Pesta pernikahan Wahyu dan Amanda dilangsungkan secara meriah, lebih ke arah mewah karena dari sepengetahuan yang terlihat oleh mataku. Rumah orang tua Manda berada di gang sempit dan sangat berbeda jauh dengan omongan yang pernah diucapkan oleh mulut ibu mertuaku.
Masih aku ingat ibu mertua yang meninggi-ninggikan menantu satunya itu. Tidak ada satu pun dari perkataannya tersebut sepadan dengan kenyataan di depan mata.Orang terpandang, berpendidikan? Kedatangan keluarga ibu mertua saja tidak disambut dengan ramah oleh keluarga besannya. Dan yang paling membuat aku malu adalah ketika para tetangga kami yang juga ikut diajak oleh ibu mertua untuk mengiring pengantin adik dari mas Hadi."Katanya orang kaya, tapi suguhan cuma air mineral.""Pelaminan si mewah, tapi kok nggak sesuai dengan suguhannya.""Yang aku dengar katanya Bu Tuti ikut nyumbang puluhan juta, loh.""Masa iya, sih?""Iya, aku dengar dari saudara aku yang rumahnya dua rumah sebelah kanan dasi rumah ini. Dia tuh tewang di sini. Semua pada minim. Pelit gitu tuan rumahnya. Gak mau modal banyak tapi ngarep untung besar. Kalau bukan karena masih ada hubungan saudara dengan mertuanya si Wahyu itu. Mungkin saudaraku itu juga gak mau rewang di tempat ini.Besannya Bu Tuti itu terkenal pelit dan sombong. Ucapannya juga setinggi langit. Makanya aku mikir kalau Bu Tuti itu cocok dapat besan seperti ini," cerita tetangga depan rumah ibu mertua.Uang puluhan juta? Dari mana ibu mertua sampai mempunyai uang sebanyak itu. Uang gaji suamiku dan juga si Wahyu jauh sekali dari nominal tersebut. Apa mungkin uang hasil berhutang? Astaghfirullah, jangan sampai aku punya pikiran buruk. Meskipun terbesit rasa iri karena pada pernikahan ku dan mas Hadi tidak diperlakukan seperti ini. Aku yakin kedepannya kehidupan kami akan jauh lebih baik dari pada mereka yang sangat dibanggakan dan disanjung.Acara akad dan temu pengantin telah usai. Kami pun segera kembali ke rumah masing.Sampai di rumah kami langsung menuju kamar kecil untuk bersih-bersih dan selanjutnya memilih untuk mengistirahatkan raga yang sudah lelah ini.Aku mencoba untuk menahan bertanya pada suami perihal uang yang diberikan oleh ibunya pada besan satunya itu. Bukannya aku mau tahu dan ikut campur. Tapi kenyataannya uang bantuan tidak pernah aku dapatkan baik dari mas Hadi ataupun ibu mertua dalam pesta pernikahan kami yang diselenggarakan di rumah orang tuaku. Semua murni uang kami sendiri. Uang tabungan milik ibu sedari almarhum bapak masih ada.Aku memilih diam dan mendiamkan mereka.Segera aku menuju kamar untuk segera melaksanakan kewajiban empat rakaat dan kemudian memilih untuk istirahat siang dari pada penasaran yang hanya akan mendatangkan sakit hatiku."Mir, kamu kok enak-enakan tidur. Masak dulu sana. Apa nggak mikir suami sama ibu mertua sendiri." Aku terkejut mendengar teguran dari ibu mertua. Tanpa ada rasa sopan ia begitu saja membuka pintu yang sedari tadi sudah aku tutup rapat hanya saja sengaja tidak aku kunci karena mas Hadi juga berada di rumah.Aku baru saja memejamkan mata tiba-tiba terganggu karena mulut berisik ibu mertuaku."Bukannya tadi makan kentang dan enak di rumah besan, Bu," sindir ku. Sengaja aku menyindir dia seperti apa yang biasanya dia lakukan kepada ku."Makan kenyang apanya. Boro-boro lauk saja nggak cukup kehabisan dan kebagian malah."Aku segera duduk dari posisiku sebelumnya sambil membenahi rambut ku yang sedikit berantakan."Iya, ya. Mira tadi juga cuma kebagian sayur tanpa daging. Padahal orang kaya dan orang terpandang loh besan ibu ini. Keluarga pendidikan lagi. Mungkin saking banyaknya tamu yang hadir kali, Bu." Sengaja aku memanfaatkan kesempatan ini untuk menyindirnya. Kapan lagi kalau tidak sekarang. Biar saja ibu suamiku itu merasakan