Share

7. Mission Accomplished.

Hari ini, mungkin menjadi salah satu hari yang tidak ingin Dinah hadapi dalam hidupnya. Terang saja, orang yang saat ini mulai Dinah sayangi, malah harus pergi jauh dan entah kapan akan kembali. Ada perasaan tak rela di hati gadis itu untuk melepas Tristan, meskipun status di antara mereka berdua belum resmi berpacaran. Damn!

Dengan sedikit bermalas-malasan, Dinah bangun dan bersiap. Ia akan mengantar keberangkatan Tristan sebentar lagi. Bagaimanapun, Dinah tak boleh tampil seperti gembel. Sejak kemarin wajah Dinah terlihat begitu muram.

Tristan yang menjemputnya, sedangkan Jafran serta orang tua mereka berdua sudah berangkat lebih dulu ke pangkalan udara militer Indonesia. Entah mengapa, hatinya kian sesak saja mengingat Tristan yang sebentar lagi tak berada di sampingnya beberapa waktu ke depan.

Dinah yang baru saja akan memakai flat shoes -nya, ditahan oleh tangan kekar Tristan. Pria berkulit cokelat itu dengan lembut memakaikan sepatu putih pada kaki mungil Dinah. Sedangkan Dinah, tanpa mampu ia tahan buliran bening malah kembali jatuh membasahi pipi bulatnya, ia akan sangat merindukan sosok pria ini, 'kan?

Menyadari gadisnya itu menangis, Tristan segera bangkit dan memeluk erat Dinah. Mengecup pucuk kepala gadisnya, dan berkali-kali menggumamkan kata maaf. Di saat-saat seperti ini, Tristan justru merasa tidak berdaya. Padahal biasanya, ia tak pernah memilih dalam hal tugas. Tristan selalu menganut.

"Tugas adalah kewajiban! Sekali saja kewajibanmu terbengkalai, maka kamu tak akan dipandang sebagai laki-laki sejati!"

- Tristan Adiyakhsa.

Sialnya, Dinah justru menghancurkan ideologinya itu. Sepertinya pepatah yang dulu pernah ia dengar merupakan sebuah kebenaran.

Sebanyak apa pun pria, mereka belum tentu mampu menghancurkan dunia. Namun seorang wanita, bisa diuji. Tanpa menghancurkan dunia sekalipun, mereka sudah pasti mampu membuat gila seluruh pria dan dunianya.

"Saya pasti akan cepat kembali, mau menjaga hati untuk saya?" Mendengar perkataan Tristan, Dinah hanya menjawabnya dengan anggukan pelan.

Perlahan pelukan itu dilerai, mereka berdua segera bergegas. Dalam perjalanan pun tak ada obrolan. Suara Dinah tercekat untuk membicarakan hal lain saat ini. Tenggorokannya terasa kering, seperti ada sesuatu yang mengganjal di sana. Menahan kekata yang mungkin saja ingin terucap.

Setelah sampai, tanpa menunggu lama Tristan membuka seatbelt lalu meraih tangan Dinah. Pasangan itu bergandengan hingga ke dalam, di mana keluarga mereka sudah menunggu sejak tadi. Tristan tersenyum manis pada mereka. Sementara Dinah hanya menyajikan tatapan sayu. Menyedihkan.

"Kamu lagi-lagi harus berangkat," ucap ayahnya Dinah---Danar.

"Namanya juga tugas. Biarkan saja, Nar. Kewajiban memang perlu ditunaikan sebaik-baiknya," timpal papahnya Tristan, Rahman.

Sedangkan Tante Nadia dan Bunda Winarti, malah sudah sesenggukan lebih dulu. Sepertinya kedua wanita tersebut, sudah menangis sejak sampai di sini. Tristan tersenyum geli melihat bagaimana ibunya masih tak ingin ia lepas dan bertugas di DMZ.

Perlahan tangan ibu tercintanya itu mengelus pelan surai hitam Tristan. Lalu Tristan memeluk ibunya, mengecup kening wanita terhebat dan yang sangat ia sayangi.

"Jaga diri baik-baik di sana, ya. Jangan nakal, jangan sok kuat. Kali ini ada hati lain yang nungguin kamu," pesan ibunya sekaligus menggoda Dinah. Tristan hanya mengangguk mengiyakan.

Perlahan ia melepas pelukan pada ibunya itu. Beralih pada ayahnya, "ingat, jangan sampai ada gencatan senjata. Selama bisa diselesaikan baik-baik maka selesaikan baik-baik." Nada bicara sang ayah terdengar lebih tegas. Secara tak langsung, bagi Tristan itu menjadi sebuat peringatan tersirat.

Kiandra dan Kanindra juga ikut menepuk pelan bahu adik bungsu mereka. "Lo jaga diri baik-baik di sana. Enggak usah lirik kanan kiri, lagian calon lo lebih cakep di sini!" pesan mereka bersamaan. Terlalu kompak menurut Tristan. Mungkin mereka menghafal kalimat itu semalaman, agar bisa diucapkan pada Tristan hati ini.

