"Kenapa gak jadi pingsan, Bang? Nanti ceritain ya gimana rasanya pingsan," ujar istriku
Waduh? Aku lupa mau pingsan. Eh, emang bisa direncanakan ya? Coba dulu akh.
Aku merebahkan kepala di paha Nurul, istri sempurnaku.
"Pingsan dulu akh," ujarku sambil memejamkan mata.
Nurul terpingkal-pingkal hingga kepalaku pun ikut berguncang. Hal sederhana seperti ini saja, dia sudah tertawa bahagia. Kupandangi dengan seksama gurat kelelahan di wajahnya yang tirus. Aku mulai menyadari kalau wanitaku tidak secantik dulu. Ia mencoba menyembunyikan kelelahannya di balik senyum dan tawa di hadapanku.
Aku harus mengembalikan bentuk tubuhnya yang ideal agar istriku kembali percaya diri. Aku tidak malu bagaimanapun keadaan Nurul karena dia begini sebab melahirkan tiga buah hati kami yang berjarak lumayan rapat.
Tapi aku mulai sadar kalau dia pun ingin dimanjakan dan merindukan bentuk badannya yang dulu. Badannya tidak melebar, tapi bobot tubuhnya yang berkurang. Mungkin semua itu tidak bisa didapatkan hanya dengan makanan empat sehat lima sempurna. Melainkan ada juga hati yang harus dibahagiakan.
"Sayang, di dunia Allah yang fana ini, tidak ada makhluk yang sempurna kan?"
"Ya, karena cuma Allah yang Maha Sempurna, Bang," balas Nurul.
Aku duduk dan memiringkan badan. Kugenggam jemarinya yang sedikit kasar karena sering bersentuhan dengan deterjen.
"Tapi Allah dengan kesempurnannya mengirimkan seorang bidadari berwujud manusia menjadi pendamping diriku yang banyak kekurangan. Kamu harus mengurus 3 anak kita, ditambah lagi satu bayi jumbo ini. Apa-apa, aku sering meminta bantuanmu. Menanyakan benda-benda sepele yang sembarangan kuletakkan. Makasih ya, Sayang, kamu telah rela menjadi permaisuriku," ujarku dengan penuh penghayatan.
Plis, jangan ada senyum menertawakan. Bisa luntur keseriusan hatiku ini.
"Sama-sama, Bang. Terkadang jodoh itu cerminan diri. Kalau bagi Abang aku sempurna, begitu juga denganku. Diri ini juga menganggap kalau Abang suami yang paling tepat menjadi imam kami di rumah ini. Yang paling penting bagi seorang istri adalah memiliki suami yang bertanggung jawab dan juga setia. Kedua hal itu ada pada Abang. Kalau memang mau menambah perhatian, itu bonus yang pantas disyukuri," balasnya.
Aduduh. Mati lampu adu gelapnya. Siang hari aku pengen gelap-gelapan. Eh, itu suara makhluk tak kasat mata ya. Masa siang begini pengen di tempat yang tak bercahaya. Sedangkan diriku tepat di hadapan Nurul, istri yang memberikan cahaya bagi rumah tangga kami.
"Adek bisa juga bikin hati Abang meleleh ya," ujarku dengan senyum terkulum. Duh, berasa kayak pengantin baru lagi. Berasa malu aja di depan istri yang sudah menemani selama kurang lebih sepuluh tahun.
Mungkin beberapa orang heran kenapa kami memiliki tiga anak dengan jarak yang dekat. Empat tahun kami berusaha kesana-kemari demi mendapatkan buah hati dan alhamdullillah Puspita, putri sulung kami lahir di tahun kelima pernikahan.
Karena merasakan susahnya perjuangan untuk mendapatkan buah hati, kami tidak mengatur jarak kehamilan dan Wandi pun lahir saat kakaknya berusia dua tahun. Dan sekarang, bayi ketiga kami baru sebulanan memulai konsumsi makanan pendamping ASI.
Rencananya Dimas akan menajdi anak bungsu kami. Selain sudah balek modal, eh kayak jualan saja. Maksudnya sudah lengkap, ada perempuan dan laki-laki, ditambah lagi bonus si Bungsu, sepertinya ini sudah lebih dari cukup. Kalau gak berubah pikiran sih setelah si Dimas besar. Hehe.
"Eh, ngomong-ngomong Bapak mertua dukun ya, Dek?" tanyaku, biar romantis kayak orang-orang.
Eeeeh, kenapa mata istriku melotot. Ya ampun. Apa aku salah orang ya? Eh salah ucap maksudnya.
"Abang gak kenal rupanya sama Bapak Nurul, Bang? Tega banget Abang bilang Bapak berprofesi sebagai dukun," serunya sambil mencubit lenganku.
Auh, sakit. Aku meringis dengan tatapan memelas. Jangan sampai Nurul mengamuk dan berbuat semena-mena. Aku harus meluruskan kesalahfahaman ini. Ada kalanya dia bisa berubah bagai macan kelaparan. Hihi, jangan bilang-bilang ya.
