Share

Dewa Iblis?

Di kondisi itu pun, Pandya masih berusaha untuk bergerak.

Melihat itu, para pembunuh bayaran tak senang. Salah satu dari mereka kembali menancapkan dan menarik pedangnya kembali dengan sangat cepat.

"Pelan-pelan. Matilah dengan menyakitkan, Pangeran!" ucap pembunuh itu sambil kembali menginjak perut Pandya.

"AARGH!!!!!" teriak Pandya kesakitan.

Zing!

Anehnya, dari kejauhan, tampak cahaya yang tiba-tiba semakin mendekat. Tanpa diduga, cahaya itu mengenai pembunuh bayaran yang melukai Pandya.

BOM!

Tubuh itu tiba-tiba meledak dengan hebat.

Semua yang menyaksikan tampak menegang melihat kejadian yang terjadi dalam sekejap itu.

Pemimpin gerombolan langsung mencari asal serangan. Tapi, mereka tidak dapat menemukan sosok yang menyerang.

Situasi saat ini membuat mereka menyadari satu hal. Tanpa aba-aba, gerombolan pria bertopeng itu berusaha untuk melarikan diri. 

BOM! BOM! BOM!

Hanya saja, baru beberapa langkah mereka melarikan diri, tubuh mereka mulai meledak satu per satu.

"ARRGH!!!!!!!!"

"TOLONG!"

Beberapa bahkan mulai menjerit meminta tolong.

Meski dalam kondisi setengah sadar, Pandya melihat kejadian itu dan merasa puas.

"Hahaha... rasakan!" ucap Pandya di sisa-sisa kesadarannya.

Sayangnya, ada satu orang yang menyadari itu.

Dia menertawai tingkah Pandya. "Hahaha... bocah ini masih bisa tertawa saat akan mati. Apakah kau sesenang itu?"

Pandya mencoba memicingkan matanya untuk melihat siapa yang berbicara. Namun, dia hanya bisa melihat cahaya terang.

"Siapa kau? Apa yang kau katakan?" tanya Pandya dengan suara lirih.

Sayangnya, Pandya hanya dapat merasakan dingin menjalari tubuhnya. Pandangannya pun semakin memudar.

"Ah... sial!" ucap suara asing itu lagi, "Tidak ada cara lain. Sepertinya, dia nyaris mati. Seharusnya, aku datang lebih awal untuk mengajarkan penyerapan ilmu padanya."

Pandya hanya bisa mendengar suara itu tanpa bisa bertanya atau menanggapi.

"Hei, Bocah! Terimalah kekuatanku ini, dan jangan sampai mati!"

Itu suara terakhir yang dapat Pandya dengar sebelum matanya benar-benar terpejam. Dan setelahnya, sekujur tubuh Pandya seperti tersengat listrik yang sangat menyakitkan.

KRAK!

GRAG!

Seluruh organ dalam Pandya seperti tercabik-cabik. Tulang-tulang miliknya bahkan bergeretak dengan suara sangat keras.

Pandya yang sudah terbiasa dengan rasa sakit, hanya bisa menahan di keheningan dan kegelapan itu.

Namun, kesakitan itu tidak berlangsung terlalu lama. Rasa sakit yang Pandya rasakan mulai mereda secara perlahan.

Secara aneh, ada perasaan lega dan bersemangat yang merasuki dirinya--meski matanya tetap terpejam dan tubuhnya masih belum bisa ia gerakan.

******

Setelah bulan berganti dengan matahari, tubuhnya masih tetap belum bergerak. Hanya, dadanya yang mengembang dan mengempis--menjadi penanda Pandya masih hidup.

Sinar matahari yang terasa hangat, Pandya perlahan bangun dari tidurnya.

Secara ajaib, dia merasakan tubuhnya kini juga terasa sangat ringan dan bertenaga.

Bahkan, dia merasa seperti bisa menebas salah satu pohon dengan tangannya.

Pandya berpikir jika dia sudah berada di alam baka. Karena, jika dia masih di dunia, tidak mungkin tubuhnya yang lemah bisa merasakan hal seperti itu.

