Share

3. Backbiting.

Malam ini Tristan terlihat sibuk mengajak dua keponakannya bermain. Ada Tsania---putri dari kakak pertamanya, Kiandra. Serta Angga yang merupakan putra dari Kanindra, kakak keduanya.

Tristan memang tipe lelaki yang sangat suka anak kecil. Dia bahkan bisa seharian penuh bermain, jika kedua keponakannya ini berkunjung. Caranya berbicara pun akan berubah, bukan nada datar atau dingin yang keluar. Justru hangat dan menenangkan yang akan membuat anak-anak nyaman di dekatnya.

Sesekali Tristan akan menggelitik Tsania atau Angga, hingga tawa kedua balita itu menggema di ruang tamu. Usia kedua balita itu pun juga tak terlalu jauh. Hanya terpaut satu tahu saja. Angga empat tahun, sedangkan Tsania tiga tahun. Yah, Kanindra lebih dulu mendapatkan anak daripada kakak tertua mereka.

"Tristan," panggil Kiandra dengan nada tegas, tapi tak menutupi tatapan hangatnya pada sang adik.

Pria itu berbalik, lalu mengangkat salah satu alisnya seperti berkata 'apa?'

"Tsania sama Angga diserahin ke Mamahnya aja. Gue mau ngomong sama lo," perintah Kiandra menyuruh Tristan untuk menyerahkan kedua bocah lucu itu pada ibunya masing-masing.

Setelah Tsania dan Angga tidur bersama ibunya. Serta ayah dan ibu mereka juga asik menonton televisi berdua. Tinggal lah mereka bertiga, Kiandra, Kanindra, dan Tristan di teras rumah.

Duduk dengan tiga gelas minuman hangat menemani. Sekadar info, Tristan bukan penggemar kopi. Ia tak suka rasanya, tapi sangat suka aromanya. Pernah sekali, sewaktu salah satu seniornya menyodorkan secangkir americano kepadanya. Reaksi Tristan benar-benar lucu. Padahal satu tegukan pun tak masuk ke dalam kerongkongannya itu.

"Gimana kerjaan lo?" tanya Kanindra mulai berbasa-basi.

"Semua lancar," jawab Tristan yang terlihat tidak terlalu berminat membahas pekerjaannya.

Kanindra hanya mengangguk singkat. Hening kembali mengurung mereka. Terdengar helaan napas berat dari Kiandra, pria yang penuh percaya diri itu melirik ke arah Tristan yang menatap tajam ke jalanan malam yang nampak lengang.

"Gue denger lo dijodohin, gimana pendapat lo tentang itu?" Suara lembut Kiandra menyapa indra pendengaran Tristan. Entah mengapa pertanyaan Kiandra terdengar seperti sebuah wawancara baginya.

Pria itu melirik singkat ke arah kakak tertuanya itu. "Entahlah, Mamah bilang ini semacam janji sejak mereka bersahabat. Saya tidak ingin mengecewakan Mamah," sahut Tristan sembari mengedikkan bahunya.

"Ya lo sendiri gimana? Ngerasa cocok, nggak, sama ... siapa namanya?" lontar Kanindra tak melanjutkan kalimat, karena dia memang tak mengetahui nama dari gadis itu.

"Dinah! Maidinah Hafidzah!" tekan Tristan memperjelas nama Dinah.

"Ah, ya. Dinah, lo ngerasa cocok sama dia?" selidik Kiandra.

"Belum, lagipula kami baru sekali mencoba menghabiskan waktu bersama. Itu pun diurungkan karena suatu masalah," jelasnya sembari menerawang tempo hari saat dia dan Dinah tak jadi makan bersama. Terutama karena alasan hal itu tertunda, mendadak Tristan merasa kesal sendiri mengingat itu.

"Tapi seenggaknya, kalian udah berusaha buat saling mengenal, 'kan? Gue pikir itu satu kemajuan buat kalian," lanjut Kiandra memberi pendapat.

Tristan mengangguk membenarkan. "Dia gadis yang baik, tidak terlalu lembut, dan mudah patah hati, dia juga punya kekasih, tapi kekasihnya malah mengkhianatinya. Sepertinya dia belum tahu, dari pengamatan saya. Dia sosok gadis yang setia, dia juga tidak mudah percaya pada seseorang." Tristan mengurai segala hal yang ia perhatikan dari Dinah.

