Share

2. Suspicious

Tristan terus menyeret gadis itu hingga ke area parkiran. Tatapan dari orang-orang yang berada di dalam mall yang memandang aneh ke arah mereka berdua, sama sekali tak mengusik atensi Tristan. Ia hanya berjalan dengan wajah datarnya.

"Ouch! Ikh ... Om, lepasin!" Dinah menyentak tangan Tristan kasar.

Pegangannya terlepas, Dinah masih mengaduh kesakitan. Tepat di tempat Tristan mencengkramnya tadi sudah memerah. Gadis itu semakin meringis, cewek cantik kok malah diseret-seret kayak domba?

"Om tuh apa-apaan, sih?! Sakit tahu, enggak, sih?!" bentak Dinah kesal.

"Enggak!" jawab Tristan cuek. Dinah menatap tak percaya pria di depannya ini.

Dinah berjalan menjauh dari pria itu, "sinting!" umpatnya dengan suara yang masih dapat Tristan dengarkan.

Tristan memutar malas bola matanya. "Ikut saya! Ada yang mau bertemu dengan kamu!" ajaknya.

"Enggak peduli!" balas Dinah. Kaki mungilnya masih tak henti melangkah.

Tristan yang cukup jenuh dengan tingkah Dinah, akhirnya berjalan cepat dengan langkah lebar. Hanya dalam beberapa detik saja ia sudah berada di depan Dinah.

Dinah terkejut, netranya membelalak sempurna. Lalu sesaat kemudian, Tristan sudah menariknya dan menggendong ala karung beras. Tentu saja, Dinah kan sudah berada di pundak kirinya sekarang. Sama sekali tak ada gambaran kata romantis di sana.

Gadis itu meronta, tapi tak cukup kuat untuk melepaskan diri dari Tristan.

"Om! Lepasin, enggak?! Ikh, pedo, ya? Lepasin OM TRISTAN!" jerit Dinah yang membuat mereka menjadi pusat perhatian. Namun sepertinya, Tristan sengaja menulikan pendengaran. Sama sekali tak peduli pada teriakan yang keluar dari pita suara gadis di pundaknya itu.

Seorang wanita paruh baya turun dari mobil yang Tristan tuju sejak tadi. Suara Dinah bahkan terdengar dari dalam mobil. Gadis bar-bar memang.

"Astagfirullah, Tristan! Kamu apain Dinah?" tanya wanita itu panik dan menghampiri kedua orang tersebut. Bagaimana tidak? Posisi Tristan yang membawa Dinah, terlihat seperti seorang penculik anak-anak dalam sinetron sekarang.

Dinah menoleh susah payah ke belakang, itu Tante Nadia---ibu dari Tristan Adiyakhsa.

"Dia tidak mau menurut, makanya saya bawa paksa," ucapnya tanpa beban.

"Ta-tante ...," panggil Dinah pelan. Wajahnya sudah memberikan ekspresi andalan, puppy eyes. Membuat perasaan tak tega Nadia timbul.

****

Dinah sekarang duduk di samping Tristan yang mengemudi, tangannya terlipat di dada, sedangkan kedua pipi kemerahannya yang  menggembung lucu. Sedari tadi ia mencebik kesal, jika bukan karena Tante Nadia. Sudah pasti gadis itu akan lari tanpa berniat pulang bersama pria kulkas ini. 

Sementara di kursi belakang, Tante Nadia hanya tersenyum melihat tingkah pasangan di depannya itu. Kelihatan manis menurutnya, padahal najis kalau kata Dinah. 

Tak ada obrolan apa pun, bagaimana mau ada obrolan. Kalau di dalam mobil diisi oleh gadis ber-mood buruk, dengan seorang pria kutub menyebalkan?

'Tahu gitu, mending gue minta dianter Arga aja tadi!' sesal Dinah dalam diam. 

Mobil berwarna hitam itu terparkir sempurna di depan rumah keluarga Dinah. Gadis itu segera melepas seat belt-nya, lalu buru-buru turun dan menunggu Tante Nadia. 

Mereka masuk bersama, dengan Tristan yang berjalan tegap di belakang. Terlihat seperti seorang body guard jika dibandingkan dengan proporsi Dinah yang mungil. 

"Assalamualaikum!" seru mereka bersamaan. 

"Waalaikumussalam warahmatullah ...," jawab orang-orang yang tengah bersantai di dalam. 