"Hei, anak muda!" teriak sebuah suara dengan lantang, "ternyata, kamu cukup kuat menerima kekuatanku."

Pandya berusaha mencari asal suara itu, tetapi dia tidak melihat orang lain di sekitarnya.

"Siapa kamu?!" tanya Pandya dengan waspada, "apakah kamu malaikat penjaga alam baka ini?"

"Hah! Baru seperti ini saja, kau takut," ucap suara asing itu lagi. "Bagaimana bisa keturunan pendekar nomor satu di zamannya, menjadi sosok yang sangat lemah seperti ini?"

"Apa maksudmu?" tanya Pandya sambil mencari asal suara. "Siapa kamu sebenarnya? Keluarlah!"

Namun, tidak ada jawaban apapun. Pandya semakin bingung.

"Tidak mungkin bukan jika kamu dewa iblis?" tanya Pandya dengan ragu.

"Sialan!" umpat suara asing, "Kamu samakan aku dengan dewa iblis itu?"

Kemarahan sosok asing itu terlalu kuat bagi Pandya, hingga sedetik kemudian remaja itu tidak sadarkan diri--tanpa ada aba-aba sebelumnya.

*******

Dari kejauhan, tampak Akandra tergopoh-gopoh lari menuju Pandya. Dia datang bersama seorang abdi dan salah satu pasukan Ajaran Pedang yang masih selamat dengan luka ringan.

Pria itu lantas memerhatikan keponakannya itu yang sedang tergeletak tidak sadarkan diri di tengah hutan. Pandya dikelilingi sesuatu yang merngerikan.

Semua terkejut. Bahkan, sang abdi tidak dapat menahan rasa mualnya.

Potongan tubuh tersebar dan darah berceceran dimana-mana.

Akandra mencoba tidak menghiraukan apa yang dilihatnya. Perlahan, ia mendekat ke arah Pandya dan mendeteksi denyut nadi keponakannya itu.

Untunglah, yang Akandra khawatirkan tidak terjadi.

Pandya masih hidup walau denyut nadinya cukup lemah.

Akandra lantas memperhatikan sebuah pedang yang belum pernah dilihatnya dan digenggam Pandya begitu erat.

Pedang itu dipenuhi dengan darah. Namun, Akandra sadar ukuran pedangnya tidak sama dengan pedang yang digunakan untuk menikam Pandya.

"Apa Pandya yang melakukan kekacauan ini?" gumam Akandra tanpa sadar. Namun, Akandra menggelengkan kepalanya. Dialah yang merawat Pandya dari kecil dan paling tahu tahu bagaimana kondisi Pandya. Tidak mungkin keponakannya itu mampu memotong tubuh para pembunuh bayaran dengan ilmu tinggi.

"Tuan, bagaimana keadaan pangeran Pandya?" tanya sang abdi. Di belakangnya, juga seorang prajurit ikut menghampiri Akandra dan Pandya setelah berhasil mengendalikan diri dari rasa ngeri.

"Pandya masih selamat," jawab Akandra, "hanya saja, perutnya ditikam pedang, sehingga nadinya melemah sekarang."

Pria itu menghela napas. Sejak awal, dia sudah menduga jika pembunuh bayaran itu akan mendatangi Pandya begitu mereka memilih mundur begitu saja saat bertarung dengannya.

Akandra merasa sangat bersalah. Namun, inilah usaha terbaik yang bisa dia lakukan untuk bisa melindungi Ajaran Pedang.

Semalam, Akandra sudah ingin segera mencari Pandya. Namun, keadaan di dalam sanggar juga cukup memprihatinkan.

Banyak pasukan yang gugur, bahkan tidak ada yang lolos dari sebuah luka. Untunglah, sebelum banyak korban yang jatuh, para pembunuh bayaran itu memilih untuk mundur.

Akandra kembali menatap Pandya yang masih terpejam dengan wajah pucat. Ada banyak pertanyaan dalam dirinya saat ini.

"Sebenarnya apa yang terjadi padamu, Pandya?"

Bersambung...

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Silalahi Sabam
mantap bah
goodnovel comment avatar
Royon Silban
kalau bisa lebih baik susunan kata ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status