Share

Salah Terka

"Kenapa, Bang? Mau pingsan lagi?" cecar Nurul.

Aku nyengir. Jangan sampai Nurul mengira kalau suaminya ini gak ikhlas belanjaain dia.

"Enggak kok, Dek? Abang gak berbakat untuk pingsan. Talenta Abang cuma membahagiakan keluarga," balasku sambil menjawil dagunya.

"Mending Abang ganti baju dulu, ya. Karena Adek bercahaya dan juga menghangatkan, Abang sampai lupa kalau celana Abang basah saat mandiin Wandi," ujarku sambil nyengir.

"Oh iya, ganti baju aja, Bang. Kelamaan nanti bisa masuk angin," balasnya tanpa menoleh dari layar ponsel.

Aku menghela napas panjang. Apapun yang dibelikan istriku, pasti karena memang perlu. Dia bukan istri yang boros meskipun jabatanku sudah bagus. Dia juga tidak lupa diri dengan keadaan kami yang dulunya hanya manusia biasa dan sekarang telah menjadi … sama aja sih sebenarnya. Masih tetap manusia biasa yang mendapatkan sekelumit nikmat dari Yang Maha Kaya.

Teringat akan firman Allah dalam surah Ibrahim ayat 7 yang artinya:

'Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan, syukuri nikmatKu nicaya Aku akan menambahkan nikmat tersebut, tapi jika kamu kufur akan nikmatKu maka sesungguhnya azabKu sangat pedih.'

Harta terus disyukuri, memang terbukti kalau rejeki makin lancar saja. Tapi kalau mensyukuri nikmat memiliki istri sempurna, bisa ditambah istri gak ya?

Astaghfiruloh, jangan sampai aku melisankan kalimat itu ke istriku, Nurul. Dia bisa bermuat semena-mena padaku. Namanya juga istri lagi cemburu ya, kan. Bahaya akan menanti di depan mata. Kalau mau hidup aman dan tenteram cukup tanggung jawab dan setia.

Aku meninggalkan Nurul dan bersegera membersihkan badan. Mandi dengan tenang tanpa ada gangguan dari anak-anak.

Setelah mandi, badan rasanya kembali bugar. Aku memakai kaos oblong dan celana selutut.

"Kredit panci, kredit baskom, ember, sutil. Ayo kemari! Yang butuh ganti perabotan rumah tangga, merapat aja Bu-ibu."

Suara tukang kredit perabotan dapur menggema tepat setelah aku siap mandi dan berganti pakaian. Aku bergegas ke ruang tamu menemui sang istri yang masih memandangi ponsel.

"Apa masih banyak yang pengen dibeli, Dek? Itu tukang sutil udah datang," ujarku mengingatkan.

Bibirnya mengerucut, terlihat kebingungan.

"Aku masih bingung mau milih yang mana, Bang," balasnya lemah.

Duh, wanita emang ribet ya. Udah dikasih kewenangan membelanjakan apa yang ia mau, eh malah gak tahu mau beli yang mana.

"Kamu belanja peralatan dapurnya aja, Dek. Atau perlu Abang temani?" tanyaku agar terdengar lebih romantis.

"Gak usah, Bang. Nanti anak-anak bangun gimana?"

Aku mengangguk dan memberikan uang cash dari dompetku. Sementara aku akan menunggui ketiga buah hati kami.

Nurul memakaikan jilbab panjang untuk menutupi dasternya yang sobek dibagian ketiak. Aku tak tahu apakah dasternya itu memang paling super duper meluber bagus bahannya sampai terus dipakai hingga warnanya telah pudar. Apa istriku selalu memakai baju itu dan pas aku pulang baru pakai baju yang sedap dipandang mata?

Mungkin kerjaannya yang tak terhingga dan tak ada habisnya mengharuskan dirinya memakai pakaian yang tak terlalu bagus karena akan sering kotor.

Ya Allah, suami macam apa aku ini? Sandang istriku saja luput dari perhatian. Segera kuperiksa isi lemarinya. Ada beberapa potong baju bagus yang sering ia pakai untuk kondangan dan tiga potong daster dengan warna yang pudar juga.

Segera kucek aplikasi belanja online yang tadi kata istriku membingungkan. Antara mau tertawa dan menangis, dari seratusan benda yang ada di troli aplikasi, 90 persen barang-barang kecil keperluan anak-anak kami.