Dinah berjalan malas, dan menghempaskan tubuhnya di sofa. Jafran menatap bingung adiknya. Bagaimana Tristan dan ibunya bersama Dinah? 

"Loh, Dek? Kok bisa barengan sama Tristan dan Tante Nadia?" tanya Jafran heran. 

"Tadi waktu di mall, enggak sengaja lihat si cantik ini, makanya Tante suruh Tristan ajak Dinah pulang bareng. Lagipula tadi cuma sendiri, Tante jadi khawatir," jelas Tante Nadia. 

"Haduh, kamu kok bisa di mall? Bukannya tadi minta izin ke taman?" cecar Winarti pada putrinya. 

"Ya kan jalan-jalan dulu, Bun," imbuhnya santai. 

"Udah ngucapin terima kasih, belum?" tanya ayahnya yang sejak tadi diam sambil menyeruput secangkir teh di tangannya. 

"Belum," kata Dinah singkat. 

"Ya udah, ngucapin makasih, gih!" suruh Jafran santai. Dinah tak membantah, meskipun terlihat betapa kesalnya wajah gadis itu sekarang. 

Ia menatap malas Tristan yang juga menatap datar ke arahnya. Lalu beralih menatap lembut Tante Nadia yang tersenyum manis kepadanya. 

"Terima kasih Tante," ucap Dinah kepada Tante Nadia sangat tulus. Wanita paruh baya itu mengangguk lembut diiringi senyum keibuannya. 

"Sama Tristan?" timpal Jafran. 

Dinah mengembuskan napas kasar sejenak, "makasih!" ketus Dinah ogah-ogahan. 

"Dek, yang benar, ikh! Masa ngomong makasihnya kayak ngajak baku hantam gitu?" tegur Jafran setelah mendengar ucapan yang sangat terpaksa itu. 

Dinah menegakkan tubuhnya, memberikan senyuman terbaik, lalu menunduk enam puluh derajat ke arah Tristan. 

"Terima kasih, Om Tristan Adiyakhsa." Suara lembut dilengkapi ucapan yang dimanis-maniskan. Memang tidak ada ikhlasnya. 

"Udah, kan? Kalau udah Dinah ke kamar, bye!" Dinah bangkit dari duduknya. Menaiki tangga dengan langkah cepat. 

"Dasar Dinah! Maaf, ya, Nadia sama Tristan. Dinah memang begitu anaknya," ujar Winarti sungkan. 

"Ah, enggak apa-apa, kok. Dinah malah kelihatan imut. Jadi bikin gemas sendiri lihatnya," balas Nadia super exited. 

Sedangkan Tristan hanya tersenyum tanpa minat mendengar perkataan ibunya. 

'Iya, bikin gemas. Sampai pengin dicubit pakai gunting rumput!' umpat Tristan dalam hati. 

Setelah beberapa saat duduk bersama keluarga Dinah, Tristan dan ibunya pun izin pulang. Berhubung hari yang sudah beranjak sore. 

"Tris, jangan cuma kasi tampang datar dong ke Dinah. Sesekali kamu tuh senyumnya yang tulus, supaya Dinah kecantol," pesan Nadia pada putra terakhirnya itu saat mereka sudah di jalan pulang. 

Tristan memang anak terakhir dari tiga bersaudara. Kedua kakaknya yang sudah menikah, yaitu Kiandra Adiyakhsa adalah seorang dosen. Sedangkan Kanindra Adiyakhsa adalah seorang dokter. Dan kabar terpentingnya, mereka sudah berkeluarga. Tidak ada perjodohan di antara mereka dengan istrinya masing-masing. 

Namun, kenapa justru Tristan dijodohkan? Katanya, sih. Ini semua berkaitan dengan janji orang tua semasa sekolah. Dan itu harus anak terakhir, kurang kerjaan memang. 

"Bagaimana saya bisa tersenyum tulus, kalau yang dihadapi modelnya perempuan bar-bar seperti itu, Mah?" dengkus Tristan jengkel. 

"Dinah itu tipe cewek yang apa adanya. Dia bertingkah sesuai kondisi hatinya, dan itu lebih baik daripada gadis yang cuma mau jaga image!" tutur Nadia yakin.

Ekspresi tak suka Tristan begitu kentara. Lalu Nadia kembali berkata, seolah memberikan nasihat pada putra bungsunya. "Jangan terlalu benci, takutknya nanti malah susah ngelepasin kalau udah jatuh cinta."

