Jika engkau mampu mengetahui isi hati seseorang melalui tatap mata dan ekspresi wajahnya, lalu kemana saja dirimu selama dua tahun ini bersamaku?
*****"Aku pengin memperbaiki hubungan kembali, Mas? Kita sebaiknya rujuk saja."Tanpa sengaja, aku mendengar percakapan Mas Reza dengan Mbak Rita --mantan istrinya-- ketika Caca, putri mereka meminta diantar ke kantor ayahnya.Belum sempat mendengar jawaban Mas Reza, Caca menarik lenganku. Gadis cilik berusia enam tahun itu, begitu semangat ingin menunjukkan hasil kerja sekolah pada sang ayah."Eh, ada Mamah, rupanya," ucap Caca setelah memberi salam. Mencium punggung tangan Mbak Rita, dibalas pelukan dan ciuman dari wanita berpakain formal nan modis itu.Caca berpindah ke Mas Reza, menyalami dan bergelayut manja lalu mengeluarkan sebuah buku gambar dari tas sekolah. Mas Reza memberi apresiasi, Mbak Rita ikut menambahkan pujian. Sesekali tertawa bersama.Aku duduk di sofa terpisah, memperhatikan serta ikut terseyum. Ada desiran aneh di hati menjalar, mengingat perkataan Mbak Rita sebelum masuk.Apalagi melihat mereka seperti ini, hati terasa ngilu. Nampak seperti keluarga utuh di mataku.Ah, siapa, sih, aku? Pengharapan ini tak boleh banyak apalagi sampai lebih. Mas Reza menikahiku bukan keinginan dirinya. Melainkan Oma dan Caca yang meminta.*"Zahra, Caca demam, ia terus mencarimu. Datanglah di rumah sekarang." telepon Oma di seberang.Sebagai karyawan paruh waktu, segera meminta izin kepada pemilik laundry tempatku bekerja. Cemas, kulajukan motor matic yang mulai pudar warnanya menuju rumah Caca di atas rata-rata.Salsabila Putri, dipanggil Caca, berumur empat tahun. Oma --ibu Mas Reza--ingin cucunya lebih dini mengetahui baca tulis Al-Qur'an, sebelum pelajaran-pelajaran lainnya antri untuk diketahui. Pendapat yang bagus menurutku pada era modern sekarang ini.Berbekal alumni sekolah agama, tiga kali sepekan sepulang kerja, aku privat ke rumahnya setelah waktu Asar. Tiga hari pula, mengajar TPA di masjid dekat kontrakanku.Caca anak pintar, cepat memahami materi Iqra' yang kuajarkan. Hampir sebulan berinteraksi, membuat kami dekat, mungkin sejak bayi ia tak pernah merasakan kasih sayang dari ibu kandung. Dan aku terbiasa menjaga adik-adik waktu kecil, membuat kami cepat akrab.Menurut cerita Oma, ibunya pergi dua bulan setelah ia lahir. Mengejar karir, menikah dengan seorang pengusaha kaya.Waktu Caca berumur satu tahun. Ayahnnya --Mas Reza-- menikahi seorang gadis. Alasan belum pengalaman mengurus anak, istri meminta cerai pada usia tujuh bulan kebersamaan mereka.Mas Reza kembali menikahi seorang janda beranak satu, di usia Caca dua tahun. Sayang, itupun hanya bertahan sepuluh bulan. Alasannya pun hampir sama, anak-anak tak sepaham.Getir Oma bercerita pada saat itu ketika aku selesai mengajar Caca.Caca langsung bangun memeluk saat aku masuk ke kamar, seorang pria maskulin duduk di sisi tempat tidur yang kuperkirakan ayahnya. Ini pertama kali melihat langsung sosok di bingkai foto ruang tamu rumah megah itu. Selama ini selalu keluar kota tugas kantor"Bunda, suapin buburnya, ya, sayang?' Caca mengangguk bersamaan mulut terbuka.Merasa sudah cukup makanan masuk ke perut Caca, kuminumkan paracetamol sirup di atas nakas samping tempat tidurnya. Selang beberapa menit, Ia terlelap dalam gendonganku.