Share

2. Terusir

Sudah satu Minggu sejak Lita memilih mengundurkan diri dari perusahaan secara sukarela, kini tabungan yang Lita miliki semakin menipis. Dalam satu Minggu itu banyak sekali uang yang Lita keluarkan dengan dalih self reward untuk dirinya yang telah bertahan dengan pekerjaan sebelumnya.

"Maaf, Lita. Aku tidak bisa memberimu perpanjangan waktu lagi, dengan berat hati hari ini kamu harus angkat kaki dari apartemen ini karena ada orang lain yang akan segera menempatinya."

"Bu, beri aku waktu satu Minggu aku akan segera membayar sewanya," pinta Lita.

"Tidak, Lita. Aku sudah cukup baik dengan membiarkanmu tinggal tiga hari lebih lama sejak kamu tidak lagi membayar uang sewa. Aku akan memberimu waktu hingga pukul tiga sore nanti untuk kamu berkemas dan pergi dari sini."

Lita hanya dapat menghela nafas ketika pemilik apartemen telah pergi meninggalkannya seorang diri. Lita tidak bisa menyalahkan wanita itu karena sebenarnya wanita itu telah sangat baik kepadanya. Tidak ada lagi yang bisa Lita usahakan selain memilih untuk berkemas. Kini dia juga menyesal telah menguras isi tabungannya.

"Seharusnya tidak perlu ada kata self reward jika hanya membuatku semakin miskin!"

Pukul sepuluh pagi Lita akhirnya pergi dari apartemen yang telah dia tinggali sejak masa kuliah. Menarik kopernya Lita menuju lift untuk turun ke lantai bawah. Lita berpikir hari ini dia akan tidur di halte atau mushola karena uangnya tidak mungkin cukup untuk mendapatkan sebuah kos. Kalau Lita nekat mencari kos dia pasti akan sakit tidak lama lagi karena tidak ada uang untuk dia makan nanti.

"Setelah bergabung dengan club pengangguran kini aku bergabung dengan club luntang-lantung tidak jelas. Apa hidupku memang dibuat sengsara seperti ini?" Lita melihat ke arah sepatunya lalu menghela nafas. "Jika tidak, tolong kirimkan seseorang untuk menampungku."

Seperti sebuah doa yang dikabulkan di hari itu juga, setelah hampir satu jam lamanya Lita berjalan sebuah mobil berwarna putih berhenti di dekatnya. Namun, Lita tetap berjalan.

"Lalita?" panggil seseorang membuat Lita yang sebelumnya tetap berjalan walaupun dengan langkah melemah berhenti dan menengok ke belakang.

Lipatan halus tercipta di dahi Lita ketika melihat seorang pria dengan pakaian kantoran yang pas di tubuhnya dan wajahnya yang tampak familiar untuknya.

"Kenapa kamu dijalanan dengan membawa koper?" lanjut pria itu bertanya.

"Maaf, apa sebelumnya kita pernah bertemu atau kita saling mengenal?" Lita akhirnya membuka suara.

"Matahari semakin terik, lebih baik kita masuk ke dalam mobilku dan kamu bisa menanyakan hal yang ingin kamu tanyakan. Sebelumnya kita memang pernah bertemu, namun untuk saling mengenal sepertinya tidak. Aku Brian Wirawan, kamu ingat?"

Sangat terlihat keterkejutan di wajah Lita, dalam hati perempuan itu merutuk bagaimana bisa dia tidak mengenali wajah pria yang pernah menjadi bosnya. Walaupun hanya sehari.

Kini Lita telah berada di dalam mobil yang sama dengan Brian. Suasana terasa canggung tanpa adanya percakapan di antara keduanya. Brian juga terlihat sibuk dengan iPad yang berada di pangkuannya. Mereka duduk di belakang dengan sopir yang fokus mengendarai mobil.

"Kamu bilang akan mengundurkan diri, kamu benar-benar melakukannya?" tanya Brian yang kemudian menyimpan iPad miliknya. Pria yang terlihat tampan dan menawan serta memiliki aura rumah itu menurunkan kacamata anti radiasinya.

Kepala Lita yang tadi menghadap ke arah jalanan memutar dengan pelan hingga akhirnya dia dapat melihat paras rupawan dari seorang Brian Wirawan. "Saya melakukannya karena menurut saya itu adalah keputusan yang benar."

"Lalu, apa sekarang kamu sudah mendapatkan pekerjaan lagi?"

