Share

ISTRI SEMPURNAKU
ISTRI SEMPURNAKU
Author: Intan Resa

Melihat Aktivitas Istri

ISTRI SEMPURNAKU

"Pita! Cepat mandi, Nak! Mama lagi suapin adek. Wandi! Cepat susun mainannya, Nak!"

Suara istriku bergema dari arah dapur. Sepertinya Nurul tak mendengar suara kenderaan roda empatku berhenti di halaman, karena biasanya dia langsung menyambut dan mencium tanganku dengan takzim.

Hari ini aku memang sengaja pulang lebih cepat untuk melihat aktivitas istriku. Setiap aku pulang, semuanya sudah bersih dan dia juga berdandan menyambutku. Tiada pernah ia bercerita kalau anak-anak kami begitu menyibukkannya setiap hari.

Aku masuk tanpa mengucapkan salam dan kebetulan pintu rumah terbuka sedikit.

Pandanganku nanar menatap anak kedua kami yang berusia tiga tahun. Semua mainan berserakan di lantai karena anak lelaki kami itu sangat aktif.

"Mandinya yang bersih, Nak!" seru istriku lagi. Ia menyusul ke kamar mandi untuk melihat anak perempuan kami yang berusia lima tahun. Dapat kulihat dengan jelas, dia masih menggendong bayi tujuh bulan kami yang belepotan bubur nasi. Dari ruang tamu ke dapur yang di lengkapi kamar mandi memang hanya menggunakan sekat setinggi ketiak orang dewasa.

Kukira selama ini aku yang paling capek kerja di kantor. Tadi salah satu rekan bisnisku bercerita kalau mereka baru punya anak satu dan istrinya sudah kerepotan. Mereka harus memperkerjakan asisten rumah tangga untuk membantu urusan rumah.

"Hati-hati, Nak! Lantainya licin," seru Nurul lagi. Ia menuntun putri kami berjalan keluar dari kamar mandi.

"Abang sudah pulang?" tanya istriku saat pandangan kami bertemu. Netraku sudah basah melihat repotnya istriku. Dia tak banyak menuntut karena Nurul memang wanita sederhana yang menemaniku mulai dari nol. Akulah yang salah, tidak peka dengan kesusahannya.

"Ma-maaf, Bang. Semuanya masih berantakan. Abang ke kamar saja. Nanti aku buatin teh hangat ya," ujarnya dengan wajah bersalah.

Aku menggeleng. Kuletakkan tas kerjaku di tempat yang tidak terjangkau Wandi, anak kedua kami.

Kutuntun istriku ke kamar dan mendudukkannya di bibir ranjang.

"Maafkan Abang selama ini tidak pernah membantu, karena kamu tidak pernah mengeluh. Kamu ganti baju sama dedek Dimas, lalu istirahat. Semuanya biar Abang yang bereskan," ujarku.

Nurul masih menatapku bingung. Kutinggalkan istri dan anak bungsu kami di kamar dan bergegas membantu Pita memakai bajunya. Untung saja dia sudah bisa memakai pakainnya meskipun belum rapi.

"Papa yang sisir rambutnya, ya," tuturku.

Pita mengangguk.

"Aw, sakit, Pa. Yang lembut lah, Pa, kayak Mama," protes putriku.

Beberapa menit aku habiskan untuk menyisirnya. Aku beralih mengambil bedak tabur dan menepuk-nepukkannya di wajah Pita.

"Papa, Pita jadi kayak hantu kalau bedaknya tebal begini," protes gadis cantikku.

Karena tanganku sedikit basah, wajahnya jadi berdempul bedak. Astaga, untuk membedaki anak saja pakai teknik khusus.

Pita mengeringkan wajahnya hingga tertinggal polesan tipis.

Aku menghela napas. Kerjaan begini saja sudah membuatku keringatan. Namun ini belum selesai, masih ada mainan Wandi yang harus kurapikan.

"Ayo dimasukkan ke keranjang mainannya, Wan," ajakku.

Ya Robbi, bedak yang tidak kututup tadi sudah dimainkan Wandi hingga berserakan di lantai.

"Hati-hati, Wan! Lantainya licin," seruku cemas saat melihat bocah aktif itu berlari-lari.

