Share

2. Terserah

"Saah!"

Spontan para saksi meneriakkan satu kata secara serempak.

"Alhamdulillah ...." desis Evan lirih. Menyapu wajah yang mulai rileks, dengan kedua telapak tangannya.

"Tunggu sebentar, aku panggilkan istrimu," ujar pak Ali sambil menepuk bahu kanan Evan. Dan setelah melihat anggukan Evan, pak Ali terus berdiri dan melangkah masuk ke dalam rumahnya.

Selang beberapa saat, terdengar suara kasak kusuk di belakang punggung Evan tentang betapa cantiknya si mempelai perempuan. Karena penasaran Evan pun akhirnya memberanikan diri mengangkat wajahnya ke arah tangga, di mana perempuan yang sudah sah jadi istri seorang Evan sedang di giring menuju ke arahnya.

Mata Evan membeliak dengan mulut terkatub rapat, bukan karena kecantikan dari mempelai wanita, Namun karena perempuan yang sedang melangkah di samping perempuan yang saat ini berstatus sebagai istrinya adalah perempuan yang dulu pernah ia perjuangkan dengan seluruh nafasnya, Nilla.

Sepertinya, Nilla pun tak kalah terkejut saat pandangan mereka bertemu, mungkin dia tak menyangka, kalau yang baru saja mengucapkan ijab kabul adalah lelaki yang pernah ia tinggalkan, dulu.

"Nak Evan ...!" panggil pak Ali saat melihat tak ada respon dari Evan ketika tangan kanan putrinya, beliau serahkan.

Tetap tak ada reaksi, Evan seperti sudah tidak berada di tempatnya. Matanya nanar menatap lantai.

Bukh!

Pak Dimas dengan sedikit keras menepuk bahu kirinya dari arah belakang, hingga membuat Evan kembali tersadar dan langsung menoleh pada pak Dimas.

Dengan gerakan mata, pak Dimas menunjuk tangan pak Ali yang menggantung di depannya.

"Maaf ...!" ujar Evan saat sudah menyadari kesalahannya, dan kemudian mengulurkan tangannya, menyambut tangan perempuan yang kini sah menjadi istrinya.

"Bawa duduk dulu, nak Evan," suruh pak penghulu.

Dan Evan menurutinya. Dia menarik pelan tangan istrinya agar duduk di dekatnya.

"Pegang kening istrimu dan bacakan doanya."

Menuruti apa yang dikatakan pak petugas, Evan memejamkan mata, dengan tangan kanan berada di kening istrinya, dia mulai membaca doa.

"Pasangkan cincinnya dan cium telapak tangan suamimu, nak Isaura!"

Sama seperti Evan. Isaura pun melakukan apa yang diperintahkan oleh bapak petugas dari KUA.

"Alhamdulillah, tanda tangan di sini!"

Lagi lagi pak petugas dari KUA menyuruh Evan dan Isaura untuk menanda tangani buku nikah dengan warna yang berbeda.

"Simpanlah, sekarang kalian sudah resmi, menjadi suami istri, belajar saling memberi, menerima dan saling mengalah. Allah tidak melarang perpisahan atau cerai, namun Allah membencinya."

Pesan pak petugas sambil mengulurkan tangan ke arah Evan sambil mengucapkan selamat menempuh hidup baru.

Kemudian satu persatu para tamu berdatangan untuk mengucapkan selamat kepada Evan dan Isaura. Termasuk Nilla. Mata mereka saling bertatap, dengan tangan dalam genggaman, sejenak, Namun sungguh mampu mengubah dunia Evan. Hingga mereka terpisahkan oleh tamu lain yang juga ingin mengucapkan selamat kepada mempelai.

Pak Dimas menepuk pundak Evan dan berkata, "Semoga kalian menjadi keluarga sakinah, mawardah, dan warohmah. Jadilah imam yang bisa menjadi tauladan bagi istrimu. Ingat! Wajib mendidik dengan lembut."

Evan mengangguk sambil memeluk erat pak Dimas. Dan pada saat itulah dia melihat kelebatan orang yang dikenalnya sebagai salah satu dari orang orang kepercayaan sang Papa, sedang berbicara serius dengan pak Ali, yang kini menjadi mertuanya. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, Namun dari wajah yang pak Ali tunjukkkan, ada keterkejutan dan ketakutan.

"Van ... ada apa, apakah karena Nilla?" tanya Pak Dimas dengan suara pelan sekali, sebelum akhirnya mengurai pelukan dan kini menatap anak dari perempuan yang di cintainya itu dengan penuh kasih sayang.

Evan menghela nafas panjang, kemudian menggelengkan kepalanya.

Pak Dimas tersenyum, senyum yang artinya sulit untuk dijelaskan, kemudian beliau bergeser ke arah Isaura untuk mengucapkan kata selamat dan doa untuk pernikahan mereka.

