Share

4. Tatapan Intimidasi

Meski lewat layar, mengapa tatapan itu mengintimidasi?

-------

"Sepertinya ayah masih tinggal beberapa hari lagi, Ca. Kamu baik-baik aja ma, bunda, ya?" ujar Mas Reza di balik layar. Dua hari setelah acara wisuda Caca.

"Siap." Gadis periang itu menaikkan jempol.

"Bunda mana?" tanya Mas Reza kemudian. Tergesa aku berlari dari arah dapur saat suara Caca memanggil

"Ayah nyariin, Bunda," ucap Caca menyerahkan HP, kemudian melanjutkan permainan boneka-bonekanya lagi.

Bingung, namun tetap meraih benda pipih itu. Tumben mau bicara langsung sama aku? Biasanya sama Caca aja.

Aku menatap layar, Mas Reza memakai kemeja putih tersenyum manis, sepertinya sudah siap. Ia lantas melambai ke layar dengan kaku, aku melakukan hal sama. Untung ia jauh, kalau tidak pasti ia tahu berisiknya kerja jantung di balik kulit ini dengan jarak begitu dekat.

"Gimana kabarmu?" Menurutku ini pertanyaan basa-basi.

"Baik," jawabku singkat tanpa berani menatap netra teduhnya.

"Masih ada pekerjaan belum kelar, Zahrah. Mungkin aku masih tinggal sepekan lagi."

"Iyya," jawabku sama.

"Kok, iyya, aja. Nggak minta oleh-oleh?" Terdengar kekehannya lembut.

"Hmm ...."

"Segitu aja?" Bibirnya membentuk seukir senyum, manis sekali.

"Oo, ya, Mas, hampir lupa aku sama Caca kayaknya pulang kampung untuk acara nikahan Raina yang dipercepat lima hari, berhubung anak sekolah liburan semester." Kulaporkan hasil pembicaraan dengan Raina delapan hari lalu, sekaligus mengalihkan pembicaraan yang memompa jantung lebih cepat.

Nampak Mas Reza berfikir.

"Aku barangkali nggak bisa lama datangnya, paling kayak acara wisuda Caca, datang hanya pas hari H saja gitu."

"Oo, iyya, Mas. Biar nggak datang juga.nggak apa apa, kok. Keluarga pasti mengerti."

"Kamu ngelarang aku datang, ya?" Ia berucap sambil melipat alis tebalnya.

Inginnya kujawab, iyya, nggak usah datang kalau sama lagi mantanmu, tapi kalimat itu tak mampu keluar. Mungkin suatu hari nanti akan kurangkai kalimat itu untuknya.

"En-enggak, kok. Zahrah ngerti aja kesibukan Mas." Buru-buru aku meluruskan maksud.

"Kamu nyetir sendiri?"

"Reno -adikku, pengelola laundry bersama Raina- yang nyetir. Besok kami udah berangkat, ya?" Aku meminta izinnya.

"Iya, hati-hati di jalan. Termasuk jagain hati kamu."

Kalimat terakhirnya sukses membuat posisi jantung ini bergeser, tanpa sadar aku menautkan alis menantang netranya intuk mencari kejelasan. Namun, ia hanya tersenyum entah.

***

Empat hari kami sudah di rumah bapak ibu, sanak saudara banyak meramaikan. Keluarga jauh nginap di rumah atau di tempat kerabat lain, termasuk Mas Danar, dua hari ini bolak-balik datang membantu.

Caca senang punya banyak teman, apalagi ia diistimewakan oleh bapak-ibu yang memang belum punya cucu. Otomatis ia menjadi pertama juga di keluargaku.

Termasuk Mas Danar, Caca cepat akrab, bahkan Angga -adik bungsuku- biasa membawa jalan-jalan dengan mobil Mas Danar bersama anak-anak kerabat lain.

"Ayah, Caca senang di sini, deh. Banyak teman, disayang semua orang, trus ada Om Danar juga." Cerita Caca pada Mas Reza melalui vidio call, sehari jelang nikahan Raina.

"Oh, ya, bagus, dong. Pantas ayah nggak dirinduin," jawab Mas Reza bercanda. "Trus Om Danar itu siapa?" Aku mendengarkan percakapan mereka sambil memakaikan baju Caca sehabis mandi pagi.

"Om yang ketemu kita di pantai waktu itu, Ayah." Caca mengingatkan.

Wajah Mas Reza langsung berubah, ia menarik lengkungan senyumanya menjadi serius. Pemilik netra teduh itu menatap tajam ke arahku yang sedang menyisir rambut Caca.

Merasa ada salah dari ekspresi itu, sisi jiwa merontah. Meski lewat layar kenapa tatapan itu seakan mengintimidasi?

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status