Selena melayangkan pandangannya pada jam yang melekat pada dinding lobby rumah sakit, waktu sudah menunjukkan jam tiga sore. Sudah tiga jam menunggu lak-laki brengsek itu datang menjemput sepupunya, namun ujung hidungnya tak kunjung nampak.
“Kau yakin Richard akan menjemputmu?” Selena menatap Rosie dengan mata menyipit. Rosie hanya menganggukkan kepala mungilnya sambil terus membaca novel romance dalam sebuah aplikasi online di ponselnya.“Kita sudah menunggu tiga jam, aku yakin si brengsek itu sedang asyik dengan kekasihnya dan melupakanmu!” Selena mendengus kesal, diremas-remasnya flyer promosi layanan rumah sakit yang ada di tangannya.“Berhentilah memanggil suamiku brengsek!” bibir Rosie mengerucut,”Ia sudah berubah, suamiku yang hilang telah kembali.”“Kau yakin?” Selena mencibir.“Tentu saja,” Rosie mengangguk beberapa kali untuk menekankan jawabannya, ” Richard setia menemaniku selama di rumah sakit, dia sudah berubah.”“Aku tidak yakin, Rosie. Pengkhianat selamanya akan selalu berkhianat bila ada kesempatan.”“Baiklah kalau kau tidak percaya, akan kuhubungi Richard.”“Coba saja!” tantang Selena sembari melipat tangan ke depan dada.Rosie mencari kontak Richard dan menggeser gambar gagang telepon berwarna hijau ke atas, di dalam hati ia berdoa Richard akan mengangkat teleponnya atau dia akan merasa sangat malu. Doanya terkabul.“Hai Rosie?” terdengar suara Richard lembut menyapa.“Richard, kau tentu ingat kalau hari ini aku sudah boleh keluar dari rumah sakit bukan?”“Omg!” terdengar teriakan Richard di seberang, raut wajah Rosie berubah mendung.“Kau bilang akan menjemputku, sudah tiga jam aku menunggu di sini.”“Maaf Rosie, aku benar-benar lupa.”Rosie menarik nafas berusaha mengusir kekecewaan, “ Tidak apa-apa, bisakah kau jemput kami sekarang?”“Maaf, aku tidak bisa karena sudah ada janji bertemu dengan klien. Akan kusuruh Anthony menjemputmu, ok?”“Tidak perlu, aku akan pulang bersama Selena!” jawab Rosie ketus.“Baguslah kalau begitu, sampai bertemu di rumah!”Begitu saja sambungan diputuskan seolah hal lupa menjemput istri bukan masalah yang besar bagi Richard. Rosie meletakkan ponsel di atas pangkuannya sembari berusaha bernafas secara teratur.“Kau tidak apa-apa?” tanya sepupunya cemas.“Tolong antarkan aku pulang!” gumam Rosie setengah berbisik. Selena membuang nafas kesal, ia merasa kasihan pada sepupunya yang dianggapnya bodoh itu. Tanpa banyak bicara ia memeluk bahu sepupunya dan mengajaknya berjalan bersama meninggalkan tempat itu.***Sambil membolak-balik halaman majalah TIME tanpa tahu apa yang menarik untuk dibaca, Michael terus melirik ke arah pintu kantor yang tertutup. Sudah setengah jam ia menunggu namun klien yang bernama Richard itu tidak juga memanggilnya.Sejujurnya ia sangat cemas ketika Donna menyebutkan nama klien berikut alamatnya.“R…RIchard?” Michael mengulang nama itu dengan terbata-bata. Bukankah itu nama laki-laki?“Ya, kenapa? Jangan bilang kau tidak berani ambil tantangan ini!” Donna yang memahami kecemasan pemuda itu sengaja mempermainkannya.“Aku sudah berjanji, aku tak akan mundur!” tegas Michael.“Bagus, pergilah sekarang juga ke alamat itu! Ia menunggumu.”Setiba di kantor milik Richard, Michael sempat muntah mengeluarkan semua isi perutnya di toilet karena merasa mual bercampur panik. Namun bayangan adiknya yang terbaring lemah membuatnya kuat kembali. Ia harus bisa melalui semua ini, janjinya dalam hati.Pintu kantor akhirnya terayun terbuka dan seorang pria mengenakan kemeja putih bersih dipadu dengan celana jeans denim muncul dari sana, tersenyum dan menyapanya.“Silahkan masuk, Richard sudah menunggu.”Michael bangkit dari kursinya dan berjalan masuk dengan dada bergemuruh hebat, sampai-sampai ia kuatir pria itu mendengar suaranya.Ia memasuki ruangan kantor yang ditata minimalis namun tetap elegan, seorang pria tampan mengenakan kemeja silk berwarna hitam duduk di balik meja direktur , pria yang pernah dikenalnya belum lama berselang.“Michael?”“Richard?”Richard berdiri dan mengulurkan tangannya, Michael ragu menyambutnya. Kecemasannya muncul kembali ketika diingatnya Richard adalah Richard yang sama dengan yang memesan jasa layanannya.Ia menelan ludah, tidak tahu apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangan dan juga pelipisnya, belum pernah ia setakut ini.
