Share

Pedang ini Berbicara

Sesampainya di sanggar, Akandra menidurkan Pandya pada salah satu ranjang di ruang kesehatan dalam sanggar.

Tabib Suma langsung memeriksa kondisi Pandya. Namun, sedetik kemudian dia dibuat terkejut dengan apa yang dirasakannya.

"Apa yang sebenarnya terjadi pada Pangeran?" tanya sang tabib. 

Akandra hanya menjawab dengan gelengan kepala. Pria itu pun bingung dengan apa yang dia lihat, saat menemukan Pandya tadi.

Tabib Suma lantas melanjutkan pemeriksaanya. '

Dia merasakan ada tenaga dalam yang cukup kuat di dalam tubuh Pandya. Bahkan, tampak lebih baik dari anak seusianya. Padahal, sebelumnya dia tidak pernah mengetahui jika sang Pangeran memilikinya.

Hanya saja, pemikiran itu disimpan oleh tabib Suma. Dia pikir kondisi sang Pangeran ada sangkut pautnya dengan pemimpin padepokan.

Tabib Suma menganggap ini hal yang memang seharusnya seorang ayah lakukan kepada anaknya.

"Tuan tidak perlu khawatir," ucap Tabib Suma. "Pangeran Pandya kondisinya sudah lebih baik."

"Benarkah?" tanya Akandra meyakinkan. "Apa luka tusuknya tidak terlalu dalam?"

"Luka tusukan pedang sudah saya obati. Dan luka itu akan segera sembuh. Saya hanya perlu meracikkan beberapa obat herbal, agar Pangeran dapat segera pulih," jelas Tabib Suma.

"Kalau begitu, segera buatkan obat itu!" perintah Akandra

Tabib Suma pun pamit undur diri, sedangkan Akandra hanya mengangguk sebagai jawaban.

Akandra mengambil sebuah kursi dan meletakkannya tepat di sebelah ranjang Pandya. Sambil mengamati wajah Pandya, ada rasa syukur dan bersalah secara bersamaan yang merasuk di dalam diri Ksatria Penjaga Timur Padepokan Nagendra.

*****

"Pandya, apa kamu sudah sadar?" tanya Akandra saat melihat Pandya mulai mengerjapkan mata.

"Paman?" tanya Pandya bingung, "Bukankah aku sudah meninggal?"

"Tidak, Pandya," ucap Akandra sambil menggenggam tangan Pandya. "Kamu masih selamat, maafkan paman yang terlambat menyelamatkanmu."

Seingat Pandya, hal terakhir dalam ingatannya adalah saat berkomunikasi dengan suara dari alam baka.

Tapi kini dia sudah kembali ke dalam sanggar, dan berada dalam ruang kesehatan.

"Bagaimana caraku bisa kembali ke sanggar?" tanya Pandya memastikan.

"Paman menemukanmu tergeletak sambil berlumuran darah, di bagian bawah hutan terlarang ajaran pedang," jawab Akandra. "Paman cukup kesulitan untuk menemukanmu. Tapi, untunglah ketika Paman datang kamu masih bernapas walau dengan luka tusuk yang cukup dalam."

Mendengar jawaban dari sang paman, membuat Pandya semakin bingung.

"Kenapa Pandya?" tanya Akandra khawatir. "Apakah masih ada yang sakit? Di bagian mana?"

"Tidak paman," jawab Pandya, "Aku hanya bingung dengan apa yang terjadi. Semalam seperti ada yang membantuku, dan membunuh semua pembunuh bayaran itu."

"Jadi benar ada yang membantumu?" tanya Akandra dengan antusias.

Pandya mengangguk. "Tapi, aku tidak dapat melihat siapa yang menolongku. Bahkan, aku tidak menyangka bisa selamat seperti ini."

"Kalau begitu ada yang ingin Paman tanyakan lagi. Tunggu sebentar!"

Akandra berlari kecil dan keluar dari ruang kesehatan, dan kembali dengan membawa sebuah pedang.

"Pedang siapa itu, Paman?" tanya Pandya heran.

"Justru, paman yang ingin bertanya padamu. Pedang siapa ini?" tanya Akandra. "Saat paman temukan kamu, pedang ini ada di genggamanmu dengan penuh darah."

Pandya menggeleng. "Aku bahkan baru kali ini melihatnya. Aku tidak tahu itu milik siapa."

"Awalnya, paman kira kamu yang membunuh para pembunuh bayaran itu dengan pedang ini," ucap Akandra.

"Apa yang paman pikirkan?" tanya Pandya tidak habis pikir, "Bukankah paman tahu kalau aku tidak memiliki tenaga dalam? Bagaimana mungkin aku bisa membunuh mereka semua?"

"Lalu apa yang terjadi tadi malam, Pandya?" tanya Akandra semakin penasaran. "Aku ingin menanyakan hal ini sejak menemukanmu tadi."

"Entahlah, Paman," jawab Pandya frustasi. "Aku juga tidak terlalu ingat apa yang terjadi."

Melihat Pandya kesulitan, Akandra tidak mendesaknya lagi. Dia meletakkan pedang yang dibawanya tadi, di atas kabinet belakang kursi yang dia duduki.

"Sudahlah, kalau memang tidak ingat tidak perlu dipaksakan. Paman sudah sangat senang kamu bisa selamat," ucap Akandra menyudahi. "Sebaiknya kamu segera mandi, paman sudah tidak tahan dengan baumu."

Pandya langsung mengendus bau tubuhnya. Ternyata, apa yang dikatakan oleh sang paman memang benar.

Tubuhnya yang bercampur keringat dan darah, membuat bau busuk yang menusuk hidung.

Pandya lantas turun dari ranjang. Ia mengambil pedang yang belum pernah dilihatnya itu.

Pedang itu penuh dengan darah.

Jadi, pantas jika pamannya menganggap dirinya yang membunuh semua pembunuh bayaran itu.

'Tapi, siapa cahaya putih yang membantuku itu? Apa orang itu juga yang meninggalkan pedang ini untukku?' tanya Pandya dalam hati.

"Hei, anak muda!" teriak suara asing. "Tidak perlu bingung, aku masih ada disini."

Mendengar suara yang tiba-tiba, membuat Pandya reflek menjatuhkan pedang yang dia pegang.

"AARGH!!!" erang suara asing itu, "Kenapa kau malah menjatuhkanku? Sial!"

Pandya yang masih bingung hanya bisa melongo melihat pedang yang ia jatuhkan.

Meskipun, dia belum yakin kalau memang pedang itulah yang tadi mengajaknya bicara. Tapi, asal suara itu terdengar dari pedang yang dipegangnya tadi.

"Apakah yang berbicara pedang ini?" tanya Pandya ragu. "Bagaimana sebuah pedang dapat berbicara?"

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status