"Jangan tersinggung dong, Dek. Maksud Abang, kok Adek bisa tahu dimana saja benda-benda yang kucari maupun yang diinginkan anak-anak? Makanya kutanya apakah Bapak mertua itu dukun? Biar kayak anak-anak muda itu loh, Dek," jelasku.
Nurul terpingkal-pingkal lagi.
"Owlah, Bang. Kirain Abang lupa ingatan," kekehnya.
"Yang paling tahu rumah ini kan aku, Bang. Jadi semua benda harus diletakkan pada tempatnya biar mudah dicari. Makanya, Abang juga harus gitu biar kalau mau berangkat kerja gak nanyain kunci mobil lagi, dasi lah, sepatu, kaus kaki, berkas ...."
"Stop! Abang pingsan lagi ya!" ujarku dan merebahkan kepala di bahu istriku. Istriku kalau sudah nyerocos kok kayak kereta api? Susah berhentinya.
"Jangan pura-pura pingsan lagi, Bang. Mau lupa-lupain janji tadi ya?" tuduhnya.
Janji? Apaan ya?
"Kan, berlagak lupa. Itu loh mau belanjain kebutuhan dan juga keinginan istri," ujarnya mengingatkan.
Oalah, itu sih kecil. Berapa lah harga barang-barang dapur kayak gitu? Gak bakalan menguras dalam-dalam isi tabungan.
"Kan besok, Dek. Kalau kita pergi sekarang, anak-anak gimana? Mereka kan sedang tidur," ujarku.
Gak mungkin dong nelantarin anak hanya mau manjain istri. Harus proporsional cinta dan perhatianku dibagi-bagi buat mereka.
"Sekarang aja, Bang. Besok kita tinggal jalan-jalan. Emak-emak boleh dong happy. Siniin ponselnya, Bang. Aku mau belanja panci dan teman-temannya nanti pas tukang pancinya lewat bentar lagi. Yang lainnya pakai aplikasi aja," ujarnya.
Aku lupa, zaman dengan segala kemudahannya bisa membeli barang hanya dengan senam jari.
Aku menyodorkan ponselku yang menggunakann m-bangking dengan senyum semringah sambil melirik daftar belanjaannya.
"Aku chekout semua ya, Bang, ini ada beberapa barang yang aku pengen sejak lama dari akun tokop*dia milik tetangga. Itu loh Bu Julie," ujarnya.
"Ya sudah, terserah Adek mau belanja apa pun," balasku dengan santai. Kulirik sekilas ke arah benda pipih di tangannya.
Alamak. Seperti ada bintang-bintang berputar di kepala melihat 99 barang di troli yang menanti untuk dichekout. Jangan semena-mena ya, Dek Nurul. Plis.
"Kenapa, Bang? Mau pingsan lagi?" cecar Nurul.Aku nyengir. Jangan sampai Nurul mengira kalau suaminya ini gak ikhlas belanjaain dia."Enggak kok, Dek? Abang gak berbakat untuk pingsan. Talenta Abang cuma membahagiakan keluarga," balasku sambil menjawil dagunya."Mending Abang ganti baju dulu, ya. Karena Adek bercahaya dan juga menghangatkan, Abang sampai lupa kalau celana Abang basah saat mandiin Wandi," ujarku sambil nyengir."Oh iya, ganti baju aja, Bang. Kelamaan nanti bisa masuk angin," balasnya tanpa menoleh dari layar ponsel.Aku menghela napas panjang. Apapun yang dibelikan istriku, pasti karena memang perlu. Dia bukan istri yang boros meskipun jabatanku sudah bagus. Dia juga tidak lupa diri dengan keadaan kami yang dulunya hanya manusia biasa dan sekarang telah menjadi … sama aja sih sebenarnya. Masih tetap manusia biasa yang mendapatkan sekelumit nikmat dari Yang Maha Kaya.Teringat akan firman Allah dalam surah Ibrahim ayat 7 yang artinya:'Dan ingatlah ketika Tuhanmu memak
"Makasih, ya, Dek, kamu sudah maafkan Abang. Lain kali Abang tidak akan terlalu laju, " ujarku, masih merasa bersalah. Nurul tertawa sekilas, menggenggam jemariku dengan erat. "Aku beruntung punya suami kayak Abang. Pengertian banget. Jarang ada suami sebaik Abang di dunia ini. Stoknya terbatas. Jaga hati Abang, ya, jangan sampai diincar pelakor," balasnya. Aku tertawa. Ucapan istriku berlebihan. Aku bukanlah pria tampan dan punya banyak uang berlebih. Aku cuma karyawan di perusahan orang lain dengan gaji yang cuma cukup membiayai keluarga dan sedikit menyimpan untuk tabungan masa depan. Aku tak punya modal untuk berfoya-foya dengan para pelakor yang biasanya mengincar harta korbannya, lalu mencampakkan setelah ia tak mendapatkan apa yang ia inginkan.Semoga hidup kami jauh dari hal-hal seperti itu. Cinta segitiga yang akan menyakiti salah satu pihak. Ya Allah, tetapkan hatiku agar selalu berada di dalam jalanMu. "Dek, pernah gak Adek marahi anak-anak?" tanyaku penasaran karena mel