Akibat tidak hati-hati, aku terpeleset setelah menginjak lantai yang kena tumpahan bedak. Ya Allah, ini lumayan sakit. Tapi ini lebih baik daripada anakku yang jatuh.

"Sakit ya, Pa?" tanya Pita, mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri.

"Enggak kok, Nak," balasku, berusaha tersenyum, menirukan mimik istriku yang tidak pernah mengeluh.

Aku berdiri dan segera mengumpulkan mainan yang dibantu putriku. Setelah selesai, aku mengepel lantai yang terkena tumpahan bedak tadi. Lumayan susah hingga lantainya tidak licin lagi.

"Jagoan Papa mandi dulu, ya," bujukku. Mendengar kata mandi, Wandi langsung bersemangat. Hampir setengah jam ia habiskan waktu bermain air hingga bajuku pun basah.

"Bang, biar aku saja," ujar Nurul. Ia membujuk bocah super aktif kami dan langsung menurut. Sebegitu tak dekatnya kami sehingga anakku tidak mau mendengarkan ucapanku. Padahal, ucapanku dan Nurul tidak jauh berbeda.

Nurul dengan cekatan memandikan, memakaikan baju dan menyuruh Wandi tidur siang. Speaker murottal Al-Qur'an menemani tidurnya hingga terlelap.

"Kenapa Bang Yaqin cepat pulang? Aku belum sempat mandi, Bang. Pasti bau kan. Dedek Dimas baru saja tidur," ujar Nurul dengan wajah sedih.

"Sesekali aku pengen bantu kamu, Dek. Ternyata pekerjaanmu melibihi capeknya kerjaan Abang di kantor. Maafkan Abang sering main game setelah pulang kerja. Maafkan suamimu yang sering bersantai di saat libur. Padahal kita satu tim untuk mengurus keluarga kecil kita ini," tuturku, mencium tangannya dengan penuh cinta.

"Abang kok jadi mendadak aneh begini?" tanya Nurul dengan wajah serius. Sudah lama aku tak bersikap seperti ini.

"Abang serius, Dek. Abang akan mencari orang untuk bisa meringankan pekerjaanmu. Ini daster koyak juga harus diganti. Kita mulai kehidupan rumah tangga yang lebih baik agar cinta kita semakin kokoh."

Kuajak dia duduk di sofa.

"Aku ingin menguatkan ikatan cinta kita agar tidak ada wanita lain di luaran sana yang mencoba masuk ke dalam hubungan kita. Jabatan Abang yang sudah bagus membuat para wanita silau dan ingin ikut menikmati jerih payah Abang. Padahal yang paling pantas mendapatkann itu semua adalah kamu dan anak-anak kita," tuturku.

Istriku menangis dan memelukku erat.

"Kukira Abang sudah berubah. Kusangka aku sudah bukan selera Abang. Maafkan Nurul tidak bisa mengimbangi karir dan penampilan Abang," lirihnya.

Aku mendekap tubuhnya sambil mencium pucuk kepala ibu dari anak-anakku. Bukan dia yang tak bisa mengimbangi, akulah yang tak peka dengan kegundahan hatinya.

"Besok kita shoping dan ke salon ya, Dek," ajakku karena besok hari libur.

"Tapi anak-anak sama siapa, Bang?" tanyanya cemas.

"Abang yang akan menjaga mereka," ujarku meyakinkan.

"Beneran, Bang?" tanyanya lagi.

"Iya, Sayang. Benda apa yang pengen kamu beli, Dek?"

"Sutil," balasnya singkat. Aku tertawa. Masa di pikirannya cuma ada sutil.

"Itu saja?" tanyaku sambil terkekeh.

"Panci, baskom, teflon, gayung, sendok makan, garfu, talenan, baju, tas, sepatu, bedak, gincu, parfum, …."

"Stop! Abang pingsan dulu," ujarku karena sudah menahan nafas mendengar daftar panjang belanjaan besok. Nurul tertawa dan mencubit pinggangku dengan pelan.

Astaga, mungkin lebih baik tokonya saja diangkut ke sini. Istriku ternyata punya banyak kebutuhan dan juga keinginan.

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Neni Chairani
suka thor... seterusnya jangan ad pelakor, klopun ad buat suami tdk tergoda, tetap setia yakiniku...
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status