bagaimana rasanya diberi sindiran. Kali saja tingkat kepedasan mulut ibu mertua bisa berubah dah turun levelnya."Kamu jangan asal ngomong. Mereka memang orang berpendidikan yang terpandang. Beda lah pilihannya si Wahyu sama si Hadi. Hadi pasti dulu merem matanya."Astaghfirullah, ternyata si mulut pedas ini tidak bisa tersaingi. Aku hanya menanggapinya dengan mengelus dada.Setelah menikah bukan hanya kehidupanku yang berubah, tetapi tingkat kesabaran ku juga ikut berubah."Sudah sana kamu masak kebelakang, malah bengong kaya orang be_go." Setelah berucap demikian perempuan yang aku panggil sebagai ibu mertua itu pergi ngeloyor begitu saja.Ngakunya keluarga terhormat, berpendidikan tapi mulut seperti tidak pernah disekolahkan tidak pernah makan bangku sekolah.Dengan perasaan yang dongkol aku pun segera beranjak dan keluar dari kamar.Aku masuk ke dapur dan kemudian mencari sesuatu yang bisa dimasak.Aku membuka lemari kayu yang warnanya sudah tidak terlihat sempurna. Nihil tidak ada apapun. Hanya ada kantong plastik hitam yang sepertinya sudah tidak ada isinya."Bu, di dapur tidak ada apa-apa." Aku menghampiri ibu mertua yang sedang bersantai di ruang tamu dengan mas Hadi."Kamu cari apa, Mir?" timpal suamiku."Ibu minta aku masak karet katanya ibu sudah lapar. Kan tadi memang tidak kebagian apa-apa di rumahnya si Manda.""Nggak usah cari kekurangan orang. Namanya juga orang banyak, ya jelas itu makanan juga dibagi-bagi." Perempuan ini masih berusaha membela keluarga Manda."Kebetulan aku juga lapar. Buruan kamu masak dulu. Nanti sore aku sama ibu mau balik ke sana. Kamu jaga di rumah saja, ya." Suamiku dan ibunya ternyata sama saja. Mas Hadi yang katanya seorang pendidik ini tidak bisa mempraktikkan teori dari ilmu yang ia dapatkan dalam kehidupan sehari-harinya."Apa yang mau dimasak? Di lemari ibu cuma ada beras satu genggam itu pun sudah banyak kutunya.""Ya elah Mira. Kamu punya otak mbok ya dipakai buat mikir. Ini salah satu alasan kenapa aku dulu tidak suka Hadi dekat-dekat perempuan yang tidak berpendidikan tinggi. Ya seperti ini nggak bisa mikir. Kamu kan kerja. Ya kamu belanja lah sana ke toko cari apa gitu yang bisa dimasak."'Aku tidak berpendidikan tapi punya otak yang normal.' Aku menggerutu dalam hati.Iya, sudah dua bulan ini aku menjadi tulang punggung sepenuhnya di keluarga ini. Bagaimana tidak semua uang gaji mas Hadi diserahkannya pada sang ibu. Tidak satu rupiah pun ia berikan pada istrinya sebagai uang nafkah. Semoga Allah mengampuni suami ku. Semoga jalan pikirannya segera dibuka dan untuk ibu mertua semoga cepat disadarkan agar kelak kelakuannya ini tidak menjadi siksa baginya di akhirat nanti."Mas, aku belum gajian. Uangku juga sudah habis buat belanja kebutuhan keluarga ini setiap hari. Bukannya perhitungan. Tapi kenapa aku yang harus mengalah dan merasa kalian itu tidak adil sama aku. Wahyu yang nikah tapi kamu yang harus susah.Bu, Mira tahu ibu tidak suka sama Mira. Tapi apa pantas perlakuan ibu seperti ini sama Mira. Mira itu sudah tanggung jawab mas Hadi, Bu. Kalau Mira tidak ridho sebagai istri makan kekakuan mas Hadi akan menjadi laknat dari Allah, Allah akan murka dan doa ibu juga tidak akan bisa menembus langit apa lagi menolong mas Hadi."Aku muak. Aku sudah muak dengan perlakuan keluarga suamiku ini.Terpaksa aku kembali mengeluarkan uang pribadiku demi memberi makan suami dan ibu mertuaku. Andai saja mereka memang benar-benar tidak mampu dan memang benar membutuhkan bantuan dariku. Tentu saja aku akan dengan setulus hati melayani mereka. Tapi fakta yang ada justru sebaliknya. Ibu mertua terlalu memaksakan kehendaknya demi kepentingan pribadinya dan mengorbankan aku di posisi ini. Mas Hadi? Aku masih belum bisa percaya jika wujud asli suamiku adalah seperti ini. Jauh dari prediksiku, yang ku sangka memperjuangkan aku demi memperjuangkan cinta kami nyatanya itu hanya manis di muka dan di mulut saja. Mungkin sekarang dia sudah lupa dengan janjinya itu. Atau mungkin ada alasan lain kenapa suamiku seperti ini. Mungkin itu karena ibunya dan bisa saja karena ibu mertua sepertinya memang tidak rela anaknya beristrikan perempuan seperti aku ini."Bawa apa kamu itu, Mir?" sambut ibu mertua di depan pintu saat aku baru saja pulang dari toko. Di tempat kami biasanya kalau siang hari memang k
