Share

6. Milo and Snowy

Nancy sudah pulang lebih dulu, lalu Jifran dan Arsyana juga menyusul. Tinggal lah Tristan serta Dinah yang masih ingin jalan-jalan. Kata Tristan, keberangkatannya mungkin minggu-minggu ini. Jadi sebelum pergi, pria itu ingin menghabiskan banyak waktu yang berharga dengan Dinah.

Tristan terkekeh ketika melihat ekspresi merengut Dinah. Gadis itu tak pernah bisa memasukan bola basket ke dalam ring. Lelah bermain, Dinah mengajaknya untuk membeli ice cream, atau memesan cotton candy. Alasannya, sih, karena Tristan tak bisa makan makanan pedas. Ya jadi yang manis-manis saja.

Saat Dinah sedang menikmati cotton candy miliknyanya sembari berjalan. Tanpa sengaja kaki gadis itu tersandung sesuatu, yang nyaris saja membuatnya terjerembab mencium lantai. Beruntung Tristan sigap menangkapnya dari belakang, dengan menangkup pinggang kecilnya. Tristan menarik tubuh Dinah, lalu memutar gadis itu hingga berhadapan dengan dirinya. Selama sepersekian detik mereka saling bertatapan. Jantung Dinah berpacu dua kali lebih cepat dari normalnya. Matanya mengerjap beberapa kali, begitu menggemaskan.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Tristan sedikit khawatir.

Dinah mengangguk dan segera membenarkan posisinya. Tristan memeriksa apa penyebab Dinah hampir saja jatuh tadi, dan ia disambut dengan sesosok balita yang merangkak pelan sambil tertawa dan bertepuk tangan. Dinah terkejut, kok bisa-bisanya ada bayi dibiarkan begini?

Tanpa aba-aba, Dinah mendekati balita tersebut. Membawanya ke dalam gendongan tubuh mungilnya. Umurnya mungkin baru mendekati satu tahun.

"Ih, kamu lucu banget ... bikin gemas, deh. Mamanya mana, ya?" Dinah celingukan sendiri mencari sosok orang tua balita ini.

Tristan menghampiri mereka. Pria itu juga tak tahan melihat kedua pipi gembil balita tersebut. Pria itu pun menunduk seraya mencium gemas pipi balitanya, tapi tangan malah mencubit pipi Dinah. Jika orang yang tak kena mereka, pasti sudah disangka pasangan muda nan bahagia.

"Ih, Om! Kok malah nyubitin aku, sih?" protes Dinah jengkel.

Tristan tertawa kecil, lalu mengusak pelan kepala Dinah. "Kamu sama balitanya, sama-sama lucu dan bikin gemas."

Dinah memutar mata malasnya, "udah deh, Om! Enggak usah ngardusin orang, mending kita ke tempat resepsionis. Suruh umumin, kan kasihan dede bayinya!" ajak Dinah yang masih menggendong balita itu.

Baru saja akan melangkahkan kaki. Namun, tangan besar Tristan menahannya. Dinah menoleh ke belakang, "kenapa?"

"Biar saya yang gendong," kata Tristan mencegah, dan mengambil alih balita yang menatapnya itu.

Sesampainya di depan resepsionis, Dinah langsung mengutarakan maksudnya. Resepsionis yang sejak tadi sudah memerhatikan tingkah mereka berdua pun, dengan segera menyebarkan pengumuman. Meskipun dia sama sekali tak melihat bayi di sana, jika saja Dinah bersama Tristan tak datang.

"Saya kira, Mas sama Mbak ini pasangan halal tadi," katanya pada Dinah.

Dinah mengernyit heran, menatap bingung pada resepsionis di seberang meja. "Emang kapan Dinah jadi haram?" lontarnya sedikit kesal.

Tristan merangkul pundak gadis di sampingnya itu. "Sudah. Dia hanya menebak. Kalaupun dianggap seperti itu, saya juga tidak masalah!" timpal Tristan santai.

Dinah mendelik, seandainya saja memakan Tristan tak berdosa. Tak lama menunggu, sepasang suami-istri datang menghampiri mereka dengan raut wajah khawatir.

"Ya ampun, Kinar! Maafin Mamah, lalai jagain kamu," sesal wanita itu.

"Makasih ya, Mas sama Mbaknya. Saya enggak tahu lagi kalau enggak ada kalian, siapa yang bakalan nemuin anak kami. Makasih banget," ujar suami dari wanita tersebut.

"Oh, namanya Kinar, ya? Cantik, kayak orangnya." Balita tersebut menggapai dan memegang pipi Dinah. Gadis manis itu tertawa kecil.

"Lain kali hati-hati, ya, Pak!" tekan Tristan tegas. Yang diangguki pasangan itu bersamaan.

