Share

4. Mempertahankan hubungan

Setelah kurang lebih menempuh perjalanan selama lima belas menitan. Aku dan mas Hadi akhirnya sampai di depan rumahnya. Oh iya, tidak lupa saat ditengah perjalanan tadi aku meminta mas Hadi berhenti untuk membeli oleh-oleh untuk dibawa kerumahnya. Kata mas Hadi martabak telur adalah salah satu makanan favorit ibunya. Tak lupa aku belikan beliau yang spesial. Bukan berniat untuk menyogoknya agar memberikan restunya melainkan untuk memberikan bukti jika aku yang seorang buruh pabrik ini tidak akan bersandar dan bergantung hidup pada putranya yang masih berstatuskan sebagai pengajar honorer.

"Assalamualaikum." Aku dan mas Hadi bersama-sama mengucap salam. Terdengar suara candaan dari dalam mungkin itu suara ibu mas Hadi dan juga Amanda yang katanya adalah calon dari adik mas Hadi. Ada yang terasa ter-cubit di dalam sini. Bagaimana tidak, kedatangan ku disambutnya dengan raut masam dan tidak bersahabat sedangkan calon menantu yang lain disambutnya dengan penuh suka cita dan sepenuh hati.

"Waalaikumsalam." Balasan salam akhirnya aku dengar dari dalam.

"Sudah datang kalian." Ibu mas Hadi segera menghampiri.

"Iya, Bu. Tadi di jalan kita berhenti dulu. Ini tadi Amira minta Hadi berhenti untuk beli oleh-oleh buat ibu katanya." Rona wajah yang sama seperti sebelumnya yang ibu mas Hadi perlihatkan. Mas Hadi segera menyerahkan bungkusan plastik tadi pada ibunya dan segera pula disambut oleh ibunya itu

"Ada martabak telur untuk ibu. Katanya mas Hadi ibu sangat suka sama martabak telur." Aku ikut menanggapi.

"Tapi ini tadi belinya pakai uang Hadi apa uang kamu sendiri. Kalau dari uang Hadi ya sama saja itu Hadi yang beliin bukan oleh-oleh." Astaghfirullah. Aku beristighfar. Aku sudah tidak bisa berkata-kata lagi menghadapi perempuan tua satu ini.

"Itu tadi Mira yang beli, Bu. Mira kebetulan habis gajian juga katanya." Mas Hadi terdengar memberikan pembelaannya kepadaku.

"Oh, buruh pabrik biasanya gajian tangga muda. Sama seperti pegawai pemerintah." Ucapan ibu mas Hadi terdengar merendahkan. Dia kira aku ini bodoh tidak tahu gaji guru honorer seperti anak-anaknya dan juga calon menantu yang dibanggakannya itu. Gaji mereka semua tidak lebih besar dari gaji yang aku dapatkan. Gajiku malah tiga kali lipat mungkin bisa lebih. Yang aku tahu mas Hadi merupakan guru honorer di sebuah SMA negeri sementara adiknya menjadi honorer di sekolah dasar juga calon istrinya itu juga yang memang berada di sekolah yang sama.

"Iya, Bu sama." Lebih baik merenda dulu. Toh dengan merenda bukan berarti posisi kita memang lebih rendah dari pada mereka melainkan itu adalah yang sebaliknya.

"Ayo, Bu katanya kita mau makan malam bersama. Ini kenapa masih berdiri di sini saja," ucap mas Hadi mencairkan suasana. Aku sendiri sedikit menyesal kenapa juga aku ikut dan menuruti kemauan mas Hadi yang mengajakku untuk kembali bertemu dengan ibunya kalau jadinya seperti ini.

Kami berlima duduk di atas karpet yang telah digelar di ruang tamu karena sedikit terlihat jika ruangan yang ada di dalam sana tidak jauh lebih luas dari ruang tamu ini. Tetapi kenapa cara bicara ibunya mas Hadi seolah adalah seorang yang berada dan merendahkan aku yang hanya bekerja sebagai buruh pabrik. Dari karpet yang mereka gelar saja sudah nampak jika karpet ini sudah usang dan termakan zaman. Kalau di rumahku ini mungkin sudah aku buang atau bakar. Banyak koyakan di sana sini.

