Share

Ternyata ....

Part 6

Wanita itu mencak-mencak, wajahnya merah padam, rasanya pasti campur aduk jadi satu tuh!

Rasain! dasar pelakor. dandanannya yang udah rapi jadi berantakan. Impiannya mengambil ijazah kelulusan dan berjabat tangan dengan Pak Rektor akhirnya gagal total. Kebanggaan yang seharusnya dielu-elukan pada hari ini hanya ada dalam angan. Aku yakin, dia akan benci mengenang hari wisudanya sendiri. Hahaha, ups. tapi pelakor seperti dia memang pantas mendapatkannya!

Dadanya kembang kempis menandakan ia amat marah padaku. Gak kebalik emang? Bukannya aku yang harusnya marah seperti itu? yang mencak-mencak dan mengumpat! yang wajahnya merah padam dan ingin menjambak! harusnya dengan kejadian ini dia sadar, bukan malah bersikap bagai orang terdzolimi, padahal di sini aku yang jelas-jelas tersakiti.

Kedua orang tuanya tampak sibuk menenangkan anak gadisnya, kemudian mereka mengajak Anita pergi sambil merangkul, melindungi dari tatapan orang-orang yang menatapnya dengan rasa jijik.

Sesak dadaku, kok tiba-tiba ada rasa iri di hati ini ketika melihat wanita itu mendapatkan perhatian penuh dari kedua orang tuanya, terutama dari suamiku. Aku buru-buru sembunyi di antara kerumunan orang-orang yang sedang berkumpul, takutnya Mas Romi mengenali. dengan badan yang sedikit aku bungkukkan, agar tak ketahuan saat pria itu lewat.

Lihat, sepeduli itu dia pada selingkuhannya, tapi terhadap anak dan istri sendiri ditelantarkan sedemikian rupa. Setelah masuk ke mobil, suaranya terdengar ngegas. Brummm! sesaat kemudian mundur dan melaju dengan kencang. Tak dihiraukannya teriakan yang memekakan telinga.

"Huuuu! dasar pelakor, mati aja sana!

Bikin malu gelar dokter aja!"

"Iya, bikin malu kampus!"

Aku menatap nanar mobil pajero hitam yang meninggalkan parkiran.

"Mbak Mitha!" Aku tersentak kaget saat Delin menyentuh pundakku.

Netraku mengerjap beberapa saat, tapi bayangan mereka masih saja menari di pelupuk mata.

Gadis itu lantas memelukku untuk menguatkan.

"Mbak, maaf kalau aku lancang, lebih baik kamu segera menggugat cerai lelaki bangsat itu!" sungutnya menggebu-gebu.

Gadis ini kalau ngomong memang gak bisa disaring. Labas aja gitu, kayak gak ada remnya.

"Benar itu, apa yang dikatakan sepupu kamu!"  timpal Om yang muncul setelah kedatangan Delin.

Ya ampun, betapa malunya aku di hadapan mereka dengan kelakuan Mas Romi.

"Iya, bahkan berani-beraninya dia datang ke sini, mungkin dia tidak tau kalau Delin berada di kampus yang sama!

Kami syok banget, Mitha!

Tante benar-benar tidak menyangka dengan suami kamu itu! Ternyata selama ini dia penuh kepalsuan!

Benar-benar lelaki yang tidak tau diri! Tante juga setuju dengan Delin! 

Mitha, lebih baik kalian segera bercerai!" ujarnya dengan raut wajah yang begitu kentara sekali, kalau ia amat membenci Mas Romi.

"Benar, jangan lupa kau harus pergi ke kantor secepatnya, untuk memeriksa keadaan di sana," pesan Om Burhan padaku.

"Om dengar, perusahaan kamu sedang pailit bukan? Om yakin ada kecurangan besar-besaran. Jangan khawatir soal Aura, Tantemu bisa membantu untuk menjaganya," tutur Om Burhan, adik mendiang Ayah.

"Makasih, Om, Tante, atas kepeduliannya. Kalau Delin gak ngasih tau, mungkin sampai sekarang aku masih seperti orang bego yang percaya saja dengan ucapan lelaki jahat itu.

Om tenang aja, soal mengurus Aura aku akan cari suster berpengalaman. Aku gak mau merepotkan Tante.

Dan soal urusan kantor, aku akan secepatnya ke sana. Aku juga berpikir demikian, Om.

Omset perusahaan semakin menurun drastis akhir-akhir ini.