Pria berkemeja putih yang berdiri di belakangnya menyentuh bahunya tiba-tiba hingga ia berjingkat kaget dan beringsut menjauh.“Kau tidak apa-apa?” pria itu menatapnya kuatir.“Maaf aku sedang sensitif hari ini,” kata Michael asal. Kedua pria itu menatapnya bingung.“Duduklah!” Richard menunjuk kursi di depannya seraya meletakkan pantatnya kembali ke tempat semula. Michael duduk dengan hati-hati sambil sesekali menoleh ke belakang dimana pria berkemeja putih yang tak lain adalah Jason berdiri.“Aku tidak menyangka kau bekerja pada Donna,’ Richard meraih mug berisi kopi di dekatnya.“Aku membutuhkan uang untuk biaya pengobatan adikku,” jawab Michael getir. Richard mengangguk-angguk paham.“Apakah Donna juga memberitahu-mu mengapa aku memintamu datang kemari? tanya Richard sambil menyeduh kopinya.Michael menelan ludah dan menjawab,” Donna mengatakan bahwa aku harus melayani Anda.”Kopi yang hampir tertelan menyembur keluar saat Richard tersedak. Matanya membelalak, sementara Jason tak mampu menahan tawanya.“Donna yang bilang begitu?”“Benar,” Michael menjawab bingung,” Apakah ada kata-kataku yang salah?”“Donna brengsek!” maki Richard, “Pantas saja kau ketakutan melihat kami.”“Jadi tidak benar aku harus melayanimu?” wajah Michael yang sedari tadi pucat dan tegang berubah lega.“Tidak salah tapi juga tidak sepenuhnya benar,” Richard tersenyum.“Tolong jangan beri aku teka-teki lagi!” kata Michael frustasi.“Aku ingin menyewamu untuk suatu tugas rahasia,” kata Richard sambil menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi direktur yang empuk.“Tapi aku bukanlah orang yang berpendidikan tinggi.”“Tenanglah, tugas rahasia ini tidak membutuhkan pendidikan tinggi. Yang dibutuhkan hanyalah skill-mu dalam menaklukkan wanita,” Richard menyorongkan tubuhnya ke depan dan menumpukan kedua sikunya di atas meja, “Bisakah kau melakukannya?”Michael menghela nafas lega sambil tersenyum penuh percaya diri, “Tentu saja aku bisa.” Richard meletakkan beberapa foto wanita di atas meja lalu menyorongkannya ke arah Michael. Michael memeriksa lembar demi lembar foto wanita cantik yang diberikan dengan mulut mengepak dan mata membulat. “Bukankah i..ini istri anda?” Richard mengangguk, “Namanya Rosie, dialah targetmu.” Michael memperhatikan wajah Rosie lebih seksama, ia merasa tidak asing dengan wajah itu. Rambut keemasan, mata biru, bibir tipis…bibir itu mengingatkannya pada bibir yang pernah membuatnya lupa diri beberapa hari lalu. Perlahan ingatannya akan wajah itu terangkai penuh, ternyata istri Richard adalah wanita yang pernah bersamanya waktu itu. “Maaf, aku tidak mengerti. Kau menugaskan aku untuk tidur dengan istrimu?” tanya Michael tak percaya sambil mengangkat dagunya memindahkan pandangannya kepada Richard yang masih menunggu reaksinya. “Aku memintamu untuk membuat istriku jatuh cinta padamu dalam waktu
