Share

3. Wisuda Caca

Setiap jepretan kamera itu mengambil gambar, cahaya yang ditimbulkannya bak tombak, melayang menghujam jantungku. Perih tak terkira.

--------------------

Suara decitan pagar membuyarkanku dari lamunan lima tahun silam. Mengumpulkan kesadaran, ternyata mobil sudah terparkir di garasi.

Melihat Caca tak ada di tempat, segera mengambil barang dari mobil. Selangkah berbalik, bruk ..., tak sengaja menabrak dada Mas Reza, muncul dari arah pagar.

Kontak fisik tanpa sengaja membuaku terpaku, aroma parfum menusuk penciuman. Lagi-lagi debaran aneh hadir tanpa diundang dan itu terjadi begitu lama, dibanding kejadian yang hanya beberapa detik.

"Maaf, Mas. Aku nggak sengaja."

"Kamu sehat, kan?" tanya Mas Reza menelisik. Aku mengangguk dan segera berlalu, tak ingin ia tahu perubahan warna wajahku.

***

"Kantor rencana buka cabang di luar daerah, aku mendapat tugas menyurvei lokasi."

Sambil menyesap kopi, rutinitas malamnya, Mas Reza menatapku lekat. Caca menikmati film kartun kesayangan setelah menyiapkan persiapan buku-buku sekolah besok pagi.

"Berapa lama, Ayah?" Caca mendekat dan bergelayut manja. Bahasa seperti itu mampu ia pahami di umurnya sekarang, mungkin karena sudah biasa ditinggal pergi dengan alasan sama.

"Sekitar sepekan, atau bisa lebih, tergantung dari pekerjaannya, Sayang."

"Lima hari lagi, kan, Caca udah tamat. Ayah nggak sempat, dong, lihat Caca pakai topi wisuda?" Kedua tangan mungil itu membentuk toga di atas kepalanya.

Mas Reza mengalihkan pandangan meminta penjelasan, aku mengangguk meng-iyak-kan lalu tersenyum melihat tingkah Caca, sambil melanjutkan setrikaan pakaian hampir selesai.

"Nanti ayah usahain datang." Ia beucap sambil mengelus rambut putrinya, disambut sorakan Caca.

***

Hari yang ditunggu telah tiba. Senyum merekah tak henti menghiasi bibir Caca, melihat sang ayah memasuki tenda acara, menepati janji. Meskipun terlambat, datang saat sesi foto, tapi itu lebih baik daripada tidak sama sekali.

Ada rasa bahagia melihat langsung pemilik wajah memesona itu. Akhir-akhir ini ia semakin sering video call, bahkan setiap waktu. Namun, bertemu tanpa sekat layar menghadirkan debar kuat di balik dada.

Mas Reza datang tidak sendiri, ia bersama lima anggota timnya. Rasa bahagia itu seketika berubah menjadi durja, bagiku, mengetahui Mbak Rita dan temannya yang kulihat di pantai termasuk tim tergabung.

Tiba-tiba seperti ada bongkahan batu menahan lajunya pernafasanku.

Selayak teman akrab, aku dan Mbak Rita berpelukan, kebiasaan kami jika bertemu. Walaupun tak natural, kucoba bersikap biasa.

Lihatlah, lagi-lagi ia bersikap lembut, tanpa beban, dan sopan. Memomosisikan wanita cantik itu, di mana tempatnya selalu berpijak. Sempurna!

Caca begitu antusias untuk berfoto keluarga setelah melakukan bersama dengan guru dan teman-temannya.

Suasana hatiku semakin canggung, melihat Mas Reza dan Mbak Rita mengambil gambar bersama Caca, kemudian selfi-selfi juga.

Dada kian sesak, debaran membuncah, seperti genderang mau perang. Air mata pun tak mau diajak kompromi, ia siap mengalir kapan saja, tanpa permisi.

"Bunda ke kamar kecil dulu, ya, sayang," ujarku pada Caca.

Lagi, aku mencari alasan untuk tak menyaksikan setiap jepretan kamera itu. Cahaya yang ditimbulkannya bak tombak melayang menghujam jantungku, tepat sasaran. Argh .... Sakit tak berdarah.

