Share

9. HARI PERTAMA

Rosie bangun pagi-pagi sekali, untuk pertama kalinya entah sejak berapa lama, ia merasa sangat bersemangat.

Ia menyiapkan sarapan untuknya dan Richard, kemudian membersihkan diri di bawah guyuran shower. Ia harus benar-benar segar di hari pertamanya bekerja.

ia mengenakan blouse silk biru pastel dan rok pensil biru tua, dengan sepatu pantofel setinggi tujuh senti yang menonjolkan keindahan kaki jenjangnya.

Rambutnya digelung ke atas dan ia membubuhkan make up tipis-tipis pada wajah untuk menampilkan kesan profesional dan juga fresh.

“Cantik,” gumam Richard yang memperhatikan dari tempatnya berbaring. Rosie membalikkan tubuh dan tersenyum manis.

Richard yang menyadari bahwa ia baru saja mengagumi istrinya segera mengatupkan bibir.

“Benarkah?” Rosie mengerjap-ngerjapkan mata dengan ekspresi genit.

“Ya tentu saja,” Richard tersenyum lalu mengalihkan pembicaraan, ”Kelihatannya kau sudah siap untuk memulai bekerja di tempat Jason?”

“Lebih dari siap,” Rosie kembali menghadap cermin dan menyapukan brush pemerah pipi ke sepanjang tulang pipinya.

“Anthony bisa mengantarkanmu kalau kau mau.”

“Tidak perlu, aku bisa berangkat sendiri.”

“Terserahlah kalau begitu, akan ku-kirimkan alamatnya kepadamu!” Richard meloloskan diri dari selimut tebal yang mengungkungnya,meninggalkan peraduan menuju kamar mandi.

Rosie mengangguk, meski dalam hati ingin menjerit. Mengapa selalu Anthony yang disebut oleh Richard untuk mengantarkan atau menjemputnya?

Selama lima tahun menikah tak sekalipun Richard menawarkan diri atau berinisiatif untuk melakukannya seolah ia pria tersibuk di dunia.

Rosie mendengus kesal, dimasukkannya semua peralatan makeup ke dalam tas kecil dengan sedikit kasar. Ah, masalah kecil seperti ini tidak boleh mempengaruhi mood-nya bekerja.

Bukankah mereka sedang memulai kembali semua dari awal, dan ia juga berjanji akan menunggu sampai Richard mencintainya?

Semangat, Rosie! Ia mengayunkan tinju ke atas menyemangati diri.

***

Sebuah tepukan lembut di bahu membangunkan Michael dari tidur. Ia menggosok-gosok mata dan mencoba melihat sosok di sampingnya secara lebih seksama.

Dr Samantha tersenyum padanya, “Kau tidur semalaman menjaga Jonas, pasti lelah sekali.”

Michael meluruskan punggungnya seraya membalas senyuman dokter cantik itu, “Aku sebenarnya menunggu Anda, Dokter.”

“Panggil saja aku Samantha, usia kita kurasa tak jauh berbeda!” ujar Samantha sambil mengatur laju infus pada selang menggantung yang menghubungkan botol infus dengan jarum yang menancap di punggung tangan Jonas.

“Samantha, nama yang bagus. Kau bisa memanggilku…”

“Michael,” Samantha menoleh, menampakkan gigi-giginya yang tertata rapi saat tersenyum.

“kau sudah tahu namaku?” Michael mengangkat alis tebalnya dengan heran.

“Jonas selalu bercerita tentangmu,” Samantha melirik ke arah Jonas yang masih lelap tidur di atas ranjang rumah sakit, “Dia sangat bangga memiliki kakak sepertimu, Mich.”

“Aku juga bangga memiliki adik seperti dia,” Michael menatap Jonas penuh kasih.

“Kalian sama-sama beruntung karena saling memiliki,” gumam Samantha dengan wajah berubah murung, seperti mengenang sesuatu atau tepatnya seseorang.

“Kau memiliki saudara juga?” Michael menatapnya.

Samantha menggeleng, mengalihkan pandangan pada Michael,” Oh ya, kau menungguku untuk apa?”

“Aku ingin minta tolong padamu, kalau kau tidak keberatan.”

“Katakan saja, siapa tahu aku bisa bantu.”

“Aku diterima bekerja di sebuah cafe, karena ini adalah hari-hari pertama aku bekerja pasti akan sibuk sekali.”

“Itu bagus.”

“Ya, bisakah kutitipkan Jonas bila aku dan ibuku tidak berada di sini menjaganya?”

“Tentu saja, dia adalah pasienku.”

Michael begitu terharu, seperti ada air sejuk mengalir membasahi hatinya yang kering. Ia terbiasa bertemu dengan orang-orang yang egois, namun Samantha adalah pribadi yang manis sejak pertama mereka bertemu.

