Share

4. You and Me.

Dinah berdiri di dekat trealis pembatas rooftop. Ia memutuskan pergi ke tempat tertinggi di sekolahnya seorang diri, mungkin menunggu sampai waktu pelajaran datang. Saat ini ia butuh waktu untuk sendiri. Gadis itu sama sekali tak menceritakan apa pun pada Nancy dan Arsyana yang sibuk bertanya padanya tadi. Ya, keduanya sempat melihat Dinah keluar dari UKS. Lalu disusul Yuna serta Arga yang terus memanggil namanya di belakang.

Beruntung hari ini para guru sedang rapat. Jadi tak ada kegiatan apa pun, mungkin mereka sedang membahas ulangan yang akan dilaksanakan beberapa hari lagi. Dinah tak begitu peduli. Seceria apa pun dirinya, ia tetaplah seorang remaja biasa. Bisa merasakan hati, meskipun beberapa orang menganggap perasaannya hanya sekadar cinta monyet. Toh, ia merasa sudah cukup dewasa untuk menjalin sebuah hubungan. 18 tahun bukan usia anak-anak lagi, kan?

Air mata Dinah sudah enggan untuk mengalir. Bahkan ia bisa merasakan bengkak bercampur perih pada kedua bola matanya. Ia menangis seorang diri di sini. Sakitnya begitu menyesakkan dada. Dinah benci rasa sakit ini. Sedang sibuk-sibuknya merenung, atensinya justru teralihkan setelah suara langkah sepatu memasuki gendang telinganya. Sesaat Dinah menoleh, lalu kembali menghadap ke depan. Sosok di belakangnya adalah hal yang tidak ingin ia lihat sekarang ini. Setidaknya sampai ia merasa lebih baik.

Pria itu menatap lekat punggung mungil dengan rambut hitam yang dikuncir kuda milik Dinah. Salah satu hal yang begitu ia sukai dari gadis ini, selain senyumnya yang indah.

Arga tahu, ada banyak pria yang menyukai Dinah di sekolah ini. Arga bahkan pernah menyaksikannya sendiri, ketika Iqbal  yang merupakan teman sekelas Dinah membuat pernyataan cinta di perpustakaan. Jelas Dinah menolaknya tanpa berpikir dua kali, alasannya hanya karena ia menyukai satu nama, yaitu Arqian Argantara!

Bolehkah jika Arga merasa menyesal sekarang? Ia baru saja melukai perasaan gadis yang mencintainya dengan sangat setia. Sifat serakah yang tidak cukup dengan satu gadis, membuatnya kehilangan Dinah. Tanpa disadari langkahnya semakin dekat dengan gadis di depannya itu.

Kedua tangannya kekarnya merengkuh tubuh mungil itu dari belakang. Kepala Arga bertumpu di bahu kecil milik Dinah. Bahunya bergetar, Dinah juga dapat merasakan seragamnya yang mulai basah. Arga tak sedang ... menangis, 'kan?

"Maaf," bisik Arga dengan suara seraknya. Suara yang sarat akan perasaan menyesal.

Dinah bergeming, tak ada setitik niat pun untuk membalas permintaan maaf Arga. Jika biasanya ia akan luluh hanya dengan sebuah usapan di kepala, kini air mata sekalipun tak akan ada pengaruhnya bagi Dinah. Ia terlanjut tersakiti, dan faktanya terlalu memyedihkan untuk diungkit kembali. Dinah bahkan benci hanya dengan mengingatnya saja.

"Tolong maafin aku ...," mohon Arga yang suaranya perlahan berubah bergetar.

Dinah membalikkan tubuhnya. Tatapannya kosong, Arga tak menemukan getaran apa pun dalam pancaran netra coklat yang biasanya terlihat ceria itu.

"Selamat! Lo berhasil bikin gue benci sama lu, Ga!" tukas Dinah tepat di depan wajahnya.

Arga tertohok dengan sebaris kalimat itu. Sedalam itu kah? Tangisan remaja SMA itu semakin menjadi. Penyesalan, marah pada diri sendiri, sedih. Semuanya membaur menjadi satu. Kalau saja Arsyana ada di sini, mungkin kembarannya itu akan mengejeknya sebagai pria cengeng, tapi sekalipun itu terjadi. Arga tak peduli. Entah mengapa setelah kejadian tadi, ia berubah menjadi sosok yang emosional seperti ini. Ia merasa khawatir jika Dinah akan membencinya sampai berubah jadi dendam.