Tristan tak membantah atau pun mengiyakan. Ia memutuskan untuk diam dan mendengarkan. Kalau terus dibantah, Mamahnya ini akan berubah jadi kembaran Mamah Dede. Menasihati tanpa kenal waktu, akhirnya malah membuat Tristan tertekan sendiri mendengarnya.

***

Dinah sibuk mengotak-atik ponselnya sejak tadi. Memeriksa room chat Arga yang sudah ia pin, hingga nama pria itu berada di urutan teratas. 

'Arga kok masih belum ada kabar, ya? Apa Mamahnya sakit parah?' monolog Dinah. 

Dentingan notifikasi menarik perhatiannya, dengan cepat Dinah meraih ponselnya yang tergeletak bebas di atas ranjang. Mengecek notifikasi yang sudah ia tunggu.

Bunny Arga.

|Sayang?

Iya?|

|Belum istirahat?

Belum, aku nunggu kabar kamu dari tadi|

|Duh, maaf ya. Aku lama enggak ngabarin. Kamu udah makan, kan?

Enggak apa-apa, Bee. Udah, kok. Kamu udah?|

|Udah. Kamu istirahat sekarang, ya? Aku enggak mau kamu ikutan sakit. Aku sayang kamu, good night.

Night too.|

Read.

Dinah kembali menghempaskan tubuhnya di atas ranjang dan melempar asal ponselnya. Gadis itu merasa hubungannya semakin datar saja. Arga itu cinta pertama Dinah, mereka berkenalan sejak SMP. Dan sejak itu pula Dinah mengagumi sosok seorang Arqian Argantara. 

Arqian Arsyana yang memperkenalkan mereka berdua, memejamkan mata. Dinah kembali mengingat awal perkenalannya, masih polos dan belum mengerti tentang cinta. Itu lah dirinya dulu. 

Dinah bukan gadis yang mudah jatuh cinta. Tidak akan terpesona hanya karena wajah tampan, tidak mudah kagum hanya karena menjadi idola, tidak akan tergoda hanya karena terlahir dari keluarga kaya. Dinah akan jatuh cinta, ketika dia merasa benar-benar nyaman di dekat seorang pria, dan Arga, ada sesuatu yang membuat Dinah mau menerimanya dulu. Meski kini itu sedikit hilang dari diri Arga. Mungkin ada beberapa hal yang sedang disembunyikan pria itu dari dirinya. 

"Hussttt, Dinah! Kamu mikirin apa, sih? Ya enggak mungkin lah! Arga itu cowok baik, dan dia nggak akan pernah kecewain kamu!" monolog Dinah dengan dirinya sendiri. Ia mengenyahkan pikiran buruk tentang sikap aneh Arga belakangan ini. 

"Mending tidur, deh. Daripada pikiran makin liar." Dinah memutuskan untuk tidur. Ia juga harus kembali bersekolah besok.

***

Dinah menggeliat ke sana kemari di atas kasur, kalau bukan karena ada yang mengetuk pintu. Dinah masih ingin sayang-sayangan sama bantal dan guling, tapi ya sudahlah. Duduk sebentar mengumpulkan nyawa, perlahan Dinah berjalan malas ke arah pintu. 

Jafran sudah berdiri dengan cengiran khasnya di sana. 

"Pagi," sapanya lembut. Yang dijawab dengan anggukan pelan oleh Dinah. 

"Mandi gih, nanti Abang antar ke sekolahnya. Udah sana, cewek kok bangunnya telat?" perintah Jafran. 

Tidak membantah, Dinah menuruti perkataan Abangnya itu. Mandi lalu bersiap sesegera mungkin, dan merapikan kamarnya. 

"Sini, Dek. Sarapan dulu baru sekolah," ucap ayah. 

"Energi tiap hari!" lanjut abangnya semangat.

Ngomong-ngomong, itu motto dari salah satu sereal terkenal. 

Bunda hanya terkekeh mendengar lelucon receh suami dan anaknya itu. Sedangkan Dinah mengembuskan napas kasar, sembari merolling eyes karena tak paham. 

Seusai sarapan, Dinah dan Jafran beranjak dari tempatnya. Menyalami ayah dan bunda, lalu melajukan kendaraan ke arah sekolah. 