Giliran Jafran dan calon ayah mertuanya pun ikut mendekat. "Ingat, Tristan. Ini misi penyelamatan, jadi kamu harus hindari baku tembak. Utamakan keselamatan sandra, dan tentunya keselamatan kamu sendiri juga pasukan pimpinanmu. Kalau memang mereka tidak bisa diajak berdamai, sebaiknya kalian lewati garis pembatas dua negara, paham?" Tristan mengangguk mantap. Calon ayah mertuanya adalah mantan pasukan khusus, meski pensiun di usia dini.

Dari yang ia dengar. Danar pensiun ketika akan dipromosikan ke pangkat Mayor Jenderal. Sangat disayangkan sebenarnya, karena karir beliau terbilang gemilang di ranah militer. Namun, itu semua adalah pilihan dari Danar. Ada banyak alasan yang tak bisa ia ungkapkan, dan menjadi rahasianya pribadi. Tristan tak mau tahu lebih jauh, ia bukan manusia kepo.

"Lo udah hafal medan di sana, 'kan?" tanya Jafran serius.

"Ya, saya hafal. Meskipun tak sehafal anda, Senior!" balas Trista dengan candaan.

Jafran tertawa renyah, "hati-hati. Biasanya di daerah garis masuk kawasan musuh, selalu dipasangi ranjau. Jangan gegabah, jangan lengah. Dan jangan lupa selalu bawa bayonet lo. Gunakan pistol, bukan senapan laras panjang kalau untuk serangan jarak dekat. Penglihatan kita terlatih untuk melihat di malam hari, itu akan sangat membatu waktu pembebasan sandra di malam hari. Good luck, adik ipar!" Jafran menasihati Tristan.

Setelah berbincang dengan keluarganya, lalu disusul wejangan dari Danar dan Jafran. Kini Tristan beralih menghampiri gadisnya. Dinah hanya tersenyum tipis. Tangan kekar berkulit cokelatnya mengelus sayang pucuk kepala Dinah, sedangkan Dinah langsung menangis karena itu. Terlalu lembut dalam urusan hati, memang.

Tubuh mungil itu menubruk Tristan, memeluknya dengan erat dan enggan melepaskan. Tangannya bahkan melingkar hingga ke belakang punggung, walaupun tak sampai saling berkaitan.

"Gadis cengeng! Jangan menangis terus, atau kamu akan membuat saya tidak jadi berangkat nanti," papar Tristan di telinga Dinah. Mendadak gadis itu merasa meremang di tengkuknya, kala embusan napas hangat Tristan menyapa kulit putihnya.

"Aku enggak nangis," elak Dinah kesal. Tangannya menyentak setengah hati tubuh pria di depannya. Sejujurnya, Dinah masih ingin menghirup aroma parfume citrus bercampur mint Tristan. Aromanya begitu maskulin, sangat kontras dengan wangi lavender miliknya, dan ... Dinah suka itu.

Beruntung Tristan cepat-cepat menarik kedua tangannya, kembali mengeratkan pelukan di antara mereka berdua. Mengabaikan bagaimana cara tatapan jahil orang-orang di sekitar mereka.

"Ck! Tidak menangis katamu, tapi air matanya sudah banjir. Situ sehat?" decak Tristan.

"Om kok makin lama, makin nyebelin, sih?! Kalau emang enggak mau dipeluk tuh bilang, dong! Ya udah aku lepas aja!" cerocos Dinah tanpa jeda. Wajahnya menengok ke atas, bertemu tatap dengan manik tegas Tristan.

Saat tangan gadis itu akan melerai pelukannya untuk kedua kali,  Tristan malah semakin mengeratkannya. Bahkan terlalu erat untuk ukuran tubuh mungil gadis seperti Dinah.

"Jangan dilepas, kalau boleh. Saya ingin terus memeluk kamu seperti ini," bisik Tristan.

Dinah tersenyum tipis menanggapi ucapan kekasihnya itu. Hum, bolehkan jika Dinah menganggap pria ini kekasihnya? Secara tak langsung, meski tanpa ungkapan apa pun. Semua orang pasti menganggap begitu. Kedekatan itu nyata, Dinah sekalipun tak mampu mengelaknya lagi.

"Uhuk!"

"Huatchim!"

"Ngiiiingggg ...."

Suara-suara itu adalah godaan dari Jafran, karena hanya dia seorang yang jomblo di sini. Mari kita tertawakan nasib abang tersayang Dinah itu.

Sedangkan Jafran, ia merutuki nasibnya sendiri. Kenapa juga ia harus tetap ada di sini, jika hanya untuk menjadi saksi ke-uwwuhan adiknya?

