Share

5. Makan malam bersama

Iya, Satu bulan setelah pertemuan ku dengan keluarga mas Hadi dan kami makan malam bersama. Akhirnya mas Hadi dan juga keluarganya datang ke rumah orang tuaku dengan maksud untuk meminta ku pada ibuku untuk di jadikan menantu di rumah mereka. Seperti angin segar. Akhirnya hubungan kami mendapatkan restu dari ibunya.

Tidak berselang lama, tepatnya dua bulan setelahnya pesta pernikahan kami digelar. Akhirnya hubunganku dan mas Hadi di persatuan dalam ikatan suci yang namanya pernikahan.

Pernikahan kami tidak dirayakan secara meriah, hanya di rumahku saja pesta kami tersebut digelar. Alasan tidak di selenggarakannya pesta kami di rumah mas Hadi adalah dengan alasan uang yang bisa dipergunakan untuk kebutuhan kedepannya kami. Di sisi lain itu juga ada alasan lain yang diungkapkan oleh ibu mertuaku yakni karena dua bulan setelah pernikahan kami. Ibu mertua juga akan menggelar pernikahan dari putra bungsunya.

Aku segera diboyong mas Hadi untuk tinggal bersama dengan ibunya. Sempat aku menolak karena di rumah tersebut masih ada adik laki-lakinya namun alasanku tidak dihiraukan olehnya. Sebagai istri aku harus menuruti semua ucapan suaminya karena tidak mungkin suami akan mencelakai istrinya, itu alasan yang ia buat.

"Mira, suamimu itu anak pertama dan kamu juga tahu kalau bulan depan adalah pesta pernikahan di Wahyu. Kamu tahu kan kalau calon keluarga adik iprmu itu orang yang terpandang dan berpendidikan, maja dari itu kita harus menyesuaikan juga dengan seserahan nanti yang akan kita bawa. Nggak mungkin yang sederhana karena itu bisa menjatuhkan nama baik keluarga ini. Beda sama kamu kan keluarga kamu orang biasa saja." Sedang asyiknya kami berbincang membahas pernikahan si Wahyu. Ibu mertua kembali berulah. Lidah perempuan tua itu kembali mengeluarkan bisanya. Sakit, tentu saja aku sakit karena merasa keluarga ku dan terutama ibuku yang adalah orang tua tunggalku terang-terangan direndahkan oleh mulut berbusa perempuan yang kini aku panggil sebagai ibu mertua.

Aku salah sangka. Aku kira hati perempuan ini akan berubah luluh karena memberikan izinnya pada sang putra untuk menikahi ku. Nyatanya restunya itu belumlah sepenuhnya ia berikan kepada kami.

"Iya, Mir. Karena aku anak tertua, aku harus membatu ibu untuk membiayai pernikahan di Wahyu. Jadi maaf kalau untuk bulan ini dan beberapa bulan kedepannya seluruh uang gajiku aku serahkan pada ibu." Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Itulah yang sedang aku rasakan. Belum hilang rasa sakit akibat ucapan pedas ibu mertua. Kini suamiku juga menaburkan garam di atas luka yang menganga. Mungkin inilah yang dimaksud definisi sakit yang tidak berdarah. Rasanya sungguh-sungguh sangat dahsyatnya.

Baru bulan pertama menjadi menantu di rumah ini. Tapi beban hidup yang aku rasakan sudah berkali lipat aku rasakan beratnya. Ini adalah salah satu konsekuensi yang harus aku terima.

"Amira, apakah kamu yakin dengan pilihan kamu si Hadi, Nak?" Aku masih terngiang-ngiang ucapan ibuku satu Minggu sebelum kedatangan keluarga mas Hadi yang bermaksud untuk melamar ku.

"Insyaallah, Amira yakin, Bu. Memangnya kenapa?"

"Tidak ada apa-apa. Ibu cuma ingin tahu perasaan kamu saja. Benar yakin dan mantap atau masih ada keraguan." Ucapan ibuku memang tidak ada yang aneh namun rona wajahnya menggambarkan ada sesuatu yang sengaja ibuk sembunyikan dan ia tutupi dengan senyuman yang seolah untuk menguatkan putrinya ini.

