Share

1. Mantan Istri Minta Balikan

Jika engkau mampu mengetahui isi hati seseorang melalui tatap mata dan ekspresi wajahnya, lalu kemana saja dirimu selama dua tahun ini bersamaku?

*****

"Aku pengin memperbaiki hubungan kembali, Mas? Kita sebaiknya rujuk saja."

Tanpa sengaja, aku mendengar percakapan Mas Reza dengan Mbak Rita --mantan istrinya-- ketika Caca, putri mereka meminta diantar ke kantor ayahnya.

Belum sempat mendengar jawaban Mas Reza, Caca menarik lenganku. Gadis cilik berusia enam tahun itu, begitu semangat ingin menunjukkan hasil kerja sekolah pada sang ayah.

"Eh, ada Mamah, rupanya," ucap Caca setelah memberi salam. Mencium punggung tangan Mbak Rita, dibalas pelukan dan ciuman dari wanita berpakain formal nan modis itu.

Caca berpindah ke Mas Reza, menyalami dan bergelayut manja lalu mengeluarkan sebuah buku gambar dari tas sekolah. Mas Reza memberi apresiasi, Mbak Rita ikut menambahkan pujian. Sesekali tertawa bersama.

Aku duduk di sofa terpisah, memperhatikan serta ikut terseyum. Ada desiran aneh di hati menjalar, mengingat perkataan Mbak Rita sebelum masuk.

Apalagi melihat mereka seperti ini, hati terasa ngilu. Nampak seperti keluarga utuh di mataku.

Ah, siapa, sih, aku? Pengharapan ini tak boleh banyak apalagi sampai lebih. Mas Reza menikahiku bukan keinginan dirinya. Melainkan Oma dan Caca yang meminta.

*

"Zahra, Caca demam, ia terus mencarimu. Datanglah di rumah sekarang." telepon Oma di seberang.

Sebagai karyawan paruh waktu, segera meminta izin kepada pemilik laundry tempatku bekerja. Cemas, kulajukan motor matic yang mulai pudar warnanya menuju rumah Caca di atas rata-rata.

Salsabila Putri, dipanggil Caca, berumur empat tahun. Oma --ibu Mas Reza--ingin cucunya lebih dini mengetahui baca tulis Al-Qur'an, sebelum pelajaran-pelajaran lainnya antri untuk diketahui. Pendapat yang bagus menurutku pada era modern sekarang ini.

Berbekal alumni sekolah agama, tiga kali sepekan sepulang kerja, aku privat ke rumahnya setelah waktu Asar. Tiga hari pula, mengajar TPA di masjid dekat kontrakanku.

Caca anak pintar, cepat memahami materi Iqra' yang kuajarkan. Hampir sebulan berinteraksi, membuat kami dekat, mungkin sejak bayi ia tak pernah merasakan kasih sayang dari ibu kandung. Dan aku terbiasa menjaga adik-adik waktu kecil, membuat kami cepat akrab.

Menurut cerita Oma, ibunya pergi dua bulan setelah ia lahir. Mengejar karir, menikah dengan seorang pengusaha kaya.

Waktu Caca berumur satu tahun. Ayahnnya --Mas Reza-- menikahi seorang gadis. Alasan belum pengalaman mengurus anak, istri meminta cerai pada usia tujuh bulan kebersamaan mereka.

Mas Reza kembali menikahi seorang janda beranak satu, di usia Caca dua tahun. Sayang, itupun hanya bertahan sepuluh bulan. Alasannya pun hampir sama, anak-anak tak sepaham.

Getir Oma bercerita pada saat itu ketika aku selesai mengajar Caca.

Caca langsung bangun memeluk saat aku masuk ke kamar, seorang pria maskulin duduk di sisi tempat tidur yang kuperkirakan ayahnya. Ini pertama kali melihat langsung sosok di bingkai foto ruang tamu rumah megah itu. Selama ini selalu keluar kota tugas kantor

"Bunda, suapin buburnya, ya, sayang?' Caca mengangguk bersamaan mulut terbuka.

Merasa sudah cukup makanan masuk ke perut Caca, kuminumkan paracetamol sirup di atas nakas samping tempat tidurnya. Selang beberapa menit, Ia terlelap dalam gendonganku.

*

"Bunda ... Bunda ..." Suara Caca menyadarkanku dari lintasan waktu dua tahun lalu, mereka semua menatap kearahku.

"Kenapa, sayang? Tadi bunda nggak dengar," ucapku mencubit gemes pipinya.

"Mamah ngajakin kita makan di restoran. Bunda, ikut, ya?" ajak Caca bergelayut manja. Aku menariknya naik ke pangkuan

"Iyya, Zahrah. Aku menang tender hari ini sekalian juga rayain keberhasilan Caca dapet nilai bagus. Kita makan-makan, yuk!"

Mbak Rita mengulas senyum manis, tangannya membelai rambut Caca, sedang Mas Reza berdiri meletakkan map ke meja kerjanya.

"Maaf, Mbak. Bukannya enggak mau, terlanjur janji sama Raina --adikku-- ada pemeliharaan mesin hari ini di rumah loundry," ucapku memasang wajah menyesal.

Sebenarnya Raina bisa mengurus semua itu, tapi aku menjadikannya alasan. Serasa tak sanggup melihat kebersamaan Mas Reza dengan mantannya. Seperti ada yang teremas di balik dada. Perih.

Caca memonyongkan mulut tanda tak setuju. Kulirik Mas Reza menatapku lama di balik meja kerjanya.

"Insya Allah. Lain kali, bunda ikut." Aku menaikkan jari telunjuk dan jari tengah sebagai tanda.kesungguhan pada Caca.