Namun, tak ada yang tahu. Sebenarnya Jafran tidak jomblo, hanya saja jodohnya masih menggantung di Lauhul Mahfudz. Harus banyak-banyak bersabar memang. Terlebih karena pria ini tipe pemilih.  Cih, pantas saja jomblo terus. Mentang-mentang ganteng, walaupun kenyataan juga, sih. Jafran sering berkata demikian saat sifat jahilnya muncul, dan Dinah menjadi sasaran utamanya.

Seluruh anggota timnya berkumpul di satu titik yang sama, setelah melakukan pamitan dengan keluarga masing-masing. Sebuah peswat berjenis C-130 Angkatan Udara terparkir apik di lapangan terbang. Sebagai alat transportasi yang akan membawa mereka ke negeri seberang. 

Terakhir kalinya sebelum Tristan benar-benar menapaki kakinya di tangga pesawat, Tristan kembali menoleh ke arah Dinah. Gadis itu masih di sana, manik cokelatnya memberikan tatapan sedih. Lalu dibalas senyum tipis oleh Tristan. 

Sebuah sentuhan di bahu menyadarkan Dinah. Gadis itu menoleh, menemukan Winarti berdiri di sampingnya. "Doain aja, semoga Tristan pulang dengan selamat, dan misinya lekas selesai, Sayang," kata Winarti lembut. 

Dinah mengangguk. "Iya, Bunda."

* * * *

Dua minggu berlalu, akhirnya SMA Mahardika kembali aktif seperti biasa. Selama dua minggu belakangan, para siswa seolah mendapatkan kehidupan mereka kembali. Meskipun sekarang, kelas 12 yang akan memulai perjuangan ekstra keras mereka.

Semester terakhir di bangku SMA cukup melelahkan bagi Dinah. Ujian hanya tinggal menghitung bulan, memikirkannya saja sudah mampu membuat kepala Dinah pening tujuh keliling. Apalagi jika sudah berhadapan dengan ujiannya langsung? Mungkin mati suri. Baiklah terlalu berlebiha.

Dinah memasuki ruang kelasnya. Masih sepi, tidak seperti terakhir kali ia dan teman sekelasnya bertemu. Sepertinya sifat setan mereka semua kembali lagi. Lihatlah sekarang. Hanya ada satu sosok manusia di dalam ruangan itu, siapa lagi kalau bukan Mark? Sejak kaki Dinah menapak di ambang pintu 12 IPA 3, Mark sudah sibuk dengan tumpukan buku-bukunya.

Di antara teman kelasnya yang lain. Mark memang terhitung sebagai siswa ambis. Cowok itu selalu belajar ekstra keras, agar gelar juara umum duanya tidak diambil siswa lain. Mark pernah bilang. Cukup dengan ia yang tak bisa masuk kelas unggulan 12 IPA 1. Jadi, jangan sampai ia membuat nama kelas juga nama baiknya malah terlihat bodoh.

Namun, semua siswa tahu. Mark tak mau kalah pamor dari Arga. Meskipun di depan umum hubungan keduanya terlihat baik-baik saja, tapi di belakanga layar, siapa tahu?

Dinah tak tahu apa alasan dua cowok itu, tapi menurut Dinah. Baik Mark ataupun Arga, keduanya sama-sama pintar, sama-sama punya banyak fans. Jika Arga ketua tim basket, Mark justru ketua tim sepak bola. Bagian mana yang bisa membuat Mark iri? Bukankah prestasinya tak kalah dari mantan pacar Dinah?

Sedang asik melamun, serta memikirkan Arga dan Mark. Teriakan di arah pintu menyadarkan Dinah, rasanya telinga Dinah berdengung berkat teriakan itu.

"SELAMAT PAGI RAKYAT-RAKYATKU YANG TERCINTA ...! PANGERAN DATANG NIH. SUNGKEM DULU COBA!" teriak Lucas berjalan ala manusia terhormat.

Dinah mendelik. "Lo tuh ngapain, sih,  teriak-teriak enggak jelas?! Ini kelas bego! Didikan Tarzan banget nih nak pungot satu!" balas Dinah galak.

"Enggak bisa, ya, Cas. Lo datang ngucapin greeting aja?" timpal Mark ikut terganggu.

Lucas tersentak. Wajahnya ia buat seterluka mungkin agar orang-orang membelanya.

Lucas dengan segala ke-play victim-annya.

Jeno dan Iqbal sontak tertawa bersamaan. Sebelumnya sudah diperingati oleh mereka berdua, tapi Lucas terlalu batu untuk menerimanya. Jadilah sekarang cowok itu mendapat dua teguran, dari dua orang berbeda atas ulahnya.

"Lo berdua. Dua minggu kita enggak ketemuan. Seharusnya kalian bilang kangen ke gue, bukannya diamukkin begini!" protesnya tak terima.

