Share

5. Special Force

Jafran sudah mulai bertugas seperti biasa, jadi sudah tentu kesibukannya kembali lagi. Sekarang jika harus ke sekolah, Dinah tak bisa meminta abangnya itu untuk mengantar. Ia merasa kasihan kepada Jafran, pria itu perlu memutar arah jika mengantar adiknya terlebih dahulu.

Terhitung, sudah hampir seminggu sejak Tristan mengungkapkan perasaannya pada Dinah, dan semenjak itu pula Dinah berhenti membalas pesan atau mengangkat telepon dari Arga serta Yuna. Terlebih Nancy dan Arsyana juga telah mengetahuinya. Pasti akan melarang keras Dinah untuk tak berhubungan dulu dengan dua orang itu. Lebih baik jika sekarang Dinah fokus pada dirinya dan Tristan saja.

Gadis kembaran Arga itu merasa amat malu pada Dinah. Yuna bahkan tak punya cukup keberanian untuk kembali bergabung dengan mereka bertiga. Padahal Dinah sudah tak membahasnya lagi.

Namun, kalian tahu seperti apa perempuan, 'kan? Mereka memaafkan segala kesalahanmu, tapi percayalah. Dia tak akan melupakan apa yang pernah kau lakukan kepadanya seumur hidup. Itu menjadi hal mutlak bagi mereka.

Dinah juga tak memberi tahu masalahnya pada sang kakak. Tentang dirinya yang tak lagi pacaran dengan Arga, atau tentang Tristan menyatakan perasaan dan Dinah masih berpikir untuk menerimanya. Sebenarnya lebih takut karena diejek, sih. Dinah kan pernah dengan percaya diri mengatakan bahwa dia tak akan pernah tergoda pada sosok junior kakaknya dalam militer itu. Ini, belum sebulan setelah ia mengatakan hal tersebut. Malah sudah mendengar pernyataan cinta yang membuat hati berbunga-bunga, memalukan! Meskipun secara tak langsung Dinah menolak. Namun sepertinya, pria itu tak langsung menyerah untuk dekat dengannya.

Saat ini Dinah dan kedua sahabatnya tengah berada di kantin. Nancy yang awalnya tertawa, langsung terdiam ketika melihat seseorang menghampiri meja mereka bertiga. Kebetulan gadis blasteran itu duduk di depan Dinah, lalu Arsyana di samping mereka berdua.

Dinah yang merasa kejanggalan Nancy, akhirnya ikut menoleh ke belakang. Di mana sosok Arga kini berdiri, sambil tersenyum canggung ke arahnya. Dinah hanya menatap malas pria itu.

"Lo ngapain, sih, Ga di sini?" tegur Arsyana sebelum kembarannya itu mulai bicara.

"Gue mau ngomong sama Dinah," jawab Arga pelan, tatapannya tertuju pada gadis yang berseberangan dengan Nancy. Diam dan menyantap makanannya tenang.

"Mending pergi, deh. Gue empet liat muka lu soalnya!" ketus Nancy kesal.

Dinah malah melirik ke arah Arsyana. Walau seburuk apa pun perangai Arga, dan sebenci-bencinya ia pada cowok itu. Tetap saja masih ada Arsyana di sini.  Hal yang akan sangat menyakitkan kalau Dinah berlaku kasar pada Arga, di depan saudara kembarnya.

"Nan," tegur Dinah lembut. Nancy terdiam.

"Ada apa?" tanya Dinah yang kini berdiri menghadap Arga. Bisikan dari meja lain, kini tertuju ke arah meja mereka. Tentu kabar tentang perselingkuhan Arga dan Yuna sudah tersebar.

Kabarnya tersebar lewat daring situs website SMA Mahardika. Mendadak Dinah, Arga, serta Yuna menjadi bahan perbincangan hangat, seolah mereka adalah selebriti sekolah.

Kalau biasanya kabar tentang Yuna karena ia mampu membawa pulang piala kemenangan lomba olimpiade, kini gadis itu berada di topik yang berbeda. Topik yang justru membuat dirinya ditatap sengit nan sinis seantero sekolah.

"Kita bicarain semuanya di rooftop nanti. Aku, kamu, dan ... Yuna," ajak Arga membujuk. Tangannya baru saja akan meraih telapak tangan Dinah. Namun, segera ditepis gadis itu.

Dinah berpikir sesaat. Sebenarnya memang permasalahan itu tak pernah ingin Dinah bahas lagi. Tapi menyelesaikannya sampai akar, itu juga bukan ide buruk. Setidaknya, ia tahu apa yang sebenarnya terjadi dari awal, 'kan?

"Ok, kalau gitu nanti kita bicarain semuanya. Gue balik dulu, yuk girls!" Dinah beranjak dari kantin. Meninggalkan Arga yang menatap punggung kecil itu semakin jauh.

