Di dalam Padepokan Nagendra, terdapat sejumlah ajaran bela diri yang sangat menjunjung tinggi ilmu bertarung serta Padepokan Nagendra itu sendiri.
Lalu ada enam ajaran yang menjadi dasar Padepokan Nagendra. Ada Ajaran Pedang, Ajaran Api, Ajaran Ramuan, Ajaran Sihir, Ajaran Panah dan Ajaran Pengintai.Pemimpin Padepokan Nagendra menyambut banyak gadis perawan dari enam ajaran tersebut. Dan terjalinlah kesepakatan untuk melahirkan keturunan.Keturunan pemimpin dari setiap ajaran, akan tumbuh di keluarga sang ibu dan memiliki hak menjadi calon pemimpin di setiap ajarannya. Nantinya, mereka akan masuk ke dalam akademi Padepokan Nagendra saat cukup umur.Akademi itu di buka setiap 10 tahun sekali, dan selalu di pimpin oleh para empu dari padepokan Nagendra.Tujuannya adalah untuk mempertandingkan para calon pendekar baru dari setiap ajaran, dan meningkatkan kemampuan bela diri hingga tahap akhir.Tidak hanya pemimpin dan calon pemimpin dari setiap ajaran yang boleh mengikuti akademi ini, karena semua rakyat dapat mengikutinya.Walaupun, ada saatnya persaingan di dalam akademi terasa begitu ketat di rasakan oleh semua muridnya. Yaitu, saat pemimpin dan calon pemimpin dari enam ajaran ikut masuk ke dalam akademi dengan kemampuan yang sangat jauh dari rakyat biasa.Mereka menyebut akademi di masa itu dengan sebutan 'Perebutan Pemimpin Enam Ajaran'.***Di tempat lain, tepatnya di sanggar pemimpin Ajaran Pengintai yang terletak di bagian selatan Padepokan Nagendra.Tampak salah seorang pria berpakaian serba hitam dan bertopeng, sedang bersimpuh di bawah seorang pria muda yang sedang berdiri membelakanginya.Pria bertopeng itu tampak takut dengan tubuh bergetar. Walaupun, wajahnya tidak terlihat karena tertutupi topeng. Tangannya berkeringat dingin, karena harus menyampaikan berita buruk itu kepada tuannya."Maaf Tuan," ucap pria bertopeng. "Pasukan kita gagal melakukan misi. Bahkan, sepuluh orang utama ditemukan dengan tubuh yang tercabik-cabik.""Aku hanya menyuruhmu untuk membunuh satu orang tidak berguna, tapi sepuluh orang itu mati?... Hah, kau pikir itu masuk akal?" tanya pria muda itu dengan nada tinggi tanpa bergerak sedikitpun."Sepertinya ada seorang empu yang ikut campur dan membantunya, Pangeran Catra," ucap pria bertopeng itu memberi penjelasan."Siapa yang menyuruhmu mencari alasan?!" teriak Catra marah, sambil berbalik badan dan melototkan matanya ke arah pria bertopeng itu."Ma-maafkan saya, Pangeran Catra," ucap pria bertopeng dengan suara tercekat."Pergilah! Sebelum aku membunuhmu dengan tanganku sendiri!" teriak Catra yang langsung di respon oleh pria bertopeng itu. Dia meninggalkan ruangan sang pangeran dengan tergesa.Setelah kepergian salah satu anak buahnya, Catra tampak berpikir dengan keras. Dia benar-benar tidak menyangka, rencana yang dia buat setelah sekian lama gagal begitu saja.Padahal, dia yakin jika Pandya tidak memiliki kekuatan sama sekali. Setelah dia mengirim pasukannya untuk mengintai sanggar Ajaran Pedang selama berbulan-bulan.Tidak ada laporan masuk kepada Catra yang mengatakan kalau Pandya belajar bela diri maupun tenaga dalam. Sehingga dia menjalankan misi itu sesuai rencanannya."Kupikir dia lemah karena bercampur darah rendahan, tapi ternyata dia menyembunyikan sesuatu," ucapnya pada diri sendiri sambil berjalan menuju singgasana