Sesaat suami dan istri itu menatap dalam Dinah serta Tristan. Lalu mereka pun tersenyum tipis.

"Mbak sama Mas ini ... pasangan baru, ya?" lontar ayahnya Kinar.

Dinar membolakan mata terkejut, lalu menggelengkan kepalanya kukuh. "Eh, engg---"

"Iya! Kami menikah minggu lalu," potong Tristan. Dinah semakin membolakan matanya, apa-apaan pria ini? Pengantin baru dari Hongkong?! Pikir Dinah.

"Loh, Mbak. Tadi pas saya ngomong gitu, malah dijawab beda!" protes resepsionis yang sejak tadi menyimak.

Dinah semakin tak mengerti. "H-hah?!"

"Wah, masih hangat-hangatnya, nih," balas ibunya Kinar menggoda.

Sedangkan Tristan, ia memilih menahan tawa sambil melihat wajah Dinah yang kepalang malu.

Lagi-lagi Dinah menggeleng, "bukan! Dinah bukan istrinya Om Tristan!" bantahnya kesal.

"Ih, Bun, mirip kamu pas awal nikah enggak, sih? Malu-malu gitu." Ayahnya Kinar malah melakukan flashback. 

"Iya, Yah! Ih ... lucu banget deh, Yah! Mereka juga cocok," sambung istrinya.

'Istri sama suami kok kompak banget, sih, nyebelinnya!' ratap Dinah dalam hati.

"Enggak usah malu, Mbak. Saya serta keluarga pasti mendoakan. Semoga cepat mendapatkan momongan, ya. Kami permisi dulu, sampai jumpa lagi ...."

Kemudian Kinar dan orang tuanya pun meninggalkan Tristan yang tersenyum manis, dengan Dinah yang bibirnya mempout lucu.

"Aamiin paling kencang!" sahut Tristan. Dinah malah memukul lengan pria itu.

"Om apaan coba bohong gitu?" geram Dinah tak terima.

"Bohong di mananya?" tanya Tristan sengaja, pura-pura tak mengerti.

"Kita kan belum nikah, Om!"

"Tapikan sudah dijodohin."

"Baru dijodohin."

"Emang kamu enggak mau nikah sama saya?"

"Enggak!"

"Kalau makan bakso?"

"Mau!"

"Makan ice cream?"

"Mau!"

"Makan saya?"

"Mau ...!"

Dinah mengatupkan mulutnya dengan kedua tangan mungilnya.

"Jadi kamu mau makan saya?" goda Tristan genit.

"Enggak, Om! Enggak! Aku bukan manusia kanibal, mana bisa makan Om Tristan?" jawab Dinah polos.

"Loh, yang bilang kamu kanibal siapa?" ucap pria itu heran.

"Om Tristan! Tadikan Om bilang 'Makan saya?' nah, aku bukan kanibal, Om. Jangan takut sama aku," terang Dinah dengan mata yang berkaca-kaca.

Tristan menatap tak percaya pada gadis ini, sepertinya Dinah tak paham. Ya sudahlah, daripada pusing dengan Dinah. Lebih baik pulang saja.

* * *

Hari ini pembagian raport, dan setelah itu para siswa bisa rehat sejenak sebelum mereka memulai tahun ajaran baru, serta kelas 12 yang justru mulai sibuk dengan ujiannya. Dinah sudah di sekolah sejak pukul 06:30 tadi. Jafran memaksa untuk mengantarnya, katanya cukup rindu dengan sang adik. Jadi sekalian ngobrol-ngobrol di jalan.

Sesampainya di sekolah, Dinah melangkah ringan ke arah kelasnya. Tanpa disangka-sangka. Suasana ruangan itu ternyata sudah cukup ramai. Meskipun ramainya juga karena ulah dan tingkah ajaib teman-temannya saja.

"SELAMAT PAGI CALON PACAR ABANG, MAIDINAH HAFIDZAH!" jerit Iqbal begitu melihat tampang Dinah berdiri di depan pintu kelas.

Lucas yang berdiri tepat di samping cowok itu pun, lantas memukul kepalaya cukup keras. Sebagai bentuk protes karena suara Iqbal yang seperti akan memecahkan gendang telinganya.

"Pengang goblok!" sembur Lucas jengkel.

Jeno dan Iqbal tertawa bersamaan, sedangkan Dinah hanya mampu merotasikan matanya. Rasanya cukup lelah berhadapan dengan warga kelas 12 IPA 3. Normal seolah menjadi kata spesial di sini.

Kaki mungilnya menuju ke arah mejanya, lalu disusul Iqbal yang kini duduk di bangku samping. Memerhatikan wajah gadis itu.