Tidak! Dinah bukan gadis pendendam, kecuali gadis itu dikhianati oleh orang yang begitu ia percaya, dan sekarang Arga tak bisa menyalahkan Dinah dengan alasan itu. Masalah terbesarnya, Arga berselingkuh dengan Yuna, yang notabenenya adalah sahabat Dinah sendiri.

"Lo enggak perlu lagi bersusah payah nerima kekurangan gue lagi. Enggak perlu lagi ngerasa malu sama keadaan otak gue yang standar, dan enggak sepintar Yuna," kata Dinah dengan tawa miris. "Enggak perlu minta maaf atau ngerasa bersalah. Gue sadar, kok. Dibanding Yuna, gue jelas jauh dari level dia. Harusnya kita enggak perlu jadian juga, seandainya gue tahu sahabat gue suka sama lo dulu, Ga. Gue pasti bakalan nolak lo waktu itu!" lanjut Dinah menerawang.

Perlahan Dinah melerai tangan Arga yang melingkari pinggangnya. Mau tahu seperti apa perasaan cowok itu saat ini? Hampa! Aneh rasanya, mengetahui ia tak akan pernah diterima lagi dalam kehidupan seorang Maidinah Hafidzah. Gadis yang menemaninya selama dua tahun belakangan.

Dinah berjalan menjauhi Arga. Membuat jarak di antara mereka semakin merenggang, sesak yang ia tahan sejak Arga memeluknya pun runtuh tanpa diminta.

Arga menatap gadis itu dari kejauhan. Dinah meninggalkan dirinya sendiri di sini. Bahu kecil gadis itu bergetar, tangis yang dibuat oleh Arga sendiri.

"Goblok! Lo cowok paling goblok, dan enggak pernah bersyukur sama apa yang lo punya, Arqian Argantara!" umpat Arga pada dirinya sendiri.

"Sekarang apa?! Lo nyesel setelah dia mutusin lo? Ngerasa paling tersakiti? Lo enggak berhak nangis, Ga! Lo enggak berhak ngerasa kehilangan. Dia yang terluka di sini! Dia yang elu khianatin, goblok!" racau Arga tak jelas. Tanpa ia sadari, Dinah masih mendengarnya. Dinah masih berdiri, menyandarkan diru di balik pintu rooftop sambil menahan tangis.

* * *

Salah Rasa.

Kemarin kita bertemu

Bercerita hingga senja menjemput waktu

Kamu hanya mendengarkanku

Sedang aku bercerita hal yang tak tentu

Esoknya masih sama

Namun, lebih lengkap dan istimewa

Kali ini ada canda tawa

Tak hanya kamu mendengar dan aku yang bercerita semata

Sepertinya aku lupa

Itu dulu, semasa harapan diri diberikan keyakinan semu

Iya, semuanya palsu tentang kita

Kamu yang biasa saja, padahal sudah berharap diriku

Tidak. Kamu tak jahat!

Tidak pula pandai tipu muslihat

Memang pada dasarnya aku lemah

Selalu mudah kalah

Terbawa perasaan karena perhatian

Terbuai hanya karena pujian

Lalu perlahan dijatuhkan oleh kenyataan

Kamu sudah berkepunyaan

Bukankan lebih baik, jika kita saling berjauhan?

Aku tak yakin untuk mengatakannya

Tapi kurasa, lebih baik jika kita tak pernah berjumpa

Alasan utama, tentu saja karena aku tak ingin terluka

Juga tak berniat untuk membuang banyak airmata sebab cinta

Tak apa

Kita masih remaja

Terluka sebab cinta adalah hal yang biasa

Setidaknya kamu akan mengingatku sebagai kenangan

Beri saja judulnya 'Kisah Mantan'.

Maidinah Hafidzah

Bumi, 21 Desember 2016.

Dinah kembali ke kelas dalam keadaan kacau. Mata memerah, pipi penuh bekas air mata, bibir pucat, bahkan rambut pun sedikit berantakan. Beberapa siswa meliriknya dengan tatapan aneh. Ia juga tak heran, juga tidak terusik. Jadi biarkan saja mereka memandangi dirinya sampai puas.

Sesampainya di kelas, suara bising langsung menyambutnya. Lucas yang bernyanyi di atas meja dengan sapu sebagai gitarnya. Jeno yang memukul meja seolah itu adalah sebuah drum, Iqbal yang berlari mengelilingi meja karena dikejar Lita, serta yang lainnya melakukan segudang aktivitas tak masuk akal.

