya cukup terkejut mendengar fakta itu. Bahkan, selama ini ibunya dihujat dengan sebutan rakyat jelata. Hanya karena beliau anak haram.Namun, ternyata leluhur ibunya adalah sang pendekar legenda. Dan, Pandya adalah penerus kekuatannya itu? Sepertinya, ada banyak hal yang perlu diselediki."Hei, Pandya!" teriak Sakra."Sssttttt...!" Pandya menyuruh Sakra diam dengan isyarat jari yang didekatkan ke mulutnya. "Kenapa kau teriak?" tanya Pandya panik, "Bagaimana jika orang lain juga mendengarnya?""Tidak akan ada yang mendengarku," jawab Sakra, "Hanya pemilikku yang dapat mendengarnya. Bahkan, kau tidak perlu berbicara secara langsung. Cukup pikirkan saja apa yang kau ingin katak
Pandya terlihat tampak tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Karena, saat ini apa yang diucapkan terlihat dengan matanya.Semua seperti terpindai dengan mata, dan memperlihatkan dimana saja letak titik aliran darah dan titik akupuntur itu berada dengan tulisan yang sangat jelas.Awalnya, Pandya ragu dan mencoba untuk mengusap matanya. Namun, setelah itupun dia tetap dapat melihat tulisan-tulisan itu dengan sangat jelas."Ini bukannya curang?" tanya Pandya skeptis, "Aku tidak hanya menghapalnya, tapi juga bisa mengamatinya," ucap Pandya sambil tertawa sarkas.'Jangan cepat senang, Pandya!' Sakra mengingatkan, 'Kamu masih belum tahu kekuatan itu sepenuhnya,' ucap Sakra mengingatkan.Pandya menjadi semakin tertarik dengan kemampuan yang belum diketahuinya itu. Padahal, kemampuan menyerap ilmu sudah sangat luar biasa.'Memang apa yang belum aku ketahui?' Pandya kembali antusias, 'Apakah kekuatan ini bisa jauh lebih hebat dari sekarang?''Tentu saja! Semua kekuatan yang aku berikan, ha
Di dalam Padepokan Nagendra, terdapat sejumlah ajaran bela diri yang sangat menjunjung tinggi ilmu bertarung serta Padepokan Nagendra itu sendiri. Lalu ada enam ajaran yang menjadi dasar Padepokan Nagendra. Ada Ajaran Pedang, Ajaran Api, Ajaran Ramuan, Ajaran Sihir, Ajaran Panah dan Ajaran Pengintai. Pemimpin Padepokan Nagendra menyambut banyak gadis perawan dari enam ajaran tersebut. Dan terjalinlah kesepakatan untuk melahirkan keturunan.Keturunan pemimpin dari setiap ajaran, akan tumbuh di keluarga sang ibu dan memiliki hak menjadi calon pemimpin di setiap ajarannya. Nantinya, mereka akan masuk ke dalam akademi Padepokan Nagendra saat cukup umur.Akademi itu di buka setiap 10 tahun sekali, dan selalu di pimpin oleh para empu dari padepokan Nagendra.Tujuannya adalah untuk mempertandingkan para calon pendekar baru dari setiap ajaran, dan meningkatkan kemampuan bela diri hingga tahap akhir.Tidak hanya pemimpin dan calon pemimpin dari setiap ajaran yang boleh mengikuti akademi ini,
Di dalam sanggar Ajaran Pedang. Tampak Pandya yang sedang berada di atas ranjang dengan mata yang terbuka.Matanya, menatap lurus ke langit-langit kamar sudah sejak semalam. Dari wajah Pandya tampak guratan wajah bingung seperti memikirkan sesuatu dan tidak menemukan jawabannya.Detik berikutnya, Pandya berdiri dan berniat membuka jendela dalam kamarnya itu."Karena terlalu banyak pikiran aku jadi tidak bisa tidur. Apakah ini masih terlalu pagi?" Pandya bangun dari ranjang.KREEK!Suara jendela yang di bukanya terdengar memecah kehehingan di kamar itu. Matahari yang masih bersembunyi hanya memperlihatkan semburat warna jingganya."Akhirnya hari ini tiba," ucap Pandya sambil menatap langit pagi. "Hari dimana aku akan masuk ke dalam Akademi Nagendra."Dari kejauhan, Pandya tanpa sengaja melihat sang Paman yang sedang pemanasan pagi."SYUUK!""CHWAAK!""PAATS!""BWAATS!" suara gerakan Akandra yang menembus udara terdengar menggema di lapangan sanggar Ajaran Pedang.Pandangan Pandya tidak
'Apa masuk ke dalam akademi begitu penting?' tanya Sakra kesal, 'bukankah kau sudah bisa mempelajari segala macam hal dengan kemampuan yang aku berikan?''Itu salah satu syarat agar aku tetap bisa menjadi calon pewaris!' jawab Pandya dengan nada meninggi."AARGH!"Pandya kembali mengerang karena rasa sakit yang tidak ada hentinya. Semua otot dalam tubuhnya menarik dan mengendur terus menerus hingga terasa seperti terobek.'Kalau begitu masih ada satu cara," ucap Sakra memberikan jalan keluar.'Bagiamana?!' tanya Pandya dengan rahang terkatup.'Proses adaptasi bisa dipacu dengan kontrol tenaga dalam. Tapi...,' ucap Sakra ragu.'Tapi apa?!!!' teriak Pandya frustasi. 'Aku sudah kesakitan seperti ini tapi kau malah bicara setengah-setengah!'Pandya kembali mengepalkan kedua tangannya untuk menahan rasa sakit dan rasa frustasinya. Dia mencoba mengatur napas untuk mengalihkan pikirannya dari rasa sakit itu.'Tapi hanya 1% kemungkinan kamu bisa bertahan dalam keadaan sadar. Karena rasa sakit
BUAKKK!'Bangun!' teriak Sakra yang menggema di pikiran Pandya.Pukulan tubuh pedang Sakra membangunkan Pandya dari tidurnya."UAAGH – HAAH– HAH," Pandya terkejut dan bangun dari tidurnya. Dia menghembuskan napas dengan kasar, seperti baru saja menemukan kembali napasnya.'Aku sudah selesai mengontrol otot dan pembuluh darahmu dengan tenaga dalam. Kini semua otot dalam tubuhmu sudah beradaptasi dengan jurus yang kau salin,' Sakra mulai menjelaskan."Aku tidak akan melakukan ini lagi!" ucap Pandya menyesal.'Aku sudah memperingatkanmu sebelumnya!' elak Sakra membela diri.Pandya tidak menghiraukan jawaban Sakra. Dia masih fokus untuk menetralkan kembali pernapasannya.Secara perlahan Pandya mulai merasakan perbedaan pada tubuhnya. Badannya terasa jauh lebih ringan dari sebelumnya. Bahkan, kini dia merasa jauh lebih bertenaga ketika bergerak."Eh–tapi kenapa aku bisa tidur dengan posisi seperti ini? Apa Paman tadi sempat masuk?" tanya Pandya sambil turun dari ranjangnya.'Pamanmu tadi l