Setelah lama membujuk Caca. Akhirnya bersedia ikut juga tanpaku. Maafkan bunda Nak, aku ingin melindungi rasa tulus ini dengan cara tak melihat moment-moment ayahmu dengan mantannya.

Kami berpisah di persimpangan, arah tujuan berbeda. Aku mengendarai mobi sendiri, hadiah Mas Reza di ulang tahun pernikahan pertama. Pun Mas Reza membelikan sebuah rumah di tengah kota yang akhirnya kujadikan rumah laundry.

Tidak cukup satu tahun, rumah laundy ini berkembang pesat. Sebahagian hasilnnya merenovasi rumah orang tua di kampung dan sekolah saudara-saudariku. Kedua adikku yang sementara kuliah sebagai pengelola, aku tinggal memantau saja.

Mas Reza suami baik, pekerja keras, dewasa, lembut, rupawan, dan ... hanya satu kekurangannya. Kami bukan keluarga intim seperti keluarga lain. Dua tahun bersama ia tak pernah menyentuhku. Kami tidur di kamar masing-masing.

Awalnya aku maklumi. Pernikahan ini memang terjadi murni karena Caca. Tapi, setelah kepindahan Mbak Rita di kantor Mas Reza lima bulan lalu, kekhawatiran menguasaiku. Apalagi dengar-dengar suaminya sudah meninggal.

Aku berusaha berbaik sangka. Meyakinkan diri, pekerjaanlah mereka intens bertemu. Namun, kalimat tadi siang dari mulut Mbak Rita langsung. Seketika, keyakinan itu terbantahkan. Serasa ada yang menusuk-nusuk benda lunak di dalam dada. Sakit tapi tak berdarah.

"Bunda, lusa kan libur? Kita pergi jalan-jalan, yuk" ajak Caca di meja makan malam sambil memainkan sendok melihat kearahku.

"Maafkan, bunda, Sayang. Bunda, mau kerumah nenek besok" Jawabku pelan. Mas Reza mengernyit menatap heran. Tidak biasanya tak berdiskusi dengannya terlebih dahulu.

"Horee, Caca, ikut!"

"Bunda, berangkat sendiri, Sayang, Caca sama ayah saja, Ya? lagian, Caca, kan, tadi siang udah jalan- jalan sama mamah." Aku mengelus rambutnya. Mas Reza menatapku lamat, pelan ia mengunyah makanannya.

"Bunda, sekarang nggak sayang lagi sama Caca." Gadis kecil itu berlari meninggalkan makanannya yang belum habis. Aku mengikuti menuju kamar.

Lama membujuk, akhirnya ia tertidur setelah aku berjanji untuk membatalkan keberangkatan.

Pelan keluar dan menutup kamar Caca. Bermaksud membenahi bekas makan.

Kaget. nampak Mas Reza di dapur, duduk di meja makan memegang HP-nya. Kulihat meja sudah rapi, piring dan bekas memasakku tadi sudah bersih semua. Tidak biasanya.

Duduk di kursi, aku mengambil minum. Terasa air pahit lewat tenggorokan. Bayangan percakapan mereka tadi siang tak henti berputar di kepalaku, seperti kaset yang direview terus. Lemah rasanya membayangkan kemungkinan akan terjadi.

"Sepertinya akhir-akhir ini kamu ada masalah?" tanya Mas Reza lembut dengan tatapan sama.

Sedikit kaget pertanyaannya. Selama ini kami hanya membahas masalah Caca, londry, Oma, dan bapak-ibu. Hampir tak pernah bicara masalah hati.

"Aku hanya rindu aja, Mas sama ibu." Kuberanikan diri membalas tatapnya, jantungku terasa berpacu, mengingat kami tak pernah saling menatap lama.

Ia menelisik setiap inci wajahku dengan netra, kupastikan mencari kebenaran dari ucapan yang melewati gendang telinganya.

"Bukankah dua pekan lalu, bapak-ibu baru pulang, mereka nginap lima hari. Kok tiba-tiba rindu lagi, ya?" Dia mengingatkanku dengan bahasa candaan, intonasi tetap lembut.

"Mas ...! Selain karena rindu ma bapak-ibu, aku juga rindu suasana kampung halaman." Mudahan-mudahan jawabanku membuatnya percaya dari alasan sebenarnya.

"Bukan karena menghindari sesuatu?" Netranya menyelidik.

"Bukan," jawabku singkat.

"Tapi aku tak menemukan koneksi antara ucapan dengan matamu." Lekat, bola matanya memindai wajahku.

Dahiku terlipat, menantang matanya. Aku tersulut, kalimat terakhir sukses membuat hatiku merontah. Bukan karena dugaannya sudah benar. Tapi.... sekuat tenaga kutahan air mata tak tumpah.

Kalau memang, Mas, tahu hati seseorang melalui mata? Kenapa nggak tahu, kalau aku nenyimpan rasa untukmu? Kenapa engkau tak tahu, kalau aku mencemburuimu? Kenapa engkau tak tahu ,kalau aku mau dibutuhkan bukan sebagai ibu Caca saja? Tapi sebagai istrimu juga? Kenapa... Ah sudahlah! Semua kalimat itu hanya kusimpan di hati saja, tak sanggup merangkainya lewat bibir

"Maaf, Mas, aku mengantuk"' Kuputuskan mengakhiri obrolan. Takut pertahanan ini lemah di hadapannya.

Aku berlalu tanpa menunggu persetujuan, samar suaranya memanggil. Dia pasti heran dengan perubahan sikapku yang tiba-tiba.

Air mata yang sedari tertahan kini bebas mengalir di kamar. Kubekap mulut dengan bantal berharap Caca dan Mas Reza tak mendengar.

-----

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status