Share

7. Mertua yang hanya menuntut

Terpaksa aku kembali mengeluarkan uang pribadiku demi memberi makan suami dan ibu mertuaku. Andai saja mereka memang benar-benar tidak mampu dan memang benar membutuhkan bantuan dariku. Tentu saja aku akan dengan setulus hati melayani mereka. Tapi fakta yang ada justru sebaliknya. Ibu mertua terlalu memaksakan kehendaknya demi kepentingan pribadinya dan mengorbankan aku di posisi ini. Mas Hadi? Aku masih belum bisa percaya jika wujud asli suamiku adalah seperti ini. Jauh dari prediksiku, yang ku sangka memperjuangkan aku demi memperjuangkan cinta kami nyatanya itu hanya manis di muka dan di mulut saja. Mungkin sekarang dia sudah lupa dengan janjinya itu. Atau mungkin ada alasan lain kenapa suamiku seperti ini. Mungkin itu karena ibunya dan bisa saja karena ibu mertua sepertinya memang tidak rela anaknya beristrikan perempuan seperti aku ini.

"Bawa apa kamu itu, Mir?" sambut ibu mertua di depan pintu saat aku baru saja pulang dari toko. Di tempat kami biasanya kalau siang hari memang kebanyakan tutup. Untung saja karena kenal, pemilik toko tersebut mau melayani aku yang ingin membeli barang di tempatnya.

*

"Mir, kok siang-siang gini belanja. Memangnya tadi tidak dibawakan apa-apa dari sana?" tanya mbak Mega pemilik toko tempat aku biasa belanja kebutuhan dapur sekaligus orang yang memiliki saudara yang bertetangga dengan besan ibu mertuaku.

"Nggak ada, Mbak. Makanya ini belanja orang rumah sudah pada kelaparan." Bukan maksud mengumbar air keluarga. Tapi ini memang kenyataannya.

"Haduuh ... dasar pelit memang besan mertuamu itu. Masa iya pengiring pengantin saja tadi banyak loh yang gak kebagian lauk. Katanya prasmanan? Prasmanan apa? Besar sekali itu omongan ibu mertua kamu. Dari dulu kalau bicara tidak ada yang bisa mengalahkan dan memang tidak mau kalah. Kamu jangan kaget. Kita yang sudah lama di sini sih sudah tidak heran sama mertua kamu, Bu Tuti yang kalau ngomong tingginya selangit.

Sering banget loh, Mir, ibu mertua kamu ngomongin kamu di warung sini. Ya kesini belanja dulu sebelum ada kamu. Eh pas sekarang kamu sudah jadi menantunya. Kamu yang disuruh belanja. Ini pakai uang kamu apa uang si Hadi?" tanya mbak Mega yang terlalu langsung pada poinnya. Aku hanya tersenyum tidak menjawab.

"Aku tahu. Pasti itu uang kamu. Aku sudah tahu watak manusia mertua kamu. Paling uangnya si Hadi masih dikuasai sana Ibunya. Ah, dasar suamimu itu cemen, nggak bisa tegas. Padahal dia itu guru loh. Dasar otaknya sudah dicuci sama emaknya. Kamu kalau ada masalah bisa cerita-cerita sama aku. Aku jamin aman. Aku memang suka gosip. Tapi aku tidak mau menjual rahasia orang." Aku yakin mbak Mega memang orang baik. Tapi untuk cerita perihal rumah tangga, itu tidak akan mungkin aku lakukan. Mungkin aku hanya akan minta saran nanti, kalau memang perlu.

.

"Mira, cuma beli beras dan telur." Aku menunjukkan kantong plastik yang aku bawa.

"Cuma beli telur? Kamu nggak beli yang lainnya? Sayur atau ikan atau apa lah? Masa cuma makan nasi sama telur saja." Telinga ku panas mendengar ocehan perempuan tua yang tidak tahu bersyukur dan terimakasih ini.