Tak ada bahan pembicaraan apa pun, karena Jafran sibuk menyetir, sedangkan Dinah hanya menatap jalanan yang mereka lalui dengan tatapan kosong. Entah apa yang kini dipikirkan gadis manis itu. 

Sesaat kemudian, mobil yang Jafran kendarai terparkir rapi di halaman sekolah. Ia mengantar adiknya itu hingga ke lobby. Mengacak gemas pucuk kepala Dinah, lalu pamit pergi dari sana. 

Sekolah masih sepi, hanya beberapa motor dan mobil yang ada. Serta para siswa siswi yang datang, menyapa, juga menyapa satu sama lain.

Dari kejauhan, seseorang memerhatikan langkah Dinah. Hingga memberanikan diri, untuk bertanya nama gadis itu pada siswa lain.

"Sorry, gue boleh nanya? Nama cewek itu siapa?" tanyanya.

Siswa yang ditanya pun ikut menatap ke arah Dinah. "Oh, dia Dinah. Anak XII IPA 3," terangnya.

Remaja itu mengangguk paham. "Ok, thanks!" Setelah mengatakan itu, ia ikut menyusuli gadis itu.

Dinah berjalan seorang diri ke arah kelas. Sebelum sebuah suara menyerukan namanya. 

"Dinah!" panggil seseorang. 

Dinah menoleh ke belakang, gadis itu mengernyitkan dahi. Baik, siapa itu? 

"Lo Maidinah Hafidzah, kan?" tanya pria itu. 

Dinah mengangguk pelan, tanpa melepas tatapannya dari objek di sampingnya kini. Ia tak pernah melihat pria ini sebelumnya. Anak baru, atau kakak kelas?

Gadis itu menganggku. "Siapa, ya?" tanya Dinah penasaran. 

Pria dengan eye smile itu mengulurkan tangan, "Jifran Bagaskara," katanya menyebutkan nama memperkenalkan diri. Sesaat Dinah menatap uluran tangan Jifran, sedikit canggung diajak berkenalan di lorong sekolah seperti ini. 

"Oh, ok. Anak baru?" tanya Dinah lagi. 

"Iya, anak baru. Lo XII IPA 3, kan?" lanjutnya mengikuti langkah Dinah. 

"Hum, iya," balas Dinah singkat. 

"Gue juga di kelas itu, tadi gue sempat tanya anak-anak yang ngumpul di sana nama lo," jelas Jifran sembari menunjuk tempat yang ia maksud, sepertinya pria itu tahu pikiran Dinah. 

Dinah tersenyum tipis, Jifran tertegun tapi dengan cepat menormalkan wajahnya. Senyum Dinah amat manis menurutnya.

***

Tadinya Dinah pikir, Jifran orang yang membosankan. Ternyata tidak juga, untuk ukuran murid baru, Jifran hebat dalam mencari pembahasan dan mencairkan suasana. Dulu, Arga juga seperti ini. Pria hangat, dan mampu membuatnya jatuh cinta berkali-kali. 

Ngomong-ngomong, tidak biasanya Arga sedikit terlambat. Ia menunggu prianya itu di depan pintu kelas bersama Jifran. Katanya sih, dia mau sekalian nungguin wali kelas mereka. Supaya pas masuk, langsung perkenalan diri. 

Lima belas menit berlalu, tapi justru malah yang terlihat Arsyana berlarian menghampiri Dinah. Gadis bermata bulat itu terengah, napasnya diatur pelan. 

"Pagi, zheyenk," sapa Arsyana dengan gaya alay dan mengalungkan lengan pada leher Dinah. 

"Ikh ... Sya, berat tahu?!" keluh Dinah. 

Arsyana terkekeh mendengar keluhan sahabatnya itu, tapi kemudian menyadari eksistensi seorang pria yang berdiri di samping Dinah. 

"Siapa?" tanya Syana sembari menyenggol pelan bahu Dinah. 

Dinah melirik ke arah Jifran, "oh ... ini namanya Jifran Bagaskara, anak baru katanya," terang Dinah. 

Arsyana ber-oh ria, mengulurkan tangan pada Jifran. "Arqian Arsyana, salam kenal." 

Jifran menyambutnya diiringi senyuman, hingga matanya nyaris menghilang. "Jifran Bagaskara, salam kenal kembali." Kemudian tautan tangan itu terlepas. 