Di samping bangunan sekolah, kutumpahkan semua sesak di wastafel, untung tidak orang. Kupegangi dada, terasa perih, kalimat zikir kulantunkan dalam hati, terus. Berkali-kali menghapus air mata yang seakan enggan untuk berhenti.

Rasa ini membuat otakku tak mampu berpikir jernih. Tak ingin rasanya keluar dari tempat ini sampai acara selesai. Takut pertahanan lemah ini jebol.

"Bunda ...!" Suara Caca terdengar dari luar. Buru-buru aku membersihkan wajah, memasang make up tipis, dan merapikan jilbab. Berharap wajahku nampak alami kembali.

"Iyya, sayang." Aku keluar dengan mata sembab. Caca menyelidik, wajahnya khawatir. Mas Reza berdiri dari jarak tiga meter mengawasi. Mungkinkah ia cemas seperti Caca?

"Bunda nggak apa-apa, sayang, cuma pusing sedikit." Aku mencairkan ekspresi cemasnya, ia pun tersenyum, lalu Caca menuntun ke arah sang ayah yang menunggu.

Netra Mas Reza memindai, munhkin mencari kebenaran pada kalimat kulontar pada Caca. Aku membuang wajah sembarang tempat jika bersitatap matanya. Entah kenapa hatiku tak sanggup berhadap langsung dengan sosok maskulin itu saat ini.

"Ke dokter?" Tawarannya hanya membuatku semakin meloy.

"Enggak perlu, Mas. Ntar berhenti sendiri, kalau dah isrtirahat," ucapku berusaha sedatar mungkin.

Kulirik ke dalam tenda acara yang digulung naik, terlihat pada sebuah meja, tim Mas Reza menyantap makanan yang disajikan panitia sambil bercanda ria, termasuk Mbak Rita

Tiba-tiba kakiku berat menuju tempat itu lagi.

"Bunda pulang aja duluan, ya, sayang. Kan, ada ayah." Alasan yang selalu sama apabila rasa ini tak mampu lagi untuk kubawa.

Aku langsung melangkah, tanpa mendengar jawaban Caca, sambil mendongak ke atas, menahan air mata agar tak tumpah.

Belum genap tiga langkah, tangan kekar Mas Reza menahan lenganku dan ..., menggenggamnya.

Kaget. Sela-sela jarinya ia masukkan kedalan sela jariku. Erat.

Aku berbalik, matanya menatap syahdu. Aku berusaha merenggangkan, ia semakin mengeratkan genggaman.

Genggaman itu menciptakan debaran hangat, sisi hatiku menahan keinginan untuk pergi.

Arhg, alangkah lemahnya jiwa ini di hadapannya. Benarlah kata bapak-ibu, aku tipe wanita suka menyimpan rasa sendiri, cepat kasihan, dan bicara sepentingnya.

"Kalau mau pulang, kita sama-sama," ujar Mas Reza.

"Setuju," tambah Caca. "Acaranya juga udah selesai kok," lanjutnya.

Refkeks tangan memeluk Bidadari kecil itu, lama, lantas mencium pipi kanan-kirinya. Meskipun dia tidak lahir dari rahimku, ia seperti putriku sendiri.

Saksikanlah! Bahkan sekarang ia rela meninggalkan teman-temannya yang sedang menikmati momen-momen perpisahan demi egoku.

"Maafkan bunda sayang, bunda nggak jadi pulang, ayo sekalian kita habisin acaranya!"

Caca melonjak senang, kulirik Mas Reza menarik napas lega. Mungkinkah genggaman tangan ini hanya sekedar menahanku saja demi putrinya?

Kami menuju tempat acara. Tangan kanan Mas Reza menggendong Caca, sedang tangan lain, ia gunakan kembali menggenggam tanganku.

Kali ini aku menurut, kembali menikmati debar nano-nano yang tiba-tiba menguasai. Ini kedua kali kami kontak fisik, dengan sengaja dan penuh perasaan. Mungkin, aku saja merasa begitu.

Aku melirik Mbak Rita, sekilas ia bersikap datar saja mellihat Mas Reza tak melepaskan genggaman, sampai duduk bergabung dengan mereka.

Bahkan wanita itu, menyambut dan mendudukkan aku di sampingnya. Pantaskah hati ini membenci dengan kelembutan yang selalu ia tampilkan mulai dari pertemuan pertama?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status