"Enggak akan ada yang mau kangen sama lo, Lucas. Bayangin muka lo aja, kayaknya ciwik-ciwik di kelas kita bakalan mual, deh!" ejek Jeno disusul tawa super besarnya.

Memang begitulah Trio Bemo, mereka berlomba untuk menistakan satu sama lain.

Sedangkan Mark, cowok itu menatap putus asa. Ia menyerah untuk berhadapan dengan tiga warga ajaibnya di kelas ini. Sejujurnya, Mark tak paham jalan pikiran mereka bertiga.

Dinah tak lagi mempedulikan kehadiran teman-temannya. Pikirannya menerawang ke tempat lain, ini sudah terhitung dua minggu juga semenjak Tristan pergi menjalankan misinya. Percaya atau tidak, rasanya hari-hari yang dijalani Dinah benar-benar tanpa semangat. Kapan kiranya pria itu akan kembali?

Mencoba mengusir rasa bosannya, Dinah meraih sebuah novel dari dalam tasnya, tapi tiba-tiba saja ponselnya berdering nyaring hingga penghuni kelas menatapnya. Dinah menyengir canggung, kemudian mengembalikan atensinya pada ponselnya.

Gadis itu memutuskan untuk berjalan ke luar kelas, membiarkan teman kelasnya teriak sendiri seperti di hutan.

"Hai, Om," sapa Dinah lesu.

[Hai. Kamu,] balas suara berat di ujung sana.

[Kenapa suaramu terdengar lemas seperti itu? Kamu sakit?]

"Eh, enggak kok, Om. Aku cuma ...."

[Rindu dengan saya?]

Tebakan Tristan tepat. Dinah memang tengah rindu dengannya. Namun, ia sedikit ragu untuk jujur perihal itu.

"Dih, GR banget, sih, Om!" elak Dinah pada akhirnya.

[Ya sudah kalau tidak rindu, tidak apa-apa juga. Saya tutup lagi, ya?] ancam Tristan bercanda.

"Yah, jangan dong, Om! Ikh, Om Tristan mah...."

Terdengar suara tawa Tristan di ujung sana. Dinah dan Tristan memang selalu berhubungan lewat ponsel. Pria itu akan meneleponnya setiap satu kali sehari, kadang juga satu kali dalam dua hari. Tidak tentu memang, karena mereka harus hati-hati menggunakan jangkauan sinyal DMZ. Kalau tidak begitu, sudah dari hari pertama mereka dilacak dan terjadi baku tembak.

[Maaf ya, Din. Saya masih belum bisa pulang sekarang. Belum ada celah untuk kami menyelamatkan para sandra,] terang Tristan lembut.

"Iya, Om. Aku cuma ... kangen dikit, hehe," kekeh Dinah.

Hati Tristan terasa menghangat, seandainya bisa. Ia akan segera terbang ke Indonesia, dan memeluk gadisnya itu.

[Jangan rindu, berat! Kamu tak akan kuat, cukup saya saja!] ucap Tristan menirukan dialog dari salah satu film terkenal.

"Enggak usah niruin Dilan, Om! Enggak cocok tahu?!" ejek Dinah. Bola matanya memutar malas, walaupun Tristan jelas tak bisa melihatnya.

[Jelas tidak cocok. Saya kan lebih keren dari Dilan!] pungkas Tristan percaya diri.

Dinah melengos malas, di depan orang lain saja gayanya sok dan dingin. Di depan Dinah malah pecicilan parah. Ini nih yang disebut jaga image supaya dipanggil keren.

"Serah, deh! Oh iya, Om udah makan?" tanya Dinah. Terdengar mainstream, tapi Tristan suka perhatian kecil gadis yang berada nun jauh di sana.

[Sudah, tapi saya belum kenyang.]

"Ya udah sana makan lagi, Om."

[Saya mau makan kamu saja.]

Mendengar jawaban Tristan, Dinah bergidik ngeri. Apa saat sedang dalam misi, Tristan akan berubah menjadi manusia kanibal?

"O-om Tristan, enggak jadi manusia kanibal, 'kan?"

Mendengar perkataan Dinah, Tristan mengernyit heran di sana. Manusia kanibal? Pria itu mengembuskan napas kasar. Dinah sepertinya hanya anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa. Percuma mengajaknya bercanda seperti ini. Gadis itu tak akan mengerti.

[Hufft, sudah lah Din. Sepertinya kamu juga tidak akan paham.]

"Enggak paham gimana? Kan Om---"

[Maaf, Kapten. Kita harus segera membicarakan perubahan rencana untuk pembebasan sandra nanti malam.] Suara itu menyela pembicaraan Dinah.

[Baik! Kumpulkan pasukan!] Suara tegas nan dingin Tristan membuat tengkuk Dinah meremang. Sangat berbeda dengan cara pria itu berbicara dengannya barusan.