Perkataan ibuku masih aku ingat sampai saat ini meskipun beliau sudah tidak ada lagi di dunia ini dan meninggalkan aku sendiri tepatnya satu bulan usai pernikahan ku. Mungkin itulah firasat seorang ibu pada putrinya.

Mungkin ada firasat buruk dari ibuku waktu itu namun beliau sengaja tidak ingin mengungkapkan karena tidak ingin menjadikan pernyataannya tersebut akan menjadikan beban untuk putrinya ini.

***

"Amira selamat, ya. Enggak nyangka aku kalau kamu akan terpilih menjadi penggantinya ibu Pratiwi." Beberapa rekan kerja ku menghampiri aku di meja yang sudah hampir tiga tahun ini aku tempati. Iya, aku bekerja di sebuah pabrik pakaian jadi dan hari ini adalah hari yang membahagiakan untukku. Aku diangkat menjadi salah satu pengawas di bagian produksi. Tidak sia-sia dulu aku bersekolah di sebuah sekolah kejuruan tata busana. Aku bisa masuk di pabrik ini karena rekomendasi dari sekolah ku juga karena aku dulu pernah magang di pabrik ini dengan nilai yang bagus yang aku dapatkan dari penilaian pabrik ini.

"Alhamdulillah, teman-teman."

"Tapi ingat kabar ini jangan sampai terdengar keluarga suami kamu. Aku tahu siapa itu ibu mertua kamu. Perempuan tua yang terlalu berambisi dan mengagungkan jabatan. Padahal menantunya itu juga tidak lebih baik dari pada kamu." Mbak Siti memberikan aku nasihat. Mbak Siti ini adalah salah satu tetangga dekat ibu mertuaku. Ia jauh lebih lama mengenal bagaimana watak dari ibu mertuaku. Dan lewat aku juga mbak Siti bisa bekerja di tempat ini. Karena ia janda beranak satu akhirnya aku yang menawarinya bekerja di sini karena juga bertepatan adalah lowongan kerja.

"Iya, mbak terimakasih sudah diingatkan. Aku juga tidak berniat memberi tahu mereka termasuk juga dengan mas Hadi, kecuali jika kami sudah pindah dari rumah itu."

"Semoga suamimu itu terbuka pintu hati dan matanya biar bisa melihat dan membedakan kelakuan ibunya itu baik apa tidak juga sama adik iparnya itu. Kamu jangan lengah jaga suami kamu juga. Karena pengalaman saja kalau sebenarnya tidak baik kita sebagai pasangan suami-isteri masih satu atap terlebih masih ada ipar di dalam sana bisa-bisa akan menjadi maut untuk kita.

Pesan mbak Siti akan selalu aku ingat.

Hari ini adalah hari pernikahan adik ipar ku. Aku sengaja mengajukan cuti libur untuk hari ini sedari satu Minggu yang lalu.

"Mas, banyak sekali barang yang akan dibawa. Ini malah lebih dua kali lipat dari pernikahan kita." Ucapku pada mas Hadi yang sedari tadi sibuk menyiapkan persiapan pernikahan untuk adik bungsunya. Sepertinya lebih sepesial dari pernikahan kami dulu. Jujur saja aku merasa iri melihat semua ini. Dulu kamu diperlakukan sangat sederhana dan apa adanya tidak ada yang istimewa. Demi pernikahan ini aku rela tidak mendapatkan nafkah dari suami selama dua bulan ini.

Semoga Allah menjawab segala doaku. Ia-lah yang Mahakuasa membolak-balikkan hati manusia. Semoga hati suamiku luluh dan bisa bersikap sewajarnya seorang suami pada istrinya. Aku tidak menghalangi suami berbakti pada ibunya. Yang aku sesalkan adalah karena sikapnya yang lebih mengedepankan dan mengutamakan ibu dan juga adiknya dari pada istrinya sediri. Walaupun ia tidak pernah menyakiti ku secara lahir. Tapi batinku sudah disakitinya cukup dalam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status