Jujur saja, Arga tak pernah mengira, Dinah yang dulu selalu berbicara dengan nada manja dan lembut padanya. Kini berubah dingin dan datar. Bahkan terkadang ia sedikit takut jika berbicara dengan Dinah. Takut ditolak, takut diabaikan. Sama seperti puluhan chat dan telepon yang tak pernah lagi gadis itu balas. Rasanya begitu menyesakkan.

"Din, ngapain sih lu nurutin kemauannya si Arga?" cecar Arsyana pada Dinah.

"Tahu, Din. Biarin aja, deh. Enggak usah ditanggapin lagi," timpal Nancy turut emosi.

"Gue mau belajar nyelesain masalah, bukan lari dari masalah. Kita enggak akan selamanya jadi anak SMA, kan? Suatu saat kita akan punya hubungan yang lebih serius dari sekadar pacaran. Bukannya meminta, tapi enggak ada yang tahu kalau masalah kayak gini terjadi lagi di masa depan. Lagipula, Arga sama Yuna ada maksud baik mau jelasin semuanya. Ngasih mereka kesempatan, itu bukan hal buruk, kok." Dinah mengakhiri kalimat panjangnya. Sedangkan kedua sahabatnya hanya menyimak. Siapa sangka Dinah bisa berpikir sedewasa itu?

Dari arah berlawanan, Iqbal dengan wajah konyolnya justru datang bersama Jifran, Jeno, serta Lucas. Tepat saat mereka berada di jarak yang hanya sejauh rentangan tangan, iqbal mendekat dengan wajah sok gantengnya.

"Haduuuhh ... emang, ya. Kalau udah jodoh tuh, pasti tanpa terniatkan pun bisa langsung ketemu. Nih, contohnya aja ini," kata Iqbal percaya diri.

Nancy bergidik ngeri mendengarnya. "Ididih! Najis, Bal! Tuhan enggak akan sejahat itu kali, buat ngejodohin Dinah sama lo!" sambarnya yakin.

"Nyamber mulu kayak geledek mulutnya Mak Lampir!" olok Iqbal santai.

Nancy melotot tak terima. "Apa lo bilang?! Nyari masalah lo sama gue?"

Iqbal tak menjawab, tapi mulutnya sibuk meniru ucapan Dinah dengan gaya aneh.

"Neng Nancy, daripada berantem sama manusia sesat macam si Iqbal. Mending ngesiapin mental buat nanti," ujar Lucas mengambil perhatian Nancy.

"Hah? Emang ada apaan, sampai si Nancy harus nyiapin mental, Cas?" sambung Arsyana heran.

"Kan nanti Nancy bakalan jadi Ibu buat anak-anak gue, Sya. Jadi dia harus nyiapin mental dari sekarang. Supaya bisa mendidik keturunan gue dengan baik! Yahaaaa, piwiwttt ...."

Nancy shock sendiri mendengar jawaban Lucas. "Euw, euw! Lucas! Ikh, najisun ya. Enggak sudi gue, mimpi deh lo tinggi-tinggi! Udah Dinah, Syana! Mending kita pergi aja dari sini." Keduanya lantas diseret sekuat tenaga oleh Nancy, menjauhi keempat cowok itu.

Iqbal dan Lucas tertawa puas melihatnya. Sedangkan Jifran dan Jeno, hanya memutar malas matanya. Jeno tak habis pikir, bisa-bisanya ia berteman dengan dua manusia yang minus akhlak seperti ini. Beruntung ada Jifran yang terbilang normal.

* * *

Setelah bel pulang sekolah, Dinah bergegas ke tempat yang sudah disepakati oleh dirinya dan Arga tadi. Nancy, juga Arsyana memaksa untuk ikut, mereka beralibi tak ingin membiarkan Dinah menghadapi semua masalahnya sendiri. 

Minimal kalau Dinah sampai menangis nanti. Mereka bisa menjadi sandaran untuk gadis mungil ini. Diam-diam Dinah sebenarnya sangat bersyukur memiliki sahabat seperti Nancy dan Arsyana, minus Yuna untuk sekarang. 

Mereka sampai di rooftop, di sana sudah ada Arga yang duduk di bersandar di tembok. Lalu disusul oleh Yuna yang berjalan seorang diri di belakang mereka bertiga. Entah mengapa kedua remaja itu malah datang di waktu berbeda. 

Menyadari orang yang ditunggu sudah datang, Arga bangkit dan menghampiri para gadis itu. 

"Gue enggak bisa lama di sini! Jadi apa pun yang mau lo dan Yuna omongin, mendingan diomongin sekarang!" cetus Dinah tanpa basa-basi. 