*"Bunda ... Bunda ..." Suara Caca menyadarkanku dari lintasan waktu dua tahun lalu, mereka semua menatap kearahku."Kenapa, sayang? Tadi bunda nggak dengar," ucapku mencubit gemes pipinya."Mamah ngajakin kita makan di restoran. Bunda, ikut, ya?" ajak Caca bergelayut manja. Aku menariknya naik ke pangkuan"Iyya, Zahrah. Aku menang tender hari ini sekalian juga rayain keberhasilan Caca dapet nilai bagus. Kita makan-makan, yuk!"Mbak Rita mengulas senyum manis, tangannya membelai rambut Caca, sedang Mas Reza berdiri meletakkan map ke meja kerjanya."Maaf, Mbak. Bukannya enggak mau, terlanjur janji sama Raina --adikku-- ada pemeliharaan mesin hari ini di rumah loundry," ucapku memasang wajah menyesal.Sebenarnya Raina bisa mengurus semua itu, tapi aku menjadikannya alasan. Serasa tak sanggup melihat kebersamaan Mas Reza dengan mantannya. Seperti ada yang teremas di balik dada. Perih.Caca memonyongkan mulut tanda tak setuju. Kulirik Mas Reza menatapku lama di balik meja kerjanya."Insya Allah. Lain kali, bunda ikut." Aku menaikkan jari telunjuk dan jari tengah sebagai tanda.kesungguhan pada Caca.Setelah lama membujuk Caca. Akhirnya bersedia ikut juga tanpaku. Maafkan bunda Nak, aku ingin melindungi rasa tulus ini dengan cara tak melihat moment-moment ayahmu dengan mantannya.Kami berpisah di persimpangan, arah tujuan berbeda. Aku mengendarai mobi sendiri, hadiah Mas Reza di ulang tahun pernikahan pertama. Pun Mas Reza membelikan sebuah rumah di tengah kota yang akhirnya kujadikan rumah laundry.Tidak cukup satu tahun, rumah laundy ini berkembang pesat. Sebahagian hasilnnya merenovasi rumah orang tua di kampung dan sekolah saudara-saudariku. Kedua adikku yang sementara kuliah sebagai pengelola, aku tinggal memantau saja.Mas Reza suami baik, pekerja keras, dewasa, lembut, rupawan, dan ... hanya satu kekurangannya. Kami bukan keluarga intim seperti keluarga lain. Dua tahun bersama ia tak pernah menyentuhku. Kami tidur di kamar masing-masing.Awalnya aku maklumi. Pernikahan ini memang terjadi murni karena Caca. Tapi, setelah kepindahan Mbak Rita di kantor Mas Reza lima bulan lalu, kekhawatiran menguasaiku. Apalagi dengar-dengar suaminya sudah meninggal.Aku berusaha berbaik sangka. Meyakinkan diri, pekerjaanlah mereka intens bertemu. Namun, kalimat tadi siang dari mulut Mbak Rita langsung. Seketika, keyakinan itu terbantahkan. Serasa ada yang menusuk-nusuk benda lunak di dalam dada. Sakit tapi tak berdarah."Bunda, lusa kan libur? Kita pergi jalan-jalan, yuk" ajak Caca di meja makan malam sambil memainkan sendok melihat kearahku."Maafkan, bunda, Sayang. Bunda, mau kerumah nenek besok" Jawabku pelan. Mas Reza mengernyit menatap heran. Tidak biasanya tak berdiskusi dengannya terlebih dahulu."Horee, Caca, ikut!""Bunda, berangkat sendiri, Sayang, Caca sama ayah saja, Ya? lagian, Caca, kan, tadi siang udah jalan- jalan sama mamah." Aku mengelus rambutnya. Mas Reza menatapku lamat, pelan ia mengunyah makanannya."Bunda, sekarang nggak sayang lagi sama Caca." Gadis kecil itu berlari meninggalkan makanannya yang belum habis. Aku mengikuti menuju kamar.Lama membujuk, akhirnya ia tertidur setelah aku berjanji untuk membatalkan keberangkatan.Pelan keluar dan menutup kamar Caca. Bermaksud membenahi bekas makan.Kaget. nampak Mas Reza di dapur, duduk di meja makan memegang HP-nya. Kulihat meja sudah rapi, piring dan bekas memasakku tadi sudah bersih semua. Tidak biasanya.Duduk di kursi, aku