Share

7. Drama

"Akhirnya kalian turun juga, apa yang membuat kalian lama sekali?" tanya Mama Isaura pada sepasang pengantin baru yang melangkah mendekat.

"Maaf, Ma. Ketiduran tadi sore, hingga melewatkan sholat maghrib dan ashar, jadi sebelum turun saya selesaikan dulu urusan dengan Al Khaliq," jawab Evan sambil menarik salah satu kursi di sebelah mama untuk di duduki Isaura, yang tengah memandangnya dengan heran.

Perempuan itu menyangka kursi itu akan Evan duduki sendiri, kemudian saat Evan kembali menarik salah satu kursi lagi untuk dirinya sendiri, barulah Isaura tersenyum dengan perlakuan manis Evan padanya.

"Alhamdulillah ... baguslah kalau begitu!" seru Mama dengan mata berbinar bahagia. Tangannya mengulurkan satu piring yang masih kosong pada anaknya.

Isaura pun mengambil piring itu dan mengisinya dengan nasi dan lauk yang ia kehendaki, hingga membuat Mama, Ayah dan Evan memandang padanya.

"Kenapa tak kau tanyakan dulu pada suamimu. Makanan apa yang ingin ia makan?!" tegur ayahnya, dengan tatapan tajam.

"Kenapa harus aku yang bertanya, bukankah mama yang biasanya bertanya saat ada tamu yang berkunjung," jawab Isaura dengan cueknya, malah menaruh piring yang ia isi tadi, tepat di depannya.

"Tapi dia bukan tamu, Ra. Dia suamimu, kamu harus belajar untuk melayani suamimu," tegur Ayah Ali yang berhenti makan, tangannya langsung meletakkan sendok dan garpu di piring. Ucapannya pun terdengar naik satu oktaf.

Isaura tercekat, dia tak menyangka ayahnya akan semarah itu padanya. Evan melirik istrinya yang sepertinya sedang menarik nafas panjang berulang kali, kedua matanya tampak sudah berkaca kaca. Tampak sekali kalau sedang menahan kesal.

"Ayah, Mama. Saya mau minta izin untuk membawa Isaura ke rumah saya yang berada di perumahan Griya Kahyangan, besok," pinta Evan, berharap fokus tidak lagi pada Isaura.

"Silahkan, aku sudah memberikan tanggung jawab padamu untuk menjaga, membimbing dan mengajarinya menjadi istri yang sempurna," jawab Ayah Ali, langsung menyetujui permintaan Evan.

"Ayah, kenapa kau seperti sudah tidak mencintaiku, bukankah aku adalah putrimu yang sangat ayah cintai, selama ini ayah tak pernah menolak, dan memarahiku, kenapa sekarang seperti tak berdaya saat di hadapan dia."

Isaura serta merta menunjuk tepat di muka Evan yang memejamkan mata karena terlalu dekatnya telunjuk Isaura ke matanya.

"Sopanlaah pada suamimu, apakah kau pernah melihat mamamu memperlakukan ayahmu seperti itu?" Sentak pak ali dengan tatapan tak suka ke arah Isaura.

"Tapi dia berbeda, dia bukan pilihanku?" bantah Rara, panggilan kesayangan untuk Isaura.

"Buka matamu lebar- lebar, orang yang menjadi pilihanmu, bukannya menjagamu, tapi dia telah melempar kotoran di muka keluarga kita!"

Suara ayah yang menggelegar membuat Mama serta merta mendekat dengan memberikan segelas air bening pada Ayah sambil meminta Ayah untuk lebih bersabar.

Ayah meminum air dalam gelas hingga habis, sedangkan Evan berbalas pandang dengan Rara dan kedua orang tuanya.

"Van ... ceraikan aku, sekarang juga! aku tak mau ikut denganmu!" Suara Isaura yang pelan Namun gaungnya melebihi toa di mesjid bagi yang mendengar.

"Bila kau bercerai bukan karena inginnya si Evan, maka pintu rumah ini akan tertutup untukmu! dengarkan itu Isaura!" bentak Ayah Ali, yang langsung berdiri dengan kedua tangannya pun terkepal. Evan yang semula diam, kaget dan spontan berdiri.

"Ayah ...!" jerit mama dan Rara, hampir bersamaan

Mama memegang tangan kanan Ayah, Namun Ayah mengurainya. Kemudian melangkah pergi meninggalkan meja makan dengan raut muka merah padam, menaiki tangga ke lantai atas.

"Ka--!"

"Ra, jangan kasar pada suamimu!" Lagi lagi mama menegur Rara yang kembali menatap Evan seperti sedang menatap mangsa yang tak bisa ia makan.

"Ayahmu benar, setelah pernikahan, anak perempuan sudah bukan milik keluarga lagi, tapi kepunyaan suaminya, belajarlah menjadi istri yang baik, yang patuh pada suamimu."

