Share

5. Cemburukah dirimu, Mas?

Mas Reza memeluk Caca, netranya tak lepas dariku. Kalau ia bersikap aneh begini terus, bisa-bisa aku periksa di poli jantung.

-----

"Ada yang nyariin, Mbak, penting katanya," bisik Angga ketika aku sedang menata meja untuk menyiapkan makan siang untuk para tamu dan kerabat.

Aku mengangguk, tapi tak menghiraukan. Mengingat adikku yang baru tamat SMP itu sering bercanda.

"Cepetan, Mbak, ntar tamunya pulang." Tak beranjak Angga menunggu.

"Serius, ni? Cacanya mana? Kok, ditinggal pona'annya?"

"Itu ... Caca sama tamu yang nyariin, Mbak." Ia menunjuk ke luar

Dahiku mengernyit, tumben Caca mau diambil sama orang baru?

Aku menyelip keluar di antara keramain kerabat. Ibu duduk di ruang tengah berbincang dengan tetamu.

Di bawah tenda pengantin yang telah terpasang tiga hari lalu, banyak keluarga laki-laki bercengkrama antar mereka.

Kucari sosok Caca.

Deght.

Jantung ini kembali bergeser, melihat Caca duduk di pangkuan Mas Reza. Di sebelahnya ada bapak, om-om dari keluarga ayah-ibu, dan Mas Danar.

Tampaknya mereka serius melepas temu kangen, saling berbagi cerita.

Kulihat Angga tertawa cekikin dekat Mas Reza. Tuh kan, anak itu mengerjaiku lagi.

Mengedarkan pandangan mencari anggota tim Mas Reza, sepertinya tidak ada. Aku langsung mengucap syukur dalam hati.

Maafkan hamba Ya, Allah, bukannya tak menginginkan tamu, tapi hati ini belum mampu ikhlas melihat Mas Reza bersama mantannya.

"Dari tadi datang, Mas?" Aku mendekat, Mas Reza menyodorkan tangan. Untung otak bereaksi cepat, lalu meraih tangan itu, kemudian mencium punggung tangannya.

Benar-benar aneh ni Mas Reza, sudah datang lebih awal dari rencana, eh, sekarang nyodorin tangan untuk takzim. Padahal sebelumnya tidak pernah memberi kesempatan.

Pura-pura lupalah, sibuklah, nggak ngelihatlah. Ah, sudahlah! Mudah-mudahan ini awal baik untuk hubungan yang rumit ini.

Keheranan itu terkalahkan dengan debar yang semakin meningkat, Mas Reza tak melepas tangan itu dan kembali mengenggamya di depan keluarga.

Suara-suara kerabat melihat suasana itu sontak terdengar seperti nyanyian. "Rindu ni ye," "Efek lama nggak ketemu!" dan "Pengantin lama pun nggak mau kalah." Beginilah situasi kampung, pasti beda di kota.

Entah bagaimana warna wajahku sekarang, Mas Reza malah senyum, sambil menatap lekat. Ia kian menguatkan genggaman ketika aku bereaksi ingin lepas. Sepintas kutangkap dengan ekor mata, Mas Danar menatap ke bawah.

"Udah, udah ...! Antar suamimu masuk! Dia butuh istirahat," titah bapak.

Kami pun permisi, lantas melangkah masuk. Caca menggelayut di gendongan sang ayah. Angga membawa koper Mas Reza, sementara aku masih seperti magnet di tangannya.

Mas Reza singgah sowan ke ibu, sebelum kuantar ke kamar.

"Kata bunda besok ayah baru datang, kok, ...?" Caca meminta penjelasan Mas Reza datang tiba-tiba.

"Rindu ayah udah nggak ketahan ma Caca dan Bunda, jadinya janji dipercepat, deh." Pria umur kepala tiga itu mengulas senyum sambil memeluk Caca, netranya tak lepas dariku.

Kalau ia bersikap aneh terus begini, bisa-bisa aku periksa di poli jantung.

"Mas, tidur di sini aja, ntar Zahrah ke kamar Angga," ucapku mengingat kami tak sekamar di rumah.

"Percuma, dong, aku ninggalan kerjaan kalau kamu ...." Ia menjawab terpotong, lalu menarikku duduk di sisinya. Tatap pria itu tak mampu kumaknai.

Nyaris tak sanggup bernafas stabil dalam posisi sedekat ini dengannya.

"Jangan kemana-kemana, dong, Bunda. Kan, asyik, ngumpul semua di sini"

"Tuh, kan, Caca aja tahu. Masak ka-."

"Oke, oke, bunda kalah. Dua lawan satu, sih." Refleks mereka tertawa bersamaan.

Acara nikahan Raina selesai kemarin, hari ini kami OTW kembali ke rumah. Kali ini Mas Reza nyetir mobil.

Reno pulang duluan dengan alasan tak ingin ninggalin rumah laundry lama-lama.

Berhubung karena perjalanan agak jauh, aku duduk di tengah bersama Caca.

Bibir mungil itu tak henti bercerita tentang pangalaman, hal-hal dia suka, dan apa saja yang menarik di pikirannya

"Ayah, kapan-kapan kita ke rumah kakek-nenek lagi, Caca suka banget, deh." Ia memeluk boneka pandanya.