miliknya.Selama ini, Catra menjadi salah satu pewaris yang diremehkan selain Pandya. Karena tubuh pendek yang dimilikinya. Namun, setelah menjadi pemimpin Ajaran Pengintai, dia menjadi semakin terobsesi untuk mengalahkan calon pewaris yang lain.Tapi, dia tahu jika dia melawan ajaran lain secara terang-terangan, itu akan membuat Ajaran Pengintai menjadi tidak aman. Maka dari itu, dia membuat rencana dan dimulai dengan menyingkirkan Pandya dan Ajaran Pedang.Karena dia tahu kalau Ajaran Pedang tidak terlalu di pedulikan oleh ajaran lain. Bahkan, semua orang tahu kalau Pandya tidak memiliki ilmu tenaga dalam sama sekali.Jadi, itu tidak menjadikannya ancaman bagi mereka. Sehingga, itu menjadi kesempatan bagi Catra bisa melenyapkan Pandya.Namun, sekarang rencananya gagal begitu saja. Bahkan, dia harus kehilangan pasukan utama yang sudah dia latih secara khusus."Walau penjaganya sudah dikelabui, dan dapat diatasi dengan jumlah pasukan yang aku kirimkan, ternyata ada orang lain yang membantunya. Apakah itu ayah?" ucap Catra dengan wajah yang berkedut.Dia benar-benar tidak terima, jika apa yang dipikirkannya benar terjadi. Karena, jika Pandya juga bisa bela diri, pada akhirnya dia harus mengalahkan kelima ajaran untuk dapat merebut posisi pewaris.Padahal, tanpa Pandya pun dia masih belum menemukan cara untuk menghabisi calon pewaris dari empat ajaran lainnya."Sebenarnya aku tidak ingin mengotori tanganku...," ucap Catra sambil berdiri dari duduknya, dan berjalan ke arah jendela di ruangan itu. "Tapi sepertinya tidak ada jalan lain," ucap Cakra sambil mengepalkan tangannya.Cakra mengeluarkan tenaga dalam yang dia miliki, yang membuat seluruh ruangan terasa penuh dengan tekanan tenaga dalam miliknya.Untung saja, saat ini hanya ada Catra diruangan itu. Sehingga, tidak akan ada yang terluka akibat pancaran tenaga dalamnya miliknya.Cakra menggertakkan giginya. "Akan aku bunuh kau dengan tanganku sendiri, saat kita ada di akademi! Tunggu aku, Pandya!"Bersambung...Di dalam sanggar Ajaran Pedang. Tampak Pandya yang sedang berada di atas ranjang dengan mata yang terbuka.Matanya, menatap lurus ke langit-langit kamar sudah sejak semalam. Dari wajah Pandya tampak guratan wajah bingung seperti memikirkan sesuatu dan tidak menemukan jawabannya.Detik berikutnya, Pandya berdiri dan berniat membuka jendela dalam kamarnya itu."Karena terlalu banyak pikiran aku jadi tidak bisa tidur. Apakah ini masih terlalu pagi?" Pandya bangun dari ranjang.KREEK!Suara jendela yang di bukanya terdengar memecah kehehingan di kamar itu. Matahari yang masih bersembunyi hanya memperlihatkan semburat warna jingganya."Akhirnya hari ini tiba," ucap Pandya sambil menatap langit pagi. "Hari dimana aku akan masuk ke dalam Akademi Nagendra."Dari kejauhan, Pandya tanpa sengaja melihat sang Paman yang sedang pemanasan pagi."SYUUK!""CHWAAK!""PAATS!""BWAATS!" suara gerakan Akandra yang menembus udara terdengar menggema di lapangan sanggar Ajaran Pedang.Pandangan Pandya tidak