"Apa lo liat-liat?! Gue colok ye, mata lo, Bal! Kayak Om pedo tahu enggak, lo?!" kata Dinah kesal.

"Eits, calon pacar. Enggak boleh durhaka sama Abang. Entar kalau Abang kit ati, Neng masuk neraka, mau?" tegur Iqbal sok ganteng.

Dinah memasang ekspresi mualnya. "Enggak sudi gue, Bal! Calon pacar pala lo segi empat?" tolak Dinah mentah-mentah.

Bukannya marah, Iqbal justru tertawa menghadapi wajah merengut gadis itu. Dinah menatap tak habis pikir, ia merutuki nasib sialnya yang harus berhadapan dengan salah satu jenis setan, di pagi yang tadinya indah. Namun, sekarang malah suram berkat Iqbal.

"Gemasin banget, sih, lo. Jadi pengin gue seret ke KUA." Iqbal lagi-lagi menggoda.

"Kasihan si Dinah. Yakin gue, bentar lagi pasti sawan tuh, ngadepin si Iqbal yang kelewat normal," tawa Lucas membahana di seluruh penjuru kelas.

Mark menggeleng pelan kepalanya. Percuma menasihati Trio Bemo seperti Lucas, Jeno, dan Iqbal. Mereka tak akan mau mendengarkan nasihat Mark, yang notabenenya adalah ketua kelas. Sebab gendang telinga mereka itu licin. Jadi walaupun nasihatnya sudah masuk lewat telinga kanan, nanti juga kepleset lalu keluar lewat telinga kiri.

Dinah menjentikkan jarinya, seolah mendapatkan ide cemerlang. "Gue bisa aja mempertimbangkan status di antara kita, sih, tapi ada syaratnya!" ujar Dinah misterius.

Mata cowok itu berbinar, sedangkan Jeno dan Lucas memasang telinga baik-baik untuk mencuri dengar. Sisanya malah terlihat tak peduli.

"Gue mau, lo beliin gue tiket ke Korea. Terus jangan lupa sama satu unit apartemen yang harganya kayak punya si IU---"

"Ayu Ting-Ting?" sambar Iqbal cepat.

"Lee Ji Eun! IU soloisinya Korea, Iqbal! Lo dengarin dulu kek, nyambar aja kayak petasan!"

"Angoghey, lanjut, Sis."

"Terus beliin gue apartemen kayak punyanya IU. Yang dekat sama Namsan Tower, dan harus yang paling bagus, ya, Bal!" pesan Dinah tanpa tahu malu.

Iqbal merasa sesak mendengarnya. "Gue tahu lo punya dendam sama gue sekarang, Din, tapi enggak gini juga caranya buat ngebalas. Lo niat banget jadi psikokampret! Ngebunuh pelan-pelan begitu. Tenggelamin aja gue di air kobokan, Din! Tenggelamin!" seru Iqbal penuh drama, menarik kerah kemejanya sendiri.

Jeno dan Lucas tertawa puas melihat adegan dua manusia itu. Jarang-jarang Dinah me- notice perlakuan nyeleneh Iqbal seperti sekarang.

Dinah berdecak. "Drama sekali, ya, si Pithecanthropus yang satu ini?" ceplosnya asal.

"Udah deh, Bal. Kalau lo emang enggak bisa menuhin apa yang gue mau. Cukup tahu aja, keseriusan lo enggak lebih gede dari upilnya kuda nil. Mending gue nyari Bapak Gula yang lain. Lo mah pelit! Gue doain kuburan lo sempit!" lanjut Dinah sambil menunjuk ke arah wajahnya Iqbal.

Tepat setelah sumpah serapah Dinah terlontar, petir pun ikut menyambar. Seperti memberikan pertanda atas ucapan mulut lemes gadis itu.

Jeno terlonjak kaget hingga memeluk Lucas yang duduk di sampingnya. Mark sampai menjatuhkan alat tulis dan ponselnya ke lantai, Iqbal dan Dinah sama-sama menengadah ke atas langit.

"Gila. Si Dinah lidahnya pait bener, sampai kilat aja ikutan ridha kayaknya," tutur Jeno menelan gumpalan kasar di kerongkongannya.

Tawa Dinah pun terdengar bagai ibu tiri. Melihat betapa nelangsanyanya Iqbal yang kini terduduk lemas di lantai sambil memeluk lutut. Ucapan Dinah tadi seperti kaset rusak yang terus terputar di kepalanya.

'Orang pelit, kuburannya sempit ....'

'Orang pelit, kuburannya sempit ....'

'Orang pelit, kuburannya sempit ....' Kalimat itu bersahutan di telinganya.

