Share

6. Terserah kamu

Evan kembali ke tempat yang tadi, untuk mengambil paper bag pemberian dari pak Dimas. Kemudian melangkah masuk ke kamar saat pertama kali dia di make over, karena barang pribadinya termasuk baju dan celana, ia tinggalkan di sana, tadi.

"Permisi!" sapanya, setelah sebelumnya mengetuk pintu, berdiri di depan kamar yang tertutup pintunya.

"Anu ... Mas."

Seorang Mbak yang tadi me- make over dirinya membukakan pintu, menjawab dengan kaget saat tahu bahwa ada Evan di depan pintunya.

"Saya mau ambil barang barang saya, mbak!" kata Evan pada si Mbak.

"Semua yang berkaitan dengan masnya, sudah di ambil oleh pak Ali dan di pindahkan ke kamar pengantin," jawab Mbak tadi, sambil sedikit membungkukkan badannya.

"Di mana?"

"Naik tangga, Mas. Ada di lantai dua. Di kamar paling depan, sebelah kanan."

Si Mbak memberikan penjelasan letak kamar pengantin pada Evan.

"Makasih, ya!"

Tak perlu menunggu lebih lama lagi, Evan segera melesat naik tangga ke lantai atas, dengan tangan masih memegang paper bag.

Saat tiba di lantai atas, Evan tiba tiba hanya berdiri saja, matanya meneliti kamar yang tadi dijelaskan oleh mbak mbak yang ada di kamar bawah.

Baru saja kakinya melangkah, pintu kamar di sebelah kiri terbuka, kemudian keluar seorang perempuan dengan sisa make up di wajahnya, yang langsung tersenyum saat melihat Evan.

"Nyari kamarnya Isaura ya, nak Evan? Sini ikut Mama!" ujarnya sambil setengah tersenyum, melangkah di depan Evan

"Iya, Nte."

"Looo, kok tante, mama dong, kan udah nikah dengan anak mama. Jadi itu berarti kamu juga anak mama, ya kan?" jawabnya lagi tanpa menoleh.

"Eh, i-- iya, Ma!"

Evan tersenyum malu, dengan tangan kiri menggaruk leher belakangnya yang tidak gatal.

"Jadi ini Mama mertuaku," desisnya lirih, sambil mengikuti langkah perempuan yang kecantikannya masih sangat terawat.

Langkah Mama berhenti di kamar ujung paling depan, yang bertuliskan Isaura Chana.

"Silahkan, masuk aja, nak Evan. Tapi maaf, Isaura-nya sedang tidur di kamar mama, itu ... kamar di sebelah kiri. Nggak pa- pa kan?"

Tangan kanan Mama menunjuk kamar pribadi miliknya.

"Iya, Ma. Nggak papa, kok. Kalau begitu, saya pamit mau masuk dulu."

Evan kemudian membuka pintu kamar setelah sebelumnya melihat anggukan dan senyuman dari Mama mertua. Yang kemudian pergi meninggalkannya di depan pintu kamar.

Kakinya ia langkahkan perlahan masuk ke dalam kamar. Ah ... kamar yang masih penuh dengan hiasan bunga. Bunga mawar dan melati lebih dominan.

Dilihatnya di meja dekat tempat tidur, baju dan celananya yang sudah dilipat rapi, di atas baju ada kunci sepeda motor, dompet dan ponselnya.

Ada dua pintu di depannya ranjang, penasaran! Evan pun mendekati pintu yang ditutup dengan gorden yang senada dengan jendela. Balkon, ya itu balkon yang langsung menghadap ke jalan raya.

Angin langsung menerpa dan menyapa Evan, saat tangannya membuka pintu balkon.

Entah apa yang sedang Evan pikirkan, Namun senyum di bibirnya, mungkin sebagai ungkapan kalau lelaki itu menyukai suasana di kamar itu.

Evan menutup kembali pintu yang pertama ia buka, kemudian membuka pintu ke dua yang ditutupi gorden berbeda, warna biru.

Aroma pewangi ruangan yang beda Namun khas untuk kamar mandi, langsung menyeruak di lubang hidungnya, Evan paham ini kamar mandi, namun dirinya seperti penasaran dengan apa yang ada di dalamnya.

Dibukanya lebar lebar pintu kamar mandi, dan dia membeliak, isinya bath-up penuh dengan air dan bunga mawar-melati. Mungkin jika dia menikah dengan orang yang dicintai, suasana seperti ini akan sangat dia nantikan, namun persoalannya berbeda.

Evan kemudian kembali melangkah mendekati ranjang, dan meletakkan paper bag di kursi dekat ke jendela. Membuka, mulai memilih, dan langsung membawa baju dan perlengkapan mandi yang tadi pak Dimas berikan untuknya.

