Share

3. Kesan pertama

Flashback.

"Hadi, jadi perempuan ini yang mau kamu jadikan istri? Apa kamu nggak salah pilih perempuan? Apa nggak ada perempuan lain selain dia? Bapak kamu pensiunan seorang guru. Kamu dan adikmu juga berprofesi sebagai tenaga pendidik. Ibu dan bapak juga sudah menyekolahkan kalian sampai perguruan tinggi. Tapi apa? Kamu mau bikin malu keluarga dengan memperistri perempuan yang cuma pendidikannya tamatan SMA. Mana kerjanya cuma jadi buruh pabrik." Samar-samar aku mendengar ibu mertua yang ketika itu masih menjadi calon mertua karena aku dan mas Hadi memang belum menikah. Saat itu ada kali pertamanya aku diajak dan diperkenalkan pada keluarga calon suamiku tentu saja aku sangat senang karena sebagai seorang perempuan dengan usia sudah di atas dua puluhan pasti sedikit menjadi beban karena omongan tetangga

Hari Minggu aku libur kerja dan waktu itulah yang dijadikan kesempatan untuk mas Hadi memperkenalkan aku pada ibunya karena bapaknya sudah tiada karena sakit.

Aku tidak bermaksud menguping pembicaraan orang, tapi karena rumah yang keluarga suamiku itu tidak besar dan juga atap langit-langitnya belum dipasang plafon maka percakapan yang mereka bicarakan sedikit bisa aku dengar dengan cukup jelas.

Bagaimana perasaanku saat itu? Tentu saja ada rasa sakit yang menghampiri karena ucapan perempuan tersebut.

"Tapi Hadi sudah jatuh hati dan cocok dengan Amira."

"Cocok saja nggak cukup, Hadi. Nggak akan mempertahankan nama baik keluarga kita."

Suara ibu mas Hadi masih terdengar angkuh. Perempuan yang sudah berumur itu rupanya memendam orang lain dari status dan pendidikannya. Pikirku.

"Terus ibu maunya yang seperti apa?"

"Ibu masih berharap dengan si Yuni. Anaknya si Ida yang jadi bidan itu."

Oh, rupanya ia sudah menaruh harapan pada perempuan lain untuk putranya itu.

"Tapi Hadi gak suka, Bu. Apa ibu lupa rumor yang mengatakan jika si Yuni itu ada main belakang sama suami orang."

Mas Hadi masih berusaha untuk menyanggah ibunya.

"Itu kan cuma gosip. Kita belum tahu kebenarannya. Kalau kamu mau dan jadi sama si Yuni pasti hidup kamu akan enak. Belum lagi kalau kamu sudah diangkat menjadi pegawai negeri pasti kalau gaji kalian disatukan kalian akan hidup makmur. Orang tua Yuni juga orang berada. Bapaknya saja juragan sawah dan tebu."

"Tapi Hadi benar nggak suka dan nggak punya perasaan sama si Yuni."

Dari yang aku dengar dari mulut mas Hadi. Yuni adalah teman sepermainan sekaligus teman sedari mereka sekolah di sekolah dasar. Ibu di Yuni juga merupakan teman sekolah ibunya mas Hadi.

"Kamu itu ngeyel dan keras kepala. Punya istri cuma buruh pabrik apa yang bisa dibanggakan. Statusnya saja sudah terdengar ... ah, sudahlah. Pokoknya ibu mau kamu cari istri yang punya status dan pekerjaan yang bagus dan bisa dibanggakan. Setidaknya seperti di Wahyu yang kenal dengan Manda teman sesama gurunya. Kamu mau bikin beda sendiri."

Suara ketus itu tiba-tiba tidak terdengar lagi dan tidak berapa lama mas Hadi pun muncul menemui aku yang sedari tadi duduk sendirian.

"Ada apa, Mas?" Aku pura-pura bertanya.

"Nggak ada apa-apa," jawab mas Hadi namun rona diwajahnya sangat berbeda.

"Oh ... aku kira ada apa tadi antara mas sama ibu. Ngomong-ngomong ibu kemana, Mas?" Aku tentu saja berpura-pura tidak tahu tentang apa yang sudah ia bicarakan dengan ibunya itu. Setelahnya aku bertanya perihal keberadaan dari ibunya itu. Nampak rona kembali seperti ada rasa kesetiakawanan yang coba ia sembunyikan.

