Share

4. SANG PENDONOR

“Apakah kau yakin berobat di rumah sakitnya orang-orang kaya ini?” Nathan meneguk ludah sendiri saat menghentikan mobil tepat di depan pintu masuk unit gawat darurat sebuah rumah sakit besar yang berada di jantung kota.

“Aku tidak peduli, keselamatan adikku lebih penting!” kata Michael berkeras. 

Sebenarnya mereka berdua sudah berusaha mendatangi rumah sakit kecil namun bagian administrasi mengatakan unit gawat darurat.sedang penuh saat ini dan masih banyak yang belum tertangani.

Ia menganjurkan mereka ke rumah sakit lain, dan anehnya beberapa rumah sakit serupa dalam kondisi yang sama. Akhirnya Nathan memutuskan menuju rumah sakit besar itu karena kondisi adiknya yang mengkhawatirkan.

Belum lagi ia membuka pintu mobil, tiba-tiba terdengar bunyi klakson sangat keras di belakang mereka.

“Wtf!” maki Nathan kesal, apalagi saat lampu depan mobil rolls royce di belakangnya berkedip-kedip menyilaukan mata. 

Nathan keluar dari mobil diikuti Michael dengan Jonas dalam gendongannya.

“Hey, jangan sok kaya kalian ya! Pamer mobil jelek di depanku,” Nathan memasang wajah garang sambil mendekati moncong mobil mewah tersebut.

“Nathan, sudahlah!” 

Usaha Michael menghentikan sahabatnya tidak digubris, akhirnya ia memilih meninggalkan Nathan, berjalan cepat ke pintu masuk berupa pintu kaca geser. Keselamatan adiknya jauh lebih penting.

Beberapa tim medis tiba-tiba saja keluar dari dalam sambil tergopoh-gopoh membawa bed dorong pasien. 

Mereka seperti tak melihat Michael menggendong anak yang sedang sakit, bahkan seorang dari mereka menabrak bahunya hingga ia terhuyung ke samping.

Mereka berhenti di samping mobil rolls royce yang terparkir dan menunggu. Dua orang pria mengenakan setelan jas dan kacamata serba hitam yang mengingatkan Michael pada karakter Men In Black di film yang pernah ditontonnya, keluar dari sisi kiri-kanan pintu depan mobil. 

Seorang membukakan pintu yang ada di belakangnya, dan seorang lagi menghampiri Nathan yang langsung menciut karena postur tubuhnya kalah tinggi dan gempal.

Seorang pria tampan berambut kecoklatan turun sambil menggendong wanita yang terkulai lemas.Kemeja pria maupun gaun wanitanya bersimbah darah. 

Michael dapat melihat pria itu tampak sangat cemas dengan kondisi wanita yang ada di gendongannya, mungkin mereka sepasang suami istri.

“Tuan Richard, tenanglah!” laki-laki berbaju dokter yang tadi sempat menabrak bahu Michael berkata pada pria itu, ” Kami akan menyelamatkan istri anda!”

Laki-laki itu hanya bisa mengangguk pasrah.

Si wanita dipindahkan ke atas bed dorong pasien lalu dibawa masuk, wajahnya tak asing batin Michael saat rombongan yang membawa Rosie melewatinya. Namun Michael  teringat akan adiknya yang masih ada dalam dekapannya dan belum sadarkan diri, ia-pun bergegas masuk dan menuju meja resepsionis.

“Suster, tolong tangani adikku!” Michael berbicara dengan nafas memburu,” Tubuhnya demam dan tak sadarkan diri dari tadi, aku sangat kuatir.”

Seorang dokter muda wanita yang kebetulan lewat segera mendekatinya dan membuka kelopak mata Jonas yang terpejam seraya menyorotkan senternya.

“Bawa anak ini ke ruang C !” teriak dokter cantik itu pada perawat di sampingnya. Dengan sigap suster itu meraih bed yang ada di dekatnya dan mendorongnya ke arah Michael berdiri. 

Dengan hati-hati Michael meletakkan adiknya di atas bed lalu menoleh pada sang dokter muda, ia sempat melihat name tag yang tersemat di bagian dada kiri jas dokternya, Samantha.

Samantha segera mendorong bed menyusuri lorong, Michael ingin mengekor namun ditahan oleh sang perawat, ”Maaf, anda tunggu saja disini, biarkan kami menangani pasien!”

Michael terpaksa duduk di atas kursi panjang dengan lesu, menunggu. 

***

Richard duduk di atas kursi panjang dengan siku bertumpu pada pahanya sementara kedua tangan memegangi kepalanya. Pikirannya sangat kacau, rasa sesal, panik dan takut bercampur menjadi satu.

Ia menyesal dengan gegabah telah mengucapkan kata ‘cerai’ pada Rosie tanpa memperhatikan perasaannya .

Ia juga panik dan takut  bila terjadi sesuatu yang buruk pada istrinya, hubungan keluarga Eddison dan White akan hancur dan perusahaan uni mereka akan tercerai-berai.

“Istri anda akan baik-baik saja.” 

Suara teduh di sampingnya membuatnya mengangkat kepala dan menoleh, seorang pria muda tak dikenal tersenyum padanya. Ia hanya mengangguk sopan tanpa banyak bicara karena ia memang tak suka berbasa-basi.