Tak perlu lama membersihkan diri, lima belas menit kemudian, Evan sudah berdiri menghadap sang penciptanya, terdengar lirih doa doa yang ia ucapkan dengan khusuk, yang langsung di lanjutkan dengan membaca doa doa sesudah sholat.

Terdengar suara knop pintu di buka dan di susul suara langkah yang mendekat dan kadang menjauh. Namun sepertinya Evan tak perduli, ia tetap di sajadahnya dengan menengadahkan kedua tangannya.

Saat sudah selesai, diberesinnya lagi alat sholatnya dan meletakkan sajadah di kursi tempat paper bag-nya berada, ia tumpuk begitu saja. Merasa benar benar capek, Evan langsung merebahkan badannya ke ranjang setelah sebelumnya membersihkan kelopak bunga bunga yang banyak bertebaran di permukaan ranjang. Tak perlu menunggu lama, akhirnya Evan tertidur pulas.

"Heh bangun, ayah menyuruh kita turun untuk makan malam."

Evan hanya menggeliatkan badannya, sesaat. Hingga membuat Isaura semakin kesal, mungkin dia merasa tidak di dengarkan.

"Heh!! Kamu mau bangun atau mau aku tinggal??!!" ancam Isaura, kini mengguncangkan badan Evan dengan lebih keras lagi.

Evan membuka matanya, mengerjapnya beberapa kali, dan akhirnya bangun sambil memperhatikan sekelilingnya.

"Ayo siap siap, ayah menunggu kita untuk makan malam bersama," ajak Isaura dengan langkah mendekati pintu.

"Ini jam berapa?"

"Sudah jam tujuh malam."

"Kamu duluan aja!"

Evan bergegas turun dari ranjang dan langsung ke kamar mandi, di sela sela gerutuan Isaura yang sengaja tidak Evan dengarkan.

Namun betapa terkejutnya Evan saat keluar dari kamar mandi, ternyata istrinya masih duduk di tepi ranjang, di tempat yang sama saat ia tinggalkan ke kamar mandi.

"Kenapa kamu tidak ke bawah?" tanya Evan sambil memakai sarung di depan Isaura.

"Kata Ayah, aku harus bersamamu saat turun ."

Isaura menjawab sambil memberengutkan dan memalingkan wajah cantiknya.

"Apa lagi yang akan kau lakukan, kenapa mengganti celana dngan sarung?" tanya Isaura dengan mata membulat.

"Sholat dulu Sayang, itu lebih penting dari apapun, kamu sudah apa belum?"

Evan sengaja menekan kata sayang saat memanggil istrinya.

Isaura terdiam saat ditanya Evan sudah apa belum sholat, dengan mata kagum, Isaura menatap bangga Evan yang masih sholat, entah kenapa di bibir tipisnya terlukis senyuman.

Evan yang tak sadar kalau terus menerus diperhatikan dan ditunggu oleh Isaura, meneruskan mengganti sholat yang ketinggalan karena ketiduran tadi.

"Apakah kau sudah selesai sholat?" tanya Isaura saat melihat Evan berdiri dan mulai melepas kopyah di kepalanya.

Mendengar suara istrinya yang bertanya, seketika itu pula Evan langsung menoleh pada Isaura, dengan pandangan mata heran

"Aku pikir kamu sudah ke bawah, apa kau tidak lapar?"

Bukannya menjawab pertanyaan istrinya, Evan malah balik bertanya.

"Apakah aku boleh bertanya sesuatu padamu?" tanya Isaura tanpa menjawab apa yang tadi Evan tanyakan.

"Mau bertanya tentang apa?"

"Mungkin tidak penting bagimu, Namun menurutku ini sangat penting."

"Tentang Apa?"

"Siapa kamu, kenapa ayah berkata kamu bukanlah lelaki bayaran? Beliau bahkan menyuruhku untuk melakukan kewajibanku sebagai istri. Bahkan permintaanku untuk bercerai dibalas dengan tamparan. Sungguh, ini merupakan pengalaman pertama olehku."

Evan melihat kesedihan di nada bicara Isaura, walaupun mereka tidak saling bertatap muka.

"Selama aku hidup, baru sekarang aku merasakan tamparan dari Ayah."

Wajahnya semakin menunduk, menatap lantai, Namun sesaat. Karena setelah itu, Isaura malah menatapnya tajam sambil berkata, "Sekarang jelaskan siapa kamu!"

"Aku bukan siapa siapa, aku hanyalah orang biasa yang bekerja sebagai staf biasa di kantor milik pak Dimas, bukankah kau sudah tahu hal itu!" jelas Evan dengan tenang.

"Aku tidak percaya!"

"Terserah kamu!" jawab Evan sambil melangkah meninggalkan kamar, dan itu berarti meninggalkan Isaura yang sudah sekian lama menunggu untuk turun bersama, hingga membuat Isaura berdecak kesal sambil mengikuti langkah Evan dari belakang, membuat Evan tersenyum karenanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status