Sesaat Yuna melirik tipis ke arah Arga, yang juga menatapnya. "Sebelumnya, gue sama Arga minta maaf sekali lagi," ucap Yuna lirih. 

"Gue ke sini bukan buat ngedengerin permintaan maaf lo, yang entah ke berapa kalinya. Kalian jelasin aja apa yang mau kalian jelasin!" tegas Dinah sekali lagi. 

Arga mengembuskan napas pelan, lalu mengangguk bersamaan dengan Yuna. Ia memutuskan akan berbicara lebih dulu. 

"Aku tahu, kamu mungkin enggak akan pernah bisa lupain masalah ini. Aku dan Yuna emang salah, salah banget. Menjalin hubungan terlarang di belakang kamu. Bahkan hal itu berhasil bikin aku lupa, kalau aku punya kamu," kata Arga menjeda kalimatnya sesaat. Dapat ia lihat Dinah hanya tersenyum miris menanggapi pernyataannya barusan. 

"Semuanya terjadi tanpa aku sadari, atau lebih tepatnya, setelah aku sadari malah enggak mau berhenti. Entah sejak kapan, aku lupa pastinya. Tiba-tiba perasaan dan pikiranku terbagi dua. Di sini enggak sepenuhnya salah Yuna, dan jelas kamu korbannya. Aku ... aku baru sadar, perasaanku ke Yuna, semuanya sementara. Perasaan itu bukan cinta, melainkan sekedar obsesi gila karena aku enggak cukup sama satu pasangan," lanjut Arga susah payah. Suaranya seakan tercekat di tenggorokan. Terutama karena Dinah yang tak mau menatapnya, dan malah melihat ke arah lain. 

Sedangkah Dinah, gadis itu mengusap kasar air matanya. Oh, ayolah! Apakah mata ini tak bisa diajak bekerja sama untuk sebentar saja?!

"Gue dan Arga memang seegois itu, Dinah. Tanpa pikir panjang, gue yang waktu itu memang udah suka Arga dari kita SMP langsung nerima aja." Dinah sedikit terkejut mendengar hal ini. Tetapi kemudian, ia berhasil menormalkan ekspresinya kembali. 

"Lo ... suka Arga dari SMP?" tanya Arsyana terkejut, yang diangguki oleh Yuna. 

"Gue suka Arga semenjak kita masih SMP. Tepat waktu dia mau nyatain perasaannya ke Dinah, gue kira Arga mau nyatain perasaannya ke gue. Ternyata bukan. Jujur aja,  gue patah hati. Tapi enggak mungkin, kan, gue bilang ke Dinah. Setelah itu, waktu Arga dan Dinah udah setahun. Dia ngajakin gue pacaran, dan bodohnya malah gue iyain aja. Tanpa mikirin Dinah, saat itu yang gue rasain cuma bahagia. Bahagia karena akhirnya Arga ngebalas perasaan gue!" cerita Yuna. Gadis itu menangis, dan Arga membisikkan kata maaf pada Yuna. Tanpa berusaha menjaga perasaan sang mantan di samping mereka. 

Dinah hanya melirik adegan itu. Memang benar jika dia sudah tak ingin berharap apa pun pada Arga, tapi tetap saja rasa sakitnya masih sama. Bukan hal mudah melupakan cinta pertamamu. Bukankah ada banyak orang yang mengatakan ini. 

'Cinta pertama adalah kenangan paling sulit untuk dilupakan.' Dan itu sesuai untuk kondisi yang Dinah hadapi saat ini.

Dinah tak kuat jika berada lama di sini. Jika kemari hanya untuk melihat adegan romantis mereka berdua, lebih baik Dinah pergi. 

"Gue udah lupain semuanya. Kalian lanjutin aja hubungan kalian, maaf. Gue pergi dulu!" Setelah mengatakan itu, Dinah pergi tanpa mempedulikan panggilan Nancy dan Arsyana di belakangnya. Kakinya menjajaki tiap lorong, berlari dengan airmata yang perlahan menuruni pipi mulusnya.

Di ujung lorong lobby, ia justru tanpa sengaja menabrak Iqbal. Bahkan sampai membuat cowok itu mundur ke belakang. Beruntung Dinah tak sampai jatuh, karena Iqbal secara reflek mencengkeram kedua sisi lengannya.

Iqbal yang semula ingin menggoda Dinah, justru tergugu melihat airmata gadis itu. "Lo-loh ... Dinah, lo kenapa? Kok nangis?" tanya Iqbal panik.

Dinah menggeleng, "bisa gue numpang ikut motor lo? Gue mau pulang," rengek Dinah.

Tanpa pikir panjang, Iqbal langsung menarik tangan Dinah. Lalu membawanya ke parkiran, dan mengantar gadis itu pulang.

