Share

2. Aneh

Tak paham debaran aneh itu berasal dari mana? Yang aku tahu, ketika hal itu tiba seakan memorak-morandakan kerja jantungku. Kalau ini terus berlanjut, sangat membahayakan bagi kesehatan jantung itu sendiri.

----------

Waktu begitu lamban bergulir, perjalanan jarum detik seperti siput yang merayap. Kejadian tadi siang di kantor Mas Reza, hampir seluruh memenuhi otak. Entah mengapa, mendengar kalimat Mbak Rita yang lembut, malah seperti suara monster melewati gendang telingaku.

Ah, kadang ada sesal wanita gemulai nan ayu itu selalu bersikap baik. Jadi semakin menekan hati ini, tak berdaya dibuatnya.

Kuakui memang. Tak ada apa-apanya diri ini dibanding mantan Mas Reza itu. Ia terperlajar, berkarier, elegant, cantik, cerdas, baik, lembut, dan keluarga terhormat.

Terutama, ada Caca menjadi saksi nyata, kisah cinta mereka. Aku? Berbanding terbalik dari kriteria semua itu. Ditambah sikap Mas Reza, bagai enggan saja melihatku, apalagi untuk disentuhnya.

Andai ada Oma, mungkin hubunganku dengan putranya tak serumit ini.

Teringat malam pengantin. Oma memaksa kami sekamar. Aku menolak halus, "nantilah, kalau kami sudah saling mengenal." Oma tidak terima alasan. "Kalian sudah dewasa. Ntar kenalannya di tempat tidur saja!" titahnya pada kami saat itu.

Walaupun aku tidur di kasur dan Mas Reza di sofa, itulah pertama sekaligus terakhir sekamar dengan pria maskulin itu selama dua tahun pernikahan ini.

Sayang sekali. Esok hari, Oma harus berangkat ke kota seberang lautan, menunggu Dina --adik Mas Reza--melahirkan, anak ketiganya.

Kata Oma, sudah ada aku menjaga Caca di sini. Di sana, ia dibutuhkan, maka jadilah kami hanya saling berkomunikasi lewat HP.

Ah, Oma, aku merindukanmu.

Pukul dua pagi, bunyi alarm, rutinitas malai, menyadarkan dari tidur. Ternyata aku menangis sampai lelap.

Astagfirullah, belum salat. Buru-buru aku mengambil wudu dan bermunajat kepada Allah, Sang Pemilik segalanya.

Selesai melaksanakan salat Isa, tahajud, dan pengaduan panjang kepada Rabb, sesak ini mulai berkurang. Aku menarik nafas dari hidung, lalu membuangnya lewat mulut. Huft ...

Pelan aku melangkah keluar, mengambil minum dan mengecek kamar Caca, termasuk rutinitas malamku juga.

Eit. Kaget. Mas Reza tidur sambil memeluk puterinya. Tidak biasanya.

Aku mendekat, menelisik setiap inci rupa mereka berdua, raut Caca yang cantik warisan sempurna dari ayahnya. Ah, ternyata Mas Reza lebih memesona dari jarak sedekat ini.

Pantes, rasa aneh itu mengaliri setiap pori ketika bersamanya.

Wajahku terasa memerah menikmati debar indah di hati.

***

"Bunda, ayo ganti baju Ayah ngajakin ke pantai," ucap Caca, lengkap dengan baju santai. Mas Reza siap dengan pakaian sama.

"Bunda, selesaiin benahan dulu, ya, Sayang," ucapku membereskan bekas makan sarapan pagi tadi.

"Biar aku terusin. Bunda, siap-siap aja, sekarang." Mas Reza mengambil alih.

Deght, kaget lagi. Debaran aneh membuat jantung terasa bergeser. Mas Reza memanggilku, Bunda. Biasanya cuma Zahrah aja.

Aku menatapnya dengan kening berkerut, ia tersenyum manis. Belum sempat memperbaiki posisi jantung, Caca menarik lenganku ke kamar.

Di luar, Mas Reza lengkap dengan sepatu santainya. Ia mengambilkan sepatu untuk Caca.

Dan ... Sepatuku juga ia bawa.

Aduh, kaget lagi.

Debaran aneh itu, kembali memompa jantung lebih cepat.

Kalau begini terus, bisa-bisa berbahaya bagi kesehatan jantungku.

"Kok, melamun? Mau dipakein juga, seperti Caca?" Cepat aku memakai sepatu yang disodorkan tadi, sambil memikirkan perubahan sikap. Mas Reza.

"Kita pakai mobil, Bunda, aja, ya?" Mas Reza duduk depan kemudi. Caca naik dan duduk di kursi tengah. Aku menunggu sampai mobil keluar, naik setelah mengunci pagar rumah.

