"Ada apa ini, Mas Bian?" tanya salah seorang warga yang berdiri tepat didepan pintu rumah kontrakan Bian."Tolong tangkap perempuan itu, Pak! Dia sudah berzina dengan adik ipar saya sendiri. Dia juga telah mencelakai Ibu saya," pinta Bian pada Bapak-bapak tersebut."Minggir!" seru Salma panik. Dia berusaha mendorong pria paruh baya yang berdiri menghalangi pintu.Akan tetapi, dia tak lagi bisa berkutik ketika warga lain ikut datang dan menangkap dirinya yang berusaha untuk kabur."Ibu nggak apa-apa?" tanya Bian pada sang Ibu. Sigap, dia membantu sang Ibu untuk duduk kembali diatas kursi rodanya."Ibu nggak apa-apa," jawab Bu Jannah. "Kamu harus hukum perempuan jahanam itu, Nak! Gara-gara dia, kondisi Ibu jadi seperti ini."Tak berselang lama, Dika pun turut diseret paksa oleh para warga untuk keluar dari dalam kamar. Kondisi pria itu hanya mengenakan celana dalam. Wajahnya yang babak belur, tampak dia sembunyikan dibalik baju yang belum sempat ia kenakan."Mas, lebih baik mereka kita
"Ta-tapi, saya nggak ada uang sebanyak itu, Pak!" ucap Dika dengan suara gemetaran."Kalau kalian menolak membayar denda, siap-siap saja masuk penjara!" ancam Bian lagi."Mas, tega sekali kamu!" pekik Salma tak terima."Tentu saja aku tega. Manusia seperti kalian, tidak pantas untuk dihargai sama sekali.""Jadi, bagaimana keputusannya, Mas Dika? Bersedia bayar denda, atau perbuatan kalian diproses hukum saja?" tanya Kepala desa menengahi.Dika kembali tertunduk dalam. Ah, pikirannya benar-benar terasa buntu."Sayang, aku nggak mau dipenjara. Tolong, kamu bayar saja dendanya! Ya?" bujuk Salma sambil menatap Dika.Melihat cara pandang Salma pada Dika, Bian sadar betul bahwa wanita yang baru saja dia cerai itu sangat mencintai adik iparnya sendiri. Dan bodohnya, kenapa Bian baru sadar akan arti tatapan itu sekarang? Padahal, setiap kali Salma dan Dika bertemu, tatapan Salma memang selalu begitu walaupun mulutnya berpura-pura menghina Dika."Aku mau dapat uang darimana, Salma? Kan, kamu ta
Salma syok mendengar pengakuan Dika. Hatinya patah oleh perkataan yang Dika keluarkan."Nggak. Jangan jadi laki-laki brengsek kamu, Dik! Setelah semua hal yang aku kasih ke kamu, kenapa kamu malah tega giniin aku?" pekik Salma dengan amarah yang kian membuncah."Aku udah kasih semuanya loh, buat kamu! Aku bahkan selalu sisihin uang pemberian Mas Bian setiap bulannya untuk kamu. Tapi, kenapa balasan kamu malah kayak gini? Kenapa kamu malah mencintai perempuan seperti Najwa, hah? Apa hebatnya dia dibanding aku?" lanjut Salma meraung murka."Jelas, Najwa lebih segalanya dibanding kamu, Salma! Najwa itu mahal. Dapetinnya susah. Bahkan, sudah hampir sah jadi janda pun, dia tetap menjaga harga dirinya sebagai seorang wanita yang bermartabat." Dika menatap Salma sambil tersenyum sinis. "Beda sama kamu yang dari sananya udah murahan. Yang mau-maunya aja ditiduri lelaki manapun padahal sudah punya suami," lanjut Dika lagi."Diam, Dik!" hardik Salma.Sementara itu, Bian yang terlihat fokus mend
"Kenapa masih berdiri disitu? Kamu nggak dengar apa kata Ibu, ya? Minggir, Najwa!" ucap Bu Jannah ketus."Siapa yang mengizinkan Ibu dan Mas Bian masuk?""Ya, nggak ada. Kenapa juga harus minta izin? Ini kan, rumah Ibu dan Bian juga," jawab Bu Jannah."Ini rumah saya, Bu! Bukan rumah Ibu dan juga Mas Bian. Ngerti?""Walaupun rumah ini dibangun sama Kakek kamu, tapi tetap saja Ibu dan Bian juga punya hak. Bukankah, kami ini mertua dan juga suami kamu?"Hah! Najwa benar-benar merasa speechless. Ada ya, spesies langka seperti kedua manusia ini dimuka bumi?"Saya sudah menggugat cerai Mas Bian, Bu! Jadi, kami sudah tidak bisa tinggal serumah lagi.""Bian menolak gugatan perceraian itu. Jadi, tidak akan pernah ada perpisahan diantara kalian. Paham?""Biar nanti pengadilan agama saja yang menentukan, Bu!"Bu Jannah menghela napas kasar. Najwa memang sangat keras dan tegas. Persis, seperti deskripsi Bian saat hendak berangkat tadi."Kata talak itu, adanya pada suami. Jadi, hakim pengadilan ag