Nancy menoleh begitu melihat eksistensi Dinah berjalan mendekat ke arahnya. "Dinah! Lo dari mana aja, sih? Astaga, gue sama Syana nyariin lo dari tadi!" pekik Nancy heboh menarik lengannya agar duduk.

"Ya ampun, Din. Lo kenapa?" lontar Arsyana melihat keadaan Dinah yang jauh dari kata rapi.

Dinah hanya menyunggingkan senyum tipis, lalu menggeleng pelan. Ia lelah, ingin istirahat sesaat. Sedangkan dari bangkunya, sangat jelas ia lihat Yuna juga amat khawatir. Namun, tak punya cukup keberanian untuk mendekat atau bertanya. Dinah hanya menatap datar, lalu menundukkan kepalanya di atas meja, dengan kedua lengannya sebagai tumpuan.

Nancy menyadari perubahan tatapan Dinah. Tadi memang sempat ia lihat Dinah berlari keluar UKS, disusul Yuna dan Arga. Namun, baik dirinya maupun Arsyana tak berani bertanya lebih banyak atau mengejar.

"Din ...," panggil Nancy lembut. Tangannya menggenngam pelan lengan Dinah.

Gadis itu menoleh ke arah Nancy. "Gue mau ngomong sama Mark sebentar, ya?" izin Dinah. Tangannya melepas pegangan Nancy pada lengannya. Lalu berjalan ke arah remaja berdarah separuh Kanada, dan merupakan ketua kelasnya itu.

Terlihat Mark juga agak terkejut dengan penampilan Dinah hari ini. Seperti bukan Dinah sekali.

"Din, muka lo ... kok pucat gitu? Lo sakit?" tanya Mark sedikit khawatir. Sebenarnya mereka tak sedekat kelihatannya, tapi Mark memang orang yang ramah pada siapa pun. Jadi tak heran jika ia memiliki banyak penggemar di kalangan siswi SMA Mahardika, Dinah menggeleng sebagai jawaban.

"Sorry, Mark. Gue cuma lagi kurang enak badan aja. Gue boleh izin pulang duluan enggak, hari ini?" kata Dinah menerangkan.

Segera Mark memeriksa buku kecil, yang biasa ia pakai untuk mencatat agendanya. "Wait, kayaknya kita juga enggak belajar hari ini. Masalah absen biar gue isi, kalau lo izin hari ini. Pulangnya diantar aja, ya?" bujuk Mark perhatian.

Perlakuan Mark tak luput dari perhatian siswa di kelasnya. Iqbal yang sejak tadi berlarian tak jelas, segera menghampiri Dinah dan Mark.

"Oh ...! Gitu ya, Din? Pantesan lo nolak gue. Ternyata malah kecantol sama nih bule setengah!" ujar Iqbal memandang tak percaya. "Kenapa, Din? Kenapa? Apa kurangnya diri ini mencintaimu, Maidinah Hafidzah?" protesnya penuh drama. Sedangkan Dinah menatap datar ke arahnya.

Mark bangkit dengan wajah panik. "Hei, hei, Iqbal! Ini enggak kayak yang lo pikirin kok. she's just like my sister," jelas Mark bersama bahasa gado-gadonya. Berita terparahnya, cowok itu malah terjebak dalam drama kaleng-kaleng Iqbal.

Cukup sudah. Dinah merasa semakin pusing dihadapkan dengan orang tak normal seperti Iqbal. "Terserah lo!" tekan Dinah lelah. Ia memutuskan kembali ke mejanya.

"Yhaaaa ... kasihan amat lo, Bal! Ditolaknya dua kali tuh, ama si Dinah!" timpal Lucas yang kini sudah tiduran di atas lantai seperti gembel. Tawanya menggelegar di seluruh penjuru ruang kelas.

Iqbal kembali menatap Dinah. Bibirnya bergetar, manik matanya penuh binar kesedihan. "Tega kamu, Mas! Tega kamu lebih memilih dia dibandingkan aku! Tak cukupkah ketulusanku selama ini untukmu, Mas?!" jerit Iqbal lantang pada Dinah. Jari telunjuknya menunjuk Dinah penuh pendalaman emosi.

Mark yang melihat betapa terganggunya Dinah saat ini pun, mulai habis kesabaran dengan tingkah Iqbal. "Berisik bego! Can you to silent, please? Gue pusing dengar suara lo, Bal!" sambar Mark setengah emosi.