"TIDAK ...!" jerit Iqbal semakin menjadi.

Namun, tanpa ia sadari. Mark ternyata telah melemparkan sebuah kamus biologi ke arahnya, hingga kepala Iqbal dan kamus milik ketua kelasnya itu pun melakukan meet and great singkat. Mata cowok itu berkilat tajam. "Shut up your mouth, Dude!  Lo berisik banget dari tadi!" peringat Mark malas.

Iqbal menyengir tanpa dosa. "Ya maaf, Mark. Gue cuma lagi pendalaman karakter aja tadi tuh," jawab Iqbal pelan.

Dinah terkekeh melihat Mark yang sudah bodoamat dengan ucapan maaf Iqbal. Ia lalu bangkit, dan melewati Iqbal begitu saja.

"Awas lo ngikutik gue!" cegah Dinah sebelum Iqbal melangkahkan kaki menyusulinya dari belakang, dan memaksa cowok itu tetap di tempatnya.

"Tega bener si Dinah," bisik Lucas yang diketawai Jeno.

Gadis itu mendengarkan musik sambil bersenandung, ia duduk seorang diri di depan kelas. Lagu dari boy grup terkenal BTS berjudul 'Just one day' menjadi salah satu favoritnya.

Haruman nowa nega hamke halsu itdamyon

Haruman nowa nega sonja bulsu itdamyon

Haruman nowa nega hamke halsu itdamyon.

Haruman (haruman)

Nowa nega hamke halsu itdamyon.

Dinah mengikuti setiap lirik di bagian chorus  yang dibawakan oleh anggota termuda di grup tersebut. Saking asiknya bernyanyi, Dinah sampai tak sadar bahwa sosok Arga sudah berada di sampingnya.

Pria itu tersenyum melihat tingkah Dinah. Terlihat serius sekali, sampai mengikuti gaya penyanyi idolanya menyanyi. Jujur saja, sudah dua minggu mereka putus. Dan Arga masih merindukan gadis ini. Aneh, memang. Padahal ia sendiri yang mengatakan pada Yuna, bahwa ia bosan dengan gadis seperti Dinah. Bahkan jika harus memilih, maka Arga akan memilih Yuna. Namun, apa sekarang yang terjadi?

Perasaannya pada Yuna semakin datar, malah pada Dinah semakin menguat. Dinah menjauhinya, bertingkah seolah mereka tak pernah saling mengenal atau pun dekat. Meski kini Dinah sudah mulai bergabung lagi dengan Yuna. Tetap saja sikapnya masih sama. Dingin, dan berbicara dengan nada serta nada seperlunya saja.

Gadis itu merasa seperti ada yang menatapnya. Perlahan kelopak mata lentiknya itu terbuka, menampilkan manik coklat cerah indahnya. Dinah sedikit tersentak menemukan wajah Arga di depannya. Tak terlalu dekat, tapi tetap saja membuat Dinah merasa tak nyaman.

"Ada apa?" ketus Dinah, salah satu alis tebalnya terangkat.

Arga menggeleng pelan, lalu memindahkan atensinya ke depan. "Enggak ada apa-apa, aku cuma mau dengar kamu nyanyi. Udah lama aku enggak dengar itu," jawab Arga santai.

Dinah tak menanggapi lagi. Gadis itu menyibukkan diri dengan ponselnya. Sebenarnya Dinah sedang menunggu, kata ibunya, beliau sendiri yang akan datang sebagai walinya. Namun, sampai sekarang masih belum kelihatan juga.

"Dinah!" seru seseorang dari ujung lorong yang menarik perhatian beberapa siswa.

Dinah dan Arga menoleh bersamaan tanpa aba-aba. Sosok tinggi dengan pakaian serba hitamnya. Mulai dari jaket, kaus, jeans, serta topi hitam. Lalu sepatu berwarna putih sebagai pelengkap, ugh, kelihatan keren sekali kalau menurut Dinah.

Pria tersebut memperlebar langkahnya, dan Dinah pun bangkit diikuti Arga di sebelahnya yang menatap penuh tanda tanya.

Dinah sendiri sedikit terkejut melihat kedatangan pria tersebut.

"Loh, kok ... Bunda mana, Om?" Dinah langsung menyerbu Tristan dengan pertanyaan.

"Ada. Tadi ke ruang Kepala Sekolah," balas Tristan lalu melirik cowok di sebelah gadisnya.

"Siapa?" tunjuk Tristan dengan dagunya.

Arga mengulurkan tangan pada pria yang dipanggil Om oleh Dinah itu. "Arga! Arqian Argantara, pacar---"

"MANTAN pacar aku, Om!" sambar Dinah yang menekankan kata mantan pacar. Matanya menatap tajam Arga.