Sepanjang jalan menuju rumah, Dinah terus mengusap airmatanya yang mengalir. Entah mengapa, hatinya masih merasakan sakit yang sama melihat Yuna dan Arga tadi.

Merasakan hening di belakangnya, Iqbal memutuskan untuk berhenti sebentar. Membuat Dinah mengernyitkan kening tak mengerti.

"Kok lo berhenti?" protes Dinah sambil memukul pelan bahu Iqbal.

Iqbal turun, disusul Dinah. "Lo enggak mau cerita gitu? Kenapa lo nangis kayak gini?"

Dinah terdiam. Ia tak ingin mengingat masalah tadi. Melihat raut wajah keberatan Dinah, Iqbal mengembuskan napas beratnya. "Ya udah, kalau emang lo enggak mau, gue---"

"Tapi janji, jangan ngetawain gue!" potong Dinah sebelum Iqbal menyelesaikan kalimatnya.

Gadis itu mulai bercerita. Sedangkan cowok di sampingnya nampak serius dalam mendengarkan. Terkadang Iqbal mengangguk, seolah merasa paham pada masalah yang tengah dihadapi Dinah saat ini.

"Lo nyesel enggak, pernah suka sama Arga?" lontar Iqbal tiba-tiba, dan dibalas gelengan oleh Dinah.

"Gue enggak pernah nyesel, kok. Cuma ya sakit aja pas tahu kebenarannya," aku Dinah jujur.

Iqbal tersenyum tipis. "Gue enggak tahu, ini bakalan ngebantu lo atau enggak, tapi prinsip gue. 'Lebih baik kita dicintai dan pernah kehilangan, daripada enggak pernah dicintai sama sekali. Atau lebih parahnya, kita bahkan enggak pernah mencintai'. Intinya, Din. Yang lo alami sekarang, itu bagus. Salah satu dari perjalanan hidup. Lo tahu, kan? Enggak semua kenangan tuh manis, terkadang kita perlu yang pahit juga," jeda Iqbal sesaat.

"Biar apa? Biar suatu saat, ketika lo punya masalah yang sama. Lo bisa lebih kuat, lebih biasa aja, dan yang pasti lo kebal. Sampai masalah malah bosan sendiri datangin lo!" tutur Iqbal panjang lebar.

Dinah menatap takjub Iqbal. Cowok itu berubah menjadi sangat dewasa, memberikana saran yang bahkan tak ia dengar dari mulut siapa pun.

Iqbal menoleh, memperbaiki posisi hingga mendapat tempat ternyaman berhadapan dengan Dinah.

"Lo mungkin bakalan nganggap gue sebagai cowok goblok dan bego karena ngungkapin ini. Konyol, gue yang awalnya cuma niat iseng sama lo, sekarang malah jadi suka benaran sama lo tanpa sadar. Gue enggak suka liat lo nangis, Din. Tolong, atas alasan apa pun. Jangan pernah nangis sendiri, mulai sekarang lo punya gue. Percaya atau enggak, gue benci ngeliat airmata lo jatuh! Karena gue ... gu-gue ... gue sayang lo, Dinah!" ungkapnya. Dinah menelisik kebohongan di manik Iqbal, ini jauh dari sosok yang ia kenal. Bahkan tak ada candaan di pancaran matanya.

Untuk kedua kalinya, Iqbal kembali menyatakan perasaannya pada Dinah, dan Dinah bahkan masih belum bisa membalas perasaan tulus cowok itu. Beberapa teman sekelasnya tak akan percaya jika Dinah menceritakan hal ini pada mereka. Tentang betapa dewasanya Iqbal di saat dia hanya berdua dengan Dinah.

* * * *

Dinah sudah di rumah sejak tadi. Sedari pulang sekolah, hingga malam ini pun gadis itu masih mengurung dirinya di dalam kamar. Melewatkan jam makan malam, dan lupa untuk kembali belajar. Ngomong-ngomong, ulangan mereka tinggal satu hari lagi. Lebih tepatnya lusa. 

Tak ada kegiatan apa pun yang dilakukan sebenarnya. Hanya membaca rentetan chat lama dengan Arga, sesekali Dinah juga tertawa. Sereceh itu humornya. Ketika tengah asik membaca chat-chat itu, satu notifikasi masuk ke dalam aplikasinya. Sesaat gadis itu mengernyitkan kening, sedikit heran karena justru Tristan lah yang mengiriminya pesan.

Om Tristan (online).

|Turun.

Turun ke mana?|

|Ke ruang tamu.

Ruang tamu Om Tristan?|

Kan aku lagi di rumahku sendiri.|

Bukan di rumah Om Tristan.|

(Aneh banget, sih!) batin Dinah merengut kesal.

|Ruang tamu rumahmu, Dinah!

