Share

3. Nilla

Evan pun mengikuti isyarat gerakan kepala pak Dimas. Dan ternyata tepat di hadapannya dengan jarak sekitar lima meteran, Nilla, sedang memangku seorang anak kecil yang lucu dengan gaun hijab kecilnya.

Dan tepat di sisinya pula, ada seorang lelaki dengan penampilan sederhana, berkaca mata, ikut bercanda. Mereka bertiga terlihat sangat bahagia.

****

Beberapa tahun yang lalu ....

"Belum pulang, Van? Bukankah kau sudah mulai dari semalam, kan? Pulanglah, kau juga butuh istirahat," ujar Pak Dimas--lelaki separuh baya, yang bermurah hati memberikan Evan pekerjaan--sambil menepuk bahu kanan Evan.

"Siap, Pak. Semalam, dan sesiang nanti, saya yang tugas, menggantikan Dito."

"Jangan terlalu ngoyo bekerja, kalo kamu sakit, uangnya bakal habis buat berobat. Sekarang lebih mahal biaya obatnya dari pada uang yang kau terima buat menggantikan si Dito." 

"Siap, Pak!" jawab Evan, dengan tubuh tegap, dan tangan di dahi memberikan tanda hormat. 

Pak Dimas terlihat menggeleng beberapa kali, membuang nafas, dan berbalik sambil menepuk bahu Evan beberapa kali.

"Aku masuk dulu, kalo ada yang kau butuhkan, jangan sungkan menghubungiku."

Pak Dimas kemudian berlalu, meninggalkan pos jaga di depan kantor bank terbesar di kota ini.

Evan yang mendengar pesan pak Dimas, terdiam. Matanya terlihat basah. Pak Dimas adalah penolong hidupnya.

Semenjak pertengkaran dengan Papanya, Evan membulatkan tekad untuk menikahi perempuan pilihannya tanpa bantuan dari sang Papa. Sudah banyak surat lamaran yang ia kirim. Namun tak satu pun yang berhasil.

Untunglah dia bertemu dengan Pak Dimas,  yang pada saat itu mencari bantuan karena mobilnya mogok di perjalanan. Sebagai tanda terima kasih, akhirnya Evan di angkat sebagai satpam di kantor yang mempercayakan perengkrutan karyawan out sourching-nya kepada perusahaan milik Pak Dimas.

"Bagaimana kerjanya? Aman kan?!" Nilla bertanya sambil meletakkan dua bungkusan dan dua botol minuman mineral di meja depan kursi yang Evan duduki. Siang itu, seperti biasa dia mengantarkan nasi pada lelaki yang berjanji akan menikahinya itu.

Evan tersenyum, membiarkan si gadis yang di cintainya mengoceh di depannya tanpa ada niatan untuk menyela, perempuan cantik itu terus berucap sambil sibuk menyiapkan makan siang untuk Evan.

"Mas Albi ke mana, Bang?" Matanya meneliti di sekitar pos jaga. Mencari orang yang bernama Albi, teman piket Evan hari ini.

"Kamu cantik, Dik."

Mendengar pujian yang di lontarkan oleh Evan, tiba tiba Nilla tertegun, berhenti mencari, dia menatap lelaki yang baru saja membuat pipinya blushing.

"Kamu, cakep banget," jawab Nilla, bibirnya tersenyum. Sambil menundukkan, malu.

Terpancar bahagia di wajah kedua muda-mudi itu, hingga timbul senyum pula di bibir Pak Dimas yang memperhatikan mereka sejak Nilla datang dari lobi kantor.

****

"Belum pulang, Pak?" tanya Evan, sore itu ketika waktu sudah menunjukkan jam kantor usai.

Pak Dimas tersenyum sambil menepuk bahu kiri Evan.

"Sini, sini duduk bersama, ada yang ingin kutanyakan."

Pak Dimas merangkul bahu Evan dan menuntunnya duduk di kursi kayu panjang, di bawah jendela pos jaga.

"Kamu, sudah empat bulan kerja di sini kan, jadi bagaimana? Sudah terkumpul berapa dana yang buat nikahan?" tanya Pak Dimas. Tanpa memandangi orang yang di ajaknya bicara, lelaki separuh baya itu malah fokus menatap jalan yang penuh dengan hilir mobil dan sepeda motor.

"Alhamdulillah sudah terkumpul lumayan, Pak. Insya Allah,  rencananya bulan depan, saya mau lamar sekalian nikah dengan Nilla. Yaa .... Sederhana, asalkan sah," jawab Evan dengan wajah yang terlihat lelah Namun bahagia.