"Dia punya cowok?" sentak Kanindra agak terkejut.

"Sebelum dijodohkan, ternyata dia sudah punya kekasih, dan hubungan mereka hampir dua tahun, tadinya saya sempat mau menolak, tapi setelah dipikir-pikir menerima perjodohan ini juga bukan sebuah dosa," ujar Tristan santai, membuat kedua kakaknya hanya saling berpandangan. Sebuah kejutan ketika seorang Tristan Adiyakhsa menerima dengan lapang dada seperti ini.

"Nggak usah maksain diri sendiri. Kalau lo nggak suka, tapi nggak bisa ngasih tahu ke Mamah dan Papah, biar gue yang ngomong. Kenapa harus dipaksain, kalau tuh cewek malah udah punya demenan sendiri?" ungkap Kiandra tak mengerti dengan konsep perjodohannya. Tristan hanya mengedikan bahu acuh. Ia tak ingin ambil pusing.

"Kayaknya kemampuan lo sebagai seorang pasukan khusus, berguna juga buat ngamatin pasangan hidup lo nanti," goda Kiandra dengan tawanya.

"Cewek itu adiknya si Jafran, kan?" timpal Kanindra yang diangguki pelan oleh adiknya.

"Pesan gue sebagai Kakak lo, kalau misalnya suatu saat kalian berdua beneran jadi. Lo harus jaga dia, sebaik lo ngejaga yang dulu. Atau bahkan lebih dari yang dulu," nasihat Kanindra serius. Tristan tak menyahuti perkataan kakak sulungnya tersebut. Ia hanya diam, sambil merenungi langkah selanjutnya yang akan ia ambil.

Selanjutnya obrolan hanya diisi dengan cerita kegiatan mereka sehari-hari. Hal yang biasa mereka lakukan ketika belum berkeluarga, dan macam-macam lagi. Hingga kantuk menyerang, Adiyakhsa bersaudara itu pun memutuskan untuk beristirahat.

Kiandra dan Kanindra menginap, karena besok memang libur. Jadi sabtu dan minggu mereka mengunjungi orang tua dan adiknya.

***

Dinah mengerjap beberapa kali. Setelah sholat shubuh tadi, gadis itu malah melanjutkan tidurnya. Tak perlu buru-buru bangun, karena memang libur, kan? 

Namun, gadis itu mengernyitkan kening begitu mengingat sesuatu. Bukan kah Arga mengajaknya untuk lari pagi? Semalam pria bergigi kelinci itu menghubunginya, lalu mengajak untuk lari pagi bersama hari ini. 

"Astaga!" pekik Dinah terduduk di ranjangnya. 

Dengan segera kaki mungilnya melangkah masuk ke kamar mandi. Mencuci muka dan menggosok gigi, lalu mengikat rambut indahnya setelah berpakaian singkat. 

"Dek, tumben bangun cepat. Kan libur biasanya masih di alam mimpi." Dinah tak menggubris ocehan Jafran yang menyapa. 

"Bunda mana, Bang?" tanya Dinah yang kini ikut duduk di meja makan.

"Lagi ke mini market sama Ayah," jawab Jafran, tangannya sibuk mengoles selai coklat pada lembaran roti sang adik. 

Setelah selesai, mereka sarapan berdua. Sambil membincangkan beberapa hal, sesekali Jafran menggoda Dinah. Membuat tawa renyahnya pecah karena wajah merengut si adik kesayangan. 

Obrolan itu terhenti ketika suara bel dari arah pintu utama. Jafran bangkit untuk membukakan pintu bagi tamu pagi mereka. Dan sosok Arga pun menyambutnya dengan senyum manis. Kedua pria beda usia itu melakukan tos ala lelaki. Lalu Jafran mempersilakan Arga masuk. Sebenarnya hubungan antara Jafran dan Arga terbilang sangat baik. Mengingat betapa ramahnya Jafran, hal itu menjadi alasan utama pria itu bisa dengan mudah mendapatkan teman dari berbagai usia. 

"Dek, ada Arga, nih!" panggil Jafran setengah berteriak. "Masuka, Ga!" ajak Jafran pada pacar adiknya tersebut. 