"Bu, uang Mira cukup buat beli ini. Mira juga perlu nabung untuk masa depan. Masa iya mau numpang terus. Ibu juga pernah ngingetin kalau ini bakal jadi rumahnya si Wahyu kan? Maka dari itu Mira sedari sekarang harus mulai mempersiapkan. Kalau bukan Mira siapa lagi? Mas Hadi? Bukannya seluruh uang mas Hadi ibu yang pegang. Demi di Wahyu hak Mira ibu rampas."

Plak!

Seketika rasa panas menjalar di pipiku.

"Kamu jangan lancang kalau ngomong. Wajar aku sebagai ibu berhak mengatur uang anakku. Aku tidak akan pernah percaya sama perempuan tidak berpendidikan seperti kamu untuk memegang uang milik anakku."

"Bu, apa yang ibu lakukan." Mas Hadi tiba-tiba sudah berada di antara kami. Mungkin dia juga sudah melihat apa yang sudah dilakukan oleh Ibunya itu.

"Perempuan tidak tahu diri yang kamu pungut jadi istri sudah mulai berani dan ngelunjak."

"Mira apa yang sudah kamu lakukan sampai ibu menjadi marah?"

"Tanya sendiri sama ibu kamu. Apa pernah aku ada benarnya di matanya, Mas. Apa pun yang aku lakukan salah di mata ibu kamu. Mana janjimu yang ingin memperjuangkan hubungan kita. Yang ada aku jadi tumbal di rumah ini. Demi adik kamu. Aku yang harus mengalah. Kamu seorang sarjana. Pria berpendidikan tetapi kamu tidak tahu mana yang kewajiban kamu sebagai seorang suami dan juga memisahkan antara hak istri kamu dan juga ibu kamu."

"Kamu dengar sendiri kan mulut lancang istri yang tidak berpendidikan yang sudah kamu pilih ini."

"Bu aku sadar. Aku bukan perempuan berpendidikan seperti yang ibu harapkan. Tapi dari perempuan tidak berpendidikan ini selama beberapa bulan ini kalian bisa makan kenyang.

Kamu, Mas. Kamu terus menuruti kemauan ibu kamu tanpa kamu melihat apa itu baik atau tidak. Apa itu tidak menjatuhkan kamu zalim sama istri kamu. Aku sabar, Mas. Sabar menghadapi mulut pedas ini yang tidak pernah menghargai aku. Yang selalu membandingkan aku dengan Manda. Ibumu selalu menyanjung menantunya itu. Tapi apa? Kalian dari rumah orang tua Manda saja tidak dihargai dan tidak dianggap. Pulang dari pesta yang kalian sudah keluarkan uang banyak untuk itu tapi apa yang kalian dapatkan? Pulang dan sampai rumah kalian kelaparan. Aku lagi yang jadi korbannya. Sebenarnya kamu menikahi ku karena ingin menyempurnakan ibadahmu atau menjadikan aku jaminan yang menjamin agar dapur ini tetap mengepul.

Hatiku sangat sakit. Aku segera pergi dari hadapan manusia yang tidak punya nurani seperti mereka.

Aku menyesal. Aku, menyesal karena tidak mendengarkan dan tidak tanggap akan kekhawatiran yang dulu dirasakan oleh almarhum ibuku.

Belanjaan dari toko aku taruh begitu saja di meja dapur. Biar saja mereka yang bergerak untuk mengisi perut mereka sendiri.

Jadi orang tua tidak bisa dijadikan panutan. Terlalu memaksakan gengsinya. Akhirnya orang lain yang menjadi korban keegoisannya.

Aku segera masuk ke dalam kamar sempit ini. Sengaja pula aku kunci pintu kamar tersebut dari dalam.

Apakah aku harus mundur di usia pernikahan yang baru seumur jagung ini.

Aku meratapi nasibku. Kenapa aku sampai salah pilih jalan, Ya Allah. Apakah aku tidak berhak untuk bahagia dan mendapatkan hakku layaknya sebagai seorang istri.

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status