"Saah!"
Spontan para saksi meneriakkan satu kata secara serempak."Alhamdulillah ...." desis Evan lirih. Menyapu wajah yang mulai rileks, dengan kedua telapak tangannya."Tunggu sebentar, aku panggilkan istrimu," ujar pak Ali sambil menepuk bahu kanan Evan. Dan setelah melihat anggukan Evan, pak Ali terus berdiri dan melangkah masuk ke dalam rumahnya.Selang beberapa saat, terdengar suara kasak kusuk di belakang punggung Evan tentang betapa cantiknya si mempelai perempuan. Karena penasaran Evan pun akhirnya memberanikan diri mengangkat wajahnya ke arah tangga, di mana perempuan yang sudah sah jadi istri seorang Evan sedang di giring menuju ke arahnya.Mata Evan membeliak dengan mulut terkatub rapat, bukan karena kecantikan dari mempelai wanita, Namun karena perempuan yang sedang melangkah di samping perempuan yang saat ini berstatus sebagai istrinya adalah perempuan yang dulu pernah ia perjuangkan dengan seluruh nafasnya, Nilla.Sepertinya, Nilla pun tak kalah terkejut saat pandangan mereka bertemu, mungkin dia tak menyangka, kalau yang baru saja mengucapkan ijab kabul adalah lelaki yang pernah ia tinggalkan, dulu."Nak Evan ...!" panggil pak Ali saat melihat tak ada respon dari Evan ketika tangan kanan putrinya, beliau serahkan.Tetap tak ada reaksi, Evan seperti sudah tidak berada di tempatnya. Matanya nanar menatap lantai.Bukh!Pak Dimas dengan sedikit keras menepuk bahu kirinya dari arah belakang, hingga membuat Evan kembali tersadar dan langsung menoleh pada pak Dimas.Dengan gerakan mata, pak Dimas menunjuk tangan pak Ali yang menggantung di depannya."Maaf ...!" ujar Evan saat sudah menyadari kesalahannya, dan kemudian mengulurkan tangannya, menyambut tangan perempuan yang kini sah menjadi istrinya."Bawa duduk dulu, nak Evan," suruh pak penghulu.Dan Evan menurutinya. Dia menarik pelan tangan istrinya agar duduk di dekatnya."Pegang kening istrimu dan bacakan doanya."Menuruti apa yang dikatakan pak petugas, Evan memejamkan mata, dengan tangan kanan berada di kening istrinya, dia mulai membaca doa."Pasangkan cincinnya dan cium telapak tangan suamimu, nak Isaura!"Sama seperti Evan. Isaura pun melakukan apa yang diperintahkan oleh bapak petugas dari KUA."Alhamdulillah, tanda tangan di sini!"Lagi lagi pak petugas dari KUA menyuruh Evan dan Isaura untuk menanda tangani buku nikah dengan warna yang berbeda."Simpanlah, sekarang kalian sudah resmi, menjadi suami istri, belajar saling memberi, menerima dan saling mengalah. Allah tidak melarang perpisahan atau cerai, namun Allah membencinya."Pesan pak petugas sambil mengulurkan tangan ke arah Evan sambil mengucapkan selamat menempuh hidup baru.Kemudian satu persatu para tamu berdatangan untuk mengucapkan selamat kepada Evan dan Isaura. Termasuk Nilla. Mata mereka saling bertatap, dengan tangan dalam genggaman, sejenak, Namun sungguh mampu mengubah dunia Evan. Hingga mereka terpisahkan oleh tamu lain yang juga ingin mengucapkan selamat kepada mempelai.Pak Dimas menepuk pundak Evan dan berkata, "Semoga kalian menjadi keluarga sakinah, mawardah, dan warohmah. Jadilah imam yang bisa menjadi tauladan bagi istrimu. Ingat! Wajib mendidik dengan lembut."Evan mengangguk sambil memeluk erat pak Dimas. Dan pada saat itulah dia melihat kelebatan orang yang dikenalnya sebagai salah satu dari orang orang kepercayaan sang Papa, sedang berbicara serius dengan pak Ali, yang kini menjadi mertuanya. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, Namun dari wajah yang pak Ali tunjukkkan, ada keterkejutan dan ketakutan."Van ... ada apa, apakah karena Nilla?" tanya Pak Dimas dengan suara pelan sekali, sebelum akhirnya mengurai pelukan dan kini menatap anak dari perempuan yang di cintainya itu dengan penuh kasih sayang.Evan menghela nafas panjang, kemudian menggelengkan kepalanya.Pak Dimas tersenyum, senyum yang artinya sulit untuk dijelaskan, kemudian beliau bergeser ke arah Isaura untuk mengucapkan kata selamat dan doa untuk pernikahan mereka.Selang tiga puluh menit kemudian, tak ada lagi orang yang datang mengucapkan selamat, semuanya tengah asik menikmati makanan yang disajikan oleh tuan rumah. Evan langsung duduk dan bersandar di kursi pelaminannya."Kenapa kamu mau menerima pernikahan ini?" tanya Isaura, ia pun ikut duduk walau agak menjauh.Evan tersenyum mendengar pertanyaan dari istrinya, sepertinya ia tak berniat untuk menjawabnya. Matanya meneliti sekitar mencari sesuatu."Berapa kamu di bayar Ayah untuk menggantikan Dani? Jangan kau pikir setelah kita menikah, aku akan mencintaimu, karena aku masih setia pada Dani."Isaura sepertinya juga tak perduli dengan ke-cuek-an yang suaminya tunjukkan. Ia terus menerus mengocehkan sesuatu yang sebenarnya sedang menunjukkan ketak berdayaannya.Evan tetap diam, walau dia mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Isaura, tadi. Entah apa yang sedang ia pikirkan, hanya senyum yang mengembang di bibirnya saja yang tampak, hingga membuat Isaura semakin kesal."Dengar, kalau kau pikir dengan diam aku akan mengasihani, kamu salah. Aku adalah putri tunggal dari seorang Ali Sofyan. Manager eksekutif dari PT. Drabara --Sebuah perusahaan yang sudah sangat terkenal namanya dalam bidang pertambangan. Yang paling besar di negara ini," ujar Isaura dengan sombongnya."Ayah akan mengabulkan semua yang aku pinta, jadi bersiap siaplah menjadi duda dalam hitungan jam."Evan hanya menghela nafas panjang begitu mendengar ucapan Isaura.Namun tiba tiba, Evan berdiri melangkah tepat ke depan Isaura, membungkuk dengan wajah yang sengaja ia sodorkan hingga hampir mengenai wajah istrinya.Isaura yang kaget karena perlakuan suaminya, mencoba mundur menghindar Namun tak bisa lagi bergeming saat kepalanya membentur sandaran, hingga membuatnya dapat mencium nafas wangi lemon."Lakukan semaumu!" ucap Evan tanpa tekanan yang berarti, kemudian dia berdiri meninggalkan Isaura yang masih duduk sendirian sambil menghentak hentakkan kakinya ke lantai karena kesal akibat perlakuan Evan.Evan mendekati pak Dimas yang tengah duduk sendiri sambil menikmati sepiring makanan, dengan santai."Pak ...!" sapa Evan sambil memposisikan dirinya duduk di kursi samping kanan pak Dimas."Van! Kenapa kau tinggalkan istrimu sendirian, ada apa?" Pak Dimas yang kaget karena Evan datang tiba tiba dan langsung duduk di sampingnya, sendirian tanpa di ikuti oleh istrinya"Tidak ada apa apa, Pak. Hanya ingin menemani bapak saja."Evan menjawab tanpa menoleh pada si empunya tanya."Hahahhaha.""Kok tertawa, Pak? Nggak percaya kalau saya benar benar ingin menemani?" tanya Evan yang masih menyimpan rasa kagetnya karena pak Dimas yang tiba tiba terbahak.."Percaya kok, Van. Sana ambil piringmu dan isilah, kemudian kembali ke sini, makan bersama. Itu yang namanya menemani.""Hahahaha!"Kini berganti Evan yang terbahak menyadari kesalahannya."Pak, masalah mahar yang tadi, akan say--""Tidak usah kau pikirkan, terima saja itu sebagai kado pernikahan kalian. Dan ... ku beri kau cuti selama tiga hari saja, karena ini mendadak," potong Pak Dimas."Hahaha ...! Makasih, Pak!" ujar Evan sambil tersenyum lebar."Sudahlaah, jangan kaku seperti itu, balas saja dengan memberikanku cucu yang banyak dan lucu lucu. Ok?!""Permintaan yang mudah Namun sebenarnya sangat susah. Tapi, pak Dimas tenang saja, akan aku usahakan, walau mungkin tidak secepat bus trans Jakarta, hahahaha!"Evan tertawa sendiri dengan bahasa yang ia ucapkan."Uhuuuk ... Uhuks."Dan nampaknya juga berhasil membuat pak Dimas tersedak, dengan segera Evan mengambilkan segelas besar teh manis dan menyerahkannya ke pak Dimas yang terbatuk batuk akibat ulahnya .Pak Dimas menerima teh manis yang sengaja Evan ambil tadi di meja, tempat banyak makanan enak dan mewah di sajikan. Dan segera meminumnya hingga tandas."Kau mencari dia, Van?" tanya pak Dimas dengan tiba tiba, sambil menunjukkan arah dengan isyarat gerakan kepala.Evan pun mengikuti isyarat gerakan