Bukannya kasihan, tapi sepertinya mbak Rini malah tidak menggubris Evan sama sekali, dia tetap fokus ke arah komputernya. Taampak dari sepuluh jari miliknya yang masih asyik berada di atas keyboard.Marasa diacuhkan, Evan akhirnya memilih berdiri dan melangkah pergi, kantin merupakan tujuan akhir untuk saat ini, sebagai tempat untuk melampiaskan berbagai rasa yang sedang berkecamuk di dalam pikirannya.Tapi belum sampai kakinya menyentuh batas pintu, telinga Evan mendengar ponselnya berbunyi. Tanda sebuah pesan masuk.Evan berhenti, dan berbalik arah untuk mengambil ponsel yang ia letakkan di atas meja kerjanya.Ia bergegas, Karena takut mendapat kabar dari Rara atau mungkin dari Ratna. Tapi sekilas dia tampak tersenyum, saat tahu siapa yang berbalas pesan dengannya."Makasih, Mbak Rini." ujarnya sambil menengokkan wajahnya ke meja seberang."Yoi! Jangan lupa selesaikan semua map itu, aku butuh besok pagi!" ujar mbak Rini mengingatkan Evan pada tugasnya yang belum kelar. Namun kini d
Setelah mengamankan sepeda motor milik Evan ke sebuah toko terdekat, pemilik mobil yang juga terluka di bagian kepala, segera membawa Evan dan pak Dimas ke rumah sakit terdekat agar segera mendapatkan pertolongan.Evan kembali tersadar saat hidungnya mencium aroma pekat obat obatan. Matanya mengerjap beberapa kali, untuk menormalkan kembali penglihatannya dengan pencahayaan ruangan."Pak ....!" panggil seorang perempuan yang berdiri di dekat kakinya. Ternyata selain orang yang bertanya tadi, ada dua orang lainnya yang juga berada di sisinya dengan arah berlawanan."Pak ...!" panggil perempuan yang sama untuk yang kedua kalinya."Ya." jawab Evan terdengar serak. Matanya terpejam, pening di kepalanya mulai terasa. "Namanya siapa?""Evan, King Evan Aizaer.""Umur?""Dua puluh enam tahun.""Alamat rumahnya?"Evan kembali mengatakan alamat rumahnya dengan jelas walau tanpa membuka mata."Gimana, Dok!" Evan mendengar seseorang yang lain bertanya."Aman, benturan di kepalanya tidak membua
Evan terdiam, saat melihat raut muka Rara yang sepertinya kaget saat mendengar dirinya meminta untuk bergenggaman tangan.Dengan hati yang kecewa, matanya kembali terpejam, apalagi pusing itu kembali datang, walau tidak sehebat tadi, namun, terasa sangat menyakitkan. Hati Rara mencelos saat melihat mata Evan yang kembali terpejam.Mata Rara memandang tangan yang tersisipi selang infus, membuat hatinya tergugah.Tangannya terulur, kemudian mengusap pelan tangan milik suaminya, dia genggamnya kemudian mencium punggung tangannya.Tampak Evan yang merasa Rara melakukan apa yang di mintanya, malah mendapatkan ciuman sebagai bonusnya, tersenyum walau matanya masih terpejam."Terima kasih." desisnya lirih Namun masih dapat Rara dengar dengan jelas."Kamu ngantuk, Mas?" tanya Rara, dia sengaja tak menjawab apa yang Evan ujarkan tadi "Nggak, cuman pusing aja. Mmm ... bisa ambilkan aku minum nggak, Dik?" jawab Evan yang sekaligus meminta dengan nada sedikit ragu ragu.Rara tak menjawab, Namu
Evan terbagun saat telinganya lamat lamat mendengar suara orang yang sedang berbincang, entah karena jauh, atau mereka berbicara dengan suara pelan, Namun yang pasti, ada orang selain istrinya di kamar itu.Karena penasaran, Evan membuka mata, terlihat olehnya Fatim, Mak dan Pak Ri sedang asyik mengobrol, menemani istrinya yang sedang makan."Mas ...!" ujar Pak Ri yang pertama kali melihat Evan membuka mata, ia melangkah mendekati ranjang Evan. Meninggalkan Mak dan Fatim yang masih tetap duduk di samping Rara."Gimana, masih ada yang di rasa sakit nggak?" tanya Pak Ri yang sudah duduk di kursi dekat ranjang Evan."Alhamdulillah, Pak. Sudah baikan." jawab Evan dengan senyum khasnya pada pak Ri.Evan memang sudah tak merasakan pusing lagi, badannya juga sudah tidak terasa lagi sakitnya. Hingga dia kemudian mulai bangun dari tidurnya dan duduk dengan bantal yang sengaja di susun tinggi oleh pak Ri.""Alhamdulillah.""Dik ... Kok makan sendiri? Yang lain?" tegur Evan saat melihat Rara