mengambil minum. Terasa air pahit lewat tenggorokan. Bayangan percakapan mereka tadi siang tak henti berputar di kepalaku, seperti kaset yang direview terus. Lemah rasanya membayangkan kemungkinan akan terjadi."Sepertinya akhir-akhir ini kamu ada masalah?" tanya Mas Reza lembut dengan tatapan sama.Sedikit kaget pertanyaannya. Selama ini kami hanya membahas masalah Caca, londry, Oma, dan bapak-ibu. Hampir tak pernah bicara masalah hati."Aku hanya rindu aja, Mas sama ibu." Kuberanikan diri membalas tatapnya, jantungku terasa berpacu, mengingat kami tak pernah saling menatap lama.Ia menelisik setiap inci wajahku dengan netra, kupastikan mencari kebenaran dari ucapan yang melewati gendang telinganya."Bukankah dua pekan lalu, bapak-ibu baru pulang, mereka nginap lima hari. Kok tiba-tiba rindu lagi, ya?" Dia mengingatkanku dengan bahasa candaan, intonasi tetap lembut."Mas ...! Selain karena rindu ma bapak-ibu, aku juga rindu suasana kampung halaman." Mudahan-mudahan jawabanku membuatnya percaya dari alasan sebenarnya."Bukan karena menghindari sesuatu?" Netranya menyelidik."Bukan," jawabku singkat."Tapi aku tak menemukan koneksi antara ucapan dengan matamu." Lekat, bola matanya memindai wajahku.Dahiku terlipat, menantang matanya. Aku tersulut, kalimat terakhir sukses membuat hatiku merontah. Bukan karena dugaannya sudah benar. Tapi.... sekuat tenaga kutahan air mata tak tumpah.Kalau memang, Mas, tahu hati seseorang melalui mata? Kenapa nggak tahu, kalau aku nenyimpan rasa untukmu? Kenapa engkau tak tahu, kalau aku mencemburuimu? Kenapa engkau tak tahu ,kalau aku mau dibutuhkan bukan sebagai ibu Caca saja? Tapi sebagai istrimu juga? Kenapa... Ah sudahlah! Semua kalimat itu hanya kusimpan di hati saja, tak sanggup merangkainya lewat bibir"Maaf, Mas, aku mengantuk"' Kuputuskan mengakhiri obrolan. Takut pertahanan ini lemah di hadapannya.Aku berlalu tanpa menunggu persetujuan, samar suaranya memanggil. Dia pasti heran dengan perubahan sikapku yang tiba-tiba.Air mata yang sedari tertahan kini bebas mengalir di kamar. Kubekap mulut dengan bantal berharap Caca dan Mas Reza tak mendengar.-----Tak paham debaran aneh itu berasal dari mana? Yang aku tahu, ketika hal itu tiba seakan memorak-morandakan kerja jantungku. Kalau ini terus berlanjut, sangat membahayakan bagi kesehatan jantung itu sendiri. ----------Waktu begitu lamban bergulir, perjalanan jarum detik seperti siput yang merayap. Kejadian tadi siang di kantor Mas Reza, hampir seluruh memenuhi otak. Entah mengapa, mendengar kalimat Mbak Rita yang lembut, malah seperti suara monster melewati gendang telingaku. Ah, kadang ada sesal wanita gemulai nan ayu itu selalu bersikap baik. Jadi semakin menekan hati ini, tak berdaya dibuatnya.Kuakui memang. Tak ada apa-apanya diri ini dibanding mantan Mas Reza itu. Ia terperlajar, berkarier, elegant, cantik, cerdas, baik, lembut, dan keluarga terhormat. Terutama, ada Caca menjadi saksi nyata, kisah cinta mereka. Aku? Berbanding terbalik dari kriteria semua itu. Ditambah sikap Mas Reza, bagai enggan saja melihatku, apalagi untuk disentuhnya.Andai ada Oma, mungkin hubunganku den
Setiap jepretan kamera itu mengambil gambar, cahaya yang ditimbulkannya bak tombak, melayang menghujam jantungku. Perih tak terkira. --------------------Suara decitan pagar membuyarkanku dari lamunan lima tahun silam. Mengumpulkan