[Dinah, saya tutup, ya? Kamu jaga kesehatan, saya sayang kamu.] Belum sempat Dinah membalas ucapan Tristan, panggilan sudah lebih dulu terputus.

Dinah menahan air matanya yang siap terjun susah payah. Lalu tersenyum tipis, setidaknya hari ini ia sudah mendapatkan kabar dari prianya itu.

Dinah masuk ke dalam kelas, beberapa menit lagi bel pelajaran akan berbunyi. Ia tak ingin terlambat. Dinah sudah bertekad, ia harus mengejar prestasi di kelas 12 semester akhirnya ini. Dinah ingin masuk fakultas kedokteran, dan membuat Tristan serta keluarganya bangga. Itu cita-cita Dinah sekarang.

Namun, belum sempat kakinya membawa masuk lebih jauh. Lengan Dinah ditarik paksa oleh seseorang, hingga membuat Dinah berputar ke arah si penarik dan nyaris menabraknya.

Dinah baru saja akan mengeluarkan sumpah serapah, kalau saja tak melihat wajah orang itu. Sosok tinggi tegap Arga di sini sekarang, memegang lengannya dengan erat, tapi tak sampai membuatnya meringis kesakitan.

Gadis itu menyentak kasar cekalan Arga. Lalu menjauhkan diri. Entah mengapa, Dinah jadi enggan sekali berada di dekat Arga semenjak mereka putus. Rasa sakit hatinya masih menyisa, saat mereka bertemu seperti ini.

"Apa?" tanya Dinah menantang. Alisnya terangkat salah satu, seolah tak suka dengan kehadiran Arga di depan kelasnya.

"Aku mau ngomong bentar. Bisa ikut aku?" pinta Arga setengah memohon.

Dinah menggeleng. "Enggak. Lo kalau mau ngomong, ya di sini aja!" tolaknya ketus.

"Enggak di sini, Dinah. Di tempat lain. Ada banyak hal yang harus kita omongin berdua!" kata Arga menekankan kata 'berdua'.

Dinah mundur selangkah. "Kenapa enggak mau ngomong di sini? Takut lo, kalau ketahuan cewek lo? Tenang, Ga. Gue yang bakalan jelasin ke cewek lo kalau dia salah paham entar!"

"Yang kamu panggil cewek aku itu, sahabat kamu kalau kamu lupa!" terang Arga masih berusaha sabar. Sifat Dinah selalu seperti ini, memang sangat menguji sabar jika sedang sangat menyebalkan.

Dinah terkekeh mendengarnya. "Ying kimi pinggil ciwik iki iti, sihibit kimi kilii kimi lipi. Bullshit banget, Ga! Kalau dia sahabat gue, dia enggak akan ngelakuin ini ke gue. Dia enggak akan ngekhianatin gue buat alasan apa pun. Ini apa?" lontar Dinah emosi.

"Gue enggak nyesel kenal lo berdua. Gue juga enggak masalah kalau emang dia suka sama lo, tapi seharusnya dia bilang dari awal! Supaya gue enggak nerima lo! Lo sama dia tuh sama aja. Sama-sama munafik, sama-sama ngeselin, dan sama-sama pengkhianat!" tunjuk Dinah ke arah dada Arga.

Tanpa menunggu balasan Arga, Dinah berjalan dengan langkah lebar ke dalam kelas. Suasana kelas sudah semakin ramai, bahkan Arsyana, Nancy, Jifran, dan Yuna juga sudah datang. Gadis itu melewati sahabatnya begitu saja. Suasana hatinya benar-benar kacau sekarang.

Iqbal duduk di depan Dinah, memerhatikan wajah kusut gadis itu dengan saksama. Walaupun Dinah jelas mengabaikan kehadirannya.

"Napa, sih, lo? Pagi-pagi mukanya udah kayak baju belum disetrika aja," kata cowok itu mengejek.

Dinah meliriknya sekilas, lalu kembali menatap keluar jendela. "Mending pergi deh lo. Gue lagi males ngeladenin lo, Bal!" usir Dinah tanpa hati.

Iqbal tertawa sumbang. Untuk pertama kalinya Dinah mendengar tawa seperti itu dari Iqbal. Hingga mampu menyedot perhatiannya.

"Kenapa lo ngusir gue, Din? Apa karena gue bukan si Tristan itu? Apa karena gue bukan Arga?" tanya Iqbal mendadak.

"Gue enggak tahu, kenapa lo selalu mengabaikan perasaan gue. Dulu Arga, dan sekarang malah orang luar sekolah kita, tapi kenapa gue susah banget dapatin hati lo? Gue kurang serius apa pas nyatain perasaan gue ke lo, Dinah?" sambungnya serius. "Lo sebenarnya sadar sama keseriusan gue, Din. Cuma salahnya, sih. Ketika lo jatuh cinta, lo selalu terpaku sama satu orang itu aja. Tanpa mau bersusah payah buat ngelihat yang lainnya. Yang justru lebih mau berjuang demi lo!" Iqbal perlahan bangkit, dan kembali ke tempatnya.