Meski rumah ku tidak besar dan mewah namun masih terlihat lebih baik dari tempat ini dan itu tidak membuatku merendahkan mas Hadi dan membanding-bandingkannya.

"Ini tadi Manda yang masak. Manda yang bantuin karena datang ke sini dari siang tadi bukan datang untuk cari makan." Aku hampir saja tersedak karena mendengar ucapan ibunya mas Hadi. Untung saja mas Hadi cekatan dan segera memberikan aku segelas air putih.

"Kamu nggak apa-apa, Mir?" tanya mas Hadi khawatir sedangkan yang ketiga orang di depanku hanya memandangiku.

"Nggak apa-apa, Mas. Cuma kena duri dari ikan nila ini." Iya, menu yang di sajikan malam ini adalah ikan nila bakar dan tumis kangkung beserta sambal dan lalapan tidak ada yang lain.

"Biasa makan tahu tempe ya? Kena diri dikit langsung bereaksi heboh seperti itu?" celetuk calon menantu dari ibunya mas Hadi. Oh, makanya mereka cocok. Tenyata sama-sama bermulut tajam.

Makan tahu, tempe? Mereka saja yang tidak tahu kalau hari ini ibuku sengaja memasak rendang daging dan juga sayur daun singkong yang jelas lebih menggugah selera ketimbang yang ada di depanku sekarang. Astaghfirullah, bukannya hamba ini kufur dan tidak bersyukur ya Allah. Hamba hanya terpancing emosi. Aku membatin.

"Memangnya kamu tadi di rumah masak apa?" Giliran ibu mas Hadi yang bertanya.

"Tadi cuma ada rendang daging sama sayur gulai daun singkong saja." Aku menahan untuk tertawa melihat ekspresi mereka. "Menu sederhana yang penting tetap mempertahankan gizi." Aku tidak mengada-ada atau membual karena memang itu yang jadi kenyataan.

"Menu sederhana?" tanya Manda melongo. Lucu sekali ekspresi membantu idaman ibunya mas Hadi ini.

"Berapa bulan sekali di rumah kamu masak daging? Pasti karena kamu baru dapat gaji dari pabrik." Manda langsung menguasai emosinya dan kembali kesetelan angkuhnya.

Yang perempuan sedang memperdebatkan soal makanan sedangkan dua orang pria ini asik dengan makanan mereka sediri.

"Nggak pasti. Seminggu biasa satu sampai dua kali. Terkadang daging ayam, gurami, kadang juga menu seafood seperti kepiting, cumi dan udang." Nampak ibu mas Hadi dan calon menantunya itu langsung tutup mulut. Rasakan kalian. Calon menantu dan calon mertua sama-sama kepo dan suka merendahkan orang lain hanya karena status pekerjaan dan pendidikan.

**

Akhirnya, Aku sampai lagi di rumah kedua orang tuaku. Aku sudah tidak betah berlama-lama tinggal di rumah mas Hadi. Usai makan malam dan membantu membereskan peralatan makan dan juga bersih-bersih. Aku memilih untuk ngobrol sejenak setelahnya aku putuskan untuk segera undur diri.

Tepatnya jam delapan malam aku sudah kembali pulang dan sampai di rumah ini.

Apa aku terlalu bucin sama mas Hadi sampai-sampai aku maunya jatuh di lubang yang sama dan masuk ke kandang singa yang mengaung.

Tidak. Pikirku yang akan menjalani kedepannya adalah kami berdua. Seiring dengan waktu aku yakin ibunya juga akan luluh hatinya. Kami akan berjuang bersama dan membuktikan pada ibu mas Hadi jika seorang buruh pabrik ini tidak akan membuatnya malu dan menghancurkan harga diri keluarganya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
for you
udah mbaca ,cerita tapi peranya harus bercerita bukan lanhsung inti dialog nya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status