Rosie bangun pagi-pagi sekali, untuk pertama kalinya entah sejak berapa lama, ia merasa sangat bersemangat. Ia menyiapkan sarapan untuknya dan Richard, kemudian membersihkan diri di bawah guyuran shower. Ia harus benar-benar segar di hari pertamanya bekerja. ia mengenakan blouse silk biru pastel dan rok pensil biru tua, dengan sepatu pantofel setinggi tujuh senti yang menonjolkan keindahan kaki jenjangnya. Rambutnya digelung ke atas dan ia membubuhkan make up tipis-tipis pada wajah untuk menampilkan kesan profesional dan juga fresh. “Cantik,” gumam Richard yang memperhatikan dari tempatnya berbaring. Rosie membalikkan tubuh dan tersenyum manis. Richard yang menyadari bahwa ia baru saja mengagumi istrinya segera mengatupkan bibir. “Benarkah?” Rosie mengerjap-ngerjapkan mata dengan ekspresi genit. “Ya tentu saja,” Richard tersenyum lalu mengalihkan pembicaraan, ”Kelihatannya kau sudah siap untuk memulai bekerja di t
Rosie berharap lantai yang dipijaknya terbelah dan menelannya hidup-hidup, tak mau berada di tempat itu bersama pria yang ia takut dan benci setengah mati. Bagaimana mungkin di kota sebesar ini dengan ratusan ribu jiwa penduduknya, mereka bisa dipertemukan kembali? Mata Michael tertuju pada bibirnya, tatapan mata lapar yang sama yang mengingatkan ia dengan peristiwa malam mengerikan itu. Tubuhnya bergetar menahan gelombang dahsyat. Perasaan malu, benci, menyesal, bersalah, dan takut berperang di dalam hatinya. “Rosie…Rosie…Rosie?” Ia tersentak menyadari Jason memanggil namanya berulang kali dengan mimik wajah cemas. Entah bagaimana ekspresinya tadi, ia menjadi sangat malu dan tak berani memikirkannya. “Kau tidak apa-apa?” Jason menyentuh bahunya, “Kau seperti melihat hantu.” Ia buru-buru mengangguk dengan wajah merah, “Benar, aku melihat hantu menyebalkan.” “Hah? DI mana?” Jason mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan cemas. “Di sana!” Rosie menunjuk ke arah belakang Micha
“Kelihatannya kau tertarik pada karyawan baru itu?” goda Jason, meski sebenarnya ia sedang mengulur waktu mencari jawaban yang tepat untuk istri sahabatnya tanpa menimbulkan kecurigaan. “Siapa bilang?” mata biru Rosie membeliak namun pipinya tak urung merah merona. Pemandangan itu tak luput dari mata jeli Jason yang menanggapinya dengan senyum tertahan. “Justru aku tidak suka padanya, terlihat licik dan jahat!” kata Rosie sambil mendekatkan dirinya ke partisi kaca, melihat ke arah MIchael yang sedang melayani seorang pelanggan wanita. Wanita itu terlihat mengulum bibir dan memainkan ujung rambutnya yang terjuntai di pundak, bahkan matanya menatap Michael sayu seperti gadis dimabuk cinta. Michael melayaninya dengan senyuman dan membiarkan pinggangnya dicubit gemas oleh wanita itu. “Lihat itu tingkahnya, norak…kampungan!” kata Rosie sebal menunjuk ke arah Michael dengan dagunya. “Memang dia kenapa? Wajarlah dia tampan hingga disukai pelanggan wanita. Apa yang salah?” Jason melihat
Pria itu membungkuk dengan kedua tangannya menggenggam sandaran tangan kursi, mengungkung Rosie di dalamnya. “Aku hanya ingin berterima kasih, jadi tolong jaga sikapmu!” Rosie memicingkan mata geram, berusaha mengabaikan kupu-kupu yang sedang berperang dalam perutnya. “Jangan salahkan aku, ikatan darah di antara kita sangat kuat!” “Makin lama omonganmu makin ngawur!” sentak Rosie kesal, “Jangan buat aku menyesal sudah bersikap baik padamu!’ “Satu kali makan malam maka kuanggap kita impas, bagaimana?” kata Michael bernegosiasi. Rosie berpikir sejenak sebelum mengangguk, “Hanya makan malam!” “Ya tentu saja, kecuali kau ingin…” “Sebaiknya kurangi bicara atau gajimu kupotong!” ancam Rosie. Michael mengatupkan bibir namun mata hijaunya seperti tertawa menggoda. “Baiklah, kau lanjutkan pekerjaanmu. Akan kusiapkan makan malamnya!” Michael menjauh dari Rosie, melangkah meninggalkan ruangan menuju ke da
