Iya, Satu bulan setelah pertemuan ku dengan keluarga mas Hadi dan kami makan malam bersama. Akhirnya mas Hadi dan juga keluarganya datang ke rumah orang tuaku dengan maksud untuk meminta ku pada ibuku untuk di jadikan menantu di rumah mereka. Seperti angin segar. Akhirnya hubungan kami mendapatkan restu dari ibunya.
Tidak berselang lama, tepatnya dua bulan setelahnya pesta pernikahan kami digelar. Akhirnya hubunganku dan mas Hadi di persatuan dalam ikatan suci yang namanya pernikahan.Pernikahan kami tidak dirayakan secara meriah, hanya di rumahku saja pesta kami tersebut digelar. Alasan tidak di selenggarakannya pesta kami di rumah mas Hadi adalah dengan alasan uang yang bisa dipergunakan untuk kebutuhan kedepannya kami. Di sisi lain itu juga ada alasan lain yang diungkapkan oleh ibu mertuaku yakni karena dua bulan setelah pernikahan kami. Ibu mertua juga akan menggelar pernikahan dari putra bungsunya.Aku segera diboyong mas Hadi untuk tinggal bersama dengan ibunya. Sempat aku menolak karena di rumah tersebut masih ada adik laki-lakinya namun alasanku tidak dihiraukan olehnya. Sebagai istri aku harus menuruti semua ucapan suaminya karena tidak mungkin suami akan mencelakai istrinya, itu alasan yang ia buat."Mira, suamimu itu anak pertama dan kamu juga tahu kalau bulan depan adalah pesta pernikahan di Wahyu. Kamu tahu kan kalau calon keluarga adik iprmu itu orang yang terpandang dan berpendidikan, maja dari itu kita harus menyesuaikan juga dengan seserahan nanti yang akan kita bawa. Nggak mungkin yang sederhana karena itu bisa menjatuhkan nama baik keluarga ini. Beda sama kamu kan keluarga kamu orang biasa saja." Sedang asyiknya kami berbincang membahas pernikahan si Wahyu. Ibu mertua kembali berulah. Lidah perempuan tua itu kembali mengeluarkan bisanya. Sakit, tentu saja aku sakit karena merasa keluarga ku dan terutama ibuku yang adalah orang tua tunggalku terang-terangan direndahkan oleh mulut berbusa perempuan yang kini aku panggil sebagai ibu mertua.Aku salah sangka. Aku kira hati perempuan ini akan berubah luluh karena memberikan izinnya pada sang putra untuk menikahi ku. Nyatanya restunya itu belumlah sepenuhnya ia berikan kepada kami."Iya, Mir. Karena aku anak tertua, aku harus membatu ibu untuk membiayai pernikahan di Wahyu. Jadi maaf kalau untuk bulan ini dan beberapa bulan kedepannya seluruh uang gajiku aku serahkan pada ibu." Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Itulah yang sedang aku rasakan. Belum hilang rasa sakit akibat ucapan pedas ibu mertua. Kini suamiku juga menaburkan garam di atas luka yang menganga. Mungkin inilah yang dimaksud definisi sakit yang tidak berdarah. Rasanya sungguh-sungguh sangat dahsyatnya.Baru bulan pertama menjadi menantu di rumah ini. Tapi beban hidup yang aku rasakan sudah berkali lipat aku rasakan beratnya. Ini adalah salah satu konsekuensi yang harus aku terima."Amira, apakah kamu yakin dengan pilihan kamu si Hadi, Nak?" Aku masih terngiang-ngiang ucapan ibuku satu Minggu sebelum kedatangan keluarga mas Hadi yang bermaksud untuk melamar ku."Insyaallah, Amira yakin, Bu. Memangnya kenapa?""Tidak ada apa-apa. Ibu cuma ingin tahu perasaan kamu saja. Benar yakin dan mantap atau masih ada keraguan." Ucapan ibuku memang tidak ada yang aneh namun rona wajahnya menggambarkan ada sesuatu yang sengaja ibuk sembunyikan dan ia tutupi dengan senyuman yang seolah untuk menguatkan putrinya ini.Perkataan ibuku masih aku ingat sampai saat ini meskipun beliau sudah tidak ada lagi di dunia ini dan meninggalkan aku sendiri tepatnya satu bulan usai pernikahan ku. Mungkin itulah firasat seorang ibu pada putrinya.Mungkin ada firasat buruk dari ibuku waktu itu namun beliau sengaja tidak ingin mengungkapkan karena tidak ingin menjadikan pernyataannya tersebut akan menjadikan beban untuk putrinya ini.