(Saya heran, kenapa gadis ini sulit sekali diajak bicara serius?) Tristan mendengkus sebal.

Oh, bilang dong! Kan akunya enggak bingung kalau jelas.|

✔️

Dinah tertawa menyadari keterlambatannya dalam merespon. Setelahnya tak ada balasan apa pun. Hanya dibaca oleh Tristan. Dinah tak tahu saja, pria bermarga Adiyakhsa itu sudah berkali-kali mengembuskan napas frustrasinya sejak tadi. Mana mungkin Tristan menyuruh Dinah ke rumahnya malam-malam begini? Sayangnya, Dinah malah tak berpikir sampai ke sana. 

Dinah menyisir rambutnya sedikit, lalu turun dengan piama ungu pastel bergambar bunga anggrek berukuran kecil. Terlihat imut melekat pada tubuh mungilnya. Tepat saat kakinya menapaki anak tangga terakhir, sosok pria berkulit coklat itu tengah berbincang dengan orang tuanya. 

"Hum? Om benaran di sini?" Dinah sedikit terkejut melihat Tristan duduk di ruang tamunya. 

"Makanya jangan ngurung diri di kamar, Dek. Tristan di sini udah dari tadi," ujar bunda. Gadis itu menyengir tanpa dosa. Beruntung manik coklatnya yang sembab, tak begitu terlihat. 

Tristan meminta izin pada bunda dan ayahnya Dinah. Setelah itu mereka berdua berjalan-jalan mengelilingi taman komplek. Ini belum terlalu malam untuk membawa seorang gadi pergi bersama. Lucu sebenarnya, karena Dinah benar-benar malas berganti baju. Jadilah ia pergi dengan piamanya itu. Toh, piama itu juga tidak buruk. Sangat sopan. Sebenarnya ia menumpahkan kesalahan pada Tristan, karena pria itu sama sekali tak mengatakan bahwa mereka akan keluar, dan berjalan-jalan. Meskipun hanya sekadar mengelilingi komplek perumahan.

Sesekali Dinah menggosok kedua tangannya pada tiap lengan masing-masing. Itu kode, seandainya Tristan adalah pria peka. Sayangnya dia sama sekali tak paham. Semenjak mereka sampai dan turun di sebuah taman, cuacanya memang agak dingin. Dinah sedikit berharap, semoga saja pria di sampingnya itu menyampirkan jaketnya pada bahu ringkihnya ini. Dan ... zonk! Niat beromantis ria ala Korea, sama sekali tak bersambut dengan Tristan. 

'Ck, pernah nonton drama Korea nggak, sih, Om?!' decak Dinah kesal dalam hati. 

Tristan yang memerhatikan wajah Dinah sejak tadi, hanya tersenyum tipis, dia tahu apa yang sebenarnya Dinah mau. Hanya saja, kesempatan untuk menggoda gadis itu terlalu seru untuk dilewatkan. Apalagi kalau kedua pipinya sudah menggembung lucu, ia benar-benar tak tahan melihatnya. 

"Om cuma mau berdiri di sini aja, nih?" tanya Dinah. Dari nada bicaranya, sih, sudah mulai kesal. Terlebih Tristan sama sekali tak menggubris omongannya. 

"Kalau iya, mending aku pulang deh. DINGIN tahu, Om!" lanjut Dinah menekankan kata 'dingin' -nya. 

Tepat saat Dinah akan pergi meninggalkan Tristan, pria itu segera menarik gadis itu hingga kembali menghadap ke arahnya. Dinah tersentak, tapi tak bisa berbuat banyak. Pasalnya, kini tubuh mungil itu sudah berada dalam rengkuhan hangat Tristan. 

Yups, Tristan memeluk Dinah dalam dekapannya. Rasa hangat itu menjalar dan berkumpul pada pipi Dinah, bahkan telinganya pun ikut memerah. 

Manik matanya membola sempurna, terkejut dengan hal yang tiba-tiba dilakukan Tristan. "O-om ...," cicit Dinah yang kini malah menenggelamkan kepalanya pada dada bidang Tristan.

Tristan kelabakan. Degupan jantungnya memburu. Tak pernah ia bayangkan bahwa Dinah akan melakukan hal seperti ini. Sekuat tenaga Tristan berusaha untuk bersikao normal. Sembari berharap Dinah tak mendengar degupan jantungnya. 

Pria itu terkekeh mendapati si gadis yang tersipu malu. Ah, itu ekspresi kesukaan Tristan mulai sekarang. 

"Maaf karena saya tidak seromantis Lee Min Ho," bisiknya di telinga Dinah dengan lembut. 

Dinah menggeleng pelan, apa-apaan ini? Tidak bisa seromantis Lee Min Ho, tapi malah bikin jantung disko. Dasar menyebalkan, ya?! 

