Flashback.
"Hadi, jadi perempuan ini yang mau kamu jadikan istri? Apa kamu nggak salah pilih perempuan? Apa nggak ada perempuan lain selain dia? Bapak kamu pensiunan seorang guru. Kamu dan adikmu juga berprofesi sebagai tenaga pendidik. Ibu dan bapak juga sudah menyekolahkan kalian sampai perguruan tinggi. Tapi apa? Kamu mau bikin malu keluarga dengan memperistri perempuan yang cuma pendidikannya tamatan SMA. Mana kerjanya cuma jadi buruh pabrik." Samar-samar aku mendengar ibu mertua yang ketika itu masih menjadi calon mertua karena aku dan mas Hadi memang belum menikah. Saat itu ada kali pertamanya aku diajak dan diperkenalkan pada keluarga calon suamiku tentu saja aku sangat senang karena sebagai seorang perempuan dengan usia sudah di atas dua puluhan pasti sedikit menjadi beban karena omongan tetanggaHari Minggu aku libur kerja dan waktu itulah yang dijadikan kesempatan untuk mas Hadi memperkenalkan aku pada ibunya karena bapaknya sudah tiada karena sakit.Aku tidak bermaksud menguping pembicaraan orang, tapi karena rumah yang keluarga suamiku itu tidak besar dan juga atap langit-langitnya belum dipasang plafon maka percakapan yang mereka bicarakan sedikit bisa aku dengar dengan cukup jelas.Bagaimana perasaanku saat itu? Tentu saja ada rasa sakit yang menghampiri karena ucapan perempuan tersebut."Tapi Hadi sudah jatuh hati dan cocok dengan Amira.""Cocok saja nggak cukup, Hadi. Nggak akan mempertahankan nama baik keluarga kita."Suara ibu mas Hadi masih terdengar angkuh. Perempuan yang sudah berumur itu rupanya memendam orang lain dari status dan pendidikannya. Pikirku."Terus ibu maunya yang seperti apa?""Ibu masih berharap dengan si Yuni. Anaknya si Ida yang jadi bidan itu."Oh, rupanya ia sudah menaruh harapan pada perempuan lain untuk putranya itu."Tapi Hadi gak suka, Bu. Apa ibu lupa rumor yang mengatakan jika si Yuni itu ada main belakang sama suami orang."Mas Hadi masih berusaha untuk menyanggah ibunya."Itu kan cuma gosip. Kita belum tahu kebenarannya. Kalau kamu mau dan jadi sama si Yuni pasti hidup kamu akan enak. Belum lagi kalau kamu sudah diangkat menjadi pegawai negeri pasti kalau gaji kalian disatukan kalian akan hidup makmur. Orang tua Yuni juga orang berada. Bapaknya saja juragan sawah dan tebu.""Tapi Hadi benar nggak suka dan nggak punya perasaan sama si Yuni."Dari yang aku dengar dari mulut mas Hadi. Yuni adalah teman sepermainan sekaligus teman sedari mereka sekolah di sekolah dasar. Ibu di Yuni juga merupakan teman sekolah ibunya mas Hadi."Kamu itu ngeyel dan keras kepala. Punya istri cuma buruh pabrik apa yang bisa dibanggakan. Statusnya saja sudah terdengar ... ah, sudahlah. Pokoknya ibu mau kamu cari istri yang punya status dan pekerjaan yang bagus dan bisa dibanggakan. Setidaknya seperti di Wahyu yang kenal dengan Manda teman sesama gurunya. Kamu mau bikin beda sendiri." Suara ketus itu tiba-tiba tidak terdengar lagi dan tidak berapa lama mas Hadi pun muncul menemui aku yang sedari tadi duduk sendirian."Ada apa, Mas?" Aku pura-pura bertanya."Nggak ada apa-apa," jawab mas Hadi namun rona diwajahnya sangat berbeda."Oh ... aku kira ada apa tadi antara mas sama ibu. Ngomong-ngomong ibu kemana, Mas?" Aku tentu saja berpura-pura tidak tahu tentang apa yang sudah ia bicarakan dengan ibunya itu. Setelahnya aku bertanya perihal keberadaan dari ibunya itu. Nampak rona kembali seperti ada rasa kesetiakawanan yang coba ia sembunyikan."Ibu tadi bilang agak pusing kepalanya. Maklum faktor usia pasti berpengaruh juga dengan kesehatan." Aku mengangguk berpura-pura menerima alasan yang ia berikan itu. Aku tahu jika ibunya sengaja mengabaikan keberadaanku karena ketidak sukaan nya kepada ku."Iya, Mas, semoga ibu lekas baikan," ucapku pura-pura peduli toh sebenarnya juga ibunya itu tidak ada masalah dengan kesehatannya."Mas, aku pulang saja. Kamu mending tungguin ibu kamu biar lekas baikan." Aku buru-buru berpamitan toh keberadaan ku memang tidak diharapkan. Aku juga tidak terlalu nyaman dengan suasana di rumah ini. Bukan karena bangunannya melainkan karena penghuninya.