"Iqbal, kalau lo nggak diem juga. Beneran gue lempar lo pakai bangku!" timpal Jeno ikut mengeroyoki.

Iqbal yang mendengarnya pun menyengir aneh. "Iye ... gue diem dah nih."

Dinah tak membalas. Ia benar-benar tak peduli, Dinah hanya ingin pergi dari sini. Moodnya sedang tak bagus untuk diajak bercanda. Tangannya menyambar tas yang tergeletak di atas lantai, karena dipakai tiduran oleh sisswa laki-laki. Lalu kembali menghampiri Mark di meja cowok itu.

"Sekali lagi makasih, Mark. Gue balik dulu," ucap Dinah kesekian kalinya.

Marka menahan lengan Dinah pelan. "Gue anter, ya. Kayaknya enggak mungkin lo pulang sendirian dalam keadaan kayak gini," tawar Mark sekali lagi.

Dinah menggeleng sebagai penolakan halus, "gue udah dijemput, kok. Thanks ya, Mark."

Mark tak membantah. Segera ia lepaskan pegangannya di lengan Dinah. Pun, kondisi Dinah tak memungkinkan untuk diajak berdebat, menuruti keinginan Dinah bukan hal yang terlalu sulit juga. Akhirnya Mark hanya mengangguk pasrah.

Dinah kembali menghampiri teman-temannya. "Gue pulang duluan, ya," pamit Dinah.

"Gue antar, ya!" Kini giliran Jifran yang menawarkan diri semangat.

Lagi-lagi Dinah menolak, ia hanya ingin sendiri saat ini. Tak ingin diganggu siapa pun. Jifran yang paham akan keinginan Dinah, akhirnya hanya bisa mengiyakan.

Tanpa berbicara apa pun, Dinah beranjak dari kelas. Yang di dalam kelas menatap aneh padanya.

"Tumben-tumbenan calon pacar gue kusut begitu," ujar Iqbal heran.

Jeno mengedikan bahunya acuh. "Tersiksa karena liat tampang lu kali!" jawabnya yang mendapat toyoran keras dari Iqbal.

"Definisi teman goblok yang sesungguhnya!" kata Iqbal pada Jeno. Cowok itu malah tertawa mendengar umpatan itu.

Dinah menyusuri lorong kelas seorang diri, sebelum seseorang menahan lengan kurusnya. Membuat Dinah berbalik badan, dan menemukan sosok yang ia hindari saat ini.

Yuna, gadis itu menyusul Dinah. Lalu selanjutnya memeluk erat Dinah yang hanya diam tanpa ekpresi apa pun, bahkan sekadar untuk memanggil nama Yuna juga tidak. Tangan Dinah hanya menggantung di kedua sisi tubuhnya. Dinah tak membalas pelukan dari Yuna yang sudah tersedu di bahunya.

"Lepas!" perintah Dinah dengan nada rendah.

"Din, maaf ...," mohon Yuna lirih.

Dinah tersenyum remeh, perlahan melerai pelukan gadis di depannya itu. "Lo tahu, Yun? Di antara lo, Nancy, dan Arsyana. Lo orang yang paling gue percaya, tapi kenapa lo malah tega sama gue?" cecar Dinah tak habis pikir.

Yuna semakin terisak, entah jawaban seperti apa yang harus ia katakan. Yuna takut, sangat takut kehilangan sahabatnya. Walaupun sebenarnya terlambat juga untuk menyesali, semua sudah terjadi. Yuna kembali memeluk Dinah, menumpahkan perasaan bersalahnya di bahu sahabatnya.

Dinah melerai pelukan Yuna yang masih terisak untuk kedua kalinya, beruntung tak ada siapa pun di lorong kelas. Jika tidak, mungkin gunjingan sudah memenuhi petak pikiran mereka. Sudah cukup untuk hari ini, Dinah melangkah keluar. Tak lagi peduli dengan Yuna yang masih terisak sendiri di lorong itu.

****

Dinah duduk sembari menyelipkan earphone ke telinganya. Saat ini ia sedang di halte. Yah, dia bohong pada Mark. Dinah sama sekali tak menelepon atau minta dijemput siapa pun.

Pandangannya kosong ke depan. Sedang kedua kaki mungilnya bergerak tak menentu, bahkan rambutnya pun sudah tak terikat. Dibiarkan terurai begitu saja.