Michael mengunci pintu depan cafe, menyembunyikan kuncinya di bawah pot besar sesuai pesan rekan-rekan seniornya sebelum mereka pulang. Pemuda itu memeriksa jam tangan kulit yang membelit pergelangan tangan kirinya, sudah jam delapan malam. Ia mendongak ke langit berwarna biru pekat, bulan purnama terlihat penuh di atasnya. Masih ada waktu untuk mengunjungi Jonas di rumah sakit, pikirnya. Hari ini sebenarnya hari yang melelahkan, seluruh tubuhnya serasa luluh lantak. Tetapi Jonas pasti akan menanyakannya bila ia tak datang. “Michael.” Michael membalikkan tubuh, matanya menangkap sosok wanita berdiri di dekat pintu mobil beberapa meter dari tempatnya berdiri. Sosok yang ia kenal. “Rosie?” Michael berjalan mendekat beberapa langkah untuk memastikan wanita di depannya adalah Rosie. Tak ada jawaban. Wajah Rosie bermandikan cahaya bulan, terlihat cantik. Michael melihat ke dalam mata birunya dan melihat tatapan lapar yang belum
Seorang pria berusia sekitar 60 tahun-an berjalan keluar dari bandara, mengenakan jaket kulit di luar kaos putih dipadu celana jeans biru. Penampilannya sederhana namun tetap terlihat rapi dan elegan.Di samping kiri-kanannya berjalan pula dua orang pria yang berusia lebih muda mengenakan pakaian serba hitam. Mereka menggunakan jasa taksi bandara untuk mengantarkan ke sebuah hotel bintang lima yang terletak di jantung kota.Nama pria itu adalah George Bridgewood, seorang pengusaha sukses dari Inggris. Namun demikian penampilannya selalu bersahaja.Meski sudah kepala enam, dengan tubuh tinggi tegap, dada bidang dan sedikit keriput di wajah, ia lebih mirip pria berusia 40 tahun. Sepanjang perjalanan menuju ke hotel. mata hijau zamrudnya memandang ke luar jendela taksi. Kenangan masa lalu tiba-tiba mengusiknya, membawa ia dalam perasaan bersalah yang menyiksa. 25 tahun yang lalu George pernah tinggal di kota itu selama beberapa waktu dalam rangka membina hubungan kerjasama dengan salah
Pagi itu, suasana cafe mulai ramai pengunjung. Michael dan rekan-rekannya sibuk melayani customer yang terus saja datang. Beruntungnya kondisi sakit di kakinya berangsur membaik hingga ia tetap mampu bekerja maksimal. Bukan hanya menerima pelanggan yang memesan makanan dan minuman, Michael juga harus menghadapi beberapa pelanggan genit yang meminta nomor teleponnya. Sungguh memusingkan, ditambah pandangan cemburu rekan-rekan pria yang lain padanya karena ia lebih sering mendapat tips dari pengunjung wanita. Michael sudah banyak belajar tentang karakter orang dan bagaimana membuat mereka puas dengan hasil kerjanya, hal ini dikarenakan ia sudah harus bekerja mencari nafkah sejak usia 15 tahun. Kondisi perekonomian yang sulit mengajarkan banyak hal padanya termasuk bertahan hidup. Setelah berhasil meloloskan diri dari rayuan seorang gadis cantik yang berani mengajaknya kencan setelah memesan secangkir kopi latte, ia memilih menghabiskan waktu m