"Iyya, sayang, pasti itu," jawab Mas Reza melempar senyum ke arahku.

"Oh, ya, Om Danar bilang, Caca cantik seperti bunda."

Aku dan Mas Reza langsung tersedak dan batuk hampir bersamaan.

Buru-buru menyerahkan air botol mineral yang telah kubuka tutupnya, lantas mengambil sendiri untukku.

Laju mobil perlahan berjalan pelan, Mas Reza meneguk air di botol sampai setengah.

"Terus, Om Danar, bilang apa lagi?" Mas Reza bertanya, sepertinya penasaran.

Pria ganteng itu menelisik wajahku lewat kaca spion depan, seketika ada perasaan risih menguasaiku. Dalam hati aku terus berdoa, mudah-mudahan Caca nggak salah ucap.

"Om Danar bilang, kalau besar nanti Caca harus seperti bunda. Pinter, penurut, baik, sayang keluarga, terus sholihah."

Laju mobil terasa semakin pelan. Debar gelisah mulai muncul di dada, sekuat hati kuabaikan dan bersikap datar, karena memang aku dan Mas Danar tidak ngapa-ngapain.

"Oh, ya? Emang Om Danar belum punya adek seperti Caca?"

"Kata Om Danar, belum. Pengantin seperti tante Raina aja belum. Katanya, susah nyari seperti bunda." Kali ini aku yang tersedak keras.

Mobil tiba-tiba berhenti. Untung jalanan belum terlalu ramai, kalau iyya, klakson pasti bersahut-sahutan dari belakang.

Mas Reza menghabiskan air mineral, mengambil nafas lalu membuang kasar. Perlahan ia memijit keningnya.

"Ayah, kenapa? Sakit?" Caca mendekat, memastikan keadaan sang ayah, pun aku melakukan hal sama.

"Trus, Om Danar bilang apalagi?" Mas Reza masih bertanya.

"Udah, ah, ceritanya. Entar ayah tambah sakit kepala kalau dilanjut."

"Enggak, sayang. Bukan cerita Om Danar membuat kepala ayah sakit, ka-karna kerjaan ayah aja," jawab Mas Reza terbata, bibirnya menarik senyum dipaksakan.

"Oo, kirain ... " Caca tersenyum ceria kembali. "Om Danar bilang Caca dan ayah beruntung banget dapetin bunda. Jadi, Caca dan Ayah harus jagain Bunda baik-baik, jangan di bikin nangis, dan jangan tinggalin sendiri." Caca menjeda kalimatnya, lalu menatap ke depan. "Ya ..., udah, itu aja, Caca capek ceritanya."

"Ayah, Bunda, kita pergi makan di sana, Yuk?" Tangannya menunjuk warung sekitar lima meter di depan.

Aku melirik jam di tangan, hampir Duhur. Pantas Caca minta makan.

Aku menunggu reaksi Mas Reza, sepertinya lagi memikirkan sesuatu.

Mas Reza turun dari mobil, lantas membuka pintu tengah, kemudian menarik Caca dalam gendongannya, dan ia pun menyodorkan tangan ke arahku.

Gugup mendapat perlakuan seperti ini, seperti di drama-drama korea yang lagi naik daun. Debar kembali berlomba seperti pertunjukan pacuan kuda.

Kusambut tangan kekar itu lantas turun dari mobil.

Sepintas orang yang melihat kami, pasti mengira seperti pada pasangan pada umumny, bila kemana-mana bergandengan tangan. Layaknya kami sekarang.

Jangan tanya keadaan jantungku saat ini, seperti suara knalpot sudah diracing, bising dan bikin mumet.

Berharap dalam hati cukup aku saja yang tahu, alangkah gaduhnya jantung di balik kulit ini.

Kami menikmati hidangan di warung yang lumayan besar. Caca makan sambil terus berceloteh.

Suara notif pesan WA berbunyi beberapa kali. Aku merogoh ponsel dalam tas selempang, sepertinya penting.

Dahi mengernyit mengetahui pengirim pesan.

Mas Reza!

Pesan pertama.

[Kamu harus jalaskan cerita Caca]

Pesan kedua.

[Kamu utang penjelasan tentang Danar kepadaku]

Pesan ketiga.

[Kamu harus ceritakan. Kenapa Danar begitu tahu tentangmu?]

Kupandangi wajah yang berjarak seukuran meja di depan, netranya fokus ke ponsel.

Notif pesan masuk lagi.

[Nggak usah lihat-lihat! Balas aja tu pesan!]

Kenapa juga ini orang semakin aneh?

[Ntar di rumah aku jelasin semuanya] Kukirim pesan balasan buatnya.

Kali ini aku memindai wajah pembuat debar itu untuk mencari arti pesan aneh, tak biasanya.

Baru pertama juga berkirim pesan, langsung berbahasa ketus.

Apakah Mas Reza merasakan hal sama seperti aku malihat ia bersama mantannya? Ataukah hanya sekedar mempertahankan harga diri kelakian ketika ada pria memuja wanita yang telah ia nikahi?

-----

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status