Tristan mengangguk paham dan menyambut uluran tangan Arga. "Tristan, calon masa depan Dinah."

Arga mengerutkan kening, kurang suka dengan kepercayaan diri tingkat tinggi pria ini, tapi dia juga tak mungkin marah-marah hanya karena itu, 'kan? Apalagi saat Dinah sudah memberikan ultimatum berupa delikan ke arahnya.

"Sudah sarapan? Kalau belum, kita sarapan dulu sekarang," ajak Tristan yang sudah menggenggam tangan Dinah.

Dinah berpikir sejenak, "bentar lagi deh, Om. Tunggu teman-teman dulu."

"Maksud kamu Nancy, Jifran, dan Arsyana?" tanya Tristan meminta penegasan.

"Iya, Om. Mereka belum pada datang!" adu Dinah merengut.

Tristan tersenyum simpul. "Ya sudah, kita tunggu mereka."

Arga yang mendengar percakapan tersebut, rasanya hanya sebagai obat nyamuk saja. Beberapa kali Arga melirik ke arah Tristan, yang juga membalas lirikannya dengan tatapan datar nan dingin.

Tak berapa lama, yang ditunggu pun datang. Bersama Yuna yang tersenyum tipis ke arah Dinah, tapi Dinah hanya menatapnya sebentar. Setelah itu membuang pandangan ke arah lain Yuna kembali menunduk. Dinah masih seperti ini padanya. Membuat gadis itu terkurung rasa bersalah berkepanjangan.

Dari masalah ini, Yuna sadar. Bahwa dia membuat pertemanan mereka menjadi buruk. Sebab rusak hanya karena seorang cowok.

"Pagi, Din---loh! Kak Tristan kok ada di sini?" seru Nancy heboh.

"Saya hanya mengantar Bunda," jawab Tristan kalem.

"Aww, udah manggil Bunda aja ke Mamer ya, Kak?" goda Arsyana yang dibalas dengan gedikkan bahu Tristan.

"Kita juga gitu nanti ya, Beb," sosor Jifran semangat.

"Bab, beb ndasmu?!" balas Arsyana yang membuat Nancy terpingkal.

Sedangkan dari arah pintu kelas. Trio Bemo berjalan sok keren, dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana masing-masing.

Iqbal tanpa sengaja menatap Tristan, ia mengingat kejadian tempo hari. Ketika Tristan datang dan menjemput Dinah di sekolah. Menggunakan seragam kebanggaan TNI. Sebenarnya ia sudah merasa cukup minder kala itu, tapi Lucas menasihati Iqbal. Agar tak lekas mundur meskipun Dinah sudah menolaknya sebanyak dua kali.

"Hohooo, ada saingan gue nih. Hai, Bro! Kenalin, Iqbal. Saingan lo buat dapetin Dinah!" sambar Iqbal percaya diri.

Nancy berjengit mendengar perkataan Iqbal. "Kayak si Dinah mau aja sama lo."

"Yeee, Dinah tuh sebenarnya suka sama gue. Cuma belum sadar aja!" kata Iqbal.

Iqbal dengan segala rasa percaya dirinya.

"Enggak habis thinking gue. Bisa-bisanya Lucas sama Jeno temenan sama si Iqbal. Nemu di mana deh, lo berdua. Teman yang modelannya kek si curut ini!" tunjuk Nancy berapi-api.

Tristan dan Dinah hanya diam. Sedangkan Arga, cowok itu menatap penuh permusuhan pada Iqbal. Ingin sekali ia menjawab Iqbal di sini. Namun, sadar dengan kehadiran Yuna. Biar bagaimanapun. Ia harus tetap menjaga perasaan gadis itu.

"Dinah seleranya yang kayak Kak Tristan, sih. Kalau disuruh milih. Cewek waras manapun, juga pasti bakalan lebih milih Kak Tristan," sahut Arsyana enteng.

"Cewek mah gitu. Milih yang good looking!" ejek Jeno tak terima.

"OH YA PASTI DOOONG ...!" seru Nancy nge-gas.

Lucas, Jeno, dan Iqbal pun merotasikan matanya secara bersamaan. Kompak bener kek boyband.

"Sudah selesai? Kalau mau lanjut, silakan saja. Ayo Din!" Tristan meraih tangan Dinah, lalu membawanya pergi dari kerumunan siswa aneh itu.

"Eh, eh. Tungguin woy."

"Apa nih. Napa cewek cakep diseret noh!"

"Bahaya juga demenannya si Dinah." Terdengar seruan dari yang lain, melihat adegan antara Dinah dan Tristan.

