Terpaksa aku kembali mengeluarkan uang pribadiku demi memberi makan suami dan ibu mertuaku. Andai saja mereka memang benar-benar tidak mampu dan memang benar membutuhkan bantuan dariku. Tentu saja aku akan dengan setulus hati melayani mereka. Tapi fakta yang ada justru sebaliknya. Ibu mertua terlalu memaksakan kehendaknya demi kepentingan pribadinya dan mengorbankan aku di posisi ini. Mas Hadi? Aku masih belum bisa percaya jika wujud asli suamiku adalah seperti ini. Jauh dari prediksiku, yang ku sangka memperjuangkan aku demi memperjuangkan cinta kami nyatanya itu hanya manis di muka dan di mulut saja. Mungkin sekarang dia sudah lupa dengan janjinya itu. Atau mungkin ada alasan lain kenapa suamiku seperti ini. Mungkin itu karena ibunya dan bisa saja karena ibu mertua sepertinya memang tidak rela anaknya beristrikan perempuan seperti aku ini.
"Bawa apa kamu itu, Mir?" sambut ibu mertua di depan pintu saat aku baru saja pulang dari toko. Di tempat kami biasanya kalau siang hari memang kebanyakan tutup. Untung saja karena kenal, pemilik toko tersebut mau melayani aku yang ingin membeli barang di tempatnya.*"Mir, kok siang-siang gini belanja. Memangnya tadi tidak dibawakan apa-apa dari sana?" tanya mbak Mega pemilik toko tempat aku biasa belanja kebutuhan dapur sekaligus orang yang memiliki saudara yang bertetangga dengan besan ibu mertuaku."Nggak ada, Mbak. Makanya ini belanja orang rumah sudah pada kelaparan." Bukan maksud mengumbar air keluarga. Tapi ini memang kenyataannya."Haduuh ... dasar pelit memang besan mertuamu itu. Masa iya pengiring pengantin saja tadi banyak loh yang gak kebagian lauk. Katanya prasmanan? Prasmanan apa? Besar sekali itu omongan ibu mertua kamu. Dari dulu kalau bicara tidak ada yang bisa mengalahkan dan memang tidak mau kalah. Kamu jangan kaget. Kita yang sudah lama di sini sih sudah tidak heran sama mertua kamu, Bu Tuti yang kalau ngomong tingginya selangit.Sering banget loh, Mir, ibu mertua kamu ngomongin kamu di warung sini. Ya kesini belanja dulu sebelum ada kamu. Eh pas sekarang kamu sudah jadi menantunya. Kamu yang disuruh belanja. Ini pakai uang kamu apa uang si Hadi?" tanya mbak Mega yang terlalu langsung pada poinnya. Aku hanya tersenyum tidak menjawab."Aku tahu. Pasti itu uang kamu. Aku sudah tahu watak manusia mertua kamu. Paling uangnya si Hadi masih dikuasai sana Ibunya. Ah, dasar suamimu itu cemen, nggak bisa tegas. Padahal dia itu guru loh. Dasar otaknya sudah dicuci sama emaknya. Kamu kalau ada masalah bisa cerita-cerita sama aku. Aku jamin aman. Aku memang suka gosip. Tapi aku tidak mau menjual rahasia orang." Aku yakin mbak Mega memang orang baik. Tapi untuk cerita perihal rumah tangga, itu tidak akan mungkin aku lakukan. Mungkin aku hanya akan minta saran nanti, kalau memang perlu.."Mira, cuma beli beras dan telur." Aku menunjukkan kantong plastik yang aku bawa."Cuma beli telur? Kamu nggak beli yang lainnya? Sayur atau ikan atau apa lah? Masa cuma makan nasi sama telur saja." Telinga ku panas mendengar ocehan perempuan tua yang tidak tahu bersyukur dan terimakasih ini."Bu, uang Mira cukup buat beli ini. Mira juga perlu nabung untuk masa depan. Masa iya mau numpang terus. Ibu juga pernah ngingetin kalau ini bakal jadi rumahnya si Wahyu kan? Maka dari itu Mira sedari sekarang harus mulai mempersiapkan. Kalau bukan Mira siapa lagi? Mas Hadi? Bukannya seluruh uang mas Hadi ibu yang pegang. Demi di Wahyu hak Mira ibu rampas."Plak!Seketika rasa panas menjalar di pipiku."Kamu jangan lancang kalau ngomong. Wajar aku sebagai ibu berhak