Mama dengan nada lirih dan pelan menghampiri Isaura dan membelai rambutnya, semata untuk membuat reda amarah putri tunggalnya itu.

"Mama dan Ayah sudah tidak mencintaiku!"

Dengan setengah berlari, Isaura melangkah menaiki tangga ke lantai atas.

"Jangan di kejar Van. Biarkan dulu dia sendiri. Biar nanti mama yang akan membujuknya," cegah Mama membuat Evan yang sudah berdiri dari duduknya, kembali menghentikan niatnya.

"Rara memang keras hati, sama seperti yang ayahnya punya. Rara anak baik kok, hanya saja mungkin dia masih kecewa, kenapa Dani tidak datang di hari pernikahannya, tanpa ada alasan." Mama menjelaskan kemungkinan kenapa Isaura bersikap kasar seperti itu terhadap Evan.

"Ya, saya paham, Ma."

"Dia juga bukan orang yang susah jatuh cinta, dengan perhatian perhatian kecil aja, dia akan cepat luluh. Mama harap, kamu mau bersabar, ya?!"

Mama memberikan semangat dengan nada yang enak terdengar di telinga Evan.

"Iya, Ma."

"Kamu teruskan makan, mama mau bujuk istri manjamu dulu," ujar Mama, yang melangkah ke tangga, dan saat melewati Evan, tangan kanan mama memukul pelan bahu Evan sembari mengucapkan kata sabar.

Sepertinya hanya Mama yang mempunyai sifat dewasa di rumah ini, kata katanya membuat tenang dan bersemangat.

Evan yang sudah tak merasakan lapar lagi, akhirnya juga bangun dari kursi dan melangkah ke halaman belakang.

Sambil rebahan menikmati bintang, Evan akhirnya kembali tertidur di gazebo, gigitan dan bunyi nyamuk sepertinya tak lagi jadi penghalang dia lelap.

Entah berapa lamanya Evan tertidur dengan posisi meringkuk, akhirnya terbangun karena dingin yang menusuk hingga tulang.

Duduk sebentar di tepian gazebo, akhirnya Evan memilih untuk melangkah meninggalkan halaman belakang, menuju kamarnya.

Dengan pelan dan tak bersuara, Evan membuka pintu dan masuk ke dalam kamar. Di ranjang terlihat Isaura sedang tertidur, dengan banyak tumpukkan bantal di tengah ranjang.

Membuat Evan tersenyum karena mengerti maksud dari tumpukan bantal.

Dilihatnya jam di atas pintu ke arah balkon. Jarum pendek berada di angka tiga dan jarum pangan di angka dua belas.

Evan langsung menuju ke kamar mandi, terdengar suara gemericik air, tak lama kemudian Evan keluar dengan keadaan wajah, separuh rambut, kedua kaki dan tangan dalam kondisi basah.

Kemudian mengganti baju dan celana dengan kaos dan sarung yang tadi ia pakai buat sholat isya. Kemudian berdiri tegak, sholat malam.

"Ya ... Tuhan." seru Evan saat selesai sholat, kemudian duduk bersila dengan kedua tangan mengulur ke atas.

"Ya Allah, hamba memohon cinta-Mu, cinta seorang yang mencintai-Mu, dan cinta amal yang membawaku ke samping-Mu. Jadikan Engkau lebih aku cintai dari pada selainngkau. Jadikan cintaku pada-Mu dapat membimbingku pada ridho-Mu. Jadikanlah kerinduanku pada-Mu sehingga mencegahku dari maksiat. Anugrahkanlah padaku pandangan-Mu. Tataplah diriku dengan pandangan kasih sayang. Jangan palingkan wajah-Mu dariku. Jadikanlah aku di antara para penerima anugerah dan karunia-Mu."

"Ya ... Allah, aku tahu, masih belum ada cinta di hatiku dan di hati istriku, tapi apalah kami di mata-Mu, sang pembolak balikkan hati manusia. Aku tahu pasti takdirmu lebih indah dibandingkan apa yang menjadi rencanaku dan rencana istriku, Isaura."

"Jadikanlah aku di antara para penerima anugerah dan karunia-Mu. Wahai Dzat yang Maha Pemberi Ijabah. Ya Arhamar rahimin."

Evan mengatubkan kedua tangan dan menyapukan ke wajahnya sambil terus mengucapkan kata Aamiin.

Tanpa Evan sadari, Isaura yang saat itu terbangun, mendengar semua apa yang di ucapkan Evan dalam doa malamnya.

Hatinya luluh, air matanya menetes, entah amal baik apa yang pernah di buatnya hingga berjodoh dengan seorang Evan yang sangat taat agamanya, dan perduli pada dirinya.

"Aku masih tak percaya, lelaki ini pasti sedang ber - drama di depanku," ujar Isaura yang mengusap pipinya dengan sedikit kasar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status