Duduk depan. Lagi-lagi Mas Reza, membuat jantung ini tak stabil dengan debaran anehnya.

Ia memasang set belt di kursi dudukku.

Terpaku, serasa aliran darah berhenti mengalir.

Wajahnya begitu dekat saat memasukkan knop set belt di samping kiriku.

Merapatkan tubuh di sandaran kursi, menahan nafas agar ia tak tahu ributnya kerja jantungku saat ini.

Ada apa denganmu wahai Mas Reza? Sikap anehmu bisa-bisa merusak organ utama tubuhku.

Sepanjang perjalanan, Mas Reza dan Caca mengikuti Shalawat Aiswa Nahlah yang mengalun indah di mobil.

Sesekali aku tersenyum melihat pola mereka dan tak henti memikirkan perubahan lelaki jangkung pemilik mata teduh itu.

"Bunda, ayo, kita main air." Caca menarik tanganku. Mas Reza mengikuti di belakang setelah mengunci mobil dan menyewa pondok kecil, tak berdinding. Khusus disewakan untuk pengunjung.

"Bunda, ke pondok itu, ya. Caca main berdua aja, ma, Ayah" Aku melangkah, setelah mendapat anggukan Caca.

Hari libur, pantai terlihat ramai. Pondok-pondok tak ada kosong, bahkan beberapa gerombolan pengunjung, agak siang datang, menggelar tikar di bawah pohon dekat pantai.

Caca asyik membuat istana pasir, pakaianya basah setengah badan. Di samping caca, Mas Reza, terlihat menerima telepon.

Pria pembuat debar itu melambaikan tangan, tak lama berselang, dua wanita datang dengan pakaian modis.

What? Jantung kembali bergeser dari posisinya, kali ini seperti gong ditabuh keras.

Mbak Rita!

Cuaca yang tadi panas-panas melow, berubah pengap, setidak itu yang kurasakan.

Air mata mulai runtuh, memikirkan kemungkinan mereka hari ini, di tempat seperti ...? Jangan-jangan ...? Janjian? Atau ... ? Mereka punya rencana ...? Ah! Kepalaku penuh praduga.

Mas Reza tak lepas mengawasi. Aku mengalihkan bola mata dari pemandangan yang membuat jantung bagai tertancap ribuan panah.

Dering telepon panggilan vidio, membuyarkan konsentrasiku. Oma!

"Assalamu alaikum, Oma. Zahrah Rindu!" seruku meloloskan air mata, setelah memandang Oma di layar.

Ya, air mata rindu pada Oma dan air mata sesak karena putranya.

"Kamu baik-baik aja, kan, Zahrah? tiba-tiba aja, Oma mengkhawatirkan kalian." Aku semakin terisak mendengar kalimat Oma.

Lekat memandangi ibu mertuaku di layar HP. Wanita umur kepala lima itu, selalu tahu keadaan diri ini, meski jauh.

"Semua baik-baik, kok, Oma. Cuma ... Zahrah, rindu." Buru-buru menghapus air mata, untuk menutupi kegalauan. Sedang di balik layar, beliau terkekeh.

Alangkah haru rasanya punya mertua seperti beliau. Sedangkan di luar sana banyak rumah tangga hancur gara-gara mertua.

"Mana? Caca? Reza?" Oma mengalihkan pembicaraan.

Refleks mencari dua Sosok itu di tengah keramaian. Tempatnya sudah diganti orang lain

"Kami, di sini, Oma." Mas Reza menggendong Caca muncul dari samping, dengan tawa renyah.

Caca memeluk leherku dan Mas Reza mencium pipiku. Spontan aku berbalik kearahnya, ia tersenyum melambai ke layar ponsel.

Sekuat tenaga menahan debaran aneh itu lagi, jangan sampai merusak kerja jantungku, agar Oma yakin, kalau kami benar baik-baik saja.

Lama berbincang, sampai Caca memutar HP memperlihatkan suasana pantai pada Oma.

Sedang aku sesekali merabah pipi, sibuk memaknai perlakuan Mas Reza. Apakah ciuman itu murni karena kemauannya? Atau hanya acting saja depan Oma?

Argh! Debaran jantung ini terasah entah, untuk menjawab teka-teki itu.

Jam menunjuk angka sepuluh, saat kami berkemas pulang.

Selesai membersihkan badan Caca di toilet umum dan mengganti pakaiannya, sosok pria dengan suara tak asing menyapa.

"Kamu, Zah, kan? Zahrah Maulidia? Yang diberi gelar, si bisu, saking pendiamnya? Putri sulung Pak Bagus? " Pria itu melipat dahi sambil mengingat.