Jika boleh jujur, Dinah tak ingin kehilangan sahabatnya juga tentu saja Arga. Mereka terlalu berarti, tapi mau bagaimana? Terlanjut kecewa  apalagi Arga sampai mengatakan bosan padanya, Dinah mendengar semuanya secara langsung. Miris sekali, bukan?

Terlalu asik melamun, membuat Dinah tak menyadari sebuah mobil berwarna putih sudah berhenti di halte. Pemilik mobil itu pun keluar. Bagi yang tak mengenal pria ini, mereka akan menyangka dia seorang model. Dagu lancip, mata tajam, hidung mancung, tinggi 178 cm, kulit pun kecoklatan. Sempurna!

Pria itu menghampiri Dinah yang terlihat tenang, dan sama sekali tak terusik. Mata gadis itu terpejam. Pria yang tak lain ialah Tristan itu, mendekatkan wajahnya pada Dinah. Menelisik garis wajah gadis SMA yang kini mulai mengambil sedikit perhatiannya. Setelah diperhatikan, kelopak mata Dinah sedikit membengkak. Seperti baru saja menangis.

Dinah mengernyitkan keningnya. Ia merasa dirinya tak sendiri sekarang. Apalagi setelah aroma maskulin mengelilinginya, aroma citrus bercampur dengan mint. Perlahan mata bulat itu terbuka, dan cukup dibuat terkejut dengan wajah tampan di hadapannya ini.

"Aaaa ...!" jeritnya tertahan. Reflek tangan Dinah menampar wajah Taehyung, hingga pria itu terjungkal ke belakang. Tamparan yang sangat bertenaga untuk gadis semungil Dinah.

Tristan mengaduh kesakitan, sedangkan Dinah menghampirinya. Terlihat gadis itu cukup panik, terlebih Tristan yang masih memberikan ekspresi kelewat lebay dengan mengelus wajahnya.

"Duh, Om maaf, maaf, Om! Aku enggak sengaja," sesal Dinah sambil mengusap pelan pipi Tristan yang kemerahan bekas tangannya.

Tristan tersenyum licik, 'mengerjai kamu sebentar. Sepertinya bukan ide buruk,' bisiknya pada diri sendiri.

"Duh, sakit sekali. Sepertinya tulang rahang saya retak deh. Aduh ...." Tristan lagi-lagi mengerang kesakitan.

"Yah, yah ... maaf, Om. Huwaaaaaaa ...." Dinah tiba-tiba menangis keras.

Sekarang malah Tristan yang panik melihat gadis itu menangis. Kedua tangan mungilnya menutup wajahnya yang sudah kacau karena air mata. Tristan jadi bingung sendiri, apa gadis ini tak bisa berpikir logis. Mana mungkin rahang Tristan retak hanya karena tamparannya. Meskipun memang sedikit sakit. Astagfirullah, kuatkan Tristan ya Allah.

"Eh, saya becanda, Dinah. Jangan menangis, ya. Maaf bikin kamu takut," bujuknya lembut.

Bukannya diam, Dinah malah semakin tersedu. Bahkan tangisnya membuat beberapa pejalan kaki menatap aneh pada mereka. Tristan hanya tersenyum canggung pada orang-orang itu. Tolong ... jangan sampai ada yang berpikir bahwa ia adalah seorang pedofilia. Karena membuat gadis SMA menangis. Bisa dipenggal Papahnya dia.

Tristan membantu Dinah duduk di kursi. Sesekali tangan besarnya mengusap lembut punggung kecil Dinah. Gadis itu masih terisak walau suaranya kian lemah.

"Maaf karena saya becandanya kelewatan," ujarnya lembut.

Dinah mengangguk mengiyakan. "Kenapa semua orang suka bohongin aku, sih?" keluh Dinah kemudian.

Tristan mengernyitkan keningnya sesaat. Ia tak mengerti maksud dari perkataan Dinah barusan. Apa sesuatu baru saja terjadi pada gadis ini.

"Mau cerita sama saya? Kamu juga mau pulang, kan? Nanti saya antar, kamu cerita saja apa yang ingin kamu bagi saya akan mendengarkannya," tawar Tristan. Namun, kembali menelisik penampilan gadis itu, dan melirik jam yang melingkar di tangannya. "Apa kamu bolos? Ini masih jam sekolah, kan?" tanyanya heran.

"Ak-aku ... u-udah izin, kok, sama Ketua Kelas. Di-dia bilang bo-boleh," balasnya sambil tersedu. Tristan mengulum bibir menahan senyum.

