"Salma, ayo kita masuk kamar!" ajak Bian pada istri keduanya."Tapi, Mas..,""Ayo," paksa Bian sambil menarik pergelangan tangan Salma.Mau tak mau, wanita itu menurut. Sesampainya didalam kamar, dia pun duduk ditepi ranjang dengan tangan terlipat didepan dada."Maksud Mbak Najwa tadi apa, Mas? Apa benar, kalau rumah ini punya dia?"Ini yang Bian takutkan. Dia takut jika Salma curiga seperti sekarang."Tentu nggak benar dong, Sayang! Rumah ini, Mas yang beli. Dia bilang seperti itu, karena awalnya Mas ngomong ke dia kalau Mas beli rumah ini hanya untuk dia.""Cih!" Salma berdecih. "Mbak Najwa sok jadi penguasa banget, sih! Aku sebel banget sama dia, Mas!" adu perempuan itu dengan suara manjanya. "Mas juga... kenapa belum mintain kamar Mbak Najwa buat aku sampai sekarang? Bete tau, nungguinnya!" rengek Salma lagi."Sabar, cinta!" rayu Bian. "Kamu lihat sendiri gimana keras kepalanya Najwa, kan? Kalau Mas pakai kekerasan buat maksa dia terus dia lapor ke polisi, gimana?"Salma terlihat
Sesampainya di Mall, Salma langsung menuju ke sebuah toko tas branded. Dia tak sabar untuk menyaingi tas branded yang dulu dibeli Najwa. Dia ingin membeli tas yang jauh lebih mahal dibanding milik kakak madunya itu."Mas, aku mau tas yang ini," ucap Salma sambil mengangkat satu tas berwarna putih gading."I-Itu mahal sekali, Sayang! Ganti yang lebih murah, ya!" kata Bian yang terkejut saat mengetahui harga dari tas branded itu."Gaji kamu kan masih ada enam juta, Mas! Berkurang tiga juga lima ratus, kan masih ada dua juta setengah. Cukuplah, buat biaya makan kita sebulan. Paling... harga keperluan dapur sebulan, berapa sih?"Bian terlihat gamang. Dia mencoba memikirkan matang-matang keputusan apa yang harus dia ambil. Haruskah dia menuruti keinginan Salma membeli tas baru atau tidak?"Mas, aku mau ini. Please...," rengek Salma sambil memeluk lengan Bian."Tapi...,""Mas!" teriak Salma yang membuat atensi pengunjung lain jadi tertuju padanya. "Jangan pelit, dong! Katanya cinta! Aku ngg
Najwa tertawa tanpa suara saat melihat ekspresi wajah madunya. Nah, baru tahu rasa, kan? Niat jadi pelakor tapi otak Salma belum begitu cerdas. Bisa-bisanya, Salma malah mengincar Bian yang tanggungannya sangat banyak dibanding penghasilannya."Mana jatahku, Mas?" tagih Neti sekali lagi."Jatah buat kamu libur dulu ya, Net!" ucap Bian pada sang adik."Loh, mana bisa begitu. Mas Bian kan sudah janji bakal terus ngasih aku jatah bulanan.""Tapi, bulan ini Mas lagi banyak pengeluaran, Net! Tolong kamu mengerti!"Neti seketika menoleh ke arah Najwa. Tatapan matanya yang tajam seolah hendak menguliti kakak ipar pertamanya itu."Pasti uang Mas Bian dikuasai kamu semua kan, Mbak? Ayo, ngaku!" tuduh Neti kesal. "Kembalikan hakku, Mbak! Dasar perempuan serakah!"Najwa mengangkat kedua tangannya seraya menggelengkan kepala dengan ekspresi wajah jenaka."Loh, kok malah jadi aku yang kena?" tanya Najwa pada semua orang. "Kakakmu bahkan sudah tak mau lagi menafkahi aku, Net! Jadi, gimana ceritanya
Ting tong!Suara bel berbunyi tak lama setelah Neti dan suaminya, Dika pulang. Najwa gegas berdiri. Berjalan sedikit tergesa untuk menemui tamu yang sudah dia tunggu-tunggu sedari tadi."Bapak!" sapa Najwa tersenyum.Diciumnya punggung tangan lelaki yang usianya dua tahun lebih tua dibanding Almarhum Ayah kandungnya itu. Namanya, Haris. Anak dari sepupu sang Kakek, yang dipercaya penuh untuk mengelola semua sawah dan perkebunan milik Kakek kandung Najwa."Apa kabar, Wa?" tanya Pak Haris tersenyum. Diusapnya kepala Najwa dengan kasih sayang sembari menatap perempuan itu dengan mata yang nampak memerah."Najwa... Alhamdulillah baik," jawab Najwa.Kepada lelaki berkumis tebal yang datang bersama Pak Haris, Najwa hanya tersenyum teduh lalu menangkupkan kedua tangan didepan dada untuk menyapa.Lelaki itu jelas bukan mahramnya. Sementara, Pak Haris tetap mahram Najwa karena lelaki itu adalah suami dari wanita yang telah menyusui Najwa selama dua tahun lamanya.Ibu kandung Najwa meninggal te