Secara refleks diraihnya tangan Samantha dan digenggam erat, “Terimakasih.”

Michael tak menyadari perubahan paras Samantha yang merona jambu karena ponsel di saku jeansnya keburu bergetar. Ia melepaskan tangan gadis itu untuk menjawab panggilan tak dikenal.

“Hello?”

“Michael, sudah jam berapa ini?” terdengar suara Jason di seberang, “Jangan bilang kau lupa ini hari kerja pertama-mu di cafe-ku!’

“Hari ini?” mata Michael membelalak kaget.

“Aku kirim pesan padamu semalam.”

Michael menjauhkan ponsel dari telinga untuk memeriksa chat, ternyata benar Jason telah mengirimkan pesan semalam dan ia belum membukanya sama sekali.

“Maaf, aku akan segera kesana!” kata Michael cepat.

“Kuberi waktu setengah jam untuk sampai kemari!”

Michael segera bangkit dari duduk, mendekati Jonas dan membungkuk untuk mengecup keningnya.

“Pergilah,” ucap Samantha lembut

Michael mengangguk lalu berbalik dan setengah berlari meninggalkan rumah sakit.

Ia memutuskan untuk kembali ke apartemennya yang berjarak tidak terlalu jauh dari alamat cafe milik Jason lebih dahulu.

Namun belum lagi menaiki tangga, ia sudah dihadang oleh Marco.

“Aku sudah seharusnya mengusirmu beberapa hari lalu,” kata Marco sambil memicingkan mata. Tubuh besarnya berdiri menutupi koridor yang hanya selebar dua meter sambil berkacak pinggang.

“Marco, aku memang berniat menemuimu untuk membayar tunggakan uang sewa-ku!” Michael menepuk bahu Marco sambil meraih dompet yang tersimpan di kantong celana bagian belakangnya.

Wajah Marco berubah begitu melihat dompet pemuda itu terlihat tebal tak seperti biasa. MIchael mengeluarkan gepokan uang tersebut dan menghitungnya.

“Ini uangnya,” Michael menyerahkan beberapa lembar uang pada Marco.

“Nah begitu dong!” di bibir tebal Marco tersungging senyum senang. Ia berbalik pergi tanpa ucapan terima kasih.

Michael hanya menggeleng-gelengkan kepala sembari melanjutkan langkah yang tertunda. Ia benar-benar tak punya banyak waktu, karena Jason pasti sudah menunggunya.

Sejujurnya ia tak mengerti mengapa harus bekerja di cafe milik Jason, yang ia tahu itu adalah bagian dari rencana. Itu saja, selebihnya blank alias kosong.

Setelah mandi dan merasa segar kembali, Michael mengenakan kemeja putih dan celana jeans hitam lalu turun ke lantai bawah.

Ia mengeluarkan sepeda lipatnya dari gudang kecil yang terletak di samping pintu masuk gedung.

Sepeda itu terlihat tua dengan debu di sana sini karena jarang digunakan, untunglah ban rodanya tidak kempes, rantainya-pun masih terpasang sempurna.

Ia mengayuh sepeda kuat-kuat membelah jalanan yang padat, dengan lincah pula ia menyalip kendaraan-kendaraan yang terpaksa melambat atau berhenti karena macet.

Ia dapat merasakan ponsel di saku celananya bergetar beberapa kali, Jason pasti berusaha menghubungi terus-menerus karena ia sudah melewati waktu yang ditentukan.

Setiba di tempat, ia memarkirkan sepedanya di samping cafe.

Sejenak ia mengagumi bangunan sederhana di depannya, sebuah bangunan bata putih dua lantai dengan kanopi berwarna merah di sepanjang sisinya, meja dan kursi dari bahan kayu bercat putih diletakkan di bawah kanopi tersebut dan terlihat beberapa pasangan duduk disana menikmati makan pagi dan kopi mereka sambil mengobrol.

Ada kaca besar sebagai pembatas bagian dalam dan luar cafe tersebut. Terlihat dari tempatnya berdiri beberapa orang berdiri di dalamnya sambil mengobrol, salah satunya ia kenali adalah Jason.

Ia bergegas membuka pintu kaca dan masuk seraya menyapa,” Hai, maaf aku terlambat!”

Pandangan Michael tertuju kepada Jason yang melotot padanya, “Michael, ini hari pertamamu bekerja tapi kau sudah membuat…”

PRANG!!

Terdengar suara gelas jatuh ke lantai begitu keras hingga ia menoleh ke arah sumber suara.

Seseorang berdiri tak jauh dari Jason, menatapnya dengan mata biru membulat besar seperti burung hantu dan bibir pink mengepak.

Bibir yang sampai saat ini masih terasa kelembutannya di bibirnya.

“Rosie.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status