"Siap. Makasih, Bang," balas Arga. 

Dinah segera berlari ke depan, menyapa kekasihnya dan meminta izin pada kakaknya. Melanjutkan dengan olahraga ringan mereka. Mengelilingi komplek, sembari bercerita tentang keseharian masing-masing. Bahkan mencoba beberapa menu sarapan lainnya, tertawa karena lelucon receh Arga dan berbagai hal lain. Menurut Dinah apa pun yang dilakukannya asal bersama Arga, selalu menyenangkan. 

Jujur saja, Dinah sangat rindu dengan kekasihnya ini. Kendati mereka berada dalam satu lingkungan sekolah yang sama, tapi waktu Arga lebih banyak tersita untuk kegiatannya sebagai Ketua OSIS. 

"Terus gimana? Bukannya pergantian jabatan kamu sebagai Ketua OSIS sebentar lagi?" tanya Dinah membuka suara. 

Arga berdeham. "Mungkin minggu depan. Dari pihak Guru, mereka udah nyiapin beberapa kandidat. Aku sendiri juga punya kandidat yang bakalan diusulin nanti. Semoga aja mereka bisa mengemban tugas dengan baik," ujar Arga penuh harap.

Dinah tersenyum ceria. "Masing-masing punya gaya memimpin sendiri, tapi menurutku. Kamu yang terbaik!" sahutnya semangat. Keduanya tertawa bersama. Arga mengacak sayang surai gadisnya. 

Peluh bercucuran dari pelipis Dinah. Arga yang melihatnya pun menyuruh gadisnya itu untuk rehat sesaat, tak lupa ia juga mengusapkan peluh itu lembut. 

Perlakuan Arga yang seperti ini lah yang mampu membuat Dinah merasa istimewa. Meski beberapa hari lalu ia sempat melihat pacarnya dengan gadis lain, yang entah siapa itu. Tapi Dinah berusaha meyakinkan dirinya sendiri, Arganya bukan pria sejahat itu. 

"Din?" panggilan Arga membuat Dinah sedikit terkejut dari lamunannya. 

"Y-ya?" sahut Dinah gelagapan. 

"Kok melamun? Masih pagi loh," tegur Arga lembut. 

Gadis itu menyengir memperlihatkan deretan gigi putihnya yang kecil. Arga ikut tersenyum tipis, lalu mengusak pucuk kepala Dinah. Entah mengapa, hal itu seolah menjadi kebiasaan bagi Arga. Ia suka ketika pipi Dinah bersemu kemerahan. 

"Dinah! Arga!" Kedua pasangan itu menoleh bersamaan. Suara seseorang yang menyerukan nama mereka. 

Di sana sudah ada Yuna yang melambai dengan semangat, dan berlari menghampiri mereka. 

"Eh, tumben lo di sini, Yun?" tanya Dinah heran.

"Hehe, iya nih. Gue tadi niatnya mau ngajakin lo lari pagi, tapi ternyata udah keduluan Arga," terang Yuna sambil melirik pria yang berdiri di samping sahabatnya. 

"Oalah, bilang dong. Tahu gitu, kan, kita bisa bareng aja," usul Dinah. 

"Lupa! Hehe ...," alasan Yuna dengan kekehannya. 

"Arsyana sama Nancy mana?" Mereka memutuskan sambil berlari, ya ngobrol juga. Supaya enggak nge- stuck di satu tempat. 

"Nancy juga lupa gue kabarin," ujar Yuna. 

"Si Syana lagi olahraga bareng Jifran, tadi pagi dijemput," sambar Arga. 

"Hah? Serius mereka olahraga berdua?" tanya Yuna tak percaya. 

"Iya, Jifran sendiri yang ngejemput," kata Arga meyakinkan. Wajar jika Yuna atau Dinah ragu, sebab Arsyana tipe gadis yang tak terlalu rusuh soal asmara. Sekalinya didekati, malah tampang galak yang diberikan. 

Dinah mengangguk. Seusai olahraga, mereka bertiga kembali ke rumah Dinah. Yuna akan pulang dengan Arga, Dinah yang meminta tolong. Daripada Yuna harus mencari kendaraan lain kata Dinah, sih. 

