Share

5. Mantan

"Insya Allah, besok akan saya bawa istri saya ke rumah, karena saya tak ingin dia dengan sikap manjanya. belajar mandiri," putus Evan.

"Pilihan yang tepat dan bagus, memang sebaiknya rumah tangga itu ikut suami dan terpisah dari campur tangan mertua atau orang tua."

Senyum Evan tampak lebih lebar, mendengar pak Dimas menyetujui apa yang tadi katakan.

"Benar, Pak-!"

Evan tak melanjutkan ucapannya karena, tiba tiba datang seseorang lelaki yang membawa beberapa paper bag dan langsung menyerahkannya pada pak Dimas,

"Ini, aku tahu kamu tidak mempunyai salinan baju, ya kan? Bagaimana mau punya salinan, nikah aja dadakan," goda pak Dimas sambil menaik turunkan alisnya.

"Hahahahahah!"

Meledak tawa Evan mendengar dan melihat apa yang pak Dimas lakukan.

"Gratis lagi!" sambung pak Dimas.

"Hahaha!"

Mereka tertawa lepas, berdua. tak perduli dengan banyak pasang mata yang kini menatap mereka dengan pandangan tak mengerti.

"Tuhan memang mempunyai cara unik untuk membuat umatnya bersyukur, bukan?" tanya pak Dimas, sesaat setelah tawa mereka berdua, mereda.

"Ya, Bapak benar!" ujar Evan yang kemudian menghela nafas panjang, bahkan lebih tampak seperti sedang membuang beban yang ada di otak dan hatinya.

Tenang, itu yang Evan rasakan saat sedang bersama pak Dimas, selalu tersenyum bahkan bisa tertawa bebas. Sebuah rasa yang tak pernah ia dapatkan bila sedang bersama Papa kandungnya.

"Apa yang membuat kalian begitu bahagia?" tanya pak Ali yang entah sejak kapan berdiri di belakang punggung Evan.

Evan seketika berdiri dan membalikkan badannya begitu mendengar suara yang sudah tak asing baginya.

"Eh, Pak?!"

Evan menyapa dengan kepala yang mengangguk sekali.

"Jangan panggil bapak, panggil ayah saja. Bukankah kau sekarang sudah menjadi anakku pula?" pinta pak Ali sembari menarik satu kursi di sebelah untuk dia letakkan di antara kursi Evan dan Pak Dimas.

"Baik, Ayah," jawab Evan diplomatis.

"Mmm ... Evan, ayah mau minta maaf, sungguh ayah tidak tahu kalau kamu adalah putra tunggal dari seorang Hendra Aizaer. Pemilik perusahaan tempat ayah bekerja." Pak Ali berkata sambil menundukkan kepalanya. Terasa benar kalau saat ini beliau lagi merasakan kebingungan, malah melebihi kebingungan yang awal tadi, saat mencari pengganti Dani.

"Om Tyo yang menceritakan nya bukan, Ayah?" tebak Evan, seperti dugaannya tadi saat melihat om Tyo yang merupakan salah satu orang kepercayaan Papanya. Berbicara sangat serius dengan Pak Ali

Pak Ali mengangguk, ke dua tangannya menyatu walau sesekali bergerak tak beraturan.

"Nggak papa kok, Yah. Lagian memang sedikit kok yang tahu kalau aku anak Hendra Aizaer, dan aku juga tak ingin banyak yang tahu," jawab Evan tenang, bukan sebuah kejutan baginya kalau seorang menager ekskutif di perusahaan Papanya, Namun tidak mengetahui siapa dirinya.

"Saya akan mengabulkan apa pun permintaanmu, walau pun itu adalah dengan mengikhlaskan anakku menjadi janda," ujarnya lagi, kali ini terdengar putus asa.

"Dari awal saya sudah mengatakan akan menjadikan pernikahan ini, sebagai pernikahan saya yang pertama dan terakhir, jadi tolong doakan saya."

Evan berhenti sejenak, sambil menghela nafas panjang.

"Saya hanya ingin dukungan saja dari keluarga, agar awal yang tidak bagus, menjadi terbaik akhirnya." sambungnya lagi

"Aamiin ... aamiin!" jawab pak Dimas dan ayah Ali secara hampir bersamaan.