**Usai kejadian waktu itu, aku sama sekali tidak lagi menghubungi nomer mas Hadi bahkan sekedar untuk menanyakan kabarnya. Aku sengaja menghindar dari pada terlalu jauh dan ujung-ujungnya sakit yang aku dapatkan.Hampir satu bulan usai kejadian di mana aku dibawa mas Hadi untuk diperkenalkan pada ibunya. Kali ini, pria itu kembali menghubungi aku usai satu bulan kami saling mendiamkan. Mungkin dia merenungi ucapan dari ibunya itu. Bisa jadi saat ini dia sudah bersama dengan perempuan pilihan dari ibunya dan sengaja mengabari aku untuk memastikan status hubungan kami selanjutnya. Mungkin dia sengaja berkabar untuk mengakhiri hubungan ini.[Mira malam ini aku mau ke rumah]Pesan pertama yang ia kirimkan segera aku buka dan membacanya. Kebetulan sekali hari ini tidak ada over time jadi seperti biasa, jika hari Sabtu kami kerja hanya setengah hari.[Ada urusan atau keperluan apa?]Segera aku balas dengan pertanyaan yang mengarah pada maksud kedatangannya ke rumahku.[Penting. Nanti kamu akan tahu sendiri]Aku hanya membaca pesan tersebut dan tidak ada niatan untuk membalasnya.Aku baru saja sampai di rumah dan kebetulan di rumah juga sepi entah kemana perginya ibu. Seperti biasa. Jika beliau keluar rumah pasti akan meninggalkan kunci di tempat biasanya. Jadi aku tidak perlu bingung untuk mencari keberadaan ibuku agar bisa masuk ke dalam rumah.Usai magrib terdengar deru mesin motor kendaraan roda dua. Aku baru saja merapikan peralatan salat yang baru saja aku pakai."Mira, ada tamu." Ibu muncul dari balik pintu yang memang tidak aku tutup dengan sempurna."Siapa, Bu?""Si Hadi. Ya sudah cepat kamu temui sana. Ibu mau pergi ke acara pengajian di RT sebelah," pamit ibu usai memberi tahu perihal kedatangan mas Hadi.Aku segera menuju ke teras, di mana pria tersebut tengah duduk di atas kursi yang sengaja kami letakkan di depan sana. Nampak asap mengepul dari rokok yang ia hisap. Satu kebiasaannya yang paling kurang aku sukai. Boros dan tentunya pasti akan menganggu kesehatannya, mungkin tidak saat ini melainkan kedepannya nanti."Sudah lama, Mas," sapa ku basa-basi dan tentu saja mengagetkannya."Maaf, kamu pasti terkejut," ucapku meminta maaf karena sudah membuatnya terkejut."Iya nggak apa-apa, Mir. Aku baru saja sampai mungkin sepuluh menitan.""Ada keperluan apa?" tanyaku tanpa basa-basi."Ibu ingin bertemu kamu. Aku mau ngajak kamu ke rumah malam ini juga. Di rumah juga sudah ada Wahyu dan Manda yang menunggu kita untuk makan malam." Apa aku tidak salah dengar. Makan malam? Tiba-tiba saja mereka mengajak aku makan malam."Kamu yakin?""Kenapa kamu ragu?""Ya ... nggak apa-apa. Tapi aku belum pamit ibu. Ibu ada acara pengajian di RT sebelah." Aku mencoba beralasan."Tadi aku sudah pamit dan ibumu juga mengizinkan dengan syarat tidak pulang terlalu malam."Setelah kurang lebih menempuh perjalanan selama lima belas menitan. Aku dan mas Hadi akhirnya sampai di depan rumahnya. Oh iya, tidak lupa saat ditengah perjalanan tadi aku meminta mas Hadi berhenti untuk membeli oleh-oleh untuk dibawa kerumahnya. Kata mas Hadi martabak telur adalah salah satu makanan favorit ibunya. Tak lupa aku belikan beliau yang spesial. Bukan berniat untuk menyogoknya agar memberikan restunya melainkan untuk memberikan bukti jika aku yang seorang buruh pabrik ini tidak akan bersandar dan bergantung hidup pada putranya yang masih berstatuskan sebagai pengajar honorer."Assalamualaikum." Aku dan mas Hadi bersama-sama mengucap salam. Terdengar suara candaan dari dalam mungkin itu suara ibu mas Hadi dan juga Amanda yang katanya adalah calon dari adik mas Hadi. Ada yang terasa ter-cubit di dalam sini. Bagaimana tidak, kedatangan ku disambutnya dengan raut masam dan tidak bersahabat sedangkan calon menantu yang lain disambutnya dengan penuh suka cita dan sepenuh hati.
