Share

Istriku Yang Buluk Menjadi Rebutan
Istriku Yang Buluk Menjadi Rebutan
Author: Andrianisilvia

PUSAT PERHATIAN DI PESTA

ISTRIKU YANG BULUK MENJADI REBUTAN

BAB 1

“Ma, cepat sedikit dandannya!” teriak Yusuf dari luar kamar, ia sudah bosan menunggu istrinya dari tadi masih belum selesai merias diri. Yusuf paling tidak suka jika harus disuruh menunggu. Suara derap langkah kaki membuat Yusuf langsung menoleh, ia menatap istrinya itu dengan lekat dari ujung ke ujung.

“Ya ampun … kamu lama di kamar cuma gini doang?” tanya Yusuf.

Wanita itu menatap tampilan dirinya sendiri dan merasa tidak ada yang salah, ia memakai dress berwarna peach yang terlihat sederhana tapi elegan tak lupa jilbab yang ia kenakan dengan warna senada.

Wajahnya hanya di poles dengan bedak tipis dan lipstik warna bibir membuat tampilannya terlihat natural tapi tetap menawan, matanya yang bulat dan bersinar tidak perlu memakai softlens, bulu mata yang lentik alami menambah kecantikan wanita itu. Karena dasarnya wanita itu memang cantik meskipun tanpa makeup.

“Ya udah, ayo! Kelamaan kalau kamu dandan lagi,” seru Yusuf sembari berjalan keluar.

Malam ini mereka akan menghadiri acara pernikahan rekan kerja Yusuf. Kedua putri kembar mereka dititipkan sementara di rumah ibunya Willia. Tak butuh waktu lama untuk mereka sampai ke tempat tujuan. Acara pernikahan itu diadakan di ballroom hotel bintang lima yang tidak jauh dari kediaman Yusuf dan Willia. Banyak pasang mata yang tertuju pada pasangan itu saat memasuki ballroom. Siapa yang tidak mengenal Yusuf, ia adalah seorang pengusaha kayu dari Kalimantan. Banyak investor yang bekerja sama dengan lelaki itu dari dalam maupun luar negeri.

“Kamu sih, gak dandan dulu. Lihat mereka lihatin kita sampai segitunya,” bisik Yusuf pada istrinya. 

Mereka, tepatnya kaum adam melihat sosok Wilia sambil berbisik-bisik membuat Yusuf menjadi risih. Sedangkan Wilia hanya bersikap biasa saja, karena ia pikir dirinya tidak mengenal orang-orang itu.

“Udahlah, Pa. Biarin aja mereka,” balas Wilia.

Yusuf membawa istrinya itu ke tempat yang sudah di siapkan untuk dirinya dan sang istri.

“Pak Yusuf, bagaimana kabarnya? Sekian lama baru kita bertemu lagi, ya,” seru seorang lelaki bertubuh tambun sambil menjabat tangan Yusuf.

“Alhamdulillah … baik, Pak Broto,” balas Yusuf dan menyambut uluran tangan lelaki berkepala plontos itu.

“Ternyata benar kata orang-orang, istri Pak Yusuf ini memang benar-benar cantik,” puji Pak Broto sambil menatap Willia dengan lekat membuat wanita itu menjadi risih.

“Pak Broto, bisa aja,” seru Yusuf dengan tawa yang dipaksakan. 

Rekan kerja Yusuf yang lain ikut menyapa lelaki itu dan juga istrinya. Karena hampir semua rekan kerjanya itu laki-laki, Yusuf kini merasa risih karena saat mereka berbicara dengan Yusuf mata mereka malah menatap Willia yang duduk di sebelahnya.

“Istri Pak Yusuf cantik sekali, ya.” Pujian itu banyak terlontar dari rekan kerjanya, membuat Yusuf tidak tahan jika berlama-lama di tempat itu. 

Yusuf mengajak Wilia pulang sebelum pesta inti di mulai. Ia tidak suka jika istrinya sudah menjadi bahan omongan orang.

“Kamu kenapa sih, Pa. Kok kayak kesel gitu?” tanya Willia yang ikut mendudukan dirinya di samping sang suami.

“Kamu gak lihat, mereka tadi tuh. Pake muji kamu segala, orang jelas-jelas kamu gak dandan kok. Itu namanya menghina di balik pujian.”

Di telinga Yusuf pujian mereka itu adalah sebuah hinaan. Seharusnya ia menyewa MUA untuk istrinya itu sebelum ke pesta, agar semua rekan kerjanya tidak mengolok-olok dirinya seperti ini. Lelaki itu tidak sadar jika semua orang di sana memang benar-benar memuji kecantikan alami yang dimiliki Willia. Memang sekarang banyak wanita yang berlomba-lomba mempercantik diri dengan makeup tapi tidak dengan Willia yang tetap mempertahankan kecantikannya yang natural.

“Kamu sih pake gak dandan segala. Lihat cewek-cewek di sana tadi, pake makeup, bibirnya merah pipinya merona,” lanjutnya.