"Le-lepas ... Om ...," lirih Dinah pelan. Degupan jantungnya terasa tak normal jika berada di jarak sedekat ini dengan Tristan. Dinah jelas tidak ingin pria itu mendengar detak jantungnya yang bertalu. Meskipun ia sempat tersenyum kecil, karena mengetahui Tristan sama sepertinya saat ini. 

Tristan menunduk, menatap tepat di kedua manik coklat Dinah. "Tadi kamu bilang dingin, saya pikir kalau seperti ini bisa membuat hangat."

'Ya ... tapi enggak gini konsepnya. Om mau bikin aku kena serangan jantung, ya?' teriak Dinah dalam hati. Namun pada akhirnya, Dinah memutuskan tetap diam. Menikmati waktunya bersama Tristan.

* * *

Dinah dan Tristan kembali ke rumah. Setelah memastikan Dinah naik ke kamarnya, Tristan pun undur diri untuk pulang. Sedikit kecewa karena Dinah sama sekali tak mengucapkan apa pun sebagai perpisahan malam ini. 

Tidak, Dinah tidak akan langsung tidur. Walaupun ia berjanji untuk tidak tidur larut pada Tristan tadi, itu hanya sebuah alasan kecil. Apa yang ia dengar sewaktu di taman. Membuatnya tak bisa berkata-kata.

Flashback.

Wajah serius Tristan membuat Dinah sedikit bergidik. Pria itu menatapnya dengan tatapan dalam saat ini. Dinah rasanya ingin tenggelam saja sekarang. 

"Om kenapa, sih? Lihatinnya biasa aja, dong!" sentak Dinah yang mulai risih ditatap begitu. 

Tristan melembutkan tatapannya, lalu tangan besar miliknya mengelus surai lembut milik gadis di depannya ini. 

"Din, boleh saya bertanya?" lontar Tristan yang kini mengurai pelukannya pada Dinah. 

"Apa? Asal jangan tanya soal Matematika, ya, Om!" jawab Dinah santai. 

Tristan mendengkus pelan mendengar jawaban Dinah. "Enggak, kok. Ini pertanyaan mudah."

"Ya udah, apa?"

"Bagaimana menurut kamu, kalau saya ditugaskan ke daerah konflik?"

"Daerah konflik? Di mana? Daerah konflik kan banyak, Om."

"Misalnya ke Demilitarized zone, Korea Selatan?"

Dinah diam sejenak. Bukankah daerah itu bebas dari aktivitas militer apa pun? Kenapa tiba-tiba malah menjadi daerah gencatan senjata. Dan ... bukannya yang dikirim ke tempat seperti itu, harus seorang anggota pasukan perdamaian PBB? Apakah Tristan seorang ....

"Om anggota pasukan perdamaian?" cecar Dinah kemudian. 

Tristan tak menjawab, pria itu malah mengalihkan tatapannya pada objek lain. 

"Om---"

"Iya, saya pasukan perdamaian." 

Pernyataan Tristan cukup membuat Dinah menegang seketika. Tidak! Tolong tampar Dinah untuk bangun. Kenapa harus pasukan seperti itu? 

Untuk orang lain, mungkin ini akan terdengar keren. Menjadi salah satu, dari sekian banyak prajurit lainnya. Membawa nama negara, membanggakan dan mengejar prestasi. Namun Dinah berbeda. Ia benci hal itu. Dua kali Dinah hampir kehilangan kakaknya dalam hal seperti ini. Sekarang malah mendapati kenyataan, bahwa Tristan ternyata juga akan melakukan tugas yang sama. 

"Maaf karena baru mengatakannya sekarang. Ayah dan Bundamu juga sudah tahu, saya---"

"Pulang, aku mau pulang, Om!" potong Dinah cepat. 

Air matanya sudah mengalir lebih dulu. Sial! Kenapa Dinah harus terlahir cengeng? Dinah mengalihkan wajahnya ke arah lain, ia tak ingin Tristan tahu ia menangis. 

Tristan mengangguk mengiyakan, dan selanjutnya selama perjalanan, mereka tak membicarakan apa pun. Sibuk dengan pikirannya masing-masing.

Flashback end

Dinah duduk dan menangis sendiri di kamar. Sepertinya hari ini, Dinah hampir memeras habis airmatanya. Namun, Dinah punya alasan. Ia tak ingin jauh dari Tristan. Terasa konyol memang, padahal mereka berdua tak memiliki hubungan istimewa apa pun. Bahkan Dinah menolak Tristan saat pria itu menyatakan perasaannya di rumah sakit. Namun percayalah, gadis itu mulai mencintai Tristan. Bagaimana tidak jatuh cinta? Jika hampir setiap saat Tristan punya cara sendiri untuk mengambil alih perasaannya. Kali ini Dinah ingin mempertahankan sesuatunya yang berharga, ia ingin memiliki hubungan yang bertahan lama. Bila perlu, hingga mereka berdua sama-sama menua. 