'Menggemaskan,' monolognya.

Mendengar nada bicara Dinah masih sesenggukan, Tristan tak bertanya lebih banyak. Tangan besarnya meraih telapak tangan mungil gadis itu, dan menggandeng masuk ke dalam mobil.

Dinah menatap lamat wajah pria di depannya. Ia tak menyangka Tristan adalah sosok yang sangat peduli, meskipun sikapnya terkadang terlalu kaku. Tanpa ragu, gadis manis itu mengangguk pelan. Bercerita pada Tristan? Sepertinya bagus jika dicoba.

* * * *

Dinah dan Tristan sekarang sedang berada di sebuah restoran. Wajah Dinah memang sudah tak sedih lagi, tapi berganti jadi kesal. Bagaimana tidak? Tristan membawanya ke restoran yang benar-benar kaku, sekaku kanebo kering. Ini lebih terlihat seperti tempat pertemuan untuk meeting, atau acara formal semacamnya. Dominasi warna hitam dan putih, bukan gayanya sekali.

"Kenapa wajah kamu kesal begitu? Tadi kan saya sudah tanya, kamu mau pergi ke restoran mana? Kamu bilang terserah, ya sudah bawa ke sini!" terang Tristan santai.

Dinah menatapnya malas. "Om tuh enggak pernah baca sesuatu apa pun tentang cewek, ya? Kalau Om tawarin sesuatu, cewek emang bakalan bilang terserah. Tapi Om juga harus peka! Kata 'T E R S E R A H' itu artinya, Om harus kasih beberapa pilihan! Gimana, sih?" geram Dinah. Pria itu malah acuh, cih, dasar jomblo! Sabar, Dinah, sabar. Kalian berdua memang jomblo!

"Ya udah, kamu mau pindah ke mana? Biar saya antar," tanya Tristan yang masih berusaha untuk tidak emosi.

"Om mau bikin aku capek, ya?! Kita udah di sini, terus Om mau cari tempat baru lagi?" semburnya membuat meja mereka berdua menjadi menarik perhatian pengunjung lain. Tristan menghelas napas berat mendengar respon Dinah.

Makhluk paling repot bagi Tristan, tak lain adalah makhluk yang duduk di depannya ini. Tristan bisa jadi mati gaya saat berhadapan dengan yang modelnya seperti ini.

"Ya sudah, kamu mau makan apa sekarang?" tanya Tristan mencoba sabar.

Dinah diam sejenak, sambil berpikir. "Terserah Om!"

"Mau pasta?" tawar Tristan.

"Enggak. Lagi males!" ketus Dinah

"Mau tiramisu?"

Dinah mendelikkan matanya menatap Tristan. "Om mau bikin aku gendut, ya?!"

"Ya terus? Kamu maunya apa, Dinah?" lontar Tristan mulai frustrasi.

"Ya terserah, Om!" balas Dinah tak kalah garang.

Tristan melongo mendengarnya. Bagaimana bisa orang-orang tahan memiliki kekasih? Sepertinya lebih banyak kesalnya, daripada membuat gemas.

Lihat saja sekarang. Salah lagi! Ini Dinah ada apa sih sebenarnya? Sensitif sampai bikin orang gemas sendiri. Iya, gemas pengin nyekek.

"Maaf," ucap Tristan pelan, kalau dengan yang lain. Mungkin sudah sejak tadi ia abaikan, tapi gadis ini seperti menguji kesabarannya.

"Enggak usah minta maaf, Om enggak salah," jawab Dinah malas.

'Kan memang saya tak salah, kamunya saja yang kelewat menyebalkan!' rutuk Tristan dalam hati.

Setelah diam beberapa saat, Tristan kembali bertanya penyebab Dinah menangis. Dan duduk sendirian di halte, padahal waktu itu masih jam sekolah.

Dinah menceritakan segalanya, air matanya juga ikut turun. Yah, untuk kesekian kalinya ia menangis hari ini. Tristan mengangguk paham, tidak salah juga kenapa gadis itu menjadi sangat sensitif hari ini. Mungkin, dia juga akan menjadi seperti Dinah jika merasakan hal yang sama. Walaupun terkesan mustahil baginya.

"Lalu sekarang, kamu ingin seperti apa?"

"Enggak tahu, aku pusing mikirinnya."

"Ambil keputusan yang menurutmu terbaik."

"Yang terbaik, ya? Udah, sih. Aku minta putus."