"Ada apa?" tanya Rara sambil berjalan mendekat. Dan langsung duduk di kursi dekat ranjang Evan."Mau genggaman tangan lagi?" tanya Rara sambil menatap Evan dengan tatapan menggoda. "Bayar, ya!" tambahnya lagi, tangannya bergerak menuruti permintaan suaminya untuk bergenggaman tangan."Hmm ... mau minta di bayar apa lagi, sayang? Bukannya semua sudah menjadi milik kamu? Atau kau ingin mengulang yang kemarin malam? Nantilah di rumah." Skak mat! Rara langsung membuang mukanya saat kini malah Evan yang menggodanya dengan mengingatkan pada kejadian yang membuatnya menyerahkan mahkota berharga."Kamu sok tahu?" Jawaban Rara yang ketus, bukannya membuat Evan marah, dia malah tertawa terbahak.Apalagi saat melihat rona muka istrinya yang memerah menambah kelucuan untuk Evan nikmati. Sambil menggesekkan jarinya di punggung tangan Rara yang berada dalam genggamannya."Kalau nggak mau, ya aku bakalan maksa biar kamu mau, malah aku bakal bikin kamu nanti yang minta minta nambah." Evan semakin g
"Mak!" Sontak pandangan Evan dan Mak mengarah pada Rara yang baru saja keluar dari kamar mandi."Pesananku ada, nggak?" tanya Rara sambil membenarkan pakaian yang ia kenakan. Tak menghiraukan tatapan Mak dan Evan ke arahnya."Ada Mbak. Itu! Saya belikan dua gelas. Takutnya mas Evan mau juga." jawab Mak, tangan kanannya menujukkan tempat di mana ia tadi meletakkan pesanan Rara. "Dia nggak mau kopi, Mak. Maunya teh istimewa bikinan Mak," seru Rara yang melangkah mendekat sambil menggoda Evan."Iya, Mbak. Saya paham," jawab Mak lagi sambil terkekeh karena pujian yang di lontarkan Rara."Itu apa, Mas?" tanya Rara saat melihat Evan meminum sampai habis, isi kotak karton yang di bantu dengan sedotan."Susu, Mbak. Gantinya teh. Mak lupa tadi nggak bikin, cuma ingat ma rotinya saja." jawab Mak, terdengar ada nada bersalah dalam ujarannya tadi.Tak ada suara yang keluar dari mulut Rara hanya mulutnya saja yang membentuk bulat kecil membuat gemas Evan yang memperhatikannya. Rara mengambil sa
"Dimaaaas ...! Dim, tolong aku!" Tiba tiba suara pak Ali yang menggelegar, mengagetkan pak Dimas dan Evan hingga membuat keduanya terjaga dari duduk mereka."Ada apa? Kenapa sampai teriak seperti itu?" tanya pak Dimas, sesaat setelah pak Ali sudah berdiri di dekatnya dengan muka pias memucat.Bukannya menjawab pak Ali malah menangis sambil menggenggam tangan pak Dimas erat."Tolong aku ...!""Ada apa ...?" tanya pak Dimas untuk ke dua kalinya, sambil mengurai pelukan pak Ali di badannya."Tadi orang tua dari Dani-- calon pengantin pria-- dari anakku, datang dan meminta maaf karena Dani menghilang dari rumah, mereka sudah berusaha mencari Namun masih tidak dapat di ketahui keberadaannya." Tiba tiba pak Ali berujar lirih hingga tak terasa duduk bersimpuh di antara Evan dan Pak Dimas. Isaknya walau tertahan masih terdengar lirih di telinga.Pak Ali menarik nafas panjang dan menghembuskannya kuat kuat."Aku bingung, Dim. Sekarang mau aku taruh di mana kehormatan keluargaku. Mau aku ta
"Saah!" Spontan para saksi meneriakkan satu kata secara serempak."Alhamdulillah ...." desis Evan lirih. Menyapu wajah yang mulai rileks, dengan kedua telapak tangannya."Tunggu sebentar, aku panggilkan istrimu," ujar pak Ali sambil menepuk bahu kanan Evan. Dan setelah melihat anggukan Evan, pak Ali terus berdiri dan melangkah masuk ke dalam rumahnya. Selang beberapa saat, terdengar suara kasak kusuk di belakang punggung Evan tentang betapa cantiknya si mempelai perempuan. Karena penasaran Evan pun akhirnya memberanikan diri mengangkat wajahnya ke arah tangga, di mana perempuan yang sudah sah jadi istri seorang Evan sedang di giring menuju ke arahnya.Mata Evan membeliak dengan mulut terkatub rapat, bukan karena kecantikan dari mempelai wanita, Namun karena perempuan yang sedang melangkah di samping perempuan yang saat ini berstatus sebagai istrinya adalah perempuan yang dulu pernah ia perjuangkan dengan seluruh nafasnya, Nilla.Sepertinya, Nilla pun tak kalah terkejut saat pandang