"Mereka udah pada pergi, Bi?" tanya Najwa saat Bi Iroh kembali masuk ke dalam."Alhamdulillah, sudah, Mbak. Tadi, udah ta' usir," jawab Bi Iroh dengan bangganya."Bagus, kalau begitu. Terimakasih banyak, ya, Bi. Besok-besok, kalau mereka datang lagi pas saya nggak ada, langsung usir aja. Nggak usah dikasih hati.""Baik, Mbak," angguk Bi Iroh patuh. "Tapi, Mbak... memangnya, mereka siapa?"Najwa menghela napas panjang. "Mereka calon mantan suami dan mertua saya, Bi.""Oh, gitu," Bi Iroh manggut-manggut. "Wajar sih, kalau Mbak Najwa ngusir mereka. Wong, mulut mereka berdua pada kayak mercon kalau lagi ngomong. Kayak manusia yang nggak pernah diajari sopan-santun. Terutama, Ibu mertua Mbak Najwa itu, tuh! Sudah duduk di kursi roda begitu, tapi masih aja, mulutnya nggak bisa disaring kalau lagi ngomong.""Mereka memang kayak gitu, Bi. Makanya, saya memutuskan untuk terlepas dari mereka.""Harus itu, Mbak! Sebagai wanita yang mandiri, seharusnya Mbak Najwa nggak perlu tuh, miara benalu kay
Pagi-pagi sekali, Najwa sudah siap untuk berangkat ke pengadilan agama. Hari ini merupakan agenda sidang kedua perceraian antara dirinya dan juga Bian.Diparkiran pengadilan agama, Najwa kembali bertemu dengan Bian. Namun, kali ini lelaki itu tak sendiri. Dia terlihat membawa serta sang Ibu bersamanya."Najwa!" panggil Bian seraya mendorong kursi roda sang Ibu mendekati Najwa."Ada apa?" tanya Najwa datar. Dia melipat kedua tangannya didepan dada, sembari berdiri dengan tegak disamping mobil gagahnya."Mobil siapa ini? Apa mobil kamu, Wa?" celetuk Bu Jannah dengan tatapan berbinar-binar."Alhamdulillah, Bu," sahut Najwa. "Ini memang mobil saya.""Bagus sekali. Pasti, menyenangkan kalau mobil ini kita bawa jalan-jalan ke rumah saudara kita, Bian." Bu Jannah mendongak menatap putranya. "Mereka pasti akan sangat menghargai kita dan memuji-muji kamu."Bian nyengir. Merasa agak malu gara-gara perkataan sang Ibu. Sementara, Najwa tampak melongo. Dia tak menyangka, Bu Jannah akan berucap sep
Stok sabar Najwa sepertinya sudah hampir habis dalam menghadapi kelakuan ajaib calon mantan suaminya. Namun, dia tetap merasa puas melihat Bian yang kini terlihat begitu menyedihkan.Keangkuhan pria itu telah tumbang. Kini, yang tersisa hanya reruntuhan kesombongan yang berusaha dia bangkitkan kembali namun sudah terlalu sulit.Nyatanya, pilihan untuk mendua bukannya membawa sejahtera namun justru memberi sengsara. Menyesal pun juga percuma. Semua sudah terlanjur terjadi dan tak bisa ditarik kembali.*"Hari ini kamu temenin kakak ke acara ulangtahun Deva, ya!" ajak Halimah begitu semua pekerjaan telah rampung diselesaikan."Deva?" Najwa mengangkat kedua alisnya. Merasa tak asing dengan nama itu namun dia lupa pernah mendengarnya dimana."Masa' kamu lupa, sih? Itu loh, sepupu kakak yang tinggalnya di Singapura.""Maksud Kakak, sepupu yang dulu sempat kuliah di universitas kita tapi malah di DO?" ceplos Najwa yang seketika menutup rapat mulutnya."Iya," angguk Halimah. "Kamu masih inga
"Pernah tahu soal kamu," jawab Deva dengan cepat sambil melotot ke arah Halimah."Oh ya?""I-iya," angguk Deva kaku. "Kamu kan salah satu mahasiswi paling berprestasi di universitas kita dulu. Wajar, kalau hampir semua mahasiswa termasuk aku kenal kamu."Najwa mengangguk paham. Dulu, dirinya memang cukup terkenal ditempatnya menimba ilmu. Bahkan, beberapa lawan jenis termasuk senior-senior di kampus, sempat ada yang mengutarakan perasaan padanya namun ditolak.Salah satunya, sahabat dekat Deva waktu itu."Oh iya, kado aku mana, Kak?" tagih Deva pada Halimah. Dia sebenarnya hanya mengalihkan pembicaraan.Seketika, alis Halimah berkerut."Kado? Tumben, kamu nanyain kado?""Emangnya, salah?" tanya Deva balik. "Aku kan memang lagi ulangtahun. Wajar dong, kalau aku minta kado.""Yah, tapi Kakak lupa bawa, Dev. Gimana, dong?"Deva berdecak. Wajah tampannya terlihat masam."Jadi, Kak Halimah ke sini, murni cuma mau numpang makan doang?"Uhuk!!!Lagi-lagi, Najwa tersedak. Namun, kali ini buka