Pukul sembilan malam, terdengar suara pintu rumah terdengar setelah sebelumnya deru mesin motor terdengar semakin mendekat ke arah rumah ini.Iya, Mas Hadi dan ibunya baru saja pulang dari rumah besannya. Terlalu berharap mendapatkan bagian uang kondangan sepertinya. Mungkin karena sudah keluar uang banyak. Sudah menyumbang banyak pada besannya yang aku tidak ketahui dari mana asal yang tersebut.Aku tidak berniat membuka pintu untuk mereka, toh mereka juga membawa kunci cadangannya.Sehabis ashar hingga jam segini mereka baru pulang.Siang tadi aku benar-benar tidak masak untuk mereka. Aku sengaja mendiamkan keduanya, berharap mereka menyadari kesalahannya. Tapi aku salah, justru mereka ikut pula mendiamkan aku.Sesaat setelah mereka pergi. Aku keluar kamar dan ingin melihat kondisi di dapur. Benar, ternyata ibu mertua sudah masak nasi dan ada bekas kulit telur, sepertinya mereka cuma bikin telur goreng dua biji.Aku tidak menunggu lama. Segera aku menghubungi mbak Siti berniat menga
"Mir, kenapa pulang telat, kamu? Sengaja biar nggak beres-beres rumah?" Kedatanganku disambut oleh ibu mertua dengan muka ketus dan omelan yang tentunya pasti panas di telinga ini.Iya, hari ini aku pulang lebih telat karena ada lembur dadakan. Tidak mungkin aku sebagai pengawas harus absen. Sementara kinerja para pegawai yang ada dalam naunganku butuh untuk diawasi."Tadi ada lembur, Bu," jawabku singkat.""Alah, kamu pasti alasan. Biasanya juga pulang lebih awal. Pasti ini kamu sengaja kan?""Bu, ada apa sih? Kok kayak orang ribut saja." Mas Hadi muncul dari dalam."Itu istri kamu. Sudah tahu iparnya mau pulang malah dia sengaja pulang telat biar nggak beres-beres dan nyiapin makanan untuk kita makan nanti.""Mira memang lembur, Bu. Tadi siang Mira juga sudah kasih kabar ke Hadi.""Alah, kamu ini. Ngapain juga kamu bela-belain istri yang nggak becus. Pasti dia cuma alasan saja.""Sudahlah, Bu. Urusan beres-beres kan Wahyu dan istrinya bisa kerjain sendiri. Itu bukan kewajibannya si
Mas, aku ingin kita bisa segera pindah dari sini. Aku tidak masalah sama ibu meskipun itu tidak pernah suka dengan kehadiranku menjadi pendamping kamu. Tapi aku tidak bisa terus menahan sakit hati karena istri dari adik kamu itu." Aku memberanikan diri untuk mengungkapkan keluh kesahku pada suami.Saat ini kami sedang ada di dalam kamar yang kami tempati. Mas Hadi segera berbalik ke arahku karena sebelumnya ia disibukkan dengan pekerjaannya yang ia bawa pulang."Tapi kita mau tinggal di mana? Rumah orang tua kamu juga masih ada yang ngontrak.""Iya, itu kita cari bersama nanti. Pokoknya aku ingin kita bisa hidup mandiri, Mas. Toh kalau kita pergi dari rumah ini masih ada adik kamu yang akan menemani ibu."Suamiku nampak terdiam sejenak."Aku juga mau menghubungi orang yang sekarang masih menempati rumah ibu. Apakah mereka masih mau nambah waktu atau diselesaikan satu tahun ini. Kurang tiga bulan lagi masa kontrak mereka dengan kita.""Kamu pikir-pikir saja dulu. Tidak baik mengambil
