Share

Playing Victim

Part 4

Enak sekali hidupnya. Tinggal minta, ngambil, beres! Tanpa mau peduli dengan perasaanku!

Aku berdiri tepat di depan mobil yang hendak melaju. Wanita yang selalu bergaya bak sosialita itu membuka kaca jendela, lalu menyembul di baliknya.

"Apa-apaan si kamu, Mitha!

Minggir, Mama mau pulang!" sentaknya sambil membunyikan klakson berkali-kali.

"Enak aja, main pulang.

Tunggu dulu sebentar!" ucapku lantang.

Ck! Wanita itu berdecak kesal.

"Mama ada acara di rumah,  awas!" kelakarnya.

"Gak bisa, keluar sekarang juga, Ma.

Sebelum kesabaranku habis!" ucapku tegas sambil berkacak pinggang.

Wanita itu membuang napas kasar, lalu keluar dengan ragu-ragu. Dia pasti takut padaku.

Dia menatapku tajam lalu bicara dengan ketus.

"Ada apalagi?!

Sudah Mama bilang, Mama ada acara!

Kecuali, kalau kamu mau beliin cincin itu. Baru, Mama ada waktu buat kamu!" cetusnya sambil membuang muka.

Dia masih pura-pura tidak tahu apa-apa rupanya. bahkan sudah mengambil barang punyaku, tapi masih berlagam polos dan secara terang-terangan mengaku memberiku waktu, hanya kalau aku mau membelikan cincin berlian itu. Cih! Tak sudi aku.

"Heh, gak bakal aku beliin Mama cincin itu!

Mama gak pantes tau, make barang mahal!"

"Apa kamu bilang?!

kamu jangan kurang ajar ya, Mitha.

Kamu itu kenapa sih, kemarin masih baik-baik saja, sekarang udah kaya orang kesurupan!

Kamu itu gak sopan banget tau gak!"

Aku tertawa terbahak-bahak.

"Manusia model Mama ini, gak pantas dihormati.

Tau kenapa? karena Mama itu pen-cu-ri!

Mama itu kalau datang, bisa gak sih secara baik-baik?

Bukannya malah ngambilin barang-barang aku, Ma. Itu namanya maling!"

Plak! Dia menampar pipi kiriku dengan kencang. Terasa perih dan sakit menjalar di pipi. Tapi, ini idak sebanding dengan sakit di dalam hati ini.

"Kamu!

Beraninya kamu bilang Mertuamu sendiri, maling, hah!" tunjuknya padaku. Benar ya kata pepatah. Mana ada maling ngaku. kalau maling ngaku, penjara pasti penuh.

Dia ingin menamparku lagi, tapi secepat kilat aku tahan. Aku menatapnya tajam. Dia ingin melepas tangannya dari cengkramanku, tapi tak bisa karena aku memegangnya dengan sangat kuat.

"Kembaliin, Ma, atau aku laporin Mama ke polisi sekarang juga!

Dengar, Ma. Aku gak segan-segan buat menjarain benalu kayak Mama!" ancamku. Kesabaranku sudah habis. Mulai sekarang, aku gak mau diinjak-injak lagi.

Sorot matanya menatapku penuh kebencian. Tapi, apa peduliku. lagipula, kita tak ada hubungan darah sedikit pun. Aku sudah cukup menahan diri dan mengalah selama ini.

"Dasar menantu durhaka, sudah menuduh yang tidak-tidak, malah mau lapor polisi segala!

Bukan Mama, yang ada, kamu yang akanama penjarain karena sudah memfitnah mertua sendiri!"

"Heh, Mama yakin, kalau aku ini fitnah?

Mama yakin, mau penjarain aku?!" tantangku.

Mata wanita itu semakin intens menatapku tajam, hingga terdengar bunyi gemerutuk di bibirnya.

"Aku hitung sampai lima!

Kembalikan, atau aku jebloskan Mama ke penjara!

Mama ingat ya, aku tidak pernah main-main dengan ucapanku. seperti aku berbuat baik sama Mama, begitu juga sebaliknya. Aku bisa berbuat lebih kejam.

Kenapa, Mama heran karena aku berubah?

Ini juga karena, buah dari sikap kalian padaku selama ini!

Cukup basa-basinya. Mama kembalikan baik-baik semua perhiasanku, atau aku akan mengambilnya secara paksa!

Satu ... dua ... tiga ... empat ... lima."

Kuhempaskan tangan itu dengan kasar, lalu merogoh ponsel dari sling bag.