Lita meringis pelan, tangannya bergerak untuk menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak terasa gatal. "Saya belum berniat untuk kembali bekerja, Pak. Dan saya belum siap untuk mendapatkan tekanan pekerjaan." Sebut saja Lita pengecut, dia tidak akan peduli karena kesehatan mentalnya lebih penting daripada cibiran orang lain.

"Kita makan dulu, mau? Ini sudah waktunya jam makan siang."

Mobil yang dikendarai supir Brian memasuki salah satu restoran ternama di kawasan elite perkotaan. Lita berjalan mengekori Brian tanpa membawa kopernya karena koper milik Lita telah tersimpan rapi di bagasi mobil. Brian memesan meja untuk dua orang.

"Kita lanjutkan percakapan kita setelah makan siang," ujar Brian ketika pelayan datang dengan membawa pesanan mereka. Sebenarnya itu semua merupakan pesanan Brian, karena Lita yang terlalu lama berpikir akhirnya pria itu memutuskannya sendiri. Ada alasan kenapa Lita lama mengambil keputusan, tak lain karena uangnya yang bisa saja akan habis tak bersisa dalam sekali makan.

"Kenapa tidak kamu makan?" tanya Brian kala dia menyadari Lita yang tak kunjung mengambil sesuap makanannya. "Aku yang akan membayarnya, tidak perlu khawatir. Makanlah, aku tahu kamu tidak berjalan untuk jarak seratus meter saja." Agaknya Brian tahu kekhawatiran yang sedang Lita hadapi.

Lita tersenyum canggung. "Saya akan menggantinya segera."

Dalam beberapa menit yang berjalan, makanan keduanya telah habis mereka makan. Pelayan mengambil piring kotor tersebut dengan membawa makanan manis sebagai makanan penutup.

"Kamu tadi berbicara tentang tekanan pekerjaan, apa selama kamu bekerja di perusahaan yang saat ini aku kendalikan kamu tertekan? Selama yang aku lihat dan aku amati sebelum aku benar-benar memegang posisi CEO, setiap divisi memiliki lebih dari cukup karyawan dengan job desk yang sudah disesuaikan dan dipastikan tidak akan melebihi kapasitas, apa kejadian di lapangan tidak seperti itu?"

Lita yang sedang memakan brownies coklat tersedak. Brian dengan cepat mengulurkan minuman milik Lita agar dia segera membaik. Lita berdehem sejenak. "Tentang job desk yang diberikan itu memang sudah sesuai, Pak. Hanya saja, saya banyak melakukan kesalahan dalam melakukan tugas saya sehingga saya tidak bisa memenuhinya. Untuk tekanan yang saya maksud itu tekanan dalam diri saya sendiri. Saya selalu berpikir dan berkeinginan untuk melakukan tugas saya dengan sebaik mungkin, namun yang terjadi sebaliknya dan itu membuat saya merasa tidak nyaman dan tertekan untuk tetap bekerja di perusahaan."

"Lalu, kamu sudah berpikir pekerjaan apa yang akan kamu lakukan setelah keluar dari perusahaan? Yang tentunya sesuai dengan keinginan kamu," tanya Brian lalu meminum kopinya.

Lita menggeleng pelan. "Untuk saat ini saya belum tahu dan saya sudah mengatakan sebelumnya bahwa saya belum ada niatan untuk bekerja."

Brian terdiam untuk beberapa saat. "Menurut kamu, pekerjaan apa yang bisa membuatmu tidak tertekan dan tetap nyaman dengan pekerjaan itu?"

"Saya tidak tahu. Namun, setelah ini saya akan mencoba mencari pekerjaan secepatnya walaupun mendapat tekanan karena saya tidak memiliki cukup banyak uang untuk menyewa sebuah tempat tinggal."

"Tempat tinggal?"

Lita tersenyum sungkan, dia sepertinya baru saja berkeluh-kesah pada mantan bosnya. "Ya, karena dalih self reward atas kekuatan mental saya selama bekerja, tabungan saya hanya tersisa satu juta saja."

"Jika kamu memang memiliki niat bekerja, aku ada tawaran untukmu. Menurutku, pekerjaan ini bisa dikatakan santai dan tidak terlalu membuatmu berpikir keras." Brian melihat ke arah Lita yang kini terlihat ragu. "Kamu bisa menjadi asisten rumah tangga di rumahku, di sana nanti kamu juga mendapatkan tempat tinggal. Selama ini aku hanya memanggil seseorang untuk sesekali membersihkan rumahku, namun aku rasa itu kurang efektif."

"Kamu mau, Lita?"

~~~~~

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Viva Oke
eh ada dewa penolong Lita nih si mantan bosnya
goodnovel comment avatar
Viva Oke
Lita malang nasibmu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status