Seisi kelas menjadi hening. Tak pernah sekalipun Iqbal seserius itu selama ini. Semua warga kelas tahu, senakal apa Iqbal, Jeno, dan Lucas.

Dinah berusaha bersikap biasa saja. Pagi ini masalahnya sudah terlalu banyak. Ia tak mau menambah masalah lagi, cukup Tristan dan Arga yang mengambil tempat di pikirannya, jangan sampai Iqbal juga ikut masuk.

* * *

Di dalam ruangan ini, sudah berkumpul pasukan khusus dari dua negara yang diutus PBB. Yakni gabungan Indonesia dan Korea Selatan sendiri, sebenarnya Indonesia bertindak sebagai penengah dua negara. Kenapa bukan Jepang?  Indonesia memiliki pasukan khusus yang tak kalah hebat dari Jepang, terlebih, ini semua berkat adanya Tristan Adiyakhsa. Pria berusia 26 tahun ini dipercaya sebagai penyusun strategi jitu. Dengan langkah gesit, cepat dan tepat.

Tristan bertindak sebagai pemimpin mereka. Terlebih karena pangkatnya adalah seorang Kapten. Tristan juga sudah pernah menangani misi di sini, dia tahu persis seperti apa kondisi geografis di DMZ ini.

Daerah DMZ ini berada di Pyeongchang, kedua negara dipisahkan perbatasan darat sepanjang 248 kilometer. Sebenarnya DMZ ini sudah menjadi salah satu destinasi wisata yang sering dikunjungi pelancong, dan pemerintah Korea Utara sebelumnya juga sudah setuju dengan perjanjian perdamaian. Agak aneh kalau mereka tiba-tiba saja menyandra para warga sipil. Kecuali, adanya pihak pemberontak yang memang berniat mengadu domba kedua belah pihak.

"Kita akan melakukan pergerakan malam ini, berhubung pasukan kita terdiri dari dua puluh anggota. Maka saya akan membaginya ke dalam empat kelompok. Satu kelompok berisi lima orang," jelas Tristan.

Semua anggotanya mendengarkan aragan pemimpin mereka dengan saksama. Tak ada seorang pun yang berani memotong.

"Kelompok pertama, kalian akan menunggu kami di garis gardasi. Kelompok kedua, kalian menunggu kami di area gerbang, jangan sampai terlihat. Karena kalian akan menjadi perantara membawa sandra hingga ke camp penyelamatan. Kelompok ketiga dan kelompok empat, kalian akan menyusuri markas mereka. Cari di mana mereka semua mengurung sandra. Kemarin, saya sudah mengirim dua orang sebagai mata-mata. Lee Da Eun dan Choi Hyun Woo, mereka sudah mengirimkan peta. Kita tinggal menyusuri saja," sambung Tristan panjang lebar.

"Pukul berapa tepatnya kita akan memulai Kapten?" tanya salah satu anggota Tristan---Ibnu.

"Kita akan mulai bergerak pukul tiga dini hari. Ingat, apa pun yang terjadi. Dahulukan misi, pastikan para sandra berkumpul di camp penyelamatan tepat waktu, jika kalian menemukan pasukan Korea Utara mulai main senjata, hubungi markas pusat. Kalian paham?!" tegas Tristan.

"Siap, paham!" jawab pasukannya serentak.

"Istirahat sekarang, hemat stamina dan siapkan energi. Jangan lupa selalu menyelipkan bayonet kalian," pesan Tristan.

"Baik, Kapten!" Setelah rapat, semua pasukan melaksanakan perintah. Menyiapkan segala hal yang mereka butuhkan, lalu beristirahat sebelum waktu tugas.

Pria bermarga Adiyakhsa itu pun keluar dari ruangan tadi, disusul oleh seorang anggota yang bertindak sebagai wakil ketua. Namanya Choi Chin-Shun.

"Kau memikirkan sesuatu, Kapten?" tanya Chin-Shun sopan.

Tatapan tajam Tristan masih terarah ke depan. "Hanya misi," jawab Tristan singkat.

Chin-Shun mengangguk pelan. Namun, setelahnya langkah pria itu kembali terhenti kala mendengar perkataan Tristan.

"Chin Shun-ssi, aku boleh minta bantuan?"

Chin-Shun mengangkat kedua alisnya, "tentu saja, Kapten. Bantuan apa?" tanyanya dalam bahasa Korea.

Ingat? Separuh darah Tristan adalah Korea asli.

"Tolong apa pun yang terjadi padaku nanti, jangan beritahukan pada keluargaku. Terutama pada ... ya, kau tahu?" tutur Tristan ragu.