Dinah pun mulai membaca beberapa berita tentang kawasan itu. Ternyata ini menyangkut Korea Utara yang membuat keadaan bersitegang. Mereka meluncurkan tiga rudal, serta menyandra beberapa warga negara yang melakukan perjalanan liburan di sana. 

Demiliterisasi ZoneDMZ atau DZ [1] adalah area di mana perjanjian atau kesepakatan antara negara-negara, kekuatan militer atau kelompok bersaing melarang instalasi militer, kegiatan atau personil. DMZ sering kali terletak di sepanjang perbatasan yang mapan atau batas antara dua atau lebih kekuatan atau aliansi militer. DMZ terkadang dapat membentuk perbatasan internasional de facto , seperti garis paralel ke - 38 antara Korea Utara dan Selatan . Contoh lain dari zona demiliterisasi adalah area selebar 190 kilometer (120 mil) antara Irak dan Kuwait , Antartika (diawetkan untuk eksplorasi dan studi ilmiah) dan luar angkasa. (jarak lebih dari 100 km atau 62 mil dari permukaan bumi). 

Meski bukan anggota pasukan khusus, ini kan dijelaskan di pelajaran sekolah juga. Belum lagi ayah dan kakaknya adalah mantan pasukan perdamaian, sudah tentu gadis mungil ini paham sedikit tidaknya

Dinah menenggelamkan wajahnya pada bantal, memejam kuat kelopak matanya. Berusaha mengusir segala bentuk kekhawatiran yang ia rasakan saat ini. Apa pun keputusannya nanti, ia harap Tristan terus baik-baik saja.

~•~•~•~

Hari ini adalah hari terakhir ulangan dilakukan. Tanpa terasa memang, seminggu dilalui bak dalam penjara, dan ketegangan terakhir untuk semester baru saja dilewati oleh seluruh siswa siswi. Waktu pulang juga sudah tiba. Jadilah Dinah, Nancy, dan Arsyana berjalan beriringan keluar. Oh, ya. Arsyana dan Jifran ternyata sudah pacaran sekarang. Entah kapan mereka berdua menjadi sangat dekat, yang pasti Dinah serta Nancy ikut bahagia. 

Tepat saat mereka tiba di lobby, sosok pria betubuh tinggi dalam balutan seragam loreng hijau khas TNI menunggu Dinah di sana. 

Nancy dan Arsyana menatap heran ke arah pria itu. Ada apa sampai seorang TNI ke sini? Namun, beberapa detik selanjutnya, hal yang lebih mengejutkan terjadi. Pria itu menghampiri mereka berempat. Lebih tepatnya, sih, menghampiri Dinah. Sedangkan yang dihampiri hanya menunduk memainkan ujung sepatunya.

Nancy menyenggol pelan lengan gadis itu. "Dinah, lo kenal dia?" bisik Nancy.

Dinah bungkam, memilih diam dan tak menjawab. Hanya menatap lurus ke arah pria itu. 

Begitu sampai di depannya, pria itu berdiri tegak sambil memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Pulang bersama saya, ya?" ajak pria itu pada Dinah. Membuat kedua sahabatnya melongo heran. 

Gadis itu masih saja diam, bahkan menatapnya pun tidak. Tidak sabar menunggu, pria itu pun membawa Dinah ke dalam pelukannya. Sontak saja semua yang ada di lobby menjerit tak karuan. Nancy dan Arsyana melotot tak percaya, Jifran pun hanya mengangkat kedua alisnya. Masalahnya di sini, pria itu bukan Jafran---kakak dari Dinah, dan Jifran beberapa kali pernah bersua dengan kakak laki-laki Dinah itu. 

"O-om," panggil Dinah yang sudah kepalang malu. Ingin sekali ia menghilang sekarang juga, seandainya ia bisa. 

"Hum? Kamu kan tidak menjawab, saya kira kamu ingin seperti adegan drama Korea," goda Tristan sambil terkekeh. 

Dinah tak menjawab, malah mencubit pelan lengan prianya itu. Mendapati jari lentik Dinah bersarang di lengan kekarnya, Tristan pura-pura mengaduh kesakitan, tapi Dinah kan sudah kebal dengan tingkah pria itu. Perlahan gadis itu mengangkat wajahnya yang sudah semerah tomat. Menatap kilatan mata tajam Tristan, dengan tatapannya yang begitu teduh. Hingga membuat Tristan terbuai. 

Tristan menyambutnya dengan senyum kotak, untuk pertama kalinya Dinah melihat senyuman lebar pria itu. Begitu menawan dibandingkan ekspresi dingin yang biasanya diperlihatkan Tristan. "Pulang dengan saya, ya?" ajaknya sekali lagi. 