kepala pak Dimas. Dan ternyata tepat di hadapannya dengan jarak sekitar lima meteran, Nilla, sedang memangku seorang anak kecil yang lucu dengan gaun hijab kecilnya.Dan tepat di sisinya pula, ada seorang lelaki dengan penampilan sederhana, berkaca mata, ikut bercanda. Mereka bertiga terlihat sangat bahagia. ****Beberapa tahun yang lalu ...."Belum pulang, Van? Bukankah kau sudah mulai dari semalam, kan? Pulanglah, kau juga butuh istirahat," ujar Pak Dimas--lelaki separuh baya, yang bermurah hati memberikan Evan pekerjaan--sambil menepuk bahu kanan Evan."Siap, Pak. Semalam, dan sesiang nanti, saya yang tugas, menggantikan Dito.""Jangan terlalu ngoyo bekerja, kalo kamu sakit, uangnya bakal habis buat berobat. Sekarang lebih mahal biaya obatnya dari pada uang yang kau terima buat menggantikan si Dito." "Siap, Pak!" jawab Evan, dengan tubuh tegap, dan tangan di dahi memberikan tanda hormat. Pak Dimas terlihat menggeleng beberapa kali, membuang
Pukulan tangan Dimas, yang sebelumnya tak pernah Hendra duga, kini tepat bersarang di pelipisnya, hingga membuat ia terjatuh dari sofa yang belum sempat ia duduki lagi tadi. Belum sempat berdiri sempurna. Dimas kembali menyerang perut Hendra dengan tendangan kaki kanannya. Hingga membuat Papa kandung dari Evan itu kembali mencium lantai. Sempurna!Sangat mudah bagi Dimas, pemegang sabuk hitam karate ini untuk mengalahkan lawannya. apalagi lawan yang tak mempunyai dasar tentang pembelaan diri.Hendra dengan susah payah bangkit dan duduk kembali di kursinya. Sambil terus memegangi perut yang mungkin kerasa sangat sakit."Bajingan, kamu Dimas!" ujar Hendra, matanya terpejam sambil menyandarkan punggungnya. Mungkin untuk mengurangi sakit di bagian perut."Bajingan?!" ejek Dimas sambil kembali duduk di sofa."Aku kasih tahu kamu, siapa yang bajingan di antara kita!!?" Dimas menyilangkan kaki kanan ke atas kaki kirinya. Matanya menatap tajam Hendra."Aku tahu, kamu pasti sudah mengira sia
"Insya Allah, besok akan saya bawa istri saya ke rumah, karena saya tak ingin dia dengan sikap manjanya. belajar mandiri," putus Evan."Pilihan yang tepat dan bagus, memang sebaiknya rumah tangga itu ikut suami dan terpisah dari campur tangan mertua atau orang tua." Senyum Evan tampak lebih lebar, mendengar pak Dimas menyetujui apa yang tadi katakan. "Benar, Pak-!"Evan tak melanjutkan ucapannya karena, tiba tiba datang seseorang lelaki yang membawa beberapa paper bag dan langsung menyerahkannya pada pak Dimas, "Ini, aku tahu kamu tidak mempunyai salinan baju, ya kan? Bagaimana mau punya salinan, nikah aja dadakan," goda pak Dimas sambil menaik turunkan alisnya."Hahahahahah!"Meledak tawa Evan mendengar dan melihat apa yang pak Dimas lakukan."Gratis lagi!" sambung pak Dimas."Hahaha!" Mereka tertawa lepas, berdua. tak perduli dengan banyak pasang mata yang kini menatap mereka dengan pandangan tak mengerti."Tuhan memang mempunyai cara unik untuk membuat umatnya bersyukur, bukan
Evan kembali ke tempat yang tadi, untuk mengambil paper bag pemberian dari pak Dimas. Kemudian melangkah masuk ke kamar saat pertama kali dia di make over, karena barang pribadinya termasuk baju dan celana, ia tinggalkan di sana, tadi."Permisi!" sapanya, setelah sebelumnya mengetuk pintu, berdiri di depan kamar yang tertutup pintunya."Anu ... Mas."Seorang Mbak yang tadi me- make over dirinya membukakan pintu, menjawab dengan kaget saat tahu bahwa ada Evan di depan pintunya."Saya mau ambil barang barang saya, mbak!" kata Evan pada si Mbak."Semua yang berkaitan dengan masnya, sudah di ambil oleh pak Ali dan di pindahkan ke kamar pengantin," jawab Mbak tadi, sambil sedikit membungkukkan badannya."Di mana?""Naik tangga, Mas. Ada di lantai dua. Di kamar paling depan, sebelah kanan." Si Mbak memberikan penjelasan letak kamar pengantin pada Evan."Makasih, ya!" Tak perlu menunggu lebih lama lagi, Evan segera melesat naik tangga ke lantai atas, dengan tangan masih memegang paper bag.