"Enggak mampir dulu aja?" tawar Dinah pada kekasih dan sahabatnya. Yang dibalas dengan gelengan Arga dan Yuna. 

"Enggak deh, Yang. Aku harus kerjain tugas juga setelah ini," jelas Arga menolak. 

"Iya, kita kan bentar lagi ulangan Din." Yuna menambahkan. 

"Iya, sih. Ya udah, deh. Take care kalian," pesan Dinah. 

Yuna mengangguk, memeluk singkat Dinah diikuti Arga yang mengusak lembut surai hitam Dinah. Menyalurkan rasa nyaman, membuat pipi gembil itu merona. 

"Bye ...," pamit keduanya dan melambaikan tangan. 

Sesaat kemudian motor sport merah itu sudah membaur dengan kendaraan lainnya di jalan besar. Dinah masuk ke dalam, dan sedikit terkejut melihat seorang pria yang kini tengah bergurau bersama Jafran. Dinah sedikit heran, apa pria itu punya kekuatan sihir atau semacamnya? Kenapa selalu muncuk di saat-saat yang tak disangka?

***

Sedari meninggalkan rumah tadi, wajah kusut Dinah masih bertahan. Ia kesal karena Jafran memaksanya untuk pergi dengan Tristan. Iya, pria yang duduk dengan Jafran itu tak lain merupakan Tristan. 

"Tidak perlu ditekuk begitu wajahmu. Saya mengajakmu keluar, itu semua juga karena perintah Mamah!" tekan Tristan menjelaskan. Dia tidak mau sampai gadis SMA ini mengira yang tidak-tidak, dan menjadi besar kepala. 

Tristan itu orang yang kadang kalau berbicara, kelewat formal dan kaku. Jangankan dengan Dinah, bicara dengan keluarganya saja bahasanya harus baku.

Dinah mendengkus, "ya kenapa enggak ditolak aja sih, Om? Kan bisa tuh!" ketusnya. 

"Saya tidak suka membantah perintah orang tua, saya bukan kamu?" sindir Tristan membandingkan. 

"Emang aku kenapa?" tantang Dinah tersinggung. 

"Kamu hobinya membantah!" seru Tristan enteng. 

Dinah menegakkan tubuh mungilnya, menatap tajam Tristan yang kelihatan biasa saja dengan tatapan berbahaya itu. 

"Enggak usah sok tahu deh, Om! Ngerasa paling suci gitu? Dih, sok iya. Pantes aja dijodohin. Mulut asal jeplak, mana ada yang mau?!" sembur Dinah jengkel. Kalau saja pria di sampingnya ini seumuran dengannya, sudah pasti Dinah tak akan mau bersusah payah berbicara aku-kamu begini. Bicara nada lembut itu hanya dikhususkan untuk satu orang, Arqian Argantara tentunya. 

"Ada yang mau."

"Siapa coba?"

"Ya kamu lah."

"Dih, ogah banget!"

"Yakin?"

"Yakin seratus persen!"

"Awas, Allah itu maha membolak-balikkan hati manusia." Tristan menggoda gadis mungil di sampingnya itu. 

"Tapi Allah enggak akan sezolim itu, jadiin aku jodoh manusia kutub kayak Om!"

"Nanti juga kamu bakalan mau."

"E-N-G-G-A-K. Amit-amit!" tampiknya galak. 

"Pffttt." Tanpa sengaja tawa yang sedari tadi ia tahan, dengan tak tahu malunya malah lolos. Dinah yang mendengar hanya menatap sebal padanya. 

Tristan berdeham untuk menyembunyikan malunya, dasar gengsian! Ia lebih memilih untuk menyetir dalam diam, dibandingkan harus kehilangan wibawa lagi di depan bocah ingusan seperti Dinah.

Tristan mengajak Dinah ke salah satu mall pusat kota. Tenang, gadis itu sudah mandi dan berpakaian layak, kok. Jadi tak ada drama kebauan atau apa pun lagi. Mereka berjalan beriringan ke dalam, tapi ada satu hal yang membuat jantung Dinah tak sehat saat ini. Tangan Tristan menggenggam jemari mungilnya dengan sangat erat, tapi tak sekuat itu juga. Tak sampai membuat Dinah mengaduh kesakitan, hanya menjadi penanda seolah mengatakan bahwa gadis itu miliknya. Pria itu sama sekali tak menyadari wajah Dinah sudah semerah tomat sekarang. 