Tapi, dari mana Om tahu kalau perusahaanku sedang pailit?" Selama ini, aku tidak menceritakan apapun sama siapa pun.

Pria itu terlihat gelapagan, aku tau dari gestur tubuhnya.

"Suamimu, minggu lalu datang ke kantor Om untuk meminjam uang dalam jumlah besar, dan berjanji akan mengembalikannya dalam waktu dekat."

"Apa?!" Aku sangat terkejut mendengarnya. Aku saja, yang keponkannya, tak berani meminjam uang. Tapi, Mas Romi, berani sekali dia!

Astaga, Mas Romi benar-benar keterlaluan! 

"Tapi, Om curiga, jadi gak kasih. Om bilang, kamu yang harus bicara langsung sama Om, baru nanti Om bantu. Tapi Om tunggu, sampai sekarang kamu gak telpon ataupun menemui Om. Jadi, Om semakin yakin kalau ada apa-apa sama dia!" jelas Om Burhan. Rasanya dadaku semakin sesak saja.

"Syukurlah, kalau Om gak ngasih, suamiku bahkan gak bilang apa-apa soal pinjam-meminjam uang," sahutku. karena memang begitu kenyataannya, atau mungkin aku lupa? Tapi rasanya, aku yakin betul Mas Romi gak bilang apa-apa kecuali soal omset yang terus menurun.

"Mitha, jangan-jangan suamimu itu menghambur-hamburkan uang perusahaan untuk wanita! Om dengar dari Delin, kalau gadis itu sahabatnya."

"Bisa jadi, tapi uang sebanyak itu dikemanakan?" Tante Dela menyela.

"Bisa saja dia siap-siap untuk berbagai kemungkinan!" tegas Om Burhan.

"Iya, Pa, kamu benar," sahut Tante.

"Delin, kalau gitu, kamu tau kan kehidupan keluarganya dia seperti apa?" tanyaku menatap matanya.

"Sebenarnya aku tidak terlalu tau sih, soalnya Anita, jarang cerita masalah keluarga. Dia cuma  banyak cerita padaku tentang sugar daddy, bahkan kata dia sering main ke rumahnya," ungkap Delin.

"Kalau begitu, kamu tahu dong, Sayang, di mana rumah pelakor itu?" tanya Tante Dela.

Gadis itu mengangguk mengiyakan.

"Jangan ditunda-tunda, Mitha. Kamu harus selesaikan secepatnya. Om dan Tante akan mendukungmu, tidak mungkin kami membiarkan kamu sendiri dalam menghadapi suami licikmu itu. Kalau kau perlu apa-apa, katakan pada kami, oke?"

Rasanya aku sungguh terharu, selama ini aku selalu menutupi semuanya karena malu, berusaha tegar menghadapi sendiri, tanpa aku tau mereka juga mengetahui banyak tindak-tanduk suami dan keluarganya yang tidak beres itu. 

Aku mengangguk setuju. "Iya, Om."

Aku menghela napas panjang, untuk sekedar memberi ruang dalam dada yang terasa sempit ini.

"Selamat ya, Delin, akhirnya kamu mendapatkan gelar dokter," ungkapku turut senang karena gadis itu meraih impiannya menjadi seorang dokter dan akan segera melanjutkan studynya untuk mendapatkan gelar Dokter spesialis kandungan.

"Iya, Mbak terima kasih ya, ini juga berkat kamu yang selalu menyemangatiku."

"Tidak, aku cuma bisa menyemangati agar kamu giat belajar, selebihnya kamu menaklukannya sendiri. Kamu memang hebat Delin. Semoga kamu menjadi dokter yang baik dan jujur."

"Tentu saja, Mbak."

"Kalau begitu, Mbak permisi dulu, Mbak janji tidak akan lama, khawatir juga kalau meninggalkan Aura cuma berdua sama Bik Asih di rumah."

"Iya, Mbak."

"Om, Tante, aku pamit ya," ujarku sambil mencium punggung tangan mereka secara bergantian.

"Hati-hati di jalan, Mita!" seru Tante Dela.

"Maaf Delin, Mbak gak bawa apa-apa. Nanti hadiahnya nyusul deh," ucapku yang merasa tak enak hati karena tidak menyiapkan kado ataupun membawa buket bunga sebagai ucapan selamat. Di saat seperti ini, pikiranku bercabang dan sama sekali tidak bisa berpikir jernih.

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status