"Alhamdulillah--"

Tiba-tiba deru sepeda motor, memutus ucapan Pak Dimas.

"Nilla!" jerit Evan dengan suara tertahan. Hingga tanpa sadar melangkah pergi mendekati kekasihnya, hingga terlupa pamit pada pak Dimas.

Nilla, turun dari sepeda motor dengan muka sembab dan masih basah karena air mata. Dia langsung  melangkah ke arah Evan.

"Kita ... putus--"

Dengan tersengal-sengal, Nilla mengucapkan kata itu.

"Putus?! Kenapa, ada apa? Jangan membuatku berpikir yang bukan-bukan. Kita sudah berjuang bersama, Sayang. Kita sudah ada di depan pintu, selangkah lagi kita sah. SAH!"

Dengan emosi, Evan menjawab ucapan Nilla. Di peluknya tubuh wanitanya dengan erat.

"Lepas!" sentak Nilla, sambil melepaskan badannya dengan paksa dari rengkuhan Evan.

"Aku tidak mencintaimu ... aku benci,  BENCI!"

Dengan emosi, Nilla berucap sambil terisak. Berpaling dan berlari menuju tempat orang tadi yang masih menunggunya di atas sepeda motor.

Tertegun Evan mendengar ucapan Nilla. Matanya menatap nanar memandangi Nilla yang menjauh dari pandangan.

Pak Dimas pun segera pergi meninggalkan pos jaga dengan diam-diam. Membiarkan Evan yang tergugu melihat kepergian kekasihnya.

****

"Mungkin Nilla sudah menemukan kebahagiannya, Van. Dan Sekarang waktunya kamu yang harus memilih, bertahan atau melepas?" ujar pak Dimas sambil menatap lekat lekat pria tampan di depannya, pria yang merupakan duplikat dari perempuan yang di cintainya.

Ucapan pak Dimas, seperti mampu membuat Evan kembali ke dunianya.

"Ya ... saya paham, Pak!" jawab Evan yang menepis bayangan masa lalunya saat bersama Nilla.

"Dan, apa pilihanmu?" kejar pak Dimas.

"Saya akan mencoba bertahan, karena niat baik pasti akan menjadi baik pula hasilnya."

"Itu benar, ya ... kau benar. Segala sesuatunya tergantung dari niatnya."

Tampak senyum lebar menghiasi bibir pak Dimas.

"Lalu apa rencanamu setelah ini, akan tetap tinggal bersama dengan mertuamu, atau mau memperkenalkan istrimu pada Papamu dan tinggal bersamanya, atau ...?"

Pak Dimas memberikan isyarat dengan bahunya, saat menggantung pilihan yang ia ucapkan untuk Evan.

Evan tertawa saat mendengar pilihan terakhir yang pak Dimas ucapkan. Memperkenalkan pada sang Papa, dan menetap di sana. Itu sangat tidak pernah berani ia bayangkan.

Evan teringat pada janji yang ia ucapkan di depan rumahnya, bahwa tak akan kembali lagi kalau bukan orang yang dia kenal bernama Papa yang memanggil.

****

Kilas lalu

"Ada angin apa yang membuatmu mau datang ke rumahku, Dimas?" .

Seorang pria dengan penampilan flamboyan, menyambut tamu yang baru saja diantarkan oleh salah seorang satpam yang bertugas menjaga. Pagi itu.

"Tak usah basa-basi yang memuakkan, Hen. Kapan kamu berhenti menyakiti perasaan anakmu sendiri? Apa kau lupa kalau yang mengalir di badannya itu adalah darahmu!"

Setengah berusaha memendam emosi, Dimas menatap mata si tuan rumah.

"Hahahahaha ...."

Bukannya menjawab, pria yang bernama Hendra malah tertawa keras sekali.

"Sejak kapan kau perduli dengan apa yang kulakukan? Evan anakku, tak ada hubungannya denganmu." sinis Hendra menjawab sambil membalas tatapan Dimas.

"Darahku memang tidak mengalir di badannya, tapi kau lupa. Darah Sinta,  perempuan yang paling kucintai, ada di nadi Evan."

"Ooo ... jadi kau masih mencintai istriku yang sudah mati itu? Kasihan sekali kamu, Dimas!" ejek Hendra, sambil memalingkan badan hendak kembali duduk ke kursi kebesarannya yang berlapis emas.

Bruuugh!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status