Share

6. Mendapatkan perlakuan yang berbeda

Pesta pernikahan Wahyu dan Amanda dilangsungkan secara meriah, lebih ke arah mewah karena dari sepengetahuan yang terlihat oleh mataku. Rumah orang tua Manda berada di gang sempit dan sangat berbeda jauh dengan omongan yang pernah diucapkan oleh mulut ibu mertuaku.

Masih aku ingat ibu mertua yang meninggi-ninggikan menantu satunya itu. Tidak ada satu pun dari perkataannya tersebut sepadan dengan kenyataan di depan mata.

Orang terpandang, berpendidikan? Kedatangan keluarga ibu mertua saja tidak disambut dengan ramah oleh keluarga besannya. Dan yang paling membuat aku malu adalah ketika para tetangga kami yang juga ikut diajak oleh ibu mertua untuk mengiring pengantin adik dari mas Hadi.

"Katanya orang kaya, tapi suguhan cuma air mineral."

"Pelaminan si mewah, tapi kok nggak sesuai dengan suguhannya."

"Yang aku dengar katanya Bu Tuti ikut nyumbang puluhan juta, loh."

"Masa iya, sih?"

"Iya, aku dengar dari saudara aku yang rumahnya dua rumah sebelah kanan dasi rumah ini. Dia tuh tewang di sini. Semua pada minim. Pelit gitu tuan rumahnya. Gak mau modal banyak tapi ngarep untung besar. Kalau bukan karena masih ada hubungan saudara dengan mertuanya si Wahyu itu. Mungkin saudaraku itu juga gak mau rewang di tempat ini.

Besannya Bu Tuti itu terkenal pelit dan sombong. Ucapannya juga setinggi langit. Makanya aku mikir kalau Bu Tuti itu cocok dapat besan seperti ini," cerita tetangga depan rumah ibu mertua.

Uang puluhan juta? Dari mana ibu mertua sampai mempunyai uang sebanyak itu. Uang gaji suamiku dan juga si Wahyu jauh sekali dari nominal tersebut. Apa mungkin uang hasil berhutang? Astaghfirullah, jangan sampai aku punya pikiran buruk. Meskipun terbesit rasa iri karena pada pernikahan ku dan mas Hadi tidak diperlakukan seperti ini. Aku yakin kedepannya kehidupan kami akan jauh lebih baik dari pada mereka yang sangat dibanggakan dan disanjung.

Acara akad dan temu pengantin telah usai. Kami pun segera kembali ke rumah masing.

Sampai di rumah kami langsung menuju kamar kecil untuk bersih-bersih dan selanjutnya memilih untuk mengistirahatkan raga yang sudah lelah ini.

Aku mencoba untuk menahan bertanya pada suami perihal uang yang diberikan oleh ibunya pada besan satunya itu. Bukannya aku mau tahu dan ikut campur. Tapi kenyataannya uang bantuan tidak pernah aku dapatkan baik dari mas Hadi ataupun ibu mertua dalam pesta pernikahan kami yang diselenggarakan di rumah orang tuaku. Semua murni uang kami sendiri. Uang tabungan milik ibu sedari almarhum bapak masih ada.

Aku memilih diam dan mendiamkan mereka.

Segera aku menuju kamar untuk segera melaksanakan kewajiban empat rakaat dan kemudian memilih untuk istirahat siang dari pada penasaran yang hanya akan mendatangkan sakit hatiku.

"Mir, kamu kok enak-enakan tidur. Masak dulu sana. Apa nggak mikir suami sama ibu mertua sendiri." Aku terkejut mendengar teguran dari ibu mertua. Tanpa ada rasa sopan ia begitu saja membuka pintu yang sedari tadi sudah aku tutup rapat hanya saja sengaja tidak aku kunci karena mas Hadi juga berada di rumah.

Aku baru saja memejamkan mata tiba-tiba terganggu karena mulut berisik ibu mertuaku.

"Bukannya tadi makan kentang dan enak di rumah besan, Bu," sindir ku. Sengaja aku menyindir dia seperti apa yang biasanya dia lakukan kepada ku.

"Makan kenyang apanya. Boro-boro lauk saja nggak cukup kehabisan dan kebagian malah."

Aku segera duduk dari posisiku sebelumnya sambil membenahi rambut ku yang sedikit berantakan.