Tristan memang pernah menceritakan tentang Dinah pada rekannya. Itu semua berawal dari ketidak sengajaan, sewaktu Chin-Shun mendengar Kaptennya menghubungi gadis itu.

"T-tapi, Kapten. Bukan kah kami harus melaporkan apa pun yang terjadi pada markas besar? Dan mereka tentu akan mengabarkan hal semacam itu pada keluarga kita masing-masing."

"Lagipula, kenapa kau mengatakan hal seperti ini, Kapten? Percayalah, kita akan menyelesaikan misi ini dengan baik. Jangan khawatir, Kapten," ujar Chin-Shun berusaha menenangkan Tristan.

Mendengar hal itu, Tristan hanya tersenyum, 'entahlah, salah satu dari kita, akan pulang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja, Chin-Shun!' bisik Tristan dalam hati.

~•~•~•~

Malam yang ditunggu pun datang, Tristan dan pasukannya sudah berkumpul dan berdoa sesuai kepercayaan mereka. Rencana pun dilancarkan. Kelompok pertama menunggu di garis gardasi, mereka yang akan membawa sandra hingga ke camp penyelamatan.

Melewati garis, tiga kelompok lainnya pun harus melewati satu lahan berupa lapangan yang cukup luas. Tae memimpin di depan, dan beruntung tak ada satupun ranjau di sini. Kelompok kedua menyebar. Memeriksa setiap sudut bangunan yang dipasangi CCTV.

"Clear," lapor kelompok dua setelah selesai memeriksa.

Kelompok tiga dan empat pun mulai memasuki bangunan tersebut, perlahan mulai menyusuri setiap ruangan. Tepat di ruang persediaan makanan, kelompok tiga menemukan empat orang sandra. Dengan segera mereka melepaskan ikatan, dan membawa keluar semua sandra.

Sedangkan di ruangan lain, kelompok empat menemukan tujuh sandra. Dua orang dari mereka membawa keluar hingga ke depan gerbang. Dan kelompok dua akan membawa ke garis gardasi, kelompok satu akan memastikan sebelas sandra itu sampai ke camp mereka.

Masih ada lima sandra lagi, perlahan Tristan dan dua anggotanya yang tersisa mulai menyisiri tempat itu. Setiap ruangan tak ada yang terlewati. Hingga mereka sampai di sebuah gudang persenjataan. Lima orang sandra yang merupakan anak kecil, sedang meringkuk ketakutan di sudut ruangan.

Hati Tristan mencelos, bagaimana bisa mereka menyekap anak-anak yang tak tahu apa-apa seperti ini? Tristan mendekati mereka, di antara mereka bisa membawa masing-masing dua. Dan satu orang juga akan mereka bawa.

Namun, sebelum Tristan berjalan semakin mendekat dengan sandra. Chin-Shun sudah menahannya lebih dulu.

"Kapten, satu anak itu dipasangi bom waktu," bisik Chin-Shun.

Triatan melirik gadis kecil di ujung anak lainnya, kemarahan pria itu semakin memuncak. Sadar ia tak boleh membuat takut, akhirnya Tristan mendekati gadis yang mungkin berusia lima tahun itu.

"Kalian berdua, bawalah ke empat anak kecil ini keluar. Aku akan menjinakkan bom ini dulu," perintah Tristan tegas.

Chin-Shun dan temannya pun mengangguk patuh, mereka membawa keluar keempat anak lainnya. Sedangkan Triatan mulai memutus satu-persatu kabel pemicu alat peledak di tubuhnya.

Di sisi lain, seseorang mengawasi mereka dengan senyum remehnya di ruang kendali.

"Kau tahu Kapten Beruang? Aku paling benci orang yang mencampuri urusan negara orang lain!" ucap pria tersebut santai.

"Kirimkan pasukan ke sekitar gardasi, mereka semua belum dikawa hingga ke camp penampungan. Jadi kita bisa menghabisi mereka dalam satu waktu yang sama." Mendengar perintah tersebut. Sekitar empat puluh orang dari mereka pun mulai menyebar di sekitar gardasi, termasuk pria tadi.

"Kau selalu merepotkanku, Tristan Adiyakhsa!" Urat-urat di area wajahnya bermunculan, menambah kesan seram pada ekspresi orang itu.

Di dalam ruangan gudang itu, Tristan masih berusaha untuk menyelamatkan gadis kecil ini, dengan sabar Tristan membujuk agar hmembuat tangis gadis itu mereda.

"Jangan takut, aku akan melindungimu," ujarnya lembut.

Gadis itu semakin tenang, tepat waktu yang tersisa tinggal tiga detik lagi.

Biiipp ....

Suara panjang itu terhenti, Tristan bernapas lega. Sedangkan gadis kecil itu kembali menangis. Mereka berhasil, tanpa membuang waktu. Tristan membawa anak itu keluar. Menyusuri ruangan, sebenarnya agak janggal. Mengapa tak ada satupun anggotanya yang kembali ke sini setelah mengantar sandra.