***"Amira selamat, ya. Enggak nyangka aku kalau kamu akan terpilih menjadi penggantinya ibu Pratiwi." Beberapa rekan kerja ku menghampiri aku di meja yang sudah hampir tiga tahun ini aku tempati. Iya, aku bekerja di sebuah pabrik pakaian jadi dan hari ini adalah hari yang membahagiakan untukku. Aku diangkat menjadi salah satu pengawas di bagian produksi. Tidak sia-sia dulu aku bersekolah di sebuah sekolah kejuruan tata busana. Aku bisa masuk di pabrik ini karena rekomendasi dari sekolah ku juga karena aku dulu pernah magang di pabrik ini dengan nilai yang bagus yang aku dapatkan dari penilaian pabrik ini."Alhamdulillah, teman-teman.""Tapi ingat kabar ini jangan sampai terdengar keluarga suami kamu. Aku tahu siapa itu ibu mertua kamu. Perempuan tua yang terlalu berambisi dan mengagungkan jabatan. Padahal menantunya itu juga tidak lebih baik dari pada kamu." Mbak Siti memberikan aku nasihat. Mbak Siti ini adalah salah satu tetangga dekat ibu mertuaku. Ia jauh lebih lama mengenal bagaimana watak dari ibu mertuaku. Dan lewat aku juga mbak Siti bisa bekerja di tempat ini. Karena ia janda beranak satu akhirnya aku yang menawarinya bekerja di sini karena juga bertepatan adalah lowongan kerja."Iya, mbak terimakasih sudah diingatkan. Aku juga tidak berniat memberi tahu mereka termasuk juga dengan mas Hadi, kecuali jika kami sudah pindah dari rumah itu.""Semoga suamimu itu terbuka pintu hati dan matanya biar bisa melihat dan membedakan kelakuan ibunya itu baik apa tidak juga sama adik iparnya itu. Kamu jangan lengah jaga suami kamu juga. Karena pengalaman saja kalau sebenarnya tidak baik kita sebagai pasangan suami-isteri masih satu atap terlebih masih ada ipar di dalam sana bisa-bisa akan menjadi maut untuk kita.Pesan mbak Siti akan selalu aku ingat.Hari ini adalah hari pernikahan adik ipar ku. Aku sengaja mengajukan cuti libur untuk hari ini sedari satu Minggu yang lalu."Mas, banyak sekali barang yang akan dibawa. Ini malah lebih dua kali lipat dari pernikahan kita." Ucapku pada mas Hadi yang sedari tadi sibuk menyiapkan persiapan pernikahan untuk adik bungsunya. Sepertinya lebih sepesial dari pernikahan kami dulu. Jujur saja aku merasa iri melihat semua ini. Dulu kamu diperlakukan sangat sederhana dan apa adanya tidak ada yang istimewa. Demi pernikahan ini aku rela tidak mendapatkan nafkah dari suami selama dua bulan ini.Semoga Allah menjawab segala doaku. Ia-lah yang Mahakuasa membolak-balikkan hati manusia. Semoga hati suamiku luluh dan bisa bersikap sewajarnya seorang suami pada istrinya. Aku tidak menghalangi suami berbakti pada ibunya. Yang aku sesalkan adalah karena sikapnya yang lebih mengedepankan dan mengutamakan ibu dan juga adiknya dari pada istrinya sediri. Walaupun ia tidak pernah menyakiti ku secara lahir. Tapi batinku sudah disakitinya cukup dalam.Pesta pernikahan Wahyu dan Amanda dilangsungkan secara meriah, lebih ke arah mewah karena dari sepengetahuan yang terlihat oleh mataku. Rumah orang tua Manda berada di gang sempit dan sangat berbeda jauh dengan omongan yang pernah diucapkan oleh mulut ibu mertuaku.Masih aku ingat ibu mertua yang meninggi-ninggikan menantu satunya itu. Tidak ada satu pun dari perkataannya tersebut sepadan dengan kenyataan di depan mata. Orang terpandang, berpendidikan? Kedatangan keluarga ibu mertua saja tidak disambut dengan ramah oleh keluarga besannya. Dan yang paling membuat aku malu adalah ketika para tetangga kami yang juga ikut diajak oleh ibu mertua untuk mengiring pengantin adik dari mas Hadi."Katanya orang kaya, tapi suguhan cuma air mineral.""Pelaminan si mewah, tapi kok nggak sesuai dengan suguhannya.""Yang aku dengar katanya Bu Tuti ikut nyumbang puluhan juta, loh.""Masa iya, sih?" "Iya, aku dengar dari saudara aku yang rumahnya dua rumah sebelah kanan dasi rumah ini. Dia tuh tewang