“Jadi kamu malu punya istri kaya aku, Pa?” 

“Bukan gitu, Mama Sayang,” rayu Yusuf.

Mata wanita itu kini berkaca-kaca, Willia sangat sensitif jika ada sedikit saja yang membuatnya tersinggung.

“Malam ini, Papa tidur di luar!” teriak Wilia lalu berlari ke dalam kamarnya, tak lupa ia mengunci pintu agar suaminya tidak masuk.

“Apa aku salah ngomong?” tanya Yusuf pada dirinya sendiri sembari mengacak rambutnya frustasi. Ia bangkit dengan malas dan mengetuk pintu kamarnya.

“Sayang … buka dong pintunya. Masa tega biarin Papa tidur sendiri,” seru Yusuf.

Tidak ada jawaban, ia hanya mendengar gemericik air dari kamar mandi dalam kamarnya. Wanita itu pasti sedang mandi. Dengan langkah gontai ia menuju kamar anaknya. Terpaksa malam ini ia tidur ditemani dinginnya malam. 

***

Sinar mentari itu langsung menyinari kamar yang tadinya gelap gulita saat gorden itu terbuka lebar. Sang penghuni kamar yang merasa terganggu langsung menutup wajahnya dengan bantal.

“Pa … ini udah jam tujuh, loh. Papa belum shalat subuh, ya?” 

Willia mengguncang tubuh suaminya itu yang masih terbuai dunia mimpi. Wanita itu menarik nafas panjang saat melihat sepatu yang masih menempel di kaki sang suami.

“Ih … jorok banget, masa tidur pake sepatu, jelas ini kalau tadi malem gak mandi,” gerutu Willia. Ia mengambil paksa bantal yang menutup wajah suaminya, tangan lentiknya menjepit hidung yang mengeluarkan suara dengkuran dengan keras. Mata itu sontak terbuka lebar saat tak ada pasokan oksigen yang ia rasakan.

“Mama, apa-apaan sih,” gerutu Yusuf dengan matanya yang masih mengantuk.

“Mimi, ipi-ipiin sih,” seru Wilia sambil mengikuti gaya bicara sang suami.

“Bangun! Papa belum shalat subuh. Gak malu sama ayam, ayam aja udah berkokok dari tadi subuh,” lanjut Willia sambil berkacak pinggang. 

“Suami yang gantengnya gak ketulungan gini kok disamain sama ayam,” gumam Yusuf sambil berjalan ke kamar mandi.

Sedangkan Wilia membereskan tempat tidur yang tadi dipakai suaminya sebelum kembali bertempur di dapur.

“Assalamu’alaikum ….” Suara si kembar berteriak dengan kompak membuat Willia sontak berlari kecil ke arah sumber suara.

“W*’alaikumsalam, cantik-cantiknya Mama udah pulang,” sambut Willia lalu memeluk kedua putri kecilnya itu. Ibunya Wilia menyusul dengan menenteng tas berisi pakaian si kembar.

“Mama langsung pulang ya, Wil. Nanti siang di rumah ada arisan soalnya,” jelas Ibunya Willia.

Willia mencium tangan sang ibu, sebelum wanita yang telah melahirkannya itu pamit. Willia meninggalkan kedua putrinya itu yang kini tengah menonton kartun. Ia berjalan ke dapur untuk memeriksa masakan yang tadi sempat ia tinggalkan. 

“Ma, Papa berangkat sekarang, ya,” teriak Yusuf dari ruang tengah. 

“Tunggu bentar!”

Willia dengan cekatan memasukkan makanan yang sudah siap itu ke dalam kotak makan. Tak lupa ia menyambar tempat minum berwarna pink yang sudah disiapkan. Wilia memang selalu siap sedia, karena suaminya sering tidak sempat sarapan. Tidak ingin suaminya jajan di luar, ia sengaja membawakan makanan rumahan untuk lelaki itu.

“Kayak anak TK aja,” gumam Yusuf saat melihat istrinya berjalan dari dapur sembari membawa bekal untuknya.

“Papa ngomong, apa?”

“Nggak kok. Mama udah gak marah lagi, kan?” tanyanya sambil tersenyum mencoba membuat istrinya itu luluh. Istrinya tidak menjawab, wanita itu melangkah maju lalu mencium tangan suaminya. 

“Hati-hati di jalan,” pesannya dengan senyum yang dipaksakan. Yusuf tahu jika istrinya masih marah. Tidak ingin menguras emosi wanita itu, Yusuf beralih mencium kedua putrinya sebelum pergi.

Willia berjalan ke arah kamarnya, ia sudah menduga handuk bekas mandi suaminya itu pasti bersarang di ranjang.

“Kebiasaan,” gumamnya sambil meraih handuk itu, netranya menyipit saat melihat meja riasnya kini kosong. Tidak ada satupun skincare yang biasa tertata rapi di sana. Kemana perginya benda-benda keramat miliknya itu.

“Papaaa ….”

Bersambung ….

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status