"Sudahlah, Ali. Benar apa kata Evan, dukunganmu dan keluarga agar mereka bisa menjadi suami istri yang harmonis, yang terpenting untuk saat ini."

Kini pak Dimas ikut menyemangati ayah Ali yang sedang kebingungan.

Pak Ali tak mampu berkata apa apa lagi, hanya bisa menganggukkan kepala dengan takut takut pada Evan.

"Oiya, ayah. Mungkin besok, aku akan mengajak Isaura untuk tinggal bersama di rumah kecilku, boleh?"

"Tapi ... Mmm."

Sepertinya ada yang ingin ayah Ali ceritakan Namun entah kenapa sepertinya tercekat di tenggorokan.

Ayah Ali seperti meminta pertimbangan pada pak Dimas.

"Apa yang kau takutkan, biarkan mereka memulai kehidupan rumah tangga mereka, tanpa campur tangan dari kamu dan istrimu juga. Biarkan yang seharusnya terjadi, terjadilah."

Pak Dimas malah menapikkan keraguan di diri ayah Ali.

"Evan, anakku Isaura tidak bisa melakukan kegiatan rumah tangga, dia hanya pintar di dapur, memasak makanan, kue. Pokoknya masalah tentang dapur, dia menguasai, apakah kau sanggup mengajarinya sedikit demi sedikit?" tanya ayah Ali. Akhirnya lelaki separuh baya itu berani mengutarakan perasaannya.

"Selalu siap, Ayah," jawab Evan sambil tersenyum lebar pada mertuanya dan pak Dimas bergantian.

"Aku pulang dulu, hari sudah semakin siang, sebaiknya kalian semua juga istirahat, mengingat hari ini adalah hari yang sulit," pamit pak Dimas sambil berdiri dan mengulurkan tangannya ke arah ayah Ali.

Ayah Ali berdiri menyambut tangan pak Dimas, dan menariknya ke dalam pelukan.

"Terima kasih, terima kasih!" ucapnya berulang kali di telinga pak Dimas, dan hanya dijawab dengan anggukan.

"Kalau butuh bantuan, aku siap kapan saja. Kamu pasti tahu itu!" ujar pak Dimas, lagi pada Evan.

"Makasih, Pak."

Evan yang kemudian ikut mengantarkan hingga ke pagar.

"Hati hati di jalan, terimakasih atas bantuannya, Pak!" ujar Evan sambil melambaikan tangannya, hingga mobil pak Dimas menghilang dari pandangan.

Di halaman pandangannya kembali bertemu dengan Nilla, sepertinya dia dan keluarga kecilnya juga akan pulang.

Pak Ali menyapa hangat keluarga Nilla.

"Oiya, kalian belum berkenalan dengan suami Isaura bukan?!" tanya pak Ali yang dijawab senyuman baik oleh Nilla mau pun oleh lelaki berkaca mata yang berada di sampingnya.

"Van, ini Nilla dan suaminya Zein. Dan yang lucuuuuu ini namanya ...." Ayah Ali sengaja menggantungkan ucapannya sambil melihat ke arah Nilla, dia lupa nama si kecil.

"Amora, kakek!" jawab Zein, lelaki berkaca mata yang ada di dekat Nilla, dengan suara yang sengaja menirukan suara anak anak.

"Eh iya, kakek lupa. Nilla ini adalah salah satu teman terdekat dari Isaura, bahkan dia juga yang bekerja sama dalam bisnis kuliner yang sedang dijalani Isaura," jelas ayah Ali pada Evan.

Evan tersenyum hangat pada orang orang yang berada di depannya. Dia juga mengulurkan tangannya ke arah suami Nilla.

"Evan ...!"

"Zein, senang berkenalan denganmu."

Evan tersenyum mendengar jawaban Zein.

Kemudian dia mengatubkan kedua tangannya ke depan dada dan menghadap ke arah Nilla.

"Evan ...!"

Nilla tak menjawab, dia hanya ikut mengatubkan kedua tangannya di depan dada, sama seperti yang dilakukan Evan.

"Kamu duluan aja, temani dulu Isauranya, karena ayah masih ingin berbincang dengan mereka." suruh ayah Ali pada Evan.

"Permisi, saya duluan, istri saya sedang menunggu!" pamit Evan kemudian. Jengah rasanya harus bertemu dengan seseorang yang masih mempunyai arti lebih di hatinya.

"Silahkan!" jawab Zein.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status