'Apa masuk ke dalam akademi begitu penting?' tanya Sakra kesal, 'bukankah kau sudah bisa mempelajari segala macam hal dengan kemampuan yang aku berikan?''Itu salah satu syarat agar aku tetap bisa menjadi calon pewaris!' jawab Pandya dengan nada meninggi."AARGH!"Pandya kembali mengerang karena rasa sakit yang tidak ada hentinya. Semua otot dalam tubuhnya menarik dan mengendur terus menerus hingga terasa seperti terobek.'Kalau begitu masih ada satu cara," ucap Sakra memberikan jalan keluar.'Bagiamana?!' tanya Pandya dengan rahang terkatup.'Proses adaptasi bisa dipacu dengan kontrol tenaga dalam. Tapi...,' ucap Sakra ragu.'Tapi apa?!!!' teriak Pandya frustasi. 'Aku sudah kesakitan seperti ini tapi kau malah bicara setengah-setengah!'Pandya kembali mengepalkan kedua tangannya untuk menahan rasa sakit dan rasa frustasinya. Dia mencoba mengatur napas untuk mengalihkan pikirannya dari rasa sakit itu.'Tapi hanya 1% kemungkinan kamu bisa bertahan dalam keadaan sadar. Karena rasa sakit
BUAKKK!'Bangun!' teriak Sakra yang menggema di pikiran Pandya.Pukulan tubuh pedang Sakra membangunkan Pandya dari tidurnya."UAAGH – HAAH– HAH," Pandya terkejut dan bangun dari tidurnya. Dia menghembuskan napas dengan kasar, seperti baru saja menemukan kembali napasnya.'Aku sudah selesai mengontrol otot dan pembuluh darahmu dengan tenaga dalam. Kini semua otot dalam tubuhmu sudah beradaptasi dengan jurus yang kau salin,' Sakra mulai menjelaskan."Aku tidak akan melakukan ini lagi!" ucap Pandya menyesal.'Aku sudah memperingatkanmu sebelumnya!' elak Sakra membela diri.Pandya tidak menghiraukan jawaban Sakra. Dia masih fokus untuk menetralkan kembali pernapasannya.Secara perlahan Pandya mulai merasakan perbedaan pada tubuhnya. Badannya terasa jauh lebih ringan dari sebelumnya. Bahkan, kini dia merasa jauh lebih bertenaga ketika bergerak."Eh–tapi kenapa aku bisa tidur dengan posisi seperti ini? Apa Paman tadi sempat masuk?" tanya Pandya sambil turun dari ranjangnya.'Pamanmu tadi l
DRRRRK!KRIEEETT!Suara meja yang didorong paksa oleh Akandra terdengar sangat nyaring. Akandra seperti sudah tahu sejak awal, apa yang tersembunyi di bawah meja itu. Sedangkan Pandya sudah tidak bisa mengelak lagi setelah jejak kaki terakhirnya terlihat dengan jelas."Ini adalah jurus belati rahasia sebelum masuk ke tahap kedua—jejaknya terlihat dengan sangat jelas," ucap Akandra sambil melihat jejak kaki Pandya yang berada di bawah meja tadi."A–aku bisa menjelaskannya Paman. Ini bukan seperti yang paman pikirkan," ucap Pandya tergagap sembari mencari alasan."Aku tidak salah melihatnya!" Akandra mengatakannya dengan wajah tegang.Pandya hanya bisa menundukkan kepalanya. Dia benar-benar merasa bersalah, karena mencuri jurus orang lain itu dilarang di dunia persilatan. Tapi, dia malah mencuri karena tergoda dengan kemampuan menyalinnya.'Bagaimana ini Sakra? Aku tidak bisa mengelak lagi. Bagaimana jika Paman membenciku?' Pandya bertanya pada Sakra dengan frustasi.'Aku juga tidak tahu
Siang hari di halaman utama akademi Padepokan Nagendra, tampak ratusan orang mulai berkumpul dan mencari tempat untuk berbaris. Suara riuh dari orang-orang yang antusias untuk mengikuti ujian pertama akademi—terdengar memadati halaman itu tanpa ada yang berusaha menenangkan."Apa benar semua calon pewaris dari setiap ajaran Padepokan Nagendra berkumpul tahun ini?" ucap salah satu pemuda yang bertubuh gempal dan bermata sipit."Sepertinya rumor itu benar. Lihatlah barisan depan! Ujian masuk akademi kali ini menjadi sangat banyak peminatnya," jawab pria kurus disebelahnya sambil memperbaiki posisi buntalan kain pembungkus yang tergantung di pundaknya.Mereka berdua yang hanya penduduk biasa dari salah satu ajaran, dengan mudahnya terdorong oleh orang-orang lain yang mengikuti ujian siang itu. Mereka hanya bisa mengikuti arus, yang pada akhirnya membuat mereka mendapat barisan paling belakang."Seberapa banyak kira-kira yang mengikuti tes kali ini?" Pria bertubuh gempal mengedarkan pandan