Terpaksa aku kembali mengeluarkan uang pribadiku demi memberi makan suami dan ibu mertuaku. Andai saja mereka memang benar-benar tidak mampu dan memang benar membutuhkan bantuan dariku. Tentu saja aku akan dengan setulus hati melayani mereka. Tapi fakta yang ada justru sebaliknya. Ibu mertua terlalu memaksakan kehendaknya demi kepentingan pribadinya dan mengorbankan aku di posisi ini. Mas Hadi? Aku masih belum bisa percaya jika wujud asli suamiku adalah seperti ini. Jauh dari prediksiku, yang ku sangka memperjuangkan aku demi memperjuangkan cinta kami nyatanya itu hanya manis di muka dan di mulut saja. Mungkin sekarang dia sudah lupa dengan janjinya itu. Atau mungkin ada alasan lain kenapa suamiku seperti ini. Mungkin itu karena ibunya dan bisa saja karena ibu mertua sepertinya memang tidak rela anaknya beristrikan perempuan seperti aku ini."Bawa apa kamu itu, Mir?" sambut ibu mertua di depan pintu saat aku baru saja pulang dari toko. Di tempat kami biasanya kalau siang hari memang k
Pukul sembilan malam, terdengar suara pintu rumah terdengar setelah sebelumnya deru mesin motor terdengar semakin mendekat ke arah rumah ini.Iya, Mas Hadi dan ibunya baru saja pulang dari rumah besannya. Terlalu berharap mendapatkan bagian uang kondangan sepertinya. Mungkin karena sudah keluar uang banyak. Sudah menyumbang banyak pada besannya yang aku tidak ketahui dari mana asal yang tersebut.Aku tidak berniat membuka pintu untuk mereka, toh mereka juga membawa kunci cadangannya.Sehabis ashar hingga jam segini mereka baru pulang.Siang tadi aku benar-benar tidak masak untuk mereka. Aku sengaja mendiamkan keduanya, berharap mereka menyadari kesalahannya. Tapi aku salah, justru mereka ikut pula mendiamkan aku.Sesaat setelah mereka pergi. Aku keluar kamar dan ingin melihat kondisi di dapur. Benar, ternyata ibu mertua sudah masak nasi dan ada bekas kulit telur, sepertinya mereka cuma bikin telur goreng dua biji.Aku tidak menunggu lama. Segera aku menghubungi mbak Siti berniat menga
"Mir, kenapa pulang telat, kamu? Sengaja biar nggak beres-beres rumah?" Kedatanganku disambut oleh ibu mertua dengan muka ketus dan omelan yang tentunya pasti panas di telinga ini.Iya, hari ini aku pulang lebih telat karena ada lembur dadakan. Tidak mungkin aku sebagai pengawas harus absen. Sementara kinerja para pegawai yang ada dalam naunganku butuh untuk diawasi."Tadi ada lembur, Bu," jawabku singkat.""Alah, kamu pasti alasan. Biasanya juga pulang lebih awal. Pasti ini kamu sengaja kan?""Bu, ada apa sih? Kok kayak orang ribut saja." Mas Hadi muncul dari dalam."Itu istri kamu. Sudah tahu iparnya mau pulang malah dia sengaja pulang telat biar nggak beres-beres dan nyiapin makanan untuk kita makan nanti.""Mira memang lembur, Bu. Tadi siang Mira juga sudah kasih kabar ke Hadi.""Alah, kamu ini. Ngapain juga kamu bela-belain istri yang nggak becus. Pasti dia cuma alasan saja.""Sudahlah, Bu. Urusan beres-beres kan Wahyu dan istrinya bisa kerjain sendiri. Itu bukan kewajibannya si