"Hum, saya juga sudah."

"Udah apa, Om?"

"Sudah suka kamu!"

Pipi Dinah merona mendengarnya, "apa sih, Om! Enggak usah receh, deh."

"Ya sudah, maaf. Tapi kamu benar-benar sudah, kan?"

"Udah apaan lagi coba?!"

"Sudah jatuh cinta sama saya." Lagi-lagi ucapan frontal pria ini membuatnya semakin tersipu.

Dinah memalingkan wajahnya ke arah lain, membuat Tristan terkekeh karena tingkah gadis di depannya ini.

"Om sekali lagi gombal, aku tinggal nih!" ancam Dinah seolah melupakan kesedihannya.

Bukannya takut, Tristan malah semakin gencar menggoda Dinah. Lagipula itu juga ampuh, Dinah sekarang terlihat baik-baik saja.

Mereka memutuskan untuk mencari tempat lain. Setelah banyak bujukan yang Tristan lakukan. Dinah saat ini ingin makan makanan pedas, dan Tristan pun mau tak mau harus mengikutinya.

Dua porsi bakso dengan kuah merah menyala tersaji di depan mereka. Seketika tengkuk Tristan meremang. Ia bergidik ngeri kala menatap lama makanan di depannya ini. Tristan itu tak tahan pedas ia mudah berkeringat, dan kulitnya juga sensitif jika mulai berkeringat.

"Kamu tidak ingin memesan yang lainnya saja?" tanya Tristan menelan kasar salivanya.

Dinah menggeleng cepat, makanan pedaskan memang membantu kalau sedang patah hati begini.

"Om takut pedas, ya?" tanya Dinah polos seraya memerhatikan buliran keringat, yang perlahan mulai menuruni pelipis pria di depannya.

Tristan melirik Dinah sekilas, lalu menggeleng mantap. Mana bisa dia mengaku begitu, nanti Dinah malah menertawainya.

Setelah memastikan Tristan juga bisa ikut makan pedas. Dinah mulai menyantap makanannya sendiri. Terlihat jelas gadis itu biasa saja, Tristan hanya meringis sendiri memperhatikan Dinah. Perlahan ia coba memasukan sesuap kuah ke dalam mulutnya.

"Uhuk!" Tristan terbatuk kaget akan rasanya seperti membakar lidah.

'Astaga, bagaimana bisa Dinah makan ini?!' Tristan menjerit dalam hati. RIP lambung.

~•~•~•~

Dinah duduk sendiri di ruang tunggu. Raut wajah paniknya benar-benar kentara. Kalau dia tahu Tristan tak tahan pedas, Dinah pasti tak akan mengajaknya makan di sana tadi. Sekarang pria itu malah sedang diperiksa oleh dokter, karena tiba-tiba saja Tristan pingsan setelah makan bersamanya.

Gadis itu mengacak rambutnya frustrasi. Untung saja rambut itu tidak terlalu berantakan meski diacak tak tentu. Rambut Dinah memang tebal dan sangat halus.

"Din, gimana Tristan? Baik-baik aja kan, sayang?" Suara lembut Tante Nadia menyapa indra pendengaran Dinah.

Dinah bangkit dan menghampiri wanita yang masih cantik di usianya yang tak muda lagi. Sudah dapat ditebak gadis itu kembali menangis dalam pelukan calon mamah mertuanya

"Tante, maaf ...," sesal Dinah dengan isakkan kecilnya.

"Ssst, udah ya, Dinah jangan nangis lagi," bujuk Tante Nadia mencoba menenangkan.

"Tristan memang enggak bisa makan pedas, Sayang. Dia enggak ngasi tahu ke kamu?" tanya Tante Nadia memastikan.

Dinah menjawabnya dengan gelengan pelan. Tristan memang tak mengatakan apa pun tadi. Malah menjawab tegas, kalau dia bisa makan pedas. Padahal kalau pria itu jujur, Dinah juga tidak akan memaksa atau menertawainya.

"Ya udah, jangan nangis lagi ya cantik." Nadia juga tak bisa menyalahkan Dinah atas insiden kecil ini.

Justru wanita itu malah kelihatan bahagia. Ya jelas saja, Dinah masih dalam keadaan memakai seragam. Wajah kusut dan panik, berada di sini karena menunggui putra bungsunya itu.

Dokter pun keluar, sontak Dinah melepas pelukannya dari Tante Nadia dan menghampiri Dokter tampan bernama Kanindra itu.