kesadaran, ternyata mobil sudah terparkir di garasi.Melihat Caca tak ada di tempat, segera mengambil barang dari mobil. Selangkah berbalik, bruk ..., tak sengaja menabrak dada Mas Reza, muncul dari arah pagar.Kontak fisik tanpa sengaja membuaku terpaku, aroma parfum menusuk penciuman. Lagi-lagi debaran aneh hadir tanpa diundang dan itu terjadi begitu lama, dibanding kejadian yang hanya beberapa detik. "Maaf, Mas. Aku nggak sengaja.""Kamu sehat, kan?" tanya Mas Reza menelisik. Aku mengangguk dan segera berlalu, tak ingin ia tahu perubahan warna wajahku. ***"Kantor rencana buka cabang di luar daerah, aku mendapat tugas menyurvei lokasi."Sambil menyesap kopi, rutinitas malamnya, Mas Reza menatapku lekat. Caca menikmati film kartun kesayangan setelah men
Meski lewat layar, mengapa tatapan itu mengintimidasi?-------"Sepertinya ayah masih tinggal beberapa hari lagi, Ca. Kamu baik-baik aja ma, bunda, ya?" ujar Mas Reza di balik layar. Dua hari setelah acara wisuda Caca. "Siap." Gadis periang itu menaikkan jempol."Bunda mana?" tanya Mas Reza kemudian. Tergesa aku berlari dari arah dapur saat suara Caca memanggil "Ayah nyariin, Bunda," ucap Caca menyerahkan HP, kemudian melanjutkan permainan boneka-bonekanya lagi.Bingung, namun tetap meraih benda pipih itu. Tumben mau bicara langsung sama aku? Biasanya sama Caca aja.Aku menatap layar, Mas Reza memakai kemeja putih tersenyum manis, sepertinya sudah siap. Ia lantas melambai ke layar dengan kaku, aku melakukan hal sama. Untung ia jauh, kalau tidak pasti ia tahu berisiknya kerja jantung di balik kulit ini dengan jarak begitu dekat. "Gimana kabarmu?" Menurutku ini pertanyaan basa-basi."Baik," jawabku singkat tanpa berani menatap netra teduhnya."Masih ada pekerjaan belum kelar, Zahrah.
Mas Reza memeluk Caca, netranya tak lepas dariku. Kalau ia bersikap aneh begini terus, bisa-bisa aku periksa di poli jantung. -----"Ada yang nyariin, Mbak, penting katanya," bisik Angga ketika aku sedang menata meja untuk menyiapkan makan siang untuk para tamu dan kerabat.Aku mengangguk, tapi tak menghiraukan. Mengingat adikku yang baru tamat SMP itu sering bercanda."Cepetan, Mbak, ntar tamunya pulang." Tak beranjak Angga menunggu."Serius, ni? Cacanya mana? Kok, ditinggal pona'annya?""Itu ... Caca sama tamu yang nyariin, Mbak." Ia menunjuk ke luarDahiku mengernyit, tumben Caca mau diambil sama orang baru?Aku menyelip keluar di antara keramain kerabat. Ibu duduk di ruang tengah berbincang dengan tetamu.Di bawah tenda pengantin yang telah terpasang tiga hari lalu, banyak keluarga laki-laki bercengkrama antar mereka.Kucari sosok Caca. Deght.Jantung ini kembali bergeser, melihat Caca duduk di pangkuan Mas Reza. Di sebelahnya ada bapak, om-om dari keluarga ayah-ibu, dan Mas Dana
Mengingat Mbak Rita ingin baikan, ditambah cara memandang Mas Reza, aku tahu, ia mengharapkan mantan suaminya kembali. Dada seakan kembali menyempit membayangkan itu semua.------Memandangi wajah Caca tidur tanpa melepas mukenah, salat berjamaah selesai, ia pun langsung melepaskan lelah.Kehadiran bidadari kecil ini membuat hidup berwarna. Namun, sekaligus hambar mengingat hubunganku dengan ayahnya.Sambil menyalahkan TV, aku menyetrika pakaian, tak lama berselang terdengar salam Mas Reza dari masjid.Ia langsung duduk di sofa, sambil menyeruput kopi, kebiasaanya setiap malam. "Udah siap ngejelasin isi pesanku tadi siang?"Pertanyaannya tak menghentikan pergerakan tanganku, walau tatapnya mulai tak sabar, aku membereskan lipatan terakhir sekaligus pura-pura tak menghiraukannya."Zahrah." Mas Reza memanggil lembut. Aku berpindah, duduk dua sofa di antaranya. "Ceritalah tentang Danar." ujarnya setelah mematikan TV. Aku terdiam lama guna merangkai kata tepat dalam hati. "Sebaiknya Ma