"Akhirnya kalian turun juga, apa yang membuat kalian lama sekali?" tanya Mama Isaura pada sepasang pengantin baru yang melangkah mendekat."Maaf, Ma. Ketiduran tadi sore, hingga melewatkan sholat maghrib dan ashar, jadi sebelum turun saya selesaikan dulu urusan dengan Al Khaliq," jawab Evan sambil menarik salah satu kursi di sebelah mama untuk di duduki Isaura, yang tengah memandangnya dengan heran.Perempuan itu menyangka kursi itu akan Evan duduki sendiri, kemudian saat Evan kembali menarik salah satu kursi lagi untuk dirinya sendiri, barulah Isaura tersenyum dengan perlakuan manis Evan padanya."Alhamdulillah ... baguslah kalau begitu!" seru Mama dengan mata berbinar bahagia. Tangannya mengulurkan satu piring yang masih kosong pada anaknya.Isaura pun mengambil piring itu dan mengisinya dengan nasi dan lauk yang ia kehendaki, hingga membuat Mama, Ayah dan Evan memandang padanya."Kenapa tak kau tanyakan dulu pada suamimu. Makanan apa yang ingin ia makan?!" tegur ayahnya, dengan
Selesai dengan doanya, tanpa mengganti apa yang masih ia pakai, langkahnya kini berganti ke arah balkon dengan ponsel di tangan kanannya, dan tak lupa menutupnya lagi, walau tersisa sedikit celah di antara pintunya.Duduk di sofa panjang, sofa satu satunya yang tersedia, dengan bantuan ponselnya, Evan kembali mengulang hafalan alquran- nya. Benar! Suaranya pelan Evan rasa, Namun saat dini hari, suara pelannya yang sangat merdu itu, terdengar hingga se-antero rumah.Hingga adzan subuh terdengar, barulah Evan menyudahi hafalannya, berdiri dari duduknya, kemudian melakukan peregangan badan ringan hanya untuk mengusir penat karena duduk yang agak lama.Masuk kembali ke dalam kamar, dan melaksanakan sholat subuh. Semua ia lakukan seperti saat berada di rumahnya sendiri. Hari masih gelap, Evan sudah berada di luar pagar, ia pikir karena ini termasuk perumahan mewah, maka akan sangat sepi orang yang sekedar jalan jalan pagi, Namun ia keliru, pagi itu banyak sekali kaum muda mudi atau kau
"Iya, aku ikut, tapi ... jangan lupa di kasih makan ya?" jawab Isaura, sambil terus mengunyah makanan di dalam mulutnya.Perempuan cantik itu menjawab seperti setengah di paksa.Evan tersenyum, ternyata ini sisi lain dari seorang Isaura Chana yang selain kekerasan hatinya, ternyata mempunyai sifat humor juga. Dan yang lebih menyenangkan hatinya, sekarang sudah sah menjadi istri, bakal ibu dari anak anaknya kelak.Karena tak ada jawaban dari Evan, Isaura melirik Evan dengan ekor matanya."Kenapa menatapku seperti itu, aneh ya, liat orang secantik aku lagi makan?" Dengan mata mendelik, Isaura bertanya. Evan hanya tersenyum saat mendengar istrinya bertanya, bukannya menjawab, Evan malah bangun dari duduknya dan melangkah hendak menjauh, saat melewati belakang punggung istrinya, tiba tiba saja tangan kanannya mengacak lembut kepala Isaura, kemudian meninggalkannya ke lantai atas, tak perduli dengan racauan istrinya.Di dalam kamar, Evan yang tak tahu apa saja yang akan di bawa oleh istr
"Pak ...!"Sapa seorang lelaki separuh baya, Namun, masih tampak gagah. Dengan di dampingi oleh empat orang yang ke semuanya menggunakan jas putih, baru saja masuk ke dalam ruangan yang mempunyai interior ruangan sangat fantastik.Empat orang lelaki yang mengawal itu membungkukkan sedikit badannya di depan seorang lelaki dengan bergaya flamboyan yang sedang duduk di kursi kebesarannya di belakang meja. Tengah memberikan pandangan yang sangat familer.Lelaki yang sering di panggil dengan sebutan om Tyo itu pun langsung duduk di kursi yang tersedia di depan meja, setelah lelaki yang tadi ia beri hormat, menganggukkan kepala.Begitu pun dengan empat lelaki berjas putih yang tadi mengantarkan Om Tyo, mereka juga segera meninggalkan ruangan dan menutup pintu rapat rapat, setelah mendapatkan isyarat untuk pergi."Bagaimana, apakah kau sudah mengatakan apa yang aku ingin ucapkan untuk si Ali?!" tanya pak Hendra setelah pintu ruangannya di tutup sangat rapat."Sudah, aku sudah katakan, sudah