mengatur uang anakku. Aku tidak akan pernah percaya sama perempuan tidak berpendidikan seperti kamu untuk memegang uang milik anakku.""Bu, apa yang ibu lakukan." Mas Hadi tiba-tiba sudah berada di antara kami. Mungkin dia juga sudah melihat apa yang sudah dilakukan oleh Ibunya itu."Perempuan tidak tahu diri yang kamu pungut jadi istri sudah mulai berani dan ngelunjak.""Mira apa yang sudah kamu lakukan sampai ibu menjadi marah?""Tanya sendiri sama ibu kamu. Apa pernah aku ada benarnya di matanya, Mas. Apa pun yang aku lakukan salah di mata ibu kamu. Mana janjimu yang ingin memperjuangkan hubungan kita. Yang ada aku jadi tumbal di rumah ini. Demi adik kamu. Aku yang harus mengalah. Kamu seorang sarjana. Pria berpendidikan tetapi kamu tidak tahu mana yang kewajiban kamu sebagai seorang suami dan juga memisahkan antara hak istri kamu dan juga ibu kamu.""Kamu dengar sendiri kan mulut lancang istri yang tidak berpendidikan yang sudah kamu pilih ini.""Bu aku sadar. Aku bukan perempuan berpendidikan seperti yang ibu harapkan. Tapi dari perempuan tidak berpendidikan ini selama beberapa bulan ini kalian bisa makan kenyang.Kamu, Mas. Kamu terus menuruti kemauan ibu kamu tanpa kamu melihat apa itu baik atau tidak. Apa itu tidak menjatuhkan kamu zalim sama istri kamu. Aku sabar, Mas. Sabar menghadapi mulut pedas ini yang tidak pernah menghargai aku. Yang selalu membandingkan aku dengan Manda. Ibumu selalu menyanjung menantunya itu. Tapi apa? Kalian dari rumah orang tua Manda saja tidak dihargai dan tidak dianggap. Pulang dari pesta yang kalian sudah keluarkan uang banyak untuk itu tapi apa yang kalian dapatkan? Pulang dan sampai rumah kalian kelaparan. Aku lagi yang jadi korbannya. Sebenarnya kamu menikahi ku karena ingin menyempurnakan ibadahmu atau menjadikan aku jaminan yang menjamin agar dapur ini tetap mengepul.Hatiku sangat sakit. Aku segera pergi dari hadapan manusia yang tidak punya nurani seperti mereka.Aku menyesal. Aku, menyesal karena tidak mendengarkan dan tidak tanggap akan kekhawatiran yang dulu dirasakan oleh almarhum ibuku.Belanjaan dari toko aku taruh begitu saja di meja dapur. Biar saja mereka yang bergerak untuk mengisi perut mereka sendiri.Jadi orang tua tidak bisa dijadikan panutan. Terlalu memaksakan gengsinya. Akhirnya orang lain yang menjadi korban keegoisannya.Aku segera masuk ke dalam kamar sempit ini. Sengaja pula aku kunci pintu kamar tersebut dari dalam.Apakah aku harus mundur di usia pernikahan yang baru seumur jagung ini.Aku meratapi nasibku. Kenapa aku sampai salah pilih jalan, Ya Allah. Apakah aku tidak berhak untuk bahagia dan mendapatkan hakku layaknya sebagai seorang istri.Pukul sembilan malam, terdengar suara pintu rumah terdengar setelah sebelumnya deru mesin motor terdengar semakin mendekat ke arah rumah ini.Iya, Mas Hadi dan ibunya baru saja pulang dari rumah besannya. Terlalu berharap mendapatkan bagian uang kondangan sepertinya. Mungkin karena sudah keluar uang banyak. Sudah menyumbang banyak pada besannya yang aku tidak ketahui dari mana asal yang tersebut.Aku tidak berniat membuka pintu untuk mereka, toh mereka juga membawa kunci cadangannya.Sehabis ashar hingga jam segini mereka baru pulang.Siang tadi aku benar-benar tidak masak untuk mereka. Aku sengaja mendiamkan keduanya, berharap mereka menyadari kesalahannya. Tapi aku salah, justru mereka ikut pula mendiamkan aku.Sesaat setelah mereka pergi. Aku keluar kamar dan ingin melihat kondisi di dapur. Benar, ternyata ibu mertua sudah masak nasi dan ada bekas kulit telur, sepertinya mereka cuma bikin telur goreng dua biji.Aku tidak menunggu lama. Segera aku menghubungi mbak Siti berniat menga