Mereka semua menuju ke arah kantin. Berhubung Tristan juga belum pernah ke kantin, waktu dia datang ke sekolah Dinah. Dia hanya mengunjungi kelas 10, ruang Guru dan ruang Kepala Sekolah, juga rooftop.

Mereka mengobrol sambil menikmati santapan. Walaupun sebenarnya, sih. Mata Arga lebih sering mengarah pada Dinah, sedangkan Tristan sibuk memerhatikan gerak-gerik cowok tersebut. Beruntung keadaan kantin tak terlalu ramai. Itu juga yang menjadi alasan bagi mereka semua, berada di satu titik yang sama. Walaupun harus menyatukan beberapa meja terlebih dahulu.

"Din ...," panggil Tristan yang mampu menghentikan tawanya. Dinah menoleh ke arah pria itu.

"Nanti setelah pulang sekolah, ikut saya ke rumah, ya?" ajak Tristan.

Belum sempat Dinah menjawab, suara Arga justru menyela.

"Mau ngapain?!" lontar Arga bernada ketus.

Semua yang ada di meja, kecuali Tristan menoleh ke arah Arga. Yuna juga menatap heran pada cowok itu. Jauh di lubuk hati terdalamnya, Yuna sadar betul. Ada nada cemburu terselip di antara kata-kata Arga tadi.

"Mau melakukan apa pun, itu bukan urusan orang!" ungkap Tristan dingin.

"Jangan macam-macam sama Dinah! Gue yang pacarannya udah dua tahun sama Dinah aja, enggak pernah bawa Dinah ke rumah!" sembur Arga semakin kasar.

Dinah menunduk, itu benar adanya. Lagi-lagi ia tersenyum miris. Bukan, dia bukannya murahan. Hanya saja, sesekali Dinah ingin berkenalan lebih jauh dengan keluarga Arga. Tidak semata hanya tahu tentang Arsyana saja.

Tristan tersenyum miring. Menatap remeh Arga yang kini menumpu dagu dengan kedua tangannya. "Jelas kamu tidak akan membawanya, gadis kamu bukan hanya Dinah saja, kan?" sarkas Tristan santai, tapi menusuk.

Arga bungkam, rahangnya mengeras menahan amarah.

"Ekhem. Gue bodoamat kalian mau ributin apaan. Cuma nih, ye. Kita makannya diabisin dulu kek. Sayang banget acara makan gue harus ketunda, cuma gara-gara lo berdua berantem," sela Lucas mencoba menjadi penengah.

Tangan Yuna mengelus lembut telapak tangan Arga di bawah meja. Tak ada yang memerhatikan hal itu, karena memang Yuna tak mau masalah menjadi semakin pelik dan mencekik.

"U-udah, udah! Astaga kalian berdua kayak anak kecil aja. Jangan bikin keributan, mending kita ke kelas, yuk! Udah mau masuk ini," lerai Jifran yang sebenarnya sedikit khawatir akan adanya adegan baku hantam.

Sedangkan Iqbal, cowok itu hanya mampu diam. Dibandingkan Arga atau Tristan, jelas dirinya hanya sebatas 'ketahuan suka' pada Dinah, dan tak punya ikatan lebih dari sekadar teman dengan gadis itu. Sedikit lancang mungkin, jika Iqbal ikut penasaran. Kenapa Dinah harus ikut Tristan ke rumahnya.

* * * *

Setelah pembagian raport, Tristan mengajak Dinah ke rumahnya. Tadinya bunda juga diajak, tapi kata bunda ada pesanan banyak, jadi bunda pulang untuk memasak. Nanti malam diambil sama yang pesan.

Tristan dan Dinah di dalam mobil tak membicarakan apa pun, sebenarnya suasana cukup canggung sekarang. Apalagi setelah perdebatan kecil Tristan dan Arga di area kantin. Itu kan sempat ditonton adik kelas mereka.

"Din, saya ... besok berangkat," ujar Tristan memecah keheningan.

Dinah menoleh tak santai, "kok cepat banget, Om?"

"Kami tidak bisa terus di sini, apalagi di misi ini saya ditugaskan sebagai pemimpinnya. Kalau pasukan saya lamban dalam bergerak, nanti sandranya malah keburu disiksa," jelas Tristan yang masih fokus pada jalanan.

"Misi Om di sana, berapa lama? Enggak akan lama, 'kan?"

"Saya belum tahu, kalau dari pihak Korea Utara tidak mau melakukan negosiasi dengan baik. Mungkin akan sedikit lebih lama."

"Om enggak akan main tembak-tembakkan di sana, 'kan? Jaga diri ya, Om. Pulang dengan selamat, jangan pergi lama-lama."

Taehyung tersenyum mendengar rentetan kalimat gadis mungil di sampingnya itu. Satu tangannya mengelus lembut kepala Dinah dengan sayang.