"O-om ...," cicit Dinah yang berada di balik punggung Tristan. 

Tristan menghentikan tubuhnya, lalu berbalik untuk melihat gadis yang kini menunduk dengan ujung sepatu bergerak saling menginjak kecil. Kelihatan menggemaskan sekali. 

"Ada apa, hum?" Tengkuk Dinah meremang. Untuk pertama kalinya pria ini berbicara dengan nada sangat lembut padanya. Lain kali Dinah harus menyadari satu hal, bahwa berada di jarak sedekat ini dengan Tristan. Bukan hal baik untuk kesehatan jantungnya. Dinah masih ingin berumur panjang. 

"Kita mau ke mana, Om?" tanya Dinah pelan. Wajah gadis itu menunduk. 

Tristan yang mendengar cara bicara Dinah berbeda dari biasanya hanya tersenyum, lalu mengelus lembut pucuk kepala gadis itu. Seolah sengaja membuat Dinah tersipu dengan sikapnya. 

"Percaya sama saya, hari ini pasti menyenangkan. Sesekali saya memang harus membawamu berjalan-jalan," ucapnya yakin. 

"Tapi sebelum itu ..." Tristan menjeda kalimatnya. 

"Apa, Om?" tanya Dinah lugu. Manik coklatnya menyorot penuh binar kepolosan. 

"Berhenti memanggil saya 'Om' saya kan tidak setua itu. Abangmu bahkan adalah senior saya, mana bisa kamu panggil saya seperti itu?" rajuk Tristan yang cukup membuat Dinah kaget. Sesaat pikiran menerawang liar, apa benar ini Tristan Adiyakhsa? 

Dinah terkekeh, satu telunjuknya ia ketukkan di dagu. Seolah gadis itu tengah berpikir keras. "Terus, Om mau dipanggil apa? Kakek, Buyut, Abang, Kakak, ata---"

"Sayang!" potong Tristan santai. 

Dinah membolakan matanya dengan tampang cengo. "H-hah?" Padahal ketika di mobil tadi, mereka berdua seperti kucing dan tikus. Sekarang tiba-tiba saja sudah sejahil ini. 

Tristan kembali menarik lembut tangan Dinah, mencoba ke arena bermain, membeli ice cream, atau sekedar membeli sepatu dan yang lainnya. Dinah bukan gadis yang suka berbelanja. Biasanya ia ke mall hanya untuk menemani teman-temannya saja. 

"Kamu lapar? Kita makan siang dulu, mau?" tawar Tristan, yang langsung mendapat anggukan semangat dari Dinah.

***

Ketika melewati salah satu meja di restoran, Dinah menatap tajam seseorang yang berdiri di luar sana. Tampak tertawa bahagia dengan seseorang, gadis itu, Dinah merasa familiar dengannya. Bukan kah ....

"Aku salah lihat, 'kan?" Kalimat itu lolos begitu saja dari bibir Dinah. 

Tristan yang baru saja kembali dengan makanan mereka menatap heran Dinah. Hanya perasaannya saja, atau Dinah memang terlihat muram? 

"Din?" panggilan Tristan menyadarkan lamunannya. 

Dinah menoleh, mendapati Tristan yang berdiri sambio memerhatikan dirinya. "Om, sebentar, ya. Dinah mau telepon teman dulu," izin Dinah. Tristan tak menjawab, pria itu hanya menatap langkah kaki gadis tersebut. 

Beberapa kali panggilan sepertinya sengaja diabaikan oleh orang yang saat ini Dinah hubungi. Ia sudah sedikit takut, tidak. Jangan sampai semuanya sia-sia. Ia tidak mau patah, dirinya bahkan berusaha untuk selalu berpikiran baik selama ini. 

Ditambah lagi setelah meihat gadis tadi, Dinah rasanya ingin meraung saja di sini jika tak ingat masih punya malu. Menghubungi untuk kesekian kalinya, akhirnya panggilan pun terjawab. 

"Halo, Bee?" sapa Dinah berusaha menjaga kestabilan suaranya. 

[Iya sayang, kenapa?] jawab suara di ujung sana. 

