Share

Kebangkitan Pewaris Seribu Pedang
Kebangkitan Pewaris Seribu Pedang
Author: Deschya.77

Pelarian

"Pandya, kamu harus ingat kalau paman selalu ada di pihakmu. Jadi, berusahalah untuk tetap bertahan hidup."

Remaja laki-laki yang baru bangun itu lantas menatap sang Paman dengan bingung. "Aku benar-benar tidak mengerti. Apa Paman akan pergi jauh?"

Akandra terlihat enggan untuk menjelaskan. Namun, jika dia terus menundanya akan semakin banyak waktu yang akan terbuang.

Pria itu segera mengarahkan Pandya untuk menuju dapur belakang. Di atas meja, tampak sebuah kain pembungkus yang di dalamnya sudah terisi penuh dengan perbekalan.

"Paman mendapat laporan bahwa ada pembunuh bayaran yang mengincarmu. Saat ini pasukan ajaran pedang sedang menghadang mereka. Jadi, lebih baik kamu segera kabur dari sanggar ini," ucap Akandra sambil mencengkeram kedua lengan Pandya.

"Apa maksud, Paman?" tanya Pandya menegang, "apa pasukan kita tidak bisa menghadapi mereka, seperti biasa?"

Pandya merasa ucapan pamannya sedikit tidak masuk akal. Sebagai salah satu calon pewaris Padepokan Nagendra yang tidak memiliki tenaga dalam, sudah banyak yang mengincarnya nyawa Pandya. Namun, dia yakin kalau pasukan mereka pasti bisa kalau hanya menghadapi pembunuh bayaran.

Selama ini, dia telah melihat betapa hebatnya para pasukan yang dimilikinya itu ketika berlatih.

Ditambah lagi, di sanggar ini ada sosok pamannya yang juga merupakan Ksatria Penjaga Timur Padepokan Nagendra.

Bukankah kekuatan pamannya jauh lebih tinggi? Tapi, kenapa pamannya mengatakan kalau Pandya harus meninggalkan sanggar?

BRAK!

Sayangnya, pikiran Pandya langsung terbantah saat ada sesosok tubuh terpental dan mendarat tepat di ruangan samping-tempat mereka sekarang berada.

Dan secara sekilas dari celah tirai yang menjadi penyekat pintu dapur, Pandya dapat mengenalinya bahwa orang itu salah satu pasukan Ajaran Pedang.

"Sudah tidak ada waktu untuk menjelaskannya, Pandya. Kamu sadar arena pertarungan sudah semakin dekat, bukan? Kita kalah jumlah dan kekuatan. Pembunuh bayaran berbeda dari biasanya. Mereka sudah dipersiapkan dalam waktu lama. Jadi, bergegaslah pergi lewat pintu rahasia dibalik dapur."

Pamannya itu lalu menyerahkan buntalan di atas meja berisi perbekalan kepada Pandya. "Paman sudah menyiapkan ini semua, agar kamu dapat bertahan di luar sana untuk sementara waktu. Aku akan berusaha untuk tetap menjaga sanggar ini. Kamu harus selamat."

Pandya terdiam. "Lalu bagaimana dengan Paman? Bukankah lebih baik kita pergi bersama, sebelum pembunuh bayaran itu datang kesini?"

Remaja laki-laki yang biasanya terlihat santai itu-merasa khawatir. Ditariknya lengan sang paman untuk membujuknya pergi.

Namun, Akandra hanya menggelengkan kepala. "Tidak, Pandya. Sanggar dan ajaran Pedang harus tetap dijaga, aku akan mengecoh mereka jadi kamu bisa segera kabur," ucap Akandra sambil mendorong tubuh Pandya. "Larilah! Dan jangan menoleh ke belakang kembali! Kamu harus kembali dengan selamat!"

Set!

Sang paman lalu berlari menuju luar sanggar-meninggalkannya sendiri.

Pandya yang panik hanya bisa mengikuti apa yang dikatakan oleh sang paman.

Dia masuk ke dalam jalan rahasia yang ditunjukkan oleh pamannya tadi.

Pandya terus berlari dalam lorong sempit dan gelap-mengikuti jalan itu tanpa sekalipun menengok ke arah belakang.

Ruangan yang dia lewati benar-benar sangat gelap, tapi dia tetap berlari sambil meraba tembok yang ada di sebelahnya untuk menuntun jalan.

Buk!

Anak itu tersandung oleh beberapa benda. Namun, Pandya tetap berlari-sesuai perintah sang paman.

Dia tidak peduli akan kakinya yang terluka karena pergi tanpa alas kaki. Perintah pamannya untuk lari dan bertahan hidup adalah satu-satunya yang terngiang di kepalanya saat ini.

*****

BANG!

PRANG!

BUK!

Suara pertarungan di luar sana dapat terdengar oleh Pandya meski samar.

Remaja laki-laki itu sangat berharap kalau Akandra juga bisa selamat.

Bagi Pandya, sang paman merupakan satu-satunya keluarga kandung yang masih dia miliki. Ibunya telah lama meninggal dan sang ayah mengabaikannya.

Meski pria itu pemimpin padepokan yang dihormati, dia tak pernah mengurus Pandya sama sekali.

Bahkan, Pandya ragu pria itu peduli dengan keadaannya yang seringkali diserang pembunuh bayaran.

Maka dari itu, Pandya tidak mampu membayangkan bila hal buruk terjadi kepada Akandra.

Setelah berlari cukup lama, Pandya akhirnya melihat seberkas cahaya.

Langkahnya mulai sedikit melambat.

"Jalan keluar?" pikir Pandya sembari mengingat ucapan pamannya tadi.

Pandya lantas melangkah keluar dari ruangan rahasia itu.

Perlahan, kakinya berlari kembali dan masuk ke dalam hutan.

Sejujurnya, Pandya mulai ragu apakah dia dapat selamat di penyerangan kali ini. Dia sudah hampir kehabisan tenaga.

Saat-saat seperti inilah yang membuat remaja laki-laki itu sedikit membenci tubuhnya yang sangat lemah sejak lahir. Dia tidak memiliki tenaga dalam sama sekali.

Oleh sebab itu, latihan bela diri yang dilakukan bersama pamannya secara diam-diam, tidak dapat menyelamatkannya. Lawannya saja bisa mengalahkan semua prajurit yang mereka miliki.

Bruk!

Pandya tiba-tiba tersandung dan tergelincir ke bawah. Karena dia tidak melihat akar pohon yang mencuat di bawahnya.

"ARRGH!!!" Pandya berteriak saat tubuhnya terantuk beberapa batu.

Dia tetap berusaha berdiri, walaupun badannya sudah sangat sakit akibat terjatuh dari ketinggian.

"Sial... kakiku lemas," ucap Pandya saat berusaha bangun. Dia baru menyadari banyak sekali luka di kakinya.

"Kamu sudah menghabiskan waktu satu jam untuk berlari ke sini, Pangeran Pandya."

Suara asing itu sontak mengagetkan Pandya.

Dari ujung matanya, ia dapat menangkap sosok-sosok bertopeng hitam yang tidak diharapkan.

Tatapan Pandya seketika berubah serius dan tajam begitu melihat kelompok yang kemungkinan mengincar nyawanya.

"Siapa yang mengirim kalian?"

Bersambung...

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Mohd Pian
Baguss sekali lo
goodnovel comment avatar
are some
bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
yudi yana
bagus sekali
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status