Arsyana mengajak Dinah duduk menunggu di dalam kelas bersama Jifran, mereka bertukar cerita hal-hal random. Setelah diketahui, ternyata Jifran seorang atlet Silat sabuk hitam, serta pemegang sabuk hitam untuk Taekwondo sama seperti Arga dan Arsyana sendiri. Sebenarnya obrolan ini didominasi oleh Jifran dan Arsyana, jadi Dinah sekadar mendengarkan saja. Sesekali juga tertawa jika merasa ada yang lucu. 

Dinah teringat sesuatu, lalu menyentuh pelan lengan Arsyana yang membalasnya dengan mengangkat alis kiri. Seolah bertanya 'Ada apa?' pada Dinah. 

"Mamah lo gimana? Udah baikkan?" tanya Dinah serius. 

Arsyana mengernyitkan dahi dengan tampang cengo, "emang Mamah kenapa?" 

Bukannya menjawab, Arsyana malah balik bertanya. "Loh, bukannya Mamah lo sakit, ya? Kemarin waktu gue jalan sama Arga, dia izin pulang. Katanya---"

Gadis itu membulatkan matanya sempurna, ekspresinya berubah. Namun, dengan cepat ia normalkan kembali. 

"O-oh, iya, iya. Kemarin Mamah kurang enak badan aja deh kayaknya." Arsyana memotong omongan Dinah. 

Dinah menyipitkan matanya, ada rasa tak percaya dengan apa yang Arsyana ucapkan barusan. Entahlah, Dinah merasa sahabatnya tengah berbohong sekarang. 

"Sya, lo enggak lagi bohong, kan, sama gue?" lontar Dinah membuat wajah Arsyana sedikit menegang. 

Arsyana menggeleng cepat. Jifran yang menyimak pembicaraan, tak mau ikut campur urusan kedua sahabat ini. Pembicaraan kedua sahabat itu terpotong, karena Dinah memutuskan pergi ke toilet sebelum jam pelajaran dimulai. 

Bel masuk berbunyi, para siswa berhamburan ke arah kursi masing-masing. Dinah yang baru saja dari toilet, tak sengaja melihat Arga di ujung lorong. Saat Dinah ingin memanggil, tiba-tiba punggung seorang gadis berada di samping pacarnya. Arga mengusap kepala gadis itu lembut, lalu tersenyum manis padanya. Dari bagian tubuh belakang, Dinah merasa tak asing dengan gadis itu. Seperti pernah melihatnya di suatu tempat. 

Dinah melongo, siapa gadis yang begitu diperhatikan oleh pacarnya itu. Saking fokusnya Dinah pada adegan yang menyentil hatinya, dia sampai tak sadar bahwa seseorang berdiri memperhatikan ekspresi sedihnya sekarang. 

"Pacar kamu?" tanya suara berat memasuki indra pendengarannya. 

Dinah mengangguk lemah, sesaat kemudian menegakkan tubuh mungilnya. Menoleh patah-patah seperti adegan dalam hantu Ju-on. Netranya membelalak sempurna. 

"OM TRISTAN?!" seru Dinah kaget. 

Yang diserukan namanya hanya diam dan menatap datar tanpa ekspresi. 

"K-kok, Om? Gimana bisa ada di sini?" Tristan tersenyum tipis, sangat tipis. Dia tak pernah menyadari Dinah gadis yang sangat menggemaskan. Jika tidak langsung melihat dalam kondisi seperti ini.

***

Tristan mengajak Dinah duduk di rooftop. Kebetulan hari ini jam pelajaran pertama dan kedua kosong, Dinah juga tak kembali ke kelas lagi setelah dari kamar mandi. Arsyana, Nancy, juga Yuna yang meneleponnya sejak tadi sama sekali tak ia hiraukan. 

Yang bergelayut di benaknya saat ini, hanyalah bayangan Arga dengan gadis yang tak ia lihat wajahnya tadi. Penasaran, cemburu, kesal, curiga. Semuanya membaur jadi satu. 

"Ck, apaan sih mikirnya enggak ada yang lain apa?!" decaknya kesal. 

Tristan melirik pada gadis yang kini memandang kedua kaki yang menendang kosong. Ia sedikit tertarik pada Dinah, sikap gadis ini berbeda. Mamahnya ada benarnya juga. 

"Kamu curiga dengan pacarmu tadi?" tanya Tristan tiba-tiba. 