Loh, Mas kemana tv nya dipindah ke luar? Siapa yang sudah lancang pindahin barang orang? Kenapa tidak izin dulu sama aku?" Baru pulang kerja aku sudah dibuat naik pitam. Bagaimana tidak? Tv yang aku beli dari hasil ku bekerja. Yang aku letakkan di kamar kami tiba-tiba sudah berpindah tempat. Mas Hadi nampak salah tingkah."Ibu yang minta Hadi pindah keluar. Lagian tv yang kecil itu diminta sama Manda," sahut ibu mertua yang baru saja keluar dari kamarnya."Lagian kamu ini kenapa sih, tv saja pakai disimpan dalam kamar. Kalau ditaruh di sana mana ada orang yang tahu." Alasan yang sangat tidak masuk akal. Tukang pamer tapi yang dipamerkan barang milik orang lain. Agak lain memang ibu dari suamiku ini."Ibu mau pamer? Lagian itu kan tv punya Mira. Niat Mira beli juga bukan untuk pamer. Ibu juga jangan mentang-mentang di rumah ibu jadi barang yang aku beli ibu anggap sebagai punya ibu. Mira juga punya niat ingin cepat keluar dari rumah ini. Sudah cukup Mira menderita karena tinggal di rum
Usai makan malam di tempat langganan ku. Kami berdua segera menuju masjid yang tidak jauh untuk melaksanakan kewajiban tiga rakaat."Mir, kita mau cari kue dulu apa buah dulu?" tanya mas Hadi meminta pertimbangan sama aku."Terserah mas saja. Aku dibelakang, jadi ngikut supirnya saja." Kali ini kami keluar dengan mengendarai motor milikku. Karena mas Hadi malu jika keluar membawa istrinya harus mengendarai motor tua miliknya. Aku mengatakan motor tua karena motor tersebut memang untuk saat ini sudah tidak diproduksi lagi dan juga semakin jarang penggunanya. Orang-orang lebih suka mengganti dan menukar motor mereka dengan motor keluaran terbaru."Kita cari kue saja dulu kalau gitu." Pertanyaan yang ia tanyakan dan ia jawab sendiri. Aku mengangkat kedua pundakku sebagai tanda jawaban terserah apa maunya.Basu saja motor melaju di keramaian, mas Hadi tiba-tiba membelokkan motornya ke arah keramaian di mana ada sebuah gerobak yang sedang dikerubungi oleh antrian pembelinya."Ayo, Mir!" aj
"Puas kamu bikin orang tua malu!" Seketika aku dikagetkan oleh cacian ibu mertuaku. Iya, aku baru saja selesai mengolah makanan dan tentu saja makanan itu hanya aku oleh cukup untuk dua orang saja. Ibu mertuaku sudah tidak sudi menyentuh makanan yang aku olah semenjak menantu kesayangannya itu datang di rumah ini.Aku berpura-pura tidak mendengarkan ucapannya itu dari pada nanti berujung pertengkaran di pagi hari ini. Biarkan saja orang tua ini berbuat sesuka hatinya. Mungkin saja setelah ini malaikat Izrail datang bertamu untuk menemuinya. Astaghfirullah, kenapa aku berdoa yang tidak baik. Harus aku doakan saja semoga ibu mertuaku ini diberi kesempatan untuk bertaubat.Bugg!"Kamu budeg atau bagaimana? Ada orang tua bicara itu mulut kenapa diam!" bentaknya.Hampir saja tangan ku ini melayang. Untung saja aku masih ingat kalau perempuan ia adalah orang tua suamiku. Aku seketika dibuat meradang karena makanan yang sudah aku bungkus untuk bekal makan siang ku tiba-tiba saja dilemparkan
Tumben jam segini Mira belum juga pulang. Biasanya jika ada lembur atau pulang telat, Mira tidak pernah lupa untuk mengabari suaminya ini. Beberapa kali aku menghubungi nomernya juga tidak aktif. Pesanku sedari tadi juga tidak berubah, masih tetap centang satu. Apakah ini masih ada hubungannya dengan kejadian pagi tadi. Ada hubungannya dengan ucapan ibuku tadi pagi. Aku kira ucapan ibuku itu wajar karena emosi sesaat, mungkin Mira terlalu menganggapnya serius.Hingga malam menjelang dan langit pun kian pekat tak jua ku jumpai istriku ini pulang ke rumah."Istri kamu belum pulang, Hadi?" Ibu menghampiriku di teras rumah. Padahal langit mendung dan petir pun menampakkan kilatannya."Belum, Bu. Ini juga tidak biasanya Mira tidak mengabari Hadi.""Makanya, ini sudah bilang, kalau cari istri itu yang sepadan. Kamu suka ngeyel. Lagian apa sih yang kamu banggakan dari si Mira itu. Sudah pendidikannya rendah, buruh pabrik pula, bikin malu keluarga saja kamu itu.""Ibu kenapa sih selalu berpik