"Dok, gimana keadaannya Om Tristan?" cecar Dinah terburu-buru. Kanindra yang mendengar itu mengernyitkan keningnya.

Nadia juga kelihatan bingung, Dinah memanggil putranya dengan sebutan ... Om?

"Om?" tanya Kanindra. Yang diangguki dengan wajah polos Dinah.

"Adik saya setua itu ya wajahnya?" Kini giliran Dinah yang melongo mendengar pernyataan dokter di depannya ini.

Nadia menghapus kebingungan di antara mereka. Wanita paruh baya itu menjelaskan hubungan antara Kanindra dan Tristan, serta antara Dinah dan Taehyung. Kanindra hanya ber-oh ria. Sedangkan Dinah memberikan respon heboh. Pria itu tertawa melihat tingkah polos Dinah. Tak heran jika adiknya mau saja makan pedas karena gadis ini. Terlalu menggemaskan jika diabaikan.

"Hahah, kamu ini lucu sekali. Serius udah SMA?" tawa Kanindra pecah, terdengar menyebalkan bagi Dinah sekarang.

Dinah menggembungkan kedua pipinya, membuat bibir si gadis jadi semakin mungil. Enggak Abang, enggak adik. Kok sama-sama menyebalkan, pikir Dinah.

"Orang nanya keadaan Om Tristan, malah ngalihin pembicaraan! Dasar cowok!" gerutu Dinah jengkel.

"Maaf deh, Tristan baik-baik aja kok. Kalau mau lihat silakan aja, tapi saya mau ngomong sama Mamah saya dulu," jelas Kanindra.

Dinah menurut, lalu melangkahkan kaki mungilnya menghampir Tristam yang terbaring di dalam brankar.

"Dia lucu ya, Mah?" ucap Kanindra sembari memperhatikan sosok Dinah yang hilang dari balik pintu.

"Iya, dia juga apa adanya. Makanya Mamah suka," balas Nadia. Kanindra mengangguki kalimat ibunya itu.

Mereka membiarkan Tristan dan Dinah berdua dulu. Lebih baik kalau kedua calon pasangan itu saling memperhatikan agar semakin dekat sekarang.

"Om, udah enggak apa-apa, kan?" tanya Dinah takut.

Tristan tersenyum tipis, tangan kanannya mengapai tangan kiri Dinah. Membawa gadis itu semakin dekat padanya.

"Saya baik-baik saja, Din. Maaf karena kamu harus tinggalin baksomu tadi." Dinah mengelus pelan tangan Tristan. Pria itu sedikit terkejut, tapi kemudian membiarkannya saja.

"Nanti kan kapan-kapan bisa beli lagi, Om. Tapi Om jangan ikutan makan, ya?" pinta Dinah. Tristan hanya mengangguki keinginan gadis di sebelahnya ini.

"Dinah ...," panggil Tristan pelan.

"Iya, Om?" sahut Dinah tak kalah pelan.

"Kamu mau?" pertanyaannya agak ambigu.

"Mau apa, Om?" tanya Dinah penasaran.

"Jadi sesuatu yang penting dalam hidup saya!" ucap Tristan lembut.

Dinah mematung sesaat, ini cara Tristan nembak perempuan, ya? Emang enggak seromantis Arga dulu, sih. Tapi kan tetap bikin jantung disko.

Dinah tak menjawab, gadis itu hanya menunduk, dan jangan salah, pria yang masih terbaring ini, punya tatapan yang lebih tajam dari belati. Kelihatan kok kalau wajah imut Dinah sudah semerah kepiting rebus, yang menjalar hingga ke telinga. Selanjutnya, menggeleng kecil Dinah cukup sebagai jawaban.

"Kita kayak gini aja dulu, ya, Om. Kita jalanin dan ngikutin waktunya perlahan," pinta Dinah lembut.

Tristan paham, ia juga tak memaksa. Memang bukan waktu yang tepat berbicara seperti itu pada Dinah saat ini. Gadis itu saja baru putus dari pacarnya.

Tidak. Dinah masih ingat rasa sakitnya. Dia bahkan masih memikirkan Arga. Hanya saja, tak mungkin juga kembali pada lelaki itu, kan? Jalan terbaik adalah mencoba menerima Tristan, dan berdamai dengan masa lalunya. Dinah tak mau terjebak pada rasa sakit, atau berfokus pada dendam. Terlalu menyedihkan jika ia menjadi seperti itu.

To be continue. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status