"Iya, ya. Mira tadi juga cuma kebagian sayur tanpa daging. Padahal orang kaya dan orang terpandang loh besan ibu ini. Keluarga pendidikan lagi. Mungkin saking banyaknya tamu yang hadir kali, Bu." Sengaja aku memanfaatkan kesempatan ini untuk menyindirnya. Kapan lagi kalau tidak sekarang. Biar saja ibu suamiku itu merasakan bagaimana rasanya diberi sindiran. Kali saja tingkat kepedasan mulut ibu mertua bisa berubah dah turun levelnya.

"Kamu jangan asal ngomong. Mereka memang orang berpendidikan yang terpandang. Beda lah pilihannya si Wahyu sama si Hadi. Hadi pasti dulu merem matanya."

Astaghfirullah, ternyata si mulut pedas ini tidak bisa tersaingi. Aku hanya menanggapinya dengan mengelus dada.

Setelah menikah bukan hanya kehidupanku yang berubah, tetapi tingkat kesabaran ku juga ikut berubah.

"Sudah sana kamu masak kebelakang, malah bengong kaya orang be_go." Setelah berucap demikian perempuan yang aku panggil sebagai ibu mertua itu pergi ngeloyor begitu saja.

Ngakunya keluarga terhormat, berpendidikan tapi mulut seperti tidak pernah disekolahkan tidak pernah makan bangku sekolah.

Dengan perasaan yang dongkol aku pun segera beranjak dan keluar dari kamar.

Aku masuk ke dapur dan kemudian mencari sesuatu yang bisa dimasak.

Aku membuka lemari kayu yang warnanya sudah tidak terlihat sempurna. Nihil tidak ada apapun. Hanya ada kantong plastik hitam yang sepertinya sudah tidak ada isinya.

"Bu, di dapur tidak ada apa-apa." Aku menghampiri ibu mertua yang sedang bersantai di ruang tamu dengan mas Hadi.

"Kamu cari apa, Mir?" timpal suamiku.

"Ibu minta aku masak karet katanya ibu sudah lapar. Kan tadi memang tidak kebagian apa-apa di rumahnya si Manda."

"Nggak usah cari kekurangan orang. Namanya juga orang banyak, ya jelas itu makanan juga dibagi-bagi." Perempuan ini masih berusaha membela keluarga Manda.

"Kebetulan aku juga lapar. Buruan kamu masak dulu. Nanti sore aku sama ibu mau balik ke sana. Kamu jaga di rumah saja, ya." Suamiku dan ibunya ternyata sama saja. Mas Hadi yang katanya seorang pendidik ini tidak bisa mempraktikkan teori dari ilmu yang ia dapatkan dalam kehidupan sehari-harinya.

"Apa yang mau dimasak? Di lemari ibu cuma ada beras satu genggam itu pun sudah banyak kutunya."

"Ya elah Mira. Kamu punya otak mbok ya dipakai buat mikir. Ini salah satu alasan kenapa aku dulu tidak suka Hadi dekat-dekat perempuan yang tidak berpendidikan tinggi. Ya seperti ini nggak bisa mikir. Kamu kan kerja. Ya kamu belanja lah sana ke toko cari apa gitu yang bisa dimasak."

'Aku tidak berpendidikan tapi punya otak yang normal.' Aku menggerutu dalam hati.

Iya, sudah dua bulan ini aku menjadi tulang punggung sepenuhnya di keluarga ini. Bagaimana tidak semua uang gaji mas Hadi diserahkannya pada sang ibu. Tidak satu rupiah pun ia berikan pada istrinya sebagai uang nafkah. Semoga Allah mengampuni suami ku. Semoga jalan pikirannya segera dibuka dan untuk ibu mertua semoga cepat disadarkan agar kelak kelakuannya ini tidak menjadi siksa baginya di akhirat nanti.

"Mas, aku belum gajian. Uangku juga sudah habis buat belanja kebutuhan keluarga ini setiap hari. Bukannya perhitungan. Tapi kenapa aku yang harus mengalah dan merasa kalian itu tidak adil sama aku. Wahyu yang nikah tapi kamu yang harus susah.

Bu, Mira tahu ibu tidak suka sama Mira. Tapi apa pantas perlakuan ibu seperti ini sama Mira. Mira itu sudah tanggung jawab mas Hadi, Bu. Kalau Mira tidak ridho sebagai istri makan kekakuan mas Hadi akan menjadi laknat dari Allah, Allah akan murka dan doa ibu juga tidak akan bisa menembus langit apa lagi menolong mas Hadi."

Aku muak. Aku sudah muak dengan perlakuan keluarga suamiku ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status