"Kamu di mana?" tanya Dinah, matanya masih fokus pada sosok pria di ujung sana. 

[Di rumah, nih. Lagi ngerjain tugas.] Dinah menggeleng tak percaya. 

'Bohong!' sangkalnya dalam hati. Namun, Dinah memutuskan untuk tetap bertingkah tak terjadi apa-apa. 

"Sama siapa?" tanya Dinah.

[Sendiri. Kanapa, Sayang?] panggilan 'sayang' mendadak membuat Dinah merasakan sesak. Ia benci dibohongi. 

"Oh, enggak apa-apa, kok. Aku tutup, ya. Bye!" Tanpa menunggu jawaban dari lawan bicaranya, Dinah menutup panggilan tersebut. 

Kali ini Dinah kembali menghubungi seseorang, tapi benar-benar tak diangkat. Bahkan sampai sepuluh kali Dinah menghubunginya pun, gadis itu nampak acuh. Mungkin karena saat ini tengah tertawa dan bahagia. 

Dinah menahan air mata yang sebentar lagi akan terjun. Ia tak ingin menangis di sini, memperlihatkan sisi lemahnya. Bukan gaya Dinah sekali. Minimal, ia hanya akan berbagi dengan Jafran di rumah. Dinah kembali ke meja tempat Tristan menunggunya. 

Tristan tak ingin bertanya lebih jauh, Dinah memang tersenyum tapi jelas sekali itu sebuah senyum paksaan. Entah apa yang terjadi saat gadis itu menghubungi seseorang tadi. 

Setelah makan siang bersama, Dinah meminta untuk segera pulang. Mood-nya berubah buruk dan tak ingin membuat Tristan kesulitan karena moodnya nanti. 

Dalam perjalanan pun tak ada obrolan. Dinah sibuk dengan pikirannya sendiri, sedangkan Tristan sibuk melirik gadis itu mencuri pandang pada wajah murung Dinah.

"Makasih, Om," ucap Dinah. 

"Iya, saya pulang. Dan maaf karena tidak bisa mampir," balas Tristan sebagai ucapan perpisahan. 

Dinah mengangguk. Melambaikan tangan pada Tristan yang perlahan meninggalkan pelataran rumah. Lalu keluar dari komplek perumahan keluarga Dinah. Ia merasa cukup lelah hari ini, bukan karena jalan-jalan singkatnya, tapi karena apa yang tadi ia lihat. Ia benci pengkhianatan, sungguh!

***

Pagi ini seperti biasa, Dinah berangkat dengan kakaknya. Jafran bilang, dia mungkin akan mulai bertugas lagi besok. Yah, liburnya habis. Mau tak mau harus kembali bertugas. Tak apa lah, setidaknya ia sudah meluangkan waktu untuk adiknya. 

"Belajar yang bener, sebentar lagi kan kenaikan kelas," pesan Jafran. Tangannya menarik pelan kedua pipi gembil adiknya. 

"Iya, Bang. Assalamualaikum," salam Dinah lalu masuk ke area sekolah. 

"Waalaikumussalam," jawab Jafran yang masih memerhatikan langkah adiknya. 

Ketika pria itu berniat kembali ke rumah, atensinya tercuri oleh sepasang siswa siswi yang bergandengan mesra ke dalam lobby. Sekolah masih sepi, hanya ada beberapa siswa.

"Bukan keputusan salah kalau Dinah dijodohkan, dia bahkan dikhianati orang terdekatnya. Dasar sialan!" umpat Jafran yang masih fokus pada kedua manusia itu. 

Langkah kaki mungil Dinah terhenti di depan ruangan UKS. Tadinya Dinah baru saja kembali dari perpustakaan, mengembalikan buku yang sempat ia pinjam untuk bahan pembelajaran. 

Di dalam sana, dua orang yang begitu Dinah kenali tengah berbincang akrab, dan poin pentingnya, dirinya lah bahan pembicaraan itu. 

"Kamu mau sampai kapan kita begini terus? Sembunyi-sembunyi di belakang Dinah!" keluh si gadis bernada manja. 

"Sabar, ya. Aku akan bicara sama Dinah nanti," jawab Arga. 