"Apa benar tidak ada namaku di pengambilan nomor urut?" Pandya tampak berdebat dengan seseorang yang mengurus pendaftaran masuk akademi."Iya. Hanya nama Pangeran dari Ajaran Pedang yang tidak ada," jawab orang itu. "Sepertinya Pangeran harus menunggu hingga nomor urut Pangeran ditemukan," tambahnya."Baiklah! Akan aku tunggu," Pandya lantas pergi dari meja pendaftaran dan berdiri di ujung tembok gerbang akademi. Dia hanya bisa menunggu hingga pengurus itu menemukan nama untuk nomor urutnya. Walaupun dia tahu itu ulah siapa, tapi dia juga tidak bisa apa-apa untuk saat ini. Pandya mencari tempat yang cukup bersih untuknya duduk di bawah, sambil menunggu namanya ditemukan.'Ini pasti ulah salah satu saudaraku dari ajaran lain. Jelas sekali mereka sengaja melakukan ini padaku,' pikir Pandya dengan wajah masamnya.'Kau yakin ini ulah salah satu saudaramu? Untuk apa mereka melakukannya?' Sakra merespon pikiran Pandya karena penasaran.'Mungkin mereka tidak mau berbaris denganku. Lagipula t
Suara keras yang menggema ditambah dengan tekanan tenaga dalam yang dua kali lebih kuat, membuat semua orang terdiam tanpa ada yang berani membuat suara sekecil apapun. Setelah penjaga utama melihat suasana sudah kondusif, dia berbalik dan membungkukkan badan di hadapan sang pemimpin Padepokan."Yang Mulia, semua sudah siap," setelah mengatakannya penjaga utama bergeser untuk berdiri di sebelah penjaga barat dan timur.SEETT!ZHIIIING!Pemimpin Padepokan berdiri dari duduknya dengan mengeluarkan tenaga dalam yang lebih besar dari sebelumnya. Tatapan matanya yang tajam mengarah ke semua calon murid akademi yang ada di bawah. Bahkan, tidak ada satu calon muridpun yang dapat mendongakkan kepalanya untuk dapat melihat sang pemimpin kembali."Orang-orang hebat yang akan bertanggung jawab atas masa depan padepokan kita. Selamat datang di akademi!" Sang pemimpin yang hanya berbicara, namun suaranya jauh lebih keras dibandingkan teriakan penjaga utama tadi.Semua merasa sangat terintimidasi d
SEET!Salah satu murid mengangkat tangan kanannya mengenterupsi ucapan Agha. Sang penjaga gerbang barat itu memperlihatkan ekspresi tidak sukanya dengan sangat jelas. Tawanya dan senyuman puas tadi langsung berubah menjadi masam karena kelakuan salah seorang murid itu."Saya ingin bertanya!" ucap murid yang mengangkat tangannya.Murid itu berada di barisan terdepan—yang ternyata merupakan calon pemimpin dari Ajaran Ramuan. Prama berdiri dengan sangat percaya diri menunggu jawaban dari Agha. Membuat semua tatapan murid-murid yang lain tertuju kepadanya."Siapa yang memperbolehkanmu bertanya?" Agha masih tampak marah walaupun dia tahu yang bertanya adalah salah satu calon pewaris padepokan."Apa bertanya saja tidak boleh?!" Prama kembali bertanya sambil mengeluarkan tenaga dalam miliknya dengan sikap sombongnya.Seperti terprovokasi Agha merasa di remehkan oleh salah seorang murid yang kemampuannya masih jauh dibawahnya. Dia ikut mengeluarkan tenaga dalam miliknya yang jauh lebih kuat s