Richard melemparkan pandangan ke pintu masuk, mertuanya yang bernama Sebastian White tiba-tiba muncul dengan wajah merah padam.

“Ayah!” ia segera bangkit dan melambai ke arah ayah mertuanya sambil mempersiapkan diri akan kemungkinan terburuk.

Benar saja, begitu melihat Richard, ayah mertuanya bergegas menghampiri dan langsung mencengkram kerah kemejanya.

“Kau apakan anakku, hah?” dengus pria berusia 60 tahun itu marah.

“Hanya kesalahpahaman, Ayah!” Richard terpaksa berbohong.

“Kesalahpahaman apa? Rosie-ku tidak mungkin berbuat bodoh kalau tidak ada pemicunya. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan puteriku, kuhancurkan kau, mengerti?!” ancam Sebastian sambil melotot.

“Aku mengerti, Ayah. Jangan kuatir!” kata Richard tenang meski sebenarnya pikirannya kalut. 

“Tuan Richard,” terdengar suara dokter Jeffry yang menangani Rosie, berhasil menyelamatkan Richard dari cengkraman Sebastian. Mereka berdua menghampiri dr Jeffry dengan mimik cemas.

“Bagaimana kondisi istriku?”

“Istri anda kehilangan banyak darah, sementara golongan darah AB- yang ia miliki  tergolong langka. Rumah sakit kami tak memiliki stok darah tersebut. Kami akan berusaha mencarinya di rumah sakit lain tapi kami kuatir…”

“Aku tidak peduli, kalian harus bisa mendapatkannya atau kuminta direktur tempat ini memecatmu!” sergah Richard marah. 

“Saya akan berusaha!” 

Suara dokter berusia 45 tahun itu terdengar bergetar karena ia tahu sulit sekali mencari golongan darah langka yang bisa mendonor apalagi kondisi Rosie sedang kritis.

“Maaf,” Michael yang dari tadi menguping memberanikan diri menyela, ”Mungkin aku dapat membantu, kebetulan golongan darah-ku B-.”

“Benarkah?” 

Dr Jeffry nyaris melonjak kegirangan. ia sudah membayangkan dirinya dipecat karena keluarga Eddison adalah pemegang saham terbesar di rumah sakit swasta tersebut.

Richard sendiri tak menyangka pemuda yang tadinya dianggap usil kini menjadi malaikat penolong.

“Baguslah kalau begitu, aku akan siapkan semuanya.”

Dr Jeffry memanggil seorang perawat untuk membawa Michael ke salah satu ruangan.

“Terimakasih,” ujar Richard tulus sambil mengulurkan tangan, ”Richard.”

“Michael,” balas pemuda itu sambil menyunggingkan senyum tipis, ”Seperti kata saya tadi, istri anda akan baik-baik saja.” 

Richard mengangguk, bahunya turun dengan berat. Ia merasa sangat bersalah terhadap Rosie.

“Terimakasih, Anak Muda!” Sebastian menepuk pundak Michael.

Michael mengangguk sembari berjalan mengikuti perawat menuju ruangan tempat transfusi darah akan dilakukan.

***

Setelah mengisi riwayat medis dan mengikuti prosedur lainnya, Michael dinyatakan sehat demikian juga golongan darahnya dapat diterima oleh tubuh istri Richard.. 

Ia duduk dan bersandar pada kursi khusus, membiarkan perawat mulai bekerja. Perawat bertubuh mungil itu melingkarkan manset tekanan darah pada lengan bagian atas agar pembuluh darah Michael lebih mudah terlihat lalu membasahi satu titik di lengannya dengan kapas beralkohol.

Saat ia mulai mengambil jarum suntik, Michael segera membuang pandang ke sembarang arah. Meski berbadan kekar dan kuat, ia belum pernah berhadapan dengan jarum suntik. 

“Tahan nafas!”

Michael menahan nafas kuat-kuat, ia berusaha mengalihkan kecemasannya dengan memandang langit-langit ruangan yang bercat putih. Ia mencoba mengingat hal-hal indah bersama adiknya.

***

Beberapa jam kemudian,

Rosie mulai siuman dan kondisinya-pun sudah stabil. Dokter mempersilahkan Richard dan Sebastian masuk untuk menemuinya.

Richard merangkum tangan Rosie dan menciumnya lembut, ”Kau membuat kami cemas sekali.”

Rosie mengerjapkan mata berharap ia tak sedang bermimpi, Richard takut kehilangan dirinya? Apakah ini mimpi?

Air matanya kembali bergulir ketika kepingan-kepingan memori mulai sambung-menyambung membentuk satu peristiwa di benaknya. Kata-kata Richard tentang keputusannya untuk bercerai terus bergaung seperti keputusan hukuman mati, membuatnya sulit bernafas.

“Jangan tinggalkan aku,” gumam Rosie lemah namun mampu membuat Richard dan Sebastian tersentak. 

Sebastian mendekat ke sisi lain ranjang namun tak ada satu katapun terucap dari bibirnya. Ia hanya melemparkan tatapan dingin ke arah Richard, menunggu apa yang akan diucapkan menantunya pada putrinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status