Mas, aku ingin kita bisa segera pindah dari sini. Aku tidak masalah sama ibu meskipun itu tidak pernah suka dengan kehadiranku menjadi pendamping kamu. Tapi aku tidak bisa terus menahan sakit hati karena istri dari adik kamu itu." Aku memberanikan diri untuk mengungkapkan keluh kesahku pada suami.Saat ini kami sedang ada di dalam kamar yang kami tempati. Mas Hadi segera berbalik ke arahku karena sebelumnya ia disibukkan dengan pekerjaannya yang ia bawa pulang."Tapi kita mau tinggal di mana? Rumah orang tua kamu juga masih ada yang ngontrak.""Iya, itu kita cari bersama nanti. Pokoknya aku ingin kita bisa hidup mandiri, Mas. Toh kalau kita pergi dari rumah ini masih ada adik kamu yang akan menemani ibu."Suamiku nampak terdiam sejenak."Aku juga mau menghubungi orang yang sekarang masih menempati rumah ibu. Apakah mereka masih mau nambah waktu atau diselesaikan satu tahun ini. Kurang tiga bulan lagi masa kontrak mereka dengan kita.""Kamu pikir-pikir saja dulu. Tidak baik mengambil
Loh, Mas kemana tv nya dipindah ke luar? Siapa yang sudah lancang pindahin barang orang? Kenapa tidak izin dulu sama aku?" Baru pulang kerja aku sudah dibuat naik pitam. Bagaimana tidak? Tv yang aku beli dari hasil ku bekerja. Yang aku letakkan di kamar kami tiba-tiba sudah berpindah tempat. Mas Hadi nampak salah tingkah."Ibu yang minta Hadi pindah keluar. Lagian tv yang kecil itu diminta sama Manda," sahut ibu mertua yang baru saja keluar dari kamarnya."Lagian kamu ini kenapa sih, tv saja pakai disimpan dalam kamar. Kalau ditaruh di sana mana ada orang yang tahu." Alasan yang sangat tidak masuk akal. Tukang pamer tapi yang dipamerkan barang milik orang lain. Agak lain memang ibu dari suamiku ini."Ibu mau pamer? Lagian itu kan tv punya Mira. Niat Mira beli juga bukan untuk pamer. Ibu juga jangan mentang-mentang di rumah ibu jadi barang yang aku beli ibu anggap sebagai punya ibu. Mira juga punya niat ingin cepat keluar dari rumah ini. Sudah cukup Mira menderita karena tinggal di rum
Usai makan malam di tempat langganan ku. Kami berdua segera menuju masjid yang tidak jauh untuk melaksanakan kewajiban tiga rakaat."Mir, kita mau cari kue dulu apa buah dulu?" tanya mas Hadi meminta pertimbangan sama aku."Terserah mas saja. Aku dibelakang, jadi ngikut supirnya saja." Kali ini kami keluar dengan mengendarai motor milikku. Karena mas Hadi malu jika keluar membawa istrinya harus mengendarai motor tua miliknya. Aku mengatakan motor tua karena motor tersebut memang untuk saat ini sudah tidak diproduksi lagi dan juga semakin jarang penggunanya. Orang-orang lebih suka mengganti dan menukar motor mereka dengan motor keluaran terbaru."Kita cari kue saja dulu kalau gitu." Pertanyaan yang ia tanyakan dan ia jawab sendiri. Aku mengangkat kedua pundakku sebagai tanda jawaban terserah apa maunya.Basu saja motor melaju di keramaian, mas Hadi tiba-tiba membelokkan motornya ke arah keramaian di mana ada sebuah gerobak yang sedang dikerubungi oleh antrian pembelinya."Ayo, Mir!" aj
"Puas kamu bikin orang tua malu!" Seketika aku dikagetkan oleh cacian ibu mertuaku. Iya, aku baru saja selesai mengolah makanan dan tentu saja makanan itu hanya aku oleh cukup untuk dua orang saja. Ibu mertuaku sudah tidak sudi menyentuh makanan yang aku olah semenjak menantu kesayangannya itu datang di rumah ini.Aku berpura-pura tidak mendengarkan ucapannya itu dari pada nanti berujung pertengkaran di pagi hari ini. Biarkan saja orang tua ini berbuat sesuka hatinya. Mungkin saja setelah ini malaikat Izrail datang bertamu untuk menemuinya. Astaghfirullah, kenapa aku berdoa yang tidak baik. Harus aku doakan saja semoga ibu mertuaku ini diberi kesempatan untuk bertaubat.Bugg!"Kamu budeg atau bagaimana? Ada orang tua bicara itu mulut kenapa diam!" bentaknya.Hampir saja tangan ku ini melayang. Untung saja aku masih ingat kalau perempuan ia adalah orang tua suamiku. Aku seketika dibuat meradang karena makanan yang sudah aku bungkus untuk bekal makan siang ku tiba-tiba saja dilemparkan