"Ibu tadi bilang agak pusing kepalanya. Maklum faktor usia pasti berpengaruh juga dengan kesehatan." Aku mengangguk berpura-pura menerima alasan yang ia berikan itu. Aku tahu jika ibunya sengaja mengabaikan keberadaanku karena ketidak sukaan nya kepada ku.

"Iya, Mas, semoga ibu lekas baikan," ucapku pura-pura peduli toh sebenarnya juga ibunya itu tidak ada masalah dengan kesehatannya.

"Mas, aku pulang saja. Kamu mending tungguin ibu kamu biar lekas baikan." Aku buru-buru berpamitan toh keberadaan ku memang tidak diharapkan. Aku juga tidak terlalu nyaman dengan suasana di rumah ini. Bukan karena bangunannya melainkan karena penghuninya.

**

Usai kejadian waktu itu, aku sama sekali tidak lagi menghubungi nomer mas Hadi bahkan sekedar untuk menanyakan kabarnya. Aku sengaja menghindar dari pada terlalu jauh dan ujung-ujungnya sakit yang aku dapatkan.

Hampir satu bulan usai kejadian di mana aku dibawa mas Hadi untuk diperkenalkan pada ibunya. Kali ini, pria itu kembali menghubungi aku usai satu bulan kami saling mendiamkan. Mungkin dia merenungi ucapan dari ibunya itu. Bisa jadi saat ini dia sudah bersama dengan perempuan pilihan dari ibunya dan sengaja mengabari aku untuk memastikan status hubungan kami selanjutnya. Mungkin dia sengaja berkabar untuk mengakhiri hubungan ini.

[Mira malam ini aku mau ke rumah]

Pesan pertama yang ia kirimkan segera aku buka dan membacanya. Kebetulan sekali hari ini tidak ada over time jadi seperti biasa, jika hari Sabtu kami kerja hanya setengah hari.

[Ada urusan atau keperluan apa?]

Segera aku balas dengan pertanyaan yang mengarah pada maksud kedatangannya ke rumahku.

[Penting. Nanti kamu akan tahu sendiri]

Aku hanya membaca pesan tersebut dan tidak ada niatan untuk membalasnya.

Aku baru saja sampai di rumah dan kebetulan di rumah juga sepi entah kemana perginya ibu. Seperti biasa. Jika beliau keluar rumah pasti akan meninggalkan kunci di tempat biasanya. Jadi aku tidak perlu bingung untuk mencari keberadaan ibuku agar bisa masuk ke dalam rumah.

Usai magrib terdengar deru mesin motor kendaraan roda dua. Aku baru saja merapikan peralatan salat yang baru saja aku pakai.

"Mira, ada tamu." Ibu muncul dari balik pintu yang memang tidak aku tutup dengan sempurna.

"Siapa, Bu?"

"Si Hadi. Ya sudah cepat kamu temui sana. Ibu mau pergi ke acara pengajian di RT sebelah," pamit ibu usai memberi tahu perihal kedatangan mas Hadi.

Aku segera menuju ke teras, di mana pria tersebut tengah duduk di atas kursi yang sengaja kami letakkan di depan sana. Nampak asap mengepul dari rokok yang ia hisap. Satu kebiasaannya yang paling kurang aku sukai. Boros dan tentunya pasti akan menganggu kesehatannya, mungkin tidak saat ini melainkan kedepannya nanti.

"Sudah lama, Mas," sapa ku basa-basi dan tentu saja mengagetkannya.

"Maaf, kamu pasti terkejut," ucapku meminta maaf karena sudah membuatnya terkejut.

"Iya nggak apa-apa, Mir. Aku baru saja sampai mungkin sepuluh menitan."

"Ada keperluan apa?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Ibu ingin bertemu kamu. Aku mau ngajak kamu ke rumah malam ini juga. Di rumah juga sudah ada Wahyu dan Manda yang menunggu kita untuk makan malam." Apa aku tidak salah dengar. Makan malam? Tiba-tiba saja mereka mengajak aku makan malam.

"Kamu yakin?"

"Kenapa kamu ragu?"

"Ya ... nggak apa-apa. Tapi aku belum pamit ibu. Ibu ada acara pengajian di RT sebelah." Aku mencoba beralasan.

"Tadi aku sudah pamit dan ibumu juga mengizinkan dengan syarat tidak pulang terlalu malam."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status