Iya, pria di dalam sana itu Arga. Sesak luar biasa, menghantam dadanya. Mimpi buruk macam apa yang Dinah alami saat ini. 

"Aku enggak mau jadi yang kedua. Kamu harus pilih salah satu di antara aku dan Dinah, Ga!" tegas gadis itu lagi. 

"Aku pasti bakalan milih kamu, lagipula aku juga bosan sama Dinah. Dibanding dia, kamu jelas lebih baik. Dia enggak ada apa-apanya," ujar Arga berusaha menenangkan gadis di depannya. 

Gadis itu memeluk Arga erat, dan Arga juga membalas pelukannya. Bahkan mengecup singkat keningnya, Dinah saja belum pernah sekalipum dikecup pria itu. 

Dinah tersenyum miris, tak menyangka akan mendapat hal seperti ini. Mungkin ini juga sebabnya mengapa Nancy pernah menatap tajam Arga beberapa hari lalu. Nancy bukan tipe gadis pembenci, kecuali merasa terusik sesuatu. Tapi kenapa Nancy menyembunyikan ini? Apa karena belum mengetahui kebenarannya secara penuh? 

"Yuna ...," panggil Dinah dengan tatapan tak percaya.  

Reflek kedua orang di depannya itu saling melepas pelukannya. 

"Eh, enggak apa-apa, kok. Lanjutin aja," pinta Dinah dengan senyuman khasnya. Namun kali ini, senyuman itu sarat akan rasa sakit. 

Yuna menunduk, ia sangat terkejut dengan kehadiran Dinah di sini. Yuna jadi menyesal karena berkata seperti itu tadi. 

"Sayang, aku bisa---"

"Enggak, Ar. Aku udah dengar semuanya, kok. Hehe, maaf karena aku enggak bisa sesempurna Yuna, ya?" tutur Dinah menguatkan diri.

"Din, enggak gitu. Lo salah paham, gue sama Arga itu ..." Yuna ragu melanjutkannya. 

"Kalian selingkuh, iya, gue udah tahu!" timpal Dinah tenang. 

"Kenapa lo enggak bilang, kalau lo suka sama Arga? Dan lo Ar, kenapa lo juga enggak bilang, kalau misalnya lo bosan sama gue? Kenapa kalian harus main belakang kayak gini?" Dinah mencoba tenang meski sesaknya semakin memuncaki dada. Nada bicaranya bergetar memahan perih, marag, benci. Semua menjadi satu. 

Arga diam, pria itu bahkan tak berani menatap mata gadisnya. Ah, tidak. Sepertinya sebentar lagi akan menjadi mantan gadisnya! Ia sadar betul, Dinah benci sebuah pengkhianatan. 

"Sekarang, kalian enggak perlu repot-repot untuk cari waktu yang tepat bilang sama gue. Arqian Argantara, kita putus! Percuma gue berjuang untuk lepas dari perjodohan ini demi lo. Terima kasih, ya." Dinah menjeda kalimatnya sesaat. 

"Yuna, selamat! Lo itu teman yang paling gue percaya, dan lo berhasil bikin gue benci sama lo. Gue harap, hubungan kalian akan bebas dari orang ketiga." 

Setelah menyelesaikan kata-katanya, Dinah pergi dari UKS. Berlari dengan air mata yang luruh tanpa diminta. Panggilan dari Yuna dan Arga sama sekali tak Dinah hiraukan. Tenggorokannya tercekat untuk sekadar menyahuti panggilan itu.

Dinah menangis, memeluk dan menenangkan dirinya sendiri. Kenapa harus sahabatnya sendiri? Jika itu orang lain, Dinah mungkin tak akan sesakit ini rasanya.

Dibandingkan Arsyana dan Nancy, Yuna adalah orang yang paling sering ia jadikan tempat curhat jika memiliki masalah dengan Arga. Mungkin pepatah itu benar.

"Jangan biarkan orang lain tahu lebih banyak tentang hidupmu. Karena suatu saat, dia bisa menjadi orang pertama yang menghancurkan hatimu.

Dinah mengusap kasar air mata yang terus menerus merengsek keluar. Untuk pertama kalinya, Maidinah Hafidzah merasakan sakitnya pengkhianatan. Ia tak ingin mengakui ini, tapi rasanya begitu perih.

To be continue. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status