Tak ada sahutan dari Dinah, gadis itu masih diam. Rasanya masih tak percaya pada penglihatannya sendiri. 

"Kalau memang merasa curiga. Lebih baik kamu bertanya langsung. Jangan membuat kesimpulan sendiri," tuturnya santai. 

Dinah menatap lamat pahatan wajah Tristan dari samping, dan malah terbuai oleh pesona pria itu. 

'Sempurna,' gumam Dinah dalam hati. Kemudian mengalihkan tatapannya, perlahan ia berjalan mendekati trealis pembatas lantai rooftop. Membuat helaian hitam nan halus yang diterpa angin sepoi itu melayang teratur. 

Tristan yang menyaksikannya terpesona. Iya, dia terpesona pada gadis yang ia sebut bocah merepotkan itu. Debaran halus menelisik ke dalam dadanya. Surai sepinggang sekelam malam itu begitu indah dan menggoda, pria normal mana pun pasti akan merasakan hal yang sama ketika melihatnya langsung. 

"Mau ikut saya nanti?" tawar Tristan.

"Ke mana?" tanya Dinah tanpa minat. 

"Makan siang."

Dinah kembali diam, lalu menoleh ke belakang. Dan mengangguk pelan. Obrolan selanjutnya tidak sekaku tadi, tapi tetap saja yang banyak berbicara adalah Dinah. Tristan hanya mendengarkan sambil memperhatikan sejuta perubahan ekspresi Dinah. Sesekali juga tertawa kecil. Tristan juga mengungkapkan alasan dia berada di sekolah ini. Pria itu baru saja selesai memberikan penyuluhan untuk anak-anak kelas 10, dan cukup lelah melayani permintaan foto bersama siswi-siswi itu. 

Tiga jam duduk berdua dengan Tristan di rooftop, Dinah memutuskan untuk kembali ke kelas, dan berpisah dengan pria itu di pertigaan tangga. Menolak ketika Tristan berniat mengantarnya hingga ke kelas. 

"Ya ampun, Din. Lo ke mana aja? Gue sama yang lain khawatir tahu, enggak?" cecar Yuna dengan tampang cemas. 

"Tahu, ikh! Katanya cuma ke kamar mandi, malah ilang!" timpal Nancy kesal. Pasalnya seluruh panggilan dan chat sama sekali tak ada yang digubris Dinah.

"Makanya, Din. Lo kalau mau keluar, ajak Abang Iqbal aja!" sambung Iqbal, teman sekelasnya. Dinah memilih untuk tak menjawabnya, memang Iqbal orang yang seperti itu.

Keajaiban dunia sekali, teman-temannya masih di dalam kelas di saat jam istirahat seperti ini. Walaupun mereka tidak belajar, tapi malah bermain yang aneh-aneh. 

"Emangnya lo dari mana, Din?" Kali ini giliran Arsyana yang mengintrogasi. 

"Rooftop," jawab Dinah singkat. Ia sedang tak ingin ditanyai apa pun. Seandainya sahabatnya peka. 

Nancy, Arsyana, Yuna, bahkan berjengit kaget mendengarnya. 

"Ngapain ke rooftop sendirian?"

"Lo kok sampai ke rooftop?"

"Ada masalah apa sih, sampai ke rooftop sendirian?"

Mereka semua berebut tempat mewawancarai Dinah. Gadis itu memijit pelan pelipisnya, mendadak kepalanya terasa begitu pening. 

"Diam!" bentak Dinah.

Bagus, sekarang dirinya menjadi pusat perhatian semua orang di kelas. Lucas sampai cegukan mendengar bentakan itu, sedangkan Jeno tak sengaja menampar Iqbal karena terkejut saat bermain gunting, batu, kertas, dan hukumannya siapa yang kalah harus ditampar. 

Tak ada yang bersuara, Mark selaku ketua kelas pun hanya diam. Dinah itu jarang sekali menjerit tak jelas, sekalinya menjerit malah membuat semua orang kehilangan kata-kata. 

"Ma-maaf ...," lirih mereka bersamaan.

"Dinah, is that you?" tanya Mark dalam keterkejutannya.

Arsyana mendekat ke arah sahabatnya itu. Dilihat dari sudut mana pun, dapat ditebak jika Dinah sedang tidak baik-baik saja. Bertanya di kelas sepertinya bukan ide yang bagus. Arsyana tahu betul, sericuh apa teman-teman yang ada di kelasnya.