Hingga saat ini, status mereka masih dekat tanpa embel-embel lain. Lucu sekali jika melihat betapa khawatirnya Dinah saat ini.

"DMZ itu daerah bebas dari gencatan senjata, Din. Mungkin Korea Utara akan sedikit merepotkan. Tapi kamu harus selalu berpikiran positif, saya akan baik-baik saja," jelas Tristan membuat Dinah perlahan lebih tenang.

"Kasih aku kabar ya, Om. Harus pokoknya!" tekan gadis mungil itu memaksa.

Tristan mengangguk, "pasti!"

Sesampainya di pelataran rumah, Tristan menggandeng Dinah masuk ke dalam. "Assalamualaikum!" salam keduanya bersamaan.

"Waalaikumussalam!" jawab yang ada di dalam.

Tristan mengernyitkan keningnya, sepertinya bukan hanya kedua orang tuanya yang menjawab.

Benar saja, ternyata Kiandra serta Kanindra dan keluarga mereka masing-masing sedang berkumpul di sini.

"Hey! Beruang kita sudah pu-lang. Wah! Bawa siapa lo,  Tristan?" tanya Kiandra menggoda adik bungsunya.

Segarang apa pun Tristan yang terlihat oleh juniornya. Bagi keluarga, Tristan tetaplah sosok bayi. Tak jarang mereka membuat pria itu kesal karena terkesan memanjakannya dengan cara salah.

"Eh, Dinah! Sini Sayang, kok enggak bilang mau ke sini?" sambut Tante Nadia. Wanita paruh baya itu tengah berbicara dengan salah satu menantunya.

Dinah melepas genggaman Tristan, menghampiri Tante Nadia yang sudah merentangkan Tangannya. Gadis mungil itu masuk ke dalam dekapan hangat ibu beranak tiga itu.

"Tante kangen kamu," adu Tante Nadia manja.

"Dinah juga, hehehe," balas Dinah dengan kekehannya.

"Wah, jadi ini ya calonnya Tristan? Ih, kamu cantik banget," puji Zakia---istri Kiandra.

"Iya, Kak. Ini yang aku ceritain ke kalian. Dia ngantar Tristan ke rumah sakit," jelas Kanindra.

Dinah yang mendengar suara Kanindra, melepas pelukannya pada Tante Nadia.

"Om Dokter? Kok, ada di sini?" tanya Dinah memiringkan kepalanya.

"Lupa? Saya kan Abangnya Tristan!" Kanindra mengingatkan.

Dinah diam sesaat, lalu kedua tangannya menepuk kecil. "Eh, iya ya. Om kan Abangnya Om Tristan, hehe maaf. Dinah lupa soalnya," ungkap Dinah polos.

Mereka semua pun tertawa. Dinah menyalami anggota keluarga Adiyakhsa satu persatu. Berkenalan dengan calon kakak ipar, berkenalan dengan keponakan lucu Tristan juga. Yakni Tsania dan Angga. Gadis itu lantas mencubit gemas pipi Angga, pipinya bulat, putih, dan kenyal.

'Kok pipinya kayak kue mochi, ya?' batin Dinah tertawa.

Dilanjutkan dengan makan siang bersama. Mereka sering sekali memperhatikan tingkah Dinah dan Tristan, cara Dinah melarang Tristan makan pedas, dan sifat Tristan yang berubah menjadi sangat lembut ketika membujuk gadis mungil itu. Semuanya tak lepas dari berpasang-pasang mata di ruang makan.

Setelah makan siang, Dinah dan keluarga Adiyakhsa mengobrol beberapa saat, sebelum bunda menelepon dan menyuruhnya pulang. Sebenarnya tidak enak hati, tapi mau bagaimana lagi, 'kan? Akhirnya gadis itu pun pulang. Meski Tante Nadia memintanya untuk menginap hari ini. Bahkan Tristan sendiri seperti menahannya untuk tidak pulang.

~•~•~•~

Di perjalanan pulang, Dinah sibuk melihat pemandangan luar jendela. Manik gadis itu membulat sempurna ketika melihat sesuatu, reflek tangannya memukul lengan Tristan. Pria itu terkejut, dan menginjak rem mobil sangat kencang hingga tubuh Dinah terpantul ke depan.

"Astagfirullah, Dinah! Kamu apa-apaan, sih? Kalau kita sampai celaka gimana?" geram Tristan tanpa sadar.

Dinah sedikit terkejut karena nada bicara Tristan naik satu oktaf, tapi dirinya juga tak bisa protes. Toh, memang dia yang salah, 'kan? Dinah menunduk takut, sambil memilin ujung seragam sekolahnya.