"Mir, kenapa pulang telat, kamu? Sengaja biar nggak beres-beres rumah?" Kedatanganku disambut oleh ibu mertua dengan muka ketus dan omelan yang tentunya pasti panas di telinga ini.Iya, hari ini aku pulang lebih telat karena ada lembur dadakan. Tidak mungkin aku sebagai pengawas harus absen. Sementara kinerja para pegawai yang ada dalam naunganku butuh untuk diawasi."Tadi ada lembur, Bu," jawabku singkat.""Alah, kamu pasti alasan. Biasanya juga pulang lebih awal. Pasti ini kamu sengaja kan?""Bu, ada apa sih? Kok kayak orang ribut saja." Mas Hadi muncul dari dalam."Itu istri kamu. Sudah tahu iparnya mau pulang malah dia sengaja pulang telat biar nggak beres-beres dan nyiapin makanan untuk kita makan nanti.""Mira memang lembur, Bu. Tadi siang Mira juga sudah kasih kabar ke Hadi.""Alah, kamu ini. Ngapain juga kamu bela-belain istri yang nggak becus. Pasti dia cuma alasan saja.""Sudahlah, Bu. Urusan beres-beres kan Wahyu dan istrinya bisa kerjain sendiri. Itu bukan kewajibannya si
Mas, aku ingin kita bisa segera pindah dari sini. Aku tidak masalah sama ibu meskipun itu tidak pernah suka dengan kehadiranku menjadi pendamping kamu. Tapi aku tidak bisa terus menahan sakit hati karena istri dari adik kamu itu." Aku memberanikan diri untuk mengungkapkan keluh kesahku pada suami.Saat ini kami sedang ada di dalam kamar yang kami tempati. Mas Hadi segera berbalik ke arahku karena sebelumnya ia disibukkan dengan pekerjaannya yang ia bawa pulang."Tapi kita mau tinggal di mana? Rumah orang tua kamu juga masih ada yang ngontrak.""Iya, itu kita cari bersama nanti. Pokoknya aku ingin kita bisa hidup mandiri, Mas. Toh kalau kita pergi dari rumah ini masih ada adik kamu yang akan menemani ibu."Suamiku nampak terdiam sejenak."Aku juga mau menghubungi orang yang sekarang masih menempati rumah ibu. Apakah mereka masih mau nambah waktu atau diselesaikan satu tahun ini. Kurang tiga bulan lagi masa kontrak mereka dengan kita.""Kamu pikir-pikir saja dulu. Tidak baik mengambil
Loh, Mas kemana tv nya dipindah ke luar? Siapa yang sudah lancang pindahin barang orang? Kenapa tidak izin dulu sama aku?" Baru pulang kerja aku sudah dibuat naik pitam. Bagaimana tidak? Tv yang aku beli dari hasil ku bekerja. Yang aku letakkan di kamar kami tiba-tiba sudah berpindah tempat. Mas Hadi nampak salah tingkah."Ibu yang minta Hadi pindah keluar. Lagian tv yang kecil itu diminta sama Manda," sahut ibu mertua yang baru saja keluar dari kamarnya."Lagian kamu ini kenapa sih, tv saja pakai disimpan dalam kamar. Kalau ditaruh di sana mana ada orang yang tahu." Alasan yang sangat tidak masuk akal. Tukang pamer tapi yang dipamerkan barang milik orang lain. Agak lain memang ibu dari suamiku ini."Ibu mau pamer? Lagian itu kan tv punya Mira. Niat Mira beli juga bukan untuk pamer. Ibu juga jangan mentang-mentang di rumah ibu jadi barang yang aku beli ibu anggap sebagai punya ibu. Mira juga punya niat ingin cepat keluar dari rumah ini. Sudah cukup Mira menderita karena tinggal di rum