Selang tiga puluh menit kemudian, tak ada lagi orang yang datang mengucapkan selamat, semuanya tengah asik menikmati makanan yang disajikan oleh tuan rumah. Evan langsung duduk dan bersandar di kursi pelaminannya.

"Kenapa kamu mau menerima pernikahan ini?" tanya Isaura, ia pun ikut duduk walau agak menjauh.

Evan tersenyum mendengar pertanyaan dari istrinya, sepertinya ia tak berniat untuk menjawabnya. Matanya meneliti sekitar mencari sesuatu.

"Berapa kamu di bayar Ayah untuk menggantikan Dani? Jangan kau pikir setelah kita menikah, aku akan mencintaimu, karena aku masih setia pada Dani."

Isaura sepertinya juga tak perduli dengan ke-cuek-an yang suaminya tunjukkan. Ia terus menerus mengocehkan sesuatu yang sebenarnya sedang menunjukkan ketak berdayaannya.

Evan tetap diam, walau dia mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Isaura, tadi. Entah apa yang sedang ia pikirkan, hanya senyum yang mengembang di bibirnya saja yang tampak, hingga membuat Isaura semakin kesal.

"Dengar, kalau kau pikir dengan diam aku akan mengasihani, kamu salah. Aku adalah putri tunggal dari seorang Ali Sofyan. Manager eksekutif dari PT. Drabara --Sebuah perusahaan yang sudah sangat terkenal namanya dalam bidang pertambangan. Yang paling besar di negara ini," ujar Isaura dengan sombongnya.

"Ayah akan mengabulkan semua yang aku pinta, jadi bersiap siaplah menjadi duda dalam hitungan jam."

Evan hanya menghela nafas panjang begitu mendengar ucapan Isaura.

Namun tiba tiba, Evan berdiri melangkah tepat ke depan Isaura, membungkuk dengan wajah yang sengaja ia sodorkan hingga hampir mengenai wajah istrinya.

Isaura yang kaget karena perlakuan suaminya, mencoba mundur menghindar Namun tak bisa lagi bergeming saat kepalanya membentur sandaran, hingga membuatnya dapat mencium nafas wangi lemon.

"Lakukan semaumu!" ucap Evan tanpa tekanan yang berarti, kemudian dia berdiri meninggalkan Isaura yang masih duduk sendirian sambil menghentak hentakkan kakinya ke lantai karena kesal akibat perlakuan Evan.

Evan mendekati pak Dimas yang tengah duduk sendiri sambil menikmati sepiring makanan, dengan santai.

"Pak ...!" sapa Evan sambil memposisikan dirinya duduk di kursi samping kanan pak Dimas.

"Van! Kenapa kau tinggalkan istrimu sendirian, ada apa?" Pak Dimas yang kaget karena Evan datang tiba tiba dan langsung duduk di sampingnya, sendirian tanpa di ikuti oleh istrinya

"Tidak ada apa apa, Pak. Hanya ingin menemani bapak saja."

Evan menjawab tanpa menoleh pada si empunya tanya.

"Hahahhaha."

"Kok tertawa, Pak? Nggak percaya kalau saya benar benar ingin menemani?" tanya Evan yang masih menyimpan rasa kagetnya karena pak Dimas yang tiba tiba terbahak..

"Percaya kok, Van. Sana ambil piringmu dan isilah, kemudian kembali ke sini, makan bersama. Itu yang namanya menemani."

"Hahahaha!"

Kini berganti Evan yang terbahak menyadari kesalahannya.

"Pak, masalah mahar yang tadi, akan say--"

"Tidak usah kau pikirkan, terima saja itu sebagai kado pernikahan kalian. Dan ... ku beri kau cuti selama tiga hari saja, karena ini mendadak," potong Pak Dimas.

"Hahaha ...! Makasih, Pak!" ujar Evan sambil tersenyum lebar.

"Sudahlaah, jangan kaku seperti itu, balas saja dengan memberikanku cucu yang banyak dan lucu lucu. Ok?!"

"Permintaan yang mudah Namun sebenarnya sangat susah. Tapi, pak Dimas tenang saja, akan aku usahakan, walau mungkin tidak secepat bus trans Jakarta, hahahaha!"

Evan tertawa sendiri dengan bahasa yang ia ucapkan.

"Uhuuuk ... Uhuks."

Dan nampaknya juga berhasil membuat pak Dimas tersedak, dengan segera Evan mengambilkan segelas besar teh manis dan menyerahkannya ke pak Dimas yang terbatuk batuk akibat ulahnya .

Pak Dimas menerima teh manis yang sengaja Evan ambil tadi di meja, tempat banyak makanan enak dan mewah di sajikan. Dan segera meminumnya hingga tandas.

"Kau mencari dia, Van?" tanya pak Dimas dengan tiba tiba, sambil menunjukkan arah dengan isyarat gerakan kepala.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status