Dua kata yang keluar dari bibir berukuran sedang itu, sukses membuatku mendarat darurat. Rasanya seperti terjungkal di atas tanah.--------------------"Caca, ayah nggak bisa nemanin beli seragam baru besok. Sama Bunda, aja, ya?"Mas Reza duduk di sofa ruang keluarga, tempat favorit kami berkumpul pada waktu senggang. Wajahnya terlihat gelisah, setelah menerima panggilan telepon."Keluar kota lagi? Berapa hari, Ayah?" Caca berpindah ke pangkuan Mas Reza, menyandarkan kepala di dada bidang itu. "Peresmian kantor cabang baru, yang diurus kemarin-kemarin, untuk sementara masih nyewa gedung dulu." Nanar pria maskulin itu menatap. Mungkinkah kalimat itu ditujukan untukku? "Emangnya nggak bisa kerja tanpa pergi terus gitu? Seperti ayahnya Sisil?" Protes Caca yang entah berapa sekian kali. Sejak gadis kecil itu bersekolah di TK, sering membandingkan Mas Reza dengan ayah teman-temannya, yang hampir setiap hari menjemput.Aku meletakkan pakaian Mas Reza yang telah rapi di atas meja setrikaan
Jiwa berontak mendengar kata istri darinya. Apakah layak diri ini menyandang gelar itu? Bukankah aku tak dibutuhkan sebagai istri? Bukankah ada mantan akan menjadi istri seutuhnya? ------------------"Caca senang, deh, hari ini jalan-jalan ma Om Tio."Bidadari cantik itu menyeruput ice cream, tangan sebelah mengeluarkan plastik penuh makanan."Oh, ya." jawabku tetap fokus menyetir menuju rumah, sesekali menanggapi celotehannya. Seperti ia telah lupa dengan laku Mas Reza tadi siang."Ayah, udah pulang." Caca melompat turun, setelah mobil berhenti, dan melihat pagar terbuka, ada roda empat Mas Reza terpakir. Halaman rumah Oma ini memang luas. Tumben Mas Reza keluar kota hanya semalam? Ini juga pulang tanpa ada pemberi tahuan? Entah kenapa sesak ini muncul lagi, padahal aku sudah ikhlas. Apapun terjadi sampai ke rumah ini dan sebelum bertemu pria pembuat galau itu, semoga hati ini baik-baik saja. Ya ... Allah ... Mohon beri hamba kekuatan dan keikhlasan lebih. Pliss. Walaupun ragu
Membelai kepala tertutup jilbab itu tulus, andai sekarang kau ingin bersama hanya mamah dan ayahmu saja, aku siap sayang, karena itu sedang kuusahakan sekarang. --------------------"Rumahnya nggak bagus, kotor." Caca mengibas-ngibas pakaiannya setelah kami mengelilingi bangunan tingkat dua model lama.Salah tingkah Mas Reza melirik, mungkin karena penolakanku semalam. "Kalau udah dicat ulang dan direnov sedikit. Pasti bagus lagi, kok." Aku menyentil lembut hidung Caca. Sedang Mas Reza tersenyum bahagia, tampak bernafas lega. Meskipun berusaha menghindari lelaki yang susah ditebak itu, tapi aku tetap menjaga kebahagiaannya. Bapak-ibu benar, aku memang tertutup. Namun, lebih mementingkan orang-orang di sekitar. "Rumah ini kosong sekitar dua tahun, kamu boleh membuatnya jadi apa saja, eitempati juga boleh." Pria berhidung mancung itu berucap sambil fokus menyetir."Emang Bunda mau tinggal di sana?" ucap Caca sambil mengunyah roti sisa pemberian Mas Tio kemarin. "Entahlah sayang,