Sedangkan Dinah sendiri lebih memilih untuk menelungkupkan kepalanya di atas meja. Matanya terpejam, tapi semua orang tahu gadis itu tidak sedang tertidur.

"Ya ampun, Neng Dinah. Jangan galau gitu, dong. Kan ada Aa Lucas di sini. Kalau itu Mas Arga udah enggak sanggup jadi pacarnya Neng Dinah, masih ada Aa Lucas yang gantiin," ujar Lucas penuh percaya diri.

Di dalam kelas XII IPA 3, Lucas memang dikenal mempunyai tingkat kepercayaan diri terlalu tinggi.

Iqbal yang menyadari bahwa sekaranh bukan waktu tepat untuk bercanda pun bangun, meninggalkan Jeno di depannya. "Cas, bangun lo. Diamuk si Dinah, baru tahu rasa lo entar!" peringatnya serius.

Jifran hanya memerhatikan tingkah teman kelas barunya. Mungkin kalau di sekolah lama, ia juga akan bertingkah seperti itu, tapi di sini beda cerita.

Baru saja Lucas akan kembali membuka mulutnya, kepala Dinah terangkat. Membuat manik beningnya menatap tajam Lucas yang masih duduk di depannya.

"Mending lo diem, deh, Cas. Berisik tahu?!" bentak Dinah. Kali ini sama sekali tak ada rasa bersalah.

Dinah merasa sudah cukup hari ini. Pikirannya masih berkelana ke tempat lain. Lebih tepatnya kepada Arga, juga gadis misterius tadi. Dinah tak ingin seperti ini. Namun, mengingatnya saja sudah mampu membuat ia kesal setengah mati.

****

Tristan menggandeng Dinah ke sebuah cafe. Tadi Dinah sempat minta diantar Arga ketika jam istirahat, tapi pria itu bilang dia ada rapat penting lagi. Berkaitan dengan penggantian anggota OSIS selanjutnya. Ya, kelas XII sebentar lagi memang harus fokus ujian. Bukan sebuah hal yang perlu dicurigai sebenarnya. Meskipun Arga malah terlihat keluar dari area sekolah, dan Tristan melihat hal itu. Tepat sebelum Dinah memberitahukan kepadanya. Jadi lah sekarang dia benar-benar makan siang dengan Tristan. Ngomong-ngomong, lelaki itu ternyata tak langsung pulang saat berpisah dengan Dinah tadi, tapi malah menunggu Dinah sampai pulang. 

Mencari letak meja yang pas untuk mereka berdua, Tristan melirik ke arah meja di dekat kaca yang mengarah langsung ke jalan besar. Baru saja kakinya akan melangkah, pria itu malah kembali memundurkan tubuh bongsornya. 

"Ouch," ringis Dinah yang tak sengaja menabrak punggung lebar Tristan. 

"Maaf," kata Tristan singkat tanpa menatap Dinah. 

"Ikh, Om. Kalau mau berhenti itu bilang-bilang, dong!" gerutu Dinah jengkel. 

Tristan tak menanggapinya. Manik tajam itu fokus pada meja yang berada di depan meja yang ingin ia pakai dengan Dinah. Di sana ada sosok pria yang tengah tertawa bersama gadis manis berambut sepunggung. Gigi kelincinya menjadi ciri khas, meski Tristan baru sekali melihatnya. Itu pun cuma sekilas. 

"Kita cari cafe lain." Tristan menarik Dinah keluar tanpa persetujuan. 

"Loh, kenapa Om?" Dinah yang akan menoleh ke belakang, kepalanya dengan cepat ditahan oleh Tristan. 

Kedua tangan besar pria itu menangkup pipi kemerahan Dinah. Menatap dalam manik bulat gadis berkulit pucat itu. Jantung Dinah berdetak dua kali lebih cepat, ia gugup. 

"O-om ...," panggil Dinah pelan menyadarkan Tristan. 

"Maaf, kita pulang saja, ya?" tawar Tristan. Dinah mengangguk, kepalanya tertunduk kini. Entahlah, ia terlalu malu untuk menatap pria itu sekarang.

Semua yang terjadi hari ini begitu aneh menurut Dinah. Kecurigaannya pada Arga, keberadaan Tristan di sekolahnya. Seolah itu telah dirancang takdir dengan baik.

To be continue.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status