Iya, Satu bulan setelah pertemuan ku dengan keluarga mas Hadi dan kami makan malam bersama. Akhirnya mas Hadi dan juga keluarganya datang ke rumah orang tuaku dengan maksud untuk meminta ku pada ibuku untuk di jadikan menantu di rumah mereka. Seperti angin segar. Akhirnya hubungan kami mendapatkan restu dari ibunya.Tidak berselang lama, tepatnya dua bulan setelahnya pesta pernikahan kami digelar. Akhirnya hubunganku dan mas Hadi di persatuan dalam ikatan suci yang namanya pernikahan. Pernikahan kami tidak dirayakan secara meriah, hanya di rumahku saja pesta kami tersebut digelar. Alasan tidak di selenggarakannya pesta kami di rumah mas Hadi adalah dengan alasan uang yang bisa dipergunakan untuk kebutuhan kedepannya kami. Di sisi lain itu juga ada alasan lain yang diungkapkan oleh ibu mertuaku yakni karena dua bulan setelah pernikahan kami. Ibu mertua juga akan menggelar pernikahan dari putra bungsunya.Aku segera diboyong mas Hadi untuk tinggal bersama dengan ibunya. Sempat aku meno
Pesta pernikahan Wahyu dan Amanda dilangsungkan secara meriah, lebih ke arah mewah karena dari sepengetahuan yang terlihat oleh mataku. Rumah orang tua Manda berada di gang sempit dan sangat berbeda jauh dengan omongan yang pernah diucapkan oleh mulut ibu mertuaku.Masih aku ingat ibu mertua yang meninggi-ninggikan menantu satunya itu. Tidak ada satu pun dari perkataannya tersebut sepadan dengan kenyataan di depan mata. Orang terpandang, berpendidikan? Kedatangan keluarga ibu mertua saja tidak disambut dengan ramah oleh keluarga besannya. Dan yang paling membuat aku malu adalah ketika para tetangga kami yang juga ikut diajak oleh ibu mertua untuk mengiring pengantin adik dari mas Hadi."Katanya orang kaya, tapi suguhan cuma air mineral.""Pelaminan si mewah, tapi kok nggak sesuai dengan suguhannya.""Yang aku dengar katanya Bu Tuti ikut nyumbang puluhan juta, loh.""Masa iya, sih?" "Iya, aku dengar dari saudara aku yang rumahnya dua rumah sebelah kanan dasi rumah ini. Dia tuh tewang
Terpaksa aku kembali mengeluarkan uang pribadiku demi memberi makan suami dan ibu mertuaku. Andai saja mereka memang benar-benar tidak mampu dan memang benar membutuhkan bantuan dariku. Tentu saja aku akan dengan setulus hati melayani mereka. Tapi fakta yang ada justru sebaliknya. Ibu mertua terlalu memaksakan kehendaknya demi kepentingan pribadinya dan mengorbankan aku di posisi ini. Mas Hadi? Aku masih belum bisa percaya jika wujud asli suamiku adalah seperti ini. Jauh dari prediksiku, yang ku sangka memperjuangkan aku demi memperjuangkan cinta kami nyatanya itu hanya manis di muka dan di mulut saja. Mungkin sekarang dia sudah lupa dengan janjinya itu. Atau mungkin ada alasan lain kenapa suamiku seperti ini. Mungkin itu karena ibunya dan bisa saja karena ibu mertua sepertinya memang tidak rela anaknya beristrikan perempuan seperti aku ini."Bawa apa kamu itu, Mir?" sambut ibu mertua di depan pintu saat aku baru saja pulang dari toko. Di tempat kami biasanya kalau siang hari memang k