Dinah mengangguk, lalu melirik ke arah Nancy, Arsyana, dan Jifran yang masih memerhatikan mereka. Bahkan tatapan para siswa di ruang lobby, seolah terkunci pada dua manusia itu.

"Sumpah demi apa? Sweet banget!" seru salah satu di antara siswi.

"Mak ...! Anakmu baper. Cariin satu yang modelannya kayak gini!" timpal yang lain.

Tristan memilih menulikan telinganya, dan lebih fokus pada gadis depannya.

Namun, tanpa mereka sadari. Sejak tadi ada yang memerhatikan mereka berdua. Arga yang menatap dengan ekspresi tak suka dari balik tembok ruangan OSIS. Sedangkan di sisi lain, Iqbal yang hanya bisa tersenyum sedih melihat betapa bahagianya Dinah berada di samping pria itu.

"Lucu ya, Din. Gue ngerasain sakit hati, padahal lo bukan milik gue. Lo bahkan cuma nganggep gue enggak lebih dari teman. Perasaan sialan emang," rutuk Iqbal pada dirinya sendiri. Sayangnya, Dinah sama sekali tak mendengarnya.

Iqbal merasakan bahunya memberat. Cowok itu menoleh, dan menemukan Jeno yang menggantung lengannya di bahu Iqbal.

"Udeh, lo kenapa malah kejebak perasaan sendiri kayak gini? Nge- sadboy banget dah," kata Jeno enteng. Padahal sebenarnya kasihan juga pada sahabatnya itu. 

"Kamu boleh kok ajak mereka," jawab Tristan, menyadari keinginan gadisnya itu.

-*-

Ia mengajak para siswa SMA itu mengelilingi mall. Berbelanja, sebenarnya Dinah tidak. Dia hanya menemani kedua sahabatnya. Karena merasa lapar, akhirnya mereka pun memutuskan untuk makan bersama. Sesekali dari meja mereka terdengar tawa karena tingkah Jifran dan Arsyana, atau Nancy yang mengeluhkan nasibnya karena jomblo. 

Tristan memerhatikan setiap tawa dari gadis di sampingnya itu. Dinah yang menyadarinya, langsung melirik ke arahnya. Lalu mengangkat sebelas alis, seolah bertanya 'kenapa?'

"Saya ingin membicarakan hal semalam," ucap Tristan tiba-tiba, membuat suasana mendadak hening seketika. 

"Kamu tahu , 'kan, saya masih punya darah Korea dari Mamah. Saya juga sudah pernah ke sana sebelumnya. Sebelum kita dijodohkan," kata 'Dijodohkan' cukup membuat sahabat Dinah tertegun mendengarnya. Gadis itu mengangguk pelan, topik yang ia hindari sepertinya akan dibahas sekarang. Waktunya tidak tepat sekali menurut Dinah. 

"Petinggi PBB tak mungkin mengirim orang yang belum berpengalaman ke zona itu. Sama saja seperti bunuh diri, tadinya saya mengajukan penolakan, tapi mereka menceritakan keadaan para sandra, dan ... saya merasa tidak bisa meninggalkan tugas ini, Din," tutur Tristan dengan suara berat khasnya. 

"Saya bisa menolaknya lagi, jika kamu memang tidak ingin saya pergi. Saya tak masalah jika---"

"Jangan, Om! Maaf karena aku bertindak egois. Harusnya aku tahu, Om enggak bisa terus-terusan di dekat aku. Dari awal, tugas Om juga memang seperti ini. Aku pasti selalu doain Om. Tapi Om juga harus janji, pulang dari DMZ dengan selamat, tanpa luka sedikit pun!" pinta Dinah bernada memelas tapi tegas. 

Tristan tersenyum mendengar perkataan Dinah. Pria itu tak tahan, untuk tidak memeluk Dinah. Dia akan pergi lama, menghirup aroma lavender sebanyak yang ia mampu dari rambut sang gadis, itu cukup ampuh membuatnya tenang. Bahkan sampai melupakan tiga sosok lain di meja mereka berdua. 

"Jadi ... kalian dijodohin?" Suara Nancy mengintrupsi. 

"Kok kita baru tahu?" timpal Arsyana yang merasa sedikit dicurangi oleh sahabatnya. 

"Iya, Din. Kamu juga enggak pernah cerita," sambung Jifran menambahi. 

Tristan dan Dinah pun saling menatap lalu tersenyum bersamaan. Namanya juga dijodohin, siapa yang mau sih awalnya? 

'Kalau gue bisa liat masa depan, gue enggak akan patah hati gara-gara diselingkuhin kali,' monolog Dinah dalam hati.

To be continue. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status