"Ma-maafin Dinah, Om ...," cicit Dinah takut-takut.

Menyadari gadisnya yang mulai merasa takut, ada rasa bersalah dalam hati Tristan. Tidak! Ia tak mau jika Dinah takut padanya, bukan hal mudah membuat gadis ini nyaman berada di sampingnya.

Tangan pria itu bergerak menyelipkan rambut Dinah pada telinganya. Terlihat Dinah yang sedikit berjengit dan matanya menutup pelan, Dinah benar-benar tak bisa dibentak. Gadis itu akan langsung menganggapmu pemarah jika seperti itu.

"Maaf, ya. Saya tidak bermaksud membuatmu ketakutan," lirih Tristan merasa bersalah.

Dinah masih tak bereaksi. Setitik, dua titik, banyak titik. Akhirnya Dinah menangis, Tristan kelabakan. Pria itu pun membawa Dinah ke dalam pelukannya. Dibiarkannya gadis itu membasahi hoodienya. Tangannya sibuk mengelus rambut halus Dinah yang terurai hingga ke pinggang.

"Maafin Dinah, Om. Dinah enggak maksud bikin Om Tristan kaget, jangan benci Dinah, Om," ratap Dinah yang membuat hati Tristan semakin merasa bersalah. Harusnya dirinya yang bilang begitu.

"Saya juga minta maaf, kamu pasti terkejut sekali saya bentak seperti tadi," ucap Tristan yang mendapat anggukan dari Dinah.

"Memang kamu kenapa, kok sampai tiba-tiba memukul begitu?" tanya Tristan penasaran.

Dinah menegakkan tubuhnya, mengusap air mata yang tertinggal di pipi. "Tadi aku liat ada anak kucing di sana, kita turun yuk, Om! Kita lihat kucingnya," bujuk Dinah.

Rasanya saat ini Tristan seperti berada dalam lagunya Naomi Scott, original soundtrack Aladdin. Iya, SPEECHLESS! Astaga, hanya karena anak kucing Dinah hampir saja membuat mereka celaka. Namun, akhirnya 

Tristan menurutinya juga. Ia tak punya pilihan lain, daripada harus mendengar tangisan Dinah.

Dinah berlari pelan meninggalkan Tristan di belakangnya. Di dalam kardus, dua anak kucing berwarna abu-abu dan seputih salju meringkuk kedinginan di sana.

Dinah menggendong yang warna putih, sedangkan yang satunya lagi digendong Tristan. Sebenarnya pria itu tak pernah sedekat ini dengan kucing, Tristan lebih suka memelihara anak anjing. Bahkan dia punya satu, dan diberi nama Burung. Jangan heran, sebab yang memberi nama pada anjingnya adalah Kiandra. Meskipun begitu, Tristan begitu menyayangi anak anjing berjenis Pomsky iti. Tristan malah lebih sayang anjing itu dibandingkan followers I*-nya.

Seperti namanya, Pomsky adalah persilangan antara husky Siberia dengan Pomeranian. Pomsky cenderung memiliki ukuran yang bervariasi.

Campuran ini cenderung memiliki tingkat energi yang tinggi, Tristan selalu menjadikan anak anjing itu sebagai pelepas lelah. Ketika merasa pening denga pekerjaannya.

"Ini kan jenis kucing Ragdoll cat, kok bisa-bisanya dibuang, sih?" gumam Dinah pada dirinya sendiri.

Tristan yang mendengarnya pun bertanya, "memang kucing ini tidak boleh dibuang?"

Dinah menoleh. "Bukan gitu, Om. Ini kucing mahal!" sahut Dinah.

"Kayak Milkita saja mahal. Tiga loli Milkita, setara dengan 120 kalori," ucap Tristan meniru iklan tersebut.

Dinah tertawa, tak pernah tahu kalau pria ini bisa seabsurb itu. Mereka pun membawa kedua anak kucing tadi pulang.

"Mau diberi nama siapa?" Dinah yang mendengar pertanyaan itu mengernyitkan keningnya sesaat.

"Hum, Milo sama Snowy aja, gimana?" usul Dinah.

"Milo yang warnanya abu-abu, kalau Snowy yang warnanya putih." Tristan mengangguk-anggukkan kepalanya. Tidak buruk juga.

"Nah, Milo dan Snowy. Jaga Kak Dinahnya selama Om pergi, ya." Tristan berbicara pada kedua kucing itu.

Pipi Dinah bersemu merah. Hatinya menghangat melihat betapa manis sikap Tristan saat ini. Sekuat tenaga gadis itu berusaha biasa saja, agar tak terlihat salah tingkah.

'Jangan baper, please!' rutuk Dinah dalam hati.

To be continue. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status