Mengotak-atik ponsel kemudian menelpon polisi.

Dia tampak kesal, lalu membuka tas mahalnya.

"Ini! 

Aku gak butuh barang-barang murahan punya kamu!

Aku juga punya yang lebih bagus dari itu!" bentaknya.

Dia melemparkannnya dengan kasar ke arahku. Dia bilang gak butuh, tapi ngambil diam-diam. Dasar munafik!

Aku menyunggingkan senyuman sinis. Dasar nenek lampir!

Wanita itu hendak kembali masuk ke mobilnya.

"Mama!" seru anak kesayangannya yang tiba-tiba datang dari arah belakang.

"Farah, huhuhu!" Mama mertua pura-pura menangis. bahkan air matanya saja gak ada.

Mulai deh playing victim lagi. Aku sampai hapal karena saking seringnya hal ini terjadi.

Kakak iparku itu memeluk Mama.

"Untung kamu ke sini, kalau tidak, nggak tau apa yang akan terjadi sama Mama, huhuhu!"

"Mitha! kamu kok kasar banget sama mertua!"

"Kenapa aku yang disalahin, Mama yang salah karena dia udah nyuri barang-barang di rumahku!" tandasku.

Mama langsung menyela.

"Tega ya, kamu memfitnah mertua kamu seperti ini!

Mama itu cuma mau minjem, bukan nyuri, Mitha!" sanggahnya.

"Kamu benar-benar ya, Mitha! Dia ini mertua kamu, ibumu juga!

Seharusnya kamu perlakukan Mama dengan sangat baik. bukannya seperti ini!

Ingat ini, anaknya adalah suamimu dan di dunia ini tidak ada yang namanya mantan anak, yang ada mantan istri. Kamu kan ketemu Romi sudah gede, sudah dewasa seperti sekarang!

Gak tahukan waktu dia kecil yang urusin itu Mama. Kalau bukan kerana Romi, memangnya kamu bisa urus perusahan kamu sendirian!  

Mikir dong pake ot*k!"

"Oke, kalau begitu, mulai sekarang, aku akan urus perusahaanku sendiri!

Jadi, aku tidak harus merasa perlu berterima kasih pada Mama!" jawabku menantang.

"Kamu memang sudah gila, Mitha! Pasti karena anakmu yang pesakitan itu, kamu jadi tidak bisa berpikir normal!

Ayo, Ma, kita pulang. Bisa-bisa kita ikutan gila kalau lama-lama ada di sini!" 

"Aku juga khawatir Mama akan terkena serangan jantung jika lama-lama di sini.

Ingat ya Mitha, doa orang terdzolimi itu diijabah! Jangan menatang-mentang kamu yang punya perusahaan lalu berbuat seenaknya sama kami. Ingat ya, tanpa Romi kamu mungkin sudah bangkrut dan digulung hutang!" ketusnya lalu masuk ke kursi kemudi. Aku sigap menghindar, saat mobil itu sengaja mau menabrakku.

Hihhh! Keterlaluan sekali dia.

Mama yang salah kok malah nyalahin aku.

Aku juga gak bakal kayak gini kalau Mama melakukannya secara baik-baik, setidaknya untuk yang terakhir kali, sebelum aku berpisah dengan Mas Romi!

Awas saja, kalian lihat nanti. Aku gak butuh Mas Romi!

Aku juga bisa mengatur perusahaan!

Bisa-bisanya ya mereka merendahkan aku. Selama ini aku sengaja mengalah karena almarhum Ayah ingin aku fokus mengurus anak kami yang memang sejak kecil sakit-sakitan. Tapi mereka justru sebaliknya, malah menyangka aku tidak ingin mengurus perusahaan kerana tidak mampu. Selama ini, aku sudah cukup bersabar, tapi mereka semakin menjadi-jadi. Akan kubuktikan kalau ucapanku tidak main-main. Pokoknya, aku harus melakukannya.

Ih, dasar tak tahu malu! Sudah aku pungut, anaknya, diberikan kehidupan yang layak bahkan keluarganya pun ikut merasakan harta yang aku punya, sekarang malah semakin berbuat seenaknya saja. Rumah ini selalu dianggap rumah sendiri dan barang-barangnya selalu dianggap serasa milik mereka. Gak anak, gak ibunya sama aja. Cuma bikin darah tinggi!

Bersambung ....

Jangan lupa subscribe ya teman-teman ....

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kebanyakan bacot kau njing. klu sedikit punya wibawa maka takkan kau direndahkan sama orang yg sdh kau bantu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status