Usai makan malam di tempat langganan ku. Kami berdua segera menuju masjid yang tidak jauh untuk melaksanakan kewajiban tiga rakaat."Mir, kita mau cari kue dulu apa buah dulu?" tanya mas Hadi meminta pertimbangan sama aku."Terserah mas saja. Aku dibelakang, jadi ngikut supirnya saja." Kali ini kami keluar dengan mengendarai motor milikku. Karena mas Hadi malu jika keluar membawa istrinya harus mengendarai motor tua miliknya. Aku mengatakan motor tua karena motor tersebut memang untuk saat ini sudah tidak diproduksi lagi dan juga semakin jarang penggunanya. Orang-orang lebih suka mengganti dan menukar motor mereka dengan motor keluaran terbaru."Kita cari kue saja dulu kalau gitu." Pertanyaan yang ia tanyakan dan ia jawab sendiri. Aku mengangkat kedua pundakku sebagai tanda jawaban terserah apa maunya.Basu saja motor melaju di keramaian, mas Hadi tiba-tiba membelokkan motornya ke arah keramaian di mana ada sebuah gerobak yang sedang dikerubungi oleh antrian pembelinya."Ayo, Mir!" aj
"Puas kamu bikin orang tua malu!" Seketika aku dikagetkan oleh cacian ibu mertuaku. Iya, aku baru saja selesai mengolah makanan dan tentu saja makanan itu hanya aku oleh cukup untuk dua orang saja. Ibu mertuaku sudah tidak sudi menyentuh makanan yang aku olah semenjak menantu kesayangannya itu datang di rumah ini.Aku berpura-pura tidak mendengarkan ucapannya itu dari pada nanti berujung pertengkaran di pagi hari ini. Biarkan saja orang tua ini berbuat sesuka hatinya. Mungkin saja setelah ini malaikat Izrail datang bertamu untuk menemuinya. Astaghfirullah, kenapa aku berdoa yang tidak baik. Harus aku doakan saja semoga ibu mertuaku ini diberi kesempatan untuk bertaubat.Bugg!"Kamu budeg atau bagaimana? Ada orang tua bicara itu mulut kenapa diam!" bentaknya.Hampir saja tangan ku ini melayang. Untung saja aku masih ingat kalau perempuan ia adalah orang tua suamiku. Aku seketika dibuat meradang karena makanan yang sudah aku bungkus untuk bekal makan siang ku tiba-tiba saja dilemparkan
Tumben jam segini Mira belum juga pulang. Biasanya jika ada lembur atau pulang telat, Mira tidak pernah lupa untuk mengabari suaminya ini. Beberapa kali aku menghubungi nomernya juga tidak aktif. Pesanku sedari tadi juga tidak berubah, masih tetap centang satu. Apakah ini masih ada hubungannya dengan kejadian pagi tadi. Ada hubungannya dengan ucapan ibuku tadi pagi. Aku kira ucapan ibuku itu wajar karena emosi sesaat, mungkin Mira terlalu menganggapnya serius.Hingga malam menjelang dan langit pun kian pekat tak jua ku jumpai istriku ini pulang ke rumah."Istri kamu belum pulang, Hadi?" Ibu menghampiriku di teras rumah. Padahal langit mendung dan petir pun menampakkan kilatannya."Belum, Bu. Ini juga tidak biasanya Mira tidak mengabari Hadi.""Makanya, ini sudah bilang, kalau cari istri itu yang sepadan. Kamu suka ngeyel. Lagian apa sih yang kamu banggakan dari si Mira itu. Sudah pendidikannya rendah, buruh pabrik pula, bikin malu keluarga saja kamu itu.""Ibu kenapa sih selalu berpik
Meski sendiri, Aku merasa lebih tenang baik hati juga pikiranku. Hanya saja masih terbesit sedikit beban yakni berhubungan dengan suamiku. Hati kecilku meragu juga ada rasa takut akan dosa. Dosa karena telah keluar dari rumah juga dosa karena tanpa ada izin terlebih dahulu dari suamiku. Semua aku kembalikan lagi. Jika aku bertahan di rumah itu jiwa dan mentalku sendiri yang akan rusak karena mereka juga tidak adanya pembelaan dan perlindungan yang aku dapatkan dari suamiku.Sore ini sepulang dari bekerja aku memutuskan untuk pergi ke counter hp untuk mencari kabel ces karena tidak mungkin juga aku kembali ke rumah yang bagiku itu adalah sebuah neraka yang harus aku datangi lagi."Mira!" Terdengar oleh telingaku ini ada suara yang memanggil namaku. Suara yang tidak asing."Mas Hadi." Aku menoleh ke sumber suara setelah mencari-cari sosok tersebut. Iya, ternyata benar mas Hadi orang yang memanggil namaku. Pria yang telah menjadi kekasih halal ku itu sepertinya sengaja menungguku di depa