Entah melihat aplikasi belanja seperti hiburan dan cuci mata, entahlah. Hanya hal remeh-temeh seperti kaus kaki bayi, bando dan pakaian ketiga bocah. Yang sudah dipesan dan dibayarkan tak sampai lima ratus ribu. Duh istriku, apa kamu gak mementingkan dirimu juga?

Langsung kupesan semua barang yang jumlahnya masih banyak. Tak lupa kuhubungi teman kantorku yang pernah cerita kalau istrinya menjual pakaian wanita.

"Enam stel baju rumahan yang nyaman tapi tetap elegan, ya, Bro. Pakaian kondangan yang kekinian tapi tidak terlalu blink-blik tiga biji aja. Istrimu tahu lah itu ukurannya. Kirim aja nanti totalnya biar kutransfer," jelasku panjang lebar.

Sobari yang penyabar langsung mengiyakan dan berterima kasih karena memborong jualan istrinya. Duh, ternyata ada dua istri yang jadi bahagia. Satu istriku dan satunya lagi pujaan hati teman kantorku.

=====

Aku terbangun kala merasakan benda dingin di wajahku. Oh, rupanya tangan bidadariku yang basah berusaha membangunkan. Aku tersenyum dan menggeliat. Ternyata tinggal aku sendirian di kamar tanpa ada bocah di sampingku.

"Mana Dimas, Dek?" tanyaku cemas. Aku takut kalau itu bocah nyungsep.

"Di depan, Bang. Lagi main sama Wandi dan Pita," balasnya.

Aku memandang jam dinding yang terpasang di tembok kamar. Duh, sudah mendekati ashar. Aku pun siap-siap menunaikan kewajiban pada Sang Khaliq.

Setelah sholat ashar, aku duduk di sebelah istriku, berusaha mengorek informasi. Sepertinya dia belum tahu kalau sudah kubeli semua keinginannya.

"Ehem, udah lihat aplikasi belanja belum? chekout aja, gih. Mumpung ada duitnya," ujarku memancing pembicaraan.

Aku dan Nurul sedang melipat pakaian anak-anak yang baru saja dikeluarkan Wandi dari lemari plastik. Dia selalu bereksplor dengan benda-benda yang bisa dijangkaunya sehingga kami harus hati-hati menyimpan benda penting ataupun berbahaya.

"Gak usah deh, Bang. Yang tadi aja udah banyak." Nurul membalas dengan ekspresi biasa. Seperti tidak tertarik dengan isi troli belanjaan online miliknya.

"Gak apa-apa loh, Dek. Abang ikhlas. Ayo pesan aja semua," ujarku ngotot. Nurul pasti histeris karena bahagia dan langsung memelukku. Pujian pun bertaburan. Aku senyam-senyum membayangkan keromantisan yang akan menyapa.

"Aku belanja online juga karena gratis ongkir, Bang. Lagian yang lainnya juga gak penting-penting amat. Mending nunggu besok, ada diskon gede-gedean di toko pakaian Anak-anak di Mall Tekanan Batin Cinta," balasnya.

Alamak. Salah langkah nih. Aku yang bakalan tertekan batin nih mendengar omelan istriku. Ternyata yang kupesan tidak penting.

"Abang kok pucat? Ngutak-ngatik ponsel aku, ya?" tanyanya curiga. Aku nyengir hingga gigiku kering kerontang. Deg-degan melihat Nurul membuka ponselnya dengan mata membulat.

"Abaaang, ngapain dipesan semua? Tokonya kan beda-beda. Masa lebih mahal ongkos daripada barang," ujar istriku dengan wajah sedih.

Rasa bangga dan hujan pujian yang kudamba, tapi kayaknya hujatan tak berkesudahan yang akan menghampiri. Astaga, aku terlalu laju menerka hal yang menyenangkan hati istriku.

Wanita memang susah ditebak.

"Ya Allah, pendek sekali lah akal suamimu ini, Dek. Maafkan Abang, ya," ujarku sambil menjambak rambut dengan pelan. Takut kalau diomeli istriku, aku memilih mengaku salah duluan.

"Ya sudah, gak apa-apa, Bang. Niat Abang sudah bagus, caranya saja yang kurang tepat," balasnya, lalu memelukku sekilas. Alhamdulillah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status