Tristan tak ingin ambil pusing, anak itu masih dalam gendongannya. Sepuluh meter dari garis gardasi, Tristan dapat melihat anggotanya berkumpul, tapi ....

"Sial!" umpatan itu meluncur begitu saja dari bibir Tristan.

Ternyata pasukannya sudah lebih dulu dikepung bersama para pemberontak itu, di bawah todongan senjata.

Pemimpin mereka menyadari kehadiran Tristan yang sudah datang bersama gadis kecil itu.

"Ah, itu dia. Kapten Beruang kita yang hebat, istirahatlah lebih dulu, Kapten!" sambutnya dengan seringaian mengejek.

Tristan manatapnya tajam, musuh masa lalunya. Orang yang ia buat hancur karir militernya, cih, ternyata ini hanya tentang dendam lama. Tristan sedikit lengah, Kang Il Woo memang sangat licik.

"Lepaskan mereka semua, dan kau bisa membawaku sebagai gantinya," tawar Tristan.

Seluruh pasukannya menoleh ke arahnya bersamaan. Apa-apaan ini? Mengapa Tristan memberi penawaran seperti itu? Apa pria itu lupa? Seorang pasukan khusus yang disandra, akan diperlakukan secara tidak manusiawi. Diberikan siksaan berat. Semua pasukan khusus pasti menjauhi hal semacam itu, tapi Tristan malah menawarkan diri.

"Tidak, Kapten! Jangan lakukan hal konyol!" berang Ibnu.

Il Woo tertawa senang. "Wah, itu penawaran yang sangat menggiurkan. Bukan ide buruk, tapi tentu konsepnya tak sesederhana itu."

"Jatuhkan semua senjata kalian!" raung Il Woo.

Semua senjata dijatuhkan, Tristan menurunkan gadis kecil yang memeluk erat lehernya itu. Tangannya bergerak mengelus rambut lembut gadis itu, Tristan tersenyum teduh. Bukankah Dinah juga selalu ia perlakukan seperti ini? Sedang apa gadis itu sekarang?

"Tunggu di sana, ya? Om mau menangani ini sebentar," pinta Tristan lembut. Gadis itu berlari ke arah Ibnu, yang langsung mendekapnya erat.

Tristan bangkit, tangannya terkepal. Sangat cepat, tinjunya dan Il Woo pun beradu. Satu tendangan Il Woo layangkan, dan Tristan berhasil mengelak. Tangan kanan Tristan memberikan tinjuan keras pada rusuk Il Woo. Pria itu mengerang kesakitan. Namun, sesaat kemudian. Satu tangan Il Woo menarik kaki Tristan, hingga pria itu kehilangan keseimbangan dan tersungkur.

Il woo nyaris menendang wajah Tristan, tapi tangan Tristan bergerak lebih cepat. Tangan itu menahan kaki monster sialan itu, mendorongnya hingga terjengkang ke belakang. Tristan bangkit dengan cepat, lalu meninju kuat wajah Il Woo dengan beringas. Hingga wajah tersebut penuh dengan cucuran darah. Tangan Tristan terhenti, ketika mendengar tangisan anak-anak. Ia tak ingin terlihat menyeramkan di depan mereka.

Il Woo melemparkan bayonetnya, beruntung pendengaran Tristan sangat tajam. Tangan kekarnya juga mengambil bayonet yang tersampir di pinggangnya, lalu melemparkan ke arah Il Woo, kedua bayonet tersebut beradu di keheningan malam. Hingga menimbulkan dentingan keras.

"Aku sudah berjanji, akan pulang dengan selamat. Aku tak akan mati konyol di tanganmu, bajingan!" Tristan berjalan cepat ke arah Il Woo, memberikan tendangan terakhir. Dan mengambil bayonetnya.

Setelah itu, bala bantuan pun datang. Meringkus para pemberontak tersebut, dan membawa para sandra. Gadis kecil tadi menghampiri Tristan, mengelus wajahnya dengan tangan kecilnya. Tristan tersenyum hangat, senyum yang tak pernah ia tunjukkan pada pasukannya. Senyum kotaknya yang mempesona.

Malam yang melelahkan itu berakhir. Helaan napas lega terdengar dari semua anggota, tak terkecuali Tristan sendiri.

"Misi kita selesai, ah, syukurlah."

"Aku ingin segera pulang."

"Kita akan bertemu lagi nanti!"

"Aku rindu rumah."

Sorak sorai para anggotanya, membuat Tristan tersenyum. Ia juga akan pulang.

"Apa kamu merindukan saya, Din?" tanya Tristan pada pekatnya malam.

Demi apa pun, Tristan rindu gadis itu. Kilauan bintang di angkasa seolah membawa serta rindunya, rindu yang terpupuk subur untuk Dinah.

To be continue

To be continue.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status