"Mas... banyak sekali," lirih Salma terpukau seraya memukul pundak Bian."Iya, Sayang! Mas juga nggak nyangka," balas Bian dengan mata berbinar."Nanti Mas rayu Mbak Najwa, ya! Minta dia bagi uangnya buat kita juga. Kan, dia masih istrinya Mas. Otomatis, uang dia ya uang kamu juga, Mas!"Bian mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari uang tiga puluh juta yang tergelatak diatas meja. Lembaran uang seratus ribuan itu terdiri dari tiga gepok yang masing-masing diikat dengan karet gelang."Kenapa harus repot-repot nganter laporan penjualan hasil gabah ke sini, Pak? Kan, Bapak atau Pak Kirno bisa telfon aku aja," ucap Najwa sambil mengembalikan buku berisi total jumlah karung dan timbangan gabah hasil panen sawahnya pada Pak Kirno."Bapak nggak terbiasa begitu, Wa! Kamu kan tahu sendiri, kalau tiap panen, Bapak selalu sama-sama Kakek kamu buat jual hasil panen kita biar semuanya transparan. Berhubung sekarang Kakek kamu sudah tidak ada, makanya Bapak ngajakin Pak Kirno ke sini supaya bis
"Mbak... selamat pagi!" sapa Salma terburu-buru ketika melihat kedatangan Najwa ke dapur."Tumben, ramah? Kena angin apa?" tanya Najwa yang sedang mengambil air minum dari dispenser.Salma tersenyum. Sebuah senyum yang Najwa tahu adalah senyum dibuat-buat. Madu beracun itu menghampiri Najwa yang seketika membuat Najwa langsung menghindar."Mbak kok gitu, sih? Aku kan cuma mau mencoba akur sama Mbak Najwa. Kenapa harus menghindar? Sebagai sesama istri dari Mas Bian, bukankah akan lebih baik jika kita bisa...,""Cukup!" pangkas Najwa cepat. "Sampai kapanpun, saya nggak akan pernah sudi untuk akur dengan wanita yang sudah merebut suami saya."Mata Salma mendelik. Andai bukan karena mengincar uang yang dimiliki Najwa, Salma juga tak sudi beramah-tamah dengan kakak madunya itu."Ada apa ini?" tanya Bian yang datang dengan sebuah kantong plastik berukuran sedang ditangannya."Nggak apa-apa, Mas! Kami cuma lagi ngobrol aja. Iya kan, Mbak?" sahut Salma sambil menyenggol lengan Najwa."Bagus k
Bian terpaku. Lebih tepatnya bengong setelah mendengar permintaan tak masuk akal dari Najwa."Bagaimana, Mas? Apa kamu bersedia?"Lelaki itu meneguk salivanya susah payah."Uangnya belum ada, Sayang!" lirih Bian dengan tampang memelas. "Kamu kan tahu sendiri, kalau gajiku hanya pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kita. Boro-boro menabung. Untuk biaya makan saja, ternyata masih kurang.""Heh, kamu baru sadar, Mas?" ejek Najwa.Bian tak membalas. Ada sedikit rasa malu yang bercokol didasar hatinya. Selama ini, dia begitu menyombongkan besaran gaji yang dia peroleh dari perusahaan. Akan tetapi, setelah tahu kebenarannya, kini dia merasa sangat malu karena sudah sesumbar dihadapan Najwa di masa lalu."Maafkan Mas yang dulu tidak pernah percaya sama kamu, Wa."Najwa membuang muka. Permintaan maaf Bian dirasa sudah percuma. Hatinya... kini terlanjur sudah beku."Jadi, solusinya bagaimana?" tanya Najwa kemudian."Solusi untuk apa?""Ya, untuk kebersihan rumah ini-lah!" jawab Najwa
Geligi Najwa mulai saling beradu. Kenapa semua kumpulan manusia-manusia ini seolah telah kehilangan urat malu mereka?"Wa... kok malah melamun? Jadi, bagaimana, Sayang? Kamu setuju kan, sama idenya Ibu?"Bian menyentuh pelan telapak tangan Najwa. Dia ikut membujuk Najwa supaya wanita itu bisa menurut seperti biasa pada dirinya dan juga sang Ibu."Tenang saja! Mas akan mengelola uang kamu dengan sebaik-baiknya, Sayang. Nggak akan Mas gunakan selain untuk keperluan rumah, biaya berobat Ibu dan juga uang belanja dan jajan buat kamu dan juga Salma.""Dasar manusia-manusia tak tahu malu!" desis Najwa sembari menyentak tangannya kasar dari genggaman Bian."Najwa...," lirih Bian tak percaya."Bicara apa kamu?" tanya Bu Jannah dengan mata melotot."Aku bilang... kalian manusia yang tidak tahu malu!" ucap Najwa mengulang perkataannya."Kamu... Kamu...," Bu Jannah kehabisan kata-kata. Hanya telunjuknya yang mengacung gemetar ke arah Najwa."Enak sekali kalian mau mengatur uangku. Memangnya, kal