Share

Maling Perhiasan

Part 3

Enteng banget ya kalau ngomong. Dia minta cincin berlian, udah kayak minta kerupuk. Emangnya aku bank yang seenaknya bisa diminta uang untuk beli barang. Nasabah aja bayar kali, bank gak bakal ngasih gratisan. Apa dia gak malu kali ya. Padahal baru saja dia menghardikku. bahkan mengatakan aku bodoh, mengatakan cucunya pesakitan. Eh, sekarang, dia minta dibelikan barang mahal. Entah dimana otaknya. minimal, dia harus sadar diri.

"Cincin berlian?!" Tiba-tiba saja otakku merasa pusing kalau berhadapan dengan wanita yang satu ini.

Dia mendongakkan wajahnya, menatapku angkuh.

"Ya, yang sama kayak punya kamu, yang baru!" celetuknya.

"Kayak aku? yang baru? yang mana?!" tanyaku memastikan. karena memang sudah lama aku tak beli perhiasan. Bukan tanpa alasan, aku lebih sibuk mengurus Aura daripada menyenangkan diri sendiri. Mereka selalu menyuruhku fokus pada kesehata Aura saja. Hingga aku tak sadar telah lalai pada diri sendiri. bahkan aku tak ingat, kapan terakhir kali aku memanjakan diri ke salon atau pun sekedar berbelanja ria.

"Masa kamu tanya Mama. Kan Romi beliin buat kamu semalam. Jelas-jelas dia bilang itu untuk kamu!

Jangan bohong deh. Kamu pasti sengaja berkelit, karena gak mau beliin buat Mama kan?!"

"Apa?!" Mataku melebar mendengar penjelasannya. Benar-benar ya, Mas Romi. Bikin aku makin kesal aja! Awas ya, kamu!

"Dia menunjukkannya pada Mama, dan bilang cincin berlian itu buat aku?!" selidikku.

"Dia nggak nunjukin ke Mama sih, cuma pas Mama numpang mobilnya kemarin, waktu mau ke salon, Mama lihat cincin itu di mobilnya.

Bagus banget, mana model terbaru lagi.

Dia gak mau beliin Mama. katanya mahal.

Ayolah, kamu beliin ya buat Mama!" pintanya sambil menggenggam tanganku dengan wajah memelas. Udah kayak kucing lagi minta ikan. Meow, meow.

Astaga! keterlaluan banget si Romi.

"Dengar ya, Ma. Cincin itu nggak ada di aku, bahkan aku aja gak tahu kalau dia beli cincin. Jangankan ngasih ke aku, bentuknya saja kayak gimana aku tidak tau!" tegasku.

Raut wajahnya langsung berubah seketika. Tadinya full senyum saat meminta, pas tidak diberi, jadi full cemberut, memajukan bibirnya lima centi meter. Wanita itu menghempaskan tanganku dengan kasar. Sungguh sudah bisa ditebak.

"Alah, tidak mungkin! Bilang aja kamu gak mau beliin buat Mama kan?!" cercanya memelototi.

"Ya, Mama benar, mulai sekarang, aku gak mau beliin apapun lagi buat Mama!" tandasku. Wanita itu sangat terkejut saat melihat aku yang tak lagi mau menurut.

Sekalian aja, aku ngomong begitu, biar dia sadar diri.

Gak ada gunanya juga! Mama baik pas ada maunya aja, kalau udah dapet yang dimau, sikapnya kembali seperti biasa. Dasar manusia tak tahu diri.

"Ya ampun, Mitha! Pelit banget sih kamu sama mertua!

Ayahmu aja gak kayak gitu dulu!

Kenapa anaknya malah seperti ini?!" semprotnya.

Mulai deh, dia membanding-bandingkan aku dengan almarhum Ayah, kalau keinginannya tak mau aku penuhi.

Ayahku memang baik, sangat baik malah, jelas aja karena Ayah gak tahu kebusukan Mas Romi di belakangnya. Coba kalau Ayah masih ada sekarang, dan dia tahu Mas Romi mendua. pasti sudah diusirnya lelaki jahat itu.

"Ingat ya, Romi itu udah bantu kamu memimpin perusahaan. Anggap saja permintaan ini hadiah buat Mama!

Kamu itu kan tabungannya banyak, masa, beliin Mama satu cincin berlian aja perhitungannya minta ampun!

