Share

2. Diam-diam menguping

"Hadi, dari pada kalian merenovasi rumah orang tuanya si Amira, mending kamu renovasi dulu rumah ibumu ini." Aku baru saja pulang kerja dan sudah mendapati ibu mertuaku mendatangi rumah peninggalan orang tuaku yang saat ini aku tinggali bersama dengan putranya.

Apa aku tidak salah dengar ucapkan ibu mertuaku barusan. Merenovasi rumahnya? Rumah yang katanya sudah ia berikan kepada putra bungsunya karena rumah biasanya diwariskan orang tua pada putra bungsunya, itu dalih yang aku dengar dari ibu mertuaku.

Iya, Aku sengaja menguping pembicaraan ibu mertuaku bersama dengan suami dan juga putra bungsunya. Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba saja perempuan yang aku panggil ibu mertua berkunjung ke rumah orang tuaku.

Iya, hampir setengah tahun ini aku pindah ke rumah peninggalan mendiang kedua orang tuaku karena aku adalah anak satu-satunya.

Sebelumnya rumah ini sengaja aku kontrakan karena setelah menikah aku ikut tinggal bersama dengan orang tua dari suamiku. Setelah kedatangan iparku, Aku akhirnya memutuskan untuk segera pindah dan bertepatan pula dengan pengontrak yang sudah tidak memperpanjang lagi masa kontraknya karena harus pulang ke kampung halaman istrinya.

"Itu adalah kemauannya Mira, Bu. Kan yang punya uang itu juga si Mira." Mas Hadi berusaha memberikan penjelasan pada Ibunya.

"Tapi kamu itu suaminya. Sebagai seorang istri harusnya si Mira itu patuh sama kamu."

"Tapi rumah itu bukannya sudah ibu berikan sama Wahyu, Bu?"

"Iya, terus kenapa kalau itu rumah si Wahyu. Kamu juga kan dapat rumah warisan dari orang tuanya si Mira. Lagian ibu juga bakalan tinggal sama adik kamu. Jadi wajar kalau kamu harus bantu si Wahyu buat nyenengin ibu dengan menyediakan tempat tinggal yang nyaman buat ibu."

Aku geram dengan alasan ibu mertua. Bisa-bisanya ia pandai beralasan. Aku bukannya baru satu atau dua hari mengenalnya. Tapi sudah hampir satu tahun. Aku tahu bagaimana betul peringainya itu.

Ibu mertua sangat kompak dengan menantu satunya yakni si Amanda yang tidak lain adalah istrinya si Wahyu.

Sedari awal aku menjadi menantunya memang ibu mertua sudah tidak suka. Ia sepertinya terpaksa menerima aku karena putranya tak kunjung juga menikah diusianya yang sudah matang.

Aku Amira 23 tahun. Sementara suami mas Hadi berusia 29 tahun.

Kami sudah menikah selama kurang lebih empat tahun dan memang juga belum dikaruniai seorang momongan.

"Rumah kalian juga masih bagus. Buat apa buang-buang duit buat renovasi rumah segala. Kalian juga masih hidup berdua. Belum juga ada momongan. Lebih baik uang itu buat kamu ibadah menyebabkan ibu kamu sendiri. Suami adalah kepala keluarga dan istri harus nurut dan patuh pada suaminya. Kamu harus tegas sama Hera.

Sedangkan di rumah ibu juga cuma ada tiga kamar yang semuanya sempit. Kamu sendiri adik kamu sebentar lagi punya anak. Masa iya harus menempati kamar yang sempit dan sesak."

Ini juga adik suamiku. Mulutnya sudah melebihi mulut perempuan yang lemes dan enteng maksud ngomong tanpa dipikir dulu.

Seperti setali tiga uang dengan istrinya itu. Sama-sama nggak tahu dirinya.

Jangan harap satu sepeser pun akan aku keluarkan untuk mereka. Selama ini barang-barang yang aku beli selama tinggal di rumah ibu mertua yang menjadi milikku, mereka melarang aku untuk mengambil dan membawanya untuk aku pergunakan di rumahku sendiri ini. Mulai dari lemari es, mesin cuci dan juga yang terakhir televisi layar datar semuanya itu dikuasai oleh ibu mertua.

Sebelum aku pindah ke rumah mas Hadi. Di rumah tersebut memang tidak ada perabotan mewah. Hanya kursi tua dan lemari kayu yang sudah lapuk yang mengisi rumah mereka tersebut. Bukan tanpa alasan. Ibu mertuaku memang sudah menjanda lebih tepatnya satu tahun sebelum aku dan mas Hadi menikah. Mertuaku merupakan pensiunan guru sekolah dasar begitupun mas Hadi dan jug adiknya keduanya juga mengikuti jejak ayahnya itu. Hanya saja suamiku dan adik ipar ku itu masih belum diangkat menjadi pegawai negeri karena memang belum lolos seleksi.

Ibu mertuaku sangat mendambakan menantu yang sama halnya putra-putranya yang mengenyam pendidikan hingga bangku perkuliahan. Amanda menjadi menantu kesayangan juga karena ia menjadi seorang pengajar.

"Pokoknya ibu mau rumah ibu dulu yang dibangun. Bukan malah rumah si Amira ini." Terdengar suara ibu mertua yang mulai merajuk. Dasar modus. Jika dulu aku bisa memakluminya. Tidak untuk saat ini dan seterusnya.

"Iya, Mas. Apa kamu gak kasihan sama ibu sama almarhum bapak juga." Si Wahyu kenapa juga bawa-bawa orang yang sudah tidak ada lagi di dunia ini. Ibu dan anak sana saja.

Lihat saja bagaimana nanti reaksi suamiku itu. Apakah dia akan berpihak pada istrinya yang mempertahankan haknya ataukah ia tetap akan menuruti semua kemauan ibunya itu.

"Emm ... emm ... emm, Assalamu'alaikum. Eh ada tamu." Aku berdehem dan kemudian mengucapkan salam. Tentunya mereka semuanya terkejut karena aku pulang lebih awal dan mereka juga tidak menyadari keberadaan ku sedari tadi.

"Waalaikumsalam," jawab mereka kompak.

"Kamu dari tadi, Dek?" Rona wajah suamiku menampakkan kepanikan begitu juga ibu mertua dan anak bungsunya itu.

Aku segera menyalami tamu di rumahku. Tak lupa seulas senyum yang sengaja ku buat manis aku perlihatkan pada mereka. Tentunya rasa hati ini berkata lain.

"Baru saja, Mas," ucapku bohong.

"Ibu sudah dari tadi. Tumben, apa ada yang penting?"

"Kamu jam segini kenapa sudah pulang" Dengan raut masamnya ibu mertua bertanya.

"Iya, Bu. Tadi di pabrik ada pemadaman listrik. Jadi seluruh pekerja dipulangkan lebih awal," balasku.

"Iya memang beda pegawai seperti guru dan buruh. Kalau guru sudah ada interupsi dari pemerintah sedangkan buruh yang harus patuh sama yang punya tempatnya." Nyes! Pedas sekali mulut wanita tua satu ini. Dikiranya aku tidak tahu niat kedatangannya ke rumah ku ini. Buruh yang ia rendahkan ini lebih banyak memiliki tabungan ketimbang anak dan menantunya yang merupakan pegawai pemerintah yang ia bangga-banggakan.

Awas saja. Tidak akan ada lagi jatah uang buruh ini untuk perempuan tua bermulut pedas seperti dirinya.

Ya Allah maafkan hamba MU ini karena belum bisa berlapang hati dan sabar menghadapi orang tua yang tidak bisa menjaga lidahnya yang tajam itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status