"Iyya. Anda, siapa?" tatapku menyelidik dengan mengerutkan Alis. Seseorang menyebut nama lengkap, gelar, dan nama bapakku.

"Ya, Allah, Zah, lima tahun baru bertemu, wajarlah lupa. Aku Danar, Zah, Danar yang ...," ucapnya melirik Mas Reza, "kakak kelas, sekaligus tetangga kampung kamu?" lanjutnya.

"Oo... ingat, ingat, gimana kabar tante?" Aku menjawab, lantas cepat menunduk, menatap ke bawah sambil melirik Mas Reza yang memainkan HP.

Nampak wajahnya merah, mungkin habis di bawah matahari tadi.

"Beliau, sudah dipanggil dua tahun lalu," jawab Mas Danar sedih ketika aku tanyakan ibunya.

"Innalillah..., sabar, ya?" Mas Danar mengangguk.

"Eh, kenalin. Ini suamiku." Aku menunjuk Mas Reza. Mereka lantas berjabat tangan.

"Yang ini, putri kami." Caca menyentuh punggung tangan Mas Danar, tanda takzim kepada orang yang lebih tua. Mas Danar mengusap-usap kepalanya, "Cantik!" ucapnya dengan senyum.

"Aku permisi duluan, Ya, Zah, Mas." Ia menunjuk segerombolan orang melambai padanya. Kami pun mengangguk.

Pria yang tak jauh tingginya Mas Reza itu pamit dengan menangkupkan tangan ke depan, aku pun melakukan hal sama.

Perjalanan pulang, Caca tertidur memeluk boneka kesayangannya. Lelah lari ke sana-ke mari di pantai.

Aku melirik Mas Reza fokus menyetir. Menilik wajahnya datar saja ketika ada lelaki yang mendekatiku, seperti Mas Danar tadi.

Ataukah, hanya aku saja yang cemburu apabila ia dekat sama wanita lain? Apa lagi sama mantanya?

----------

"Zah, Maafkan aku, ta'aruf ini tak bisa dilanjutkan." Suara Mas Danar di balik telepon.

"Iya," jawabku singkat.

"Buat bapak-ibuk. Tolong sampaikan sembah sujud maafku kepada beliau, atas pembatalan ta'aruf ini."

"Iyya," jawabku sama.

"Aku berangkat besok ke kota, melanjutkan S2, Zah. Dan ..." Ia mendesah panjang, "Tunggu ak ...." Ia menggantung kalimatnya.

Aku berfikir lama, desahan nafasnya terdengar gelisah.

"Maaf, Mas, menunggu seseorang yang belum tentu jodoh. Menurut Zahrah, seperti menanti hujan di tengah kemarau." intonasiku pelan tapi tegas.

"Kita jalani saja, Mas!. Nggak usah saling menghalangi. Kelahiran, rezeki, jodoh, dan maut. Allah sudah tentukan sebelum kita lahir ke dunia," ujarku selanjutnya meniru bahasa bapak ketika beliau mewanti-wanti pembatalan ta'aruf ini.

Mas Danar terdengar menghela napas panjang, bergetar.

"Zahrah harap, nggak perlu saling menghubungi seperti ini. Karena kita tidak tahu cara kerja setan." Pelan aku memilih kalimat, untuk menjaga perasaanya.

Aku menutup telepon setelah Mas Danar menjawab dari seberang.

Sama sekali kami tidak menyesali ataupun menyalahkan Ibu Mas Danar menolak melanjutkan ta'aruf ajuan putranya kepadaku. Perbedaan strata sosial terlalu jauh.

Aku dan Mas Danar bukanlah teman dekat, sahabat apalagi sepasang kekasih,.meskipun masih ada hubungan kekerabatan.

Kami teman satu angkot. Kebetulan satu arah, satu sekolah, itupun kalau motor Mas Danar masuk bengkel.

Mas Danar datang ta'aruf kerumah lima tahun setelah meninggallkan masa seragam putih-abu-abu.

Pada saat itu, ia telah mnyelesaikan S1-nya. sekaligus sudah jadi salah satu staf pengajar di tempat kami menimba ilmu yang sama.

Berfikir untuk kuliah seperti Mas Danar, jauh dari anganku. Tamat di tingkatan menengah atas saja amat disyukuri.

Ikut kerja sebagai karyawan di rumah laundry milik keluarga dari ibu adalah kegiatan mengasyikkan buatku. Sebahagian hasilnya, bantu biaya ketiga adik yang masih sekolah.

Aku dan keluarga tak perna mengira Mas Danar datang ta'aruf ke rumah. Melihat ia punya niat baik, kelurga tak menghalangi.

Ya, walaupun, pada akhirnya, ending sudah terbaca melalui judul.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status