Pukul sembilan malam, terdengar suara pintu rumah terdengar setelah sebelumnya deru mesin motor terdengar semakin mendekat ke arah rumah ini.Iya, Mas Hadi dan ibunya baru saja pulang dari rumah besannya. Terlalu berharap mendapatkan bagian uang kondangan sepertinya. Mungkin karena sudah keluar uang banyak. Sudah menyumbang banyak pada besannya yang aku tidak ketahui dari mana asal yang tersebut.Aku tidak berniat membuka pintu untuk mereka, toh mereka juga membawa kunci cadangannya.Sehabis ashar hingga jam segini mereka baru pulang.Siang tadi aku benar-benar tidak masak untuk mereka. Aku sengaja mendiamkan keduanya, berharap mereka menyadari kesalahannya. Tapi aku salah, justru mereka ikut pula mendiamkan aku.Sesaat setelah mereka pergi. Aku keluar kamar dan ingin melihat kondisi di dapur. Benar, ternyata ibu mertua sudah masak nasi dan ada bekas kulit telur, sepertinya mereka cuma bikin telur goreng dua biji.Aku tidak menunggu lama. Segera aku menghubungi mbak Siti berniat menga
"Mir, kenapa pulang telat, kamu? Sengaja biar nggak beres-beres rumah?" Kedatanganku disambut oleh ibu mertua dengan muka ketus dan omelan yang tentunya pasti panas di telinga ini.Iya, hari ini aku pulang lebih telat karena ada lembur dadakan. Tidak mungkin aku sebagai pengawas harus absen. Sementara kinerja para pegawai yang ada dalam naunganku butuh untuk diawasi."Tadi ada lembur, Bu," jawabku singkat.""Alah, kamu pasti alasan. Biasanya juga pulang lebih awal. Pasti ini kamu sengaja kan?""Bu, ada apa sih? Kok kayak orang ribut saja." Mas Hadi muncul dari dalam."Itu istri kamu. Sudah tahu iparnya mau pulang malah dia sengaja pulang telat biar nggak beres-beres dan nyiapin makanan untuk kita makan nanti.""Mira memang lembur, Bu. Tadi siang Mira juga sudah kasih kabar ke Hadi.""Alah, kamu ini. Ngapain juga kamu bela-belain istri yang nggak becus. Pasti dia cuma alasan saja.""Sudahlah, Bu. Urusan beres-beres kan Wahyu dan istrinya bisa kerjain sendiri. Itu bukan kewajibannya si
Mas, aku ingin kita bisa segera pindah dari sini. Aku tidak masalah sama ibu meskipun itu tidak pernah suka dengan kehadiranku menjadi pendamping kamu. Tapi aku tidak bisa terus menahan sakit hati karena istri dari adik kamu itu." Aku memberanikan diri untuk mengungkapkan keluh kesahku pada suami.Saat ini kami sedang ada di dalam kamar yang kami tempati. Mas Hadi segera berbalik ke arahku karena sebelumnya ia disibukkan dengan pekerjaannya yang ia bawa pulang."Tapi kita mau tinggal di mana? Rumah orang tua kamu juga masih ada yang ngontrak.""Iya, itu kita cari bersama nanti. Pokoknya aku ingin kita bisa hidup mandiri, Mas. Toh kalau kita pergi dari rumah ini masih ada adik kamu yang akan menemani ibu."Suamiku nampak terdiam sejenak."Aku juga mau menghubungi orang yang sekarang masih menempati rumah ibu. Apakah mereka masih mau nambah waktu atau diselesaikan satu tahun ini. Kurang tiga bulan lagi masa kontrak mereka dengan kita.""Kamu pikir-pikir saja dulu. Tidak baik mengambil
Loh, Mas kemana tv nya dipindah ke luar? Siapa yang sudah lancang pindahin barang orang? Kenapa tidak izin dulu sama aku?" Baru pulang kerja aku sudah dibuat naik pitam. Bagaimana tidak? Tv yang aku beli dari hasil ku bekerja. Yang aku letakkan di kamar kami tiba-tiba sudah berpindah tempat. Mas Hadi nampak salah tingkah."Ibu yang minta Hadi pindah keluar. Lagian tv yang kecil itu diminta sama Manda," sahut ibu mertua yang baru saja keluar dari kamarnya."Lagian kamu ini kenapa sih, tv saja pakai disimpan dalam kamar. Kalau ditaruh di sana mana ada orang yang tahu." Alasan yang sangat tidak masuk akal. Tukang pamer tapi yang dipamerkan barang milik orang lain. Agak lain memang ibu dari suamiku ini."Ibu mau pamer? Lagian itu kan tv punya Mira. Niat Mira beli juga bukan untuk pamer. Ibu juga jangan mentang-mentang di rumah ibu jadi barang yang aku beli ibu anggap sebagai punya ibu. Mira juga punya niat ingin cepat keluar dari rumah ini. Sudah cukup Mira menderita karena tinggal di rum