Kamu itu jangan jadi kacang yang lupa pada kulitnya! Jangan air susu dibalas air tuba!

Hihh! punya menantu kaya, tapi pelitnya kebangetan!

Awas kamu ya, Mama laporin sama Romi!" ancamnya sambil menunjuk wajahku.

Aku menyiman kedua tangan di dada.

"Silakan, Ma, laporin aja. Aku gak takut!"

Cih, aku gak peduli.

Wanita itu melenggang pergi dengan kepalanya yang terangkat ke atas. Miskin aja sombong. Kalau bukan karena aku, gak bakal kalian hidup enak saat ini! Siapa sih Mas Romi tanpa aku, kalau bukan karena aku, kalian tetap miskin saat ini! Dulu Ayah sangat mengagumi sosok Mas Romi. karena pekerjaannya yang sangat baik. selain itu, Mas Romi juga rajin beribadah. Hingga akhirnya ia menerima pinanangan lelaki itu dan merestui kami.

Ayahku meninggal dunia tepat setelah satu tahun anakku lahir ke dunia. sejak saat itu juga, sikap Mas Romi perlahan mulai berubah. Aku bahkan tak tahu, sudah berapa lama dia selingkuh dibelakangku.

Idih gelay, dia bilang bantuin aku?

Mas Romi juga dapat uang kali Ma, dari mimpin perusahaan. Bahkan aku gak tahu selama ini uangnya ke mana aja. Aku juga gak pernah mempermasalahkan karena selalu menggunakan profit dari kantor. Tapi sekarang, aku harus lebih waspada, aku juga harus ke kantor untuk memeriksa. Jangan-jangan Mas Romi sudah berbuat banyak kecurangan yang tidak aku sadari selama ini! 

"Mama," lirih anakku, dengan wajah pucat, ia menyembul dari balik dinding.

"Iya, Sayang. Ya ampun, kamu ngapain di situ?" gegas aku menghampiri Aura, memeluk tubuhnya. Kasihan sekali anakku ini, kalau bukan aku yang peduli padanya, siapa lagi? Ayahnya sendiri jarang mengajaknya bercengkrama. Kami seringkali menghabiskan waktu hanya berdua. Aku membuang napas kasar. Aku harus kuat demi Aura. Dialah satu-satunya sumber semangatku dalam menajalani kehidupan ini.

Rupanya Aura sedari tadi bersembunyi dibalik dinding yang mengarah ke tangga. Ia memelukku erat. Pasti takut sama neneknya.

"Nenek marah-marah lagi ya sama Mama?

Nenek kenapa sih jahat banget sama Mama.

Aku benci nenek!" Lihat ini, Ma. Hasil perbuatanmu, bahkan Aura saja tahu kalau neneknya tidak berlaku baik selama ini.

Aku menghela napas panjang.

"Aura, maafin nenek ya, dia gak bermaksud marahin Mama kok.

Kami cuma lagi bercanda," jelasku sambil menatapnya, menyelipkan anak rambut ke telinga. Aku memberinya pengertian agar dia tak membenci neneknya sendiri.

"Nenek datang marah-marah, terus nanyain Mama kemana. 

Nenek juga berantakin barang-barang Mama," adunya dengan gaya khas anak-anak yang polos.

"Apa?!

Masa iya, Sayang?" Gadis itu mengangguk kemudian menunjuk ke arah pintu kamar yang sudah terbuka.

Astaga, nenek lampir itu pasti mencari cincin berliannya. Benar-benar ya dia!

Gegas aku pergi ke kamar. begitu sampai di ambang pintu. aku melongo melihat barang-barang yang sudah tidak pada tempatnya semula. Berantakan. kotak perhiasanku bahkan masih ada di atas peraduan.

Setelah kuperiksa. Benar saja, beberapa perhiasan ada yang hilang.

Keterlaluan! Tak kubiarkan. Cukup sudah, nenek lampir itu menindasku. Kali ini stok kesabaranku sudah habis.

Aku berlari dengan kencang sebelum mobil itu meninggalkan rumah ini.

"Stop, berhenti!" teriakku kencang dengan napas memburu. Tidak akan kubiarkan dia pulang membawa semua perhiasan yang sudah dia curi dariku. 

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
udah tolol gede bacot lg
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status