"Neneeek! Kapan Nenek datang? Pita rindu banget sama Nenek," ujar putri sulungku sekaligus yang tercantik di antara dua adiknya. Ia langsung menghambur ke pelukan sang Nenek yang juga berbinar bahagia. "Masya Allah, cucu Nenek udah besar rupanya. Nenek baru saja datang karena rindu sama kalian. Perasaan minggu kemaren kamu belum segini deh, Ta. Kayak nambah beratnya sebutir jagung," balas Ibu melebih-lebihkan. Aku mengulum senyum. Sebutir jagung? Mana terasa kalau nambah. Memang ada saja ya ucapan Ibu yang bisa membuat cucunya tersenyum bangga. Pita langsung bercerita kalau dia lahap makan tanpa disuruh dan juga sudah bisa jaga adeknya. "Sana ganti baju, Bang. Biar aku yang gendong Dimas," bisik istriku. Oh iya, sampai kelupaan. Ternyata enak juga pakai daster yang memiliki banyak ventilasi. Ketiak jadi adem dan kaki pun lebih bebas bergerak. Kuserahkan anak bungsu kami kepada mamanya. Terlihat Dimas kebingungan, mungkin susah membedakan mana mamanya yang asli. Soalnya saat b
Kami sekeluarga sampai di rumah hampir mendekati waktu sholat maghrib. Ibu pun menelpon Bapak untuk memberi tahu kalau akan menginap di sini. Aku sudah menawarkan akan mengantar Ibu pulang, tapi wanita berhidung bangir itu menolak. Katanya masih rindu dengan cucu dan anak menantunya.Alhamdulillah. Ibuku bukan tipikal mertua yang julid pada menantunya. Jadi aman saja bila mereka bertemu.Aku langsung tidur setelah menunaikan ibadah sholat isya. Aku tidak perlu membantu istriku mengasuh ketiga anak kami sebelum tidur, karena ada Ibu yang juga pengertian.Rasanya baru sebentar terlelap, harum masakan menguar menusuk indra penciuman. Aku yang masih malas bangun langsung mengerjap dan perlahan membuka mata.Aku menatap jam dinding yang terpasang di tembok, tepat menghadapku saat bangun. Masih pukul 4.30. Apa sekarang bulan puasa? Atau Ibu dan Nurul mau puasa senin? Aku bertanya-tanya dalam hati.Segera aku bangkit dengan perlahan dari ranjang agar tidak sampai membangunkan si bungsu. Wand
"Kenapa pulang cepat, Bang? Mau kusiaapkan minum atau makan?" tanya Nurul, istri yang selama ini sangat sempurna bagiku. "Kenapa, Dek? Apa kamu tak suka kalau suamimu pulang lebih cepat?" Aku balik bertanya. Dia tersenyum terpaksa. "Senang kok, Bang," balasnya, tapi wajahnya menyiratkan hal yang berbeda. Seperti ada hal yang dia sembunyikan. Aku beranjak dari tempat duduk, mengambil tas kerja dan masuk kamar. Aku tak bersemangat lagi mau mengajak mereka makan di luar. Mereka saja baru pulang entah dari mana. Buat apa lagi? Aku duduk di sisi ranjang, melipat tangan di depan dada. Aku ingin dia memberi penjelasan sebelum meminta. Namun harapanku tidak sesuai kenyataan, ibu dari anak-anakku itu melengos ke kamar mandi. Tak lama kemudian, dia berganti baju dan meninggalkanku sendirian di kamar. Kenapa istriku berubah? Bukankah sudah kuberikan segalanya untuk wanitaku itu? Apa lagi yang kurang? Hayiku terus bertanya-tanya.Kujatuhkan bobot di atas ranjang, memejamkan mata, namun piki
Hari ini, tugas kantor begitu banyak. Aku sengaja mematikan ponsel agar tidak ada yang mengganggu. Tentunya setelah meminta izin terlebih dahulu pada istriku. Dengan nada terpaksa ia mengiyakan, meskipun tadi pagi ku sudah berjanji akan pulang makan siang.Istriku yang pengertian tidak protes. Ia memberiku kata-kata semangat yang memang ampuh membuat otak dan tangan lebih bisa diajak kerja sama. Aku harus cepat menyelesaikannya agar bisa pulang lebih awal.Saat masih sibuk memeriksa berkas penting, sseorang mengetuk pintu."Masuk!" titahku."Maaf, Pak. Barusan ada telpon dari pembantu Bapak kalau Bu Nurul jatuh di kamar mandi," ujarnya hati-hati, tapi sukses membuatku jantungan.Nurulku jatuh? Bagaimanna keadaannya? Pasti anak-anak sedang menangis sekarang dan Olin juga panik."Apakah masih di rumah atau sudah ke rumah sakit?" tanyaku, langsung berdiri."Katanya masih di rumah, Pak," balasnya.Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, aku langsung mengambil kunci mobil dan tergesa-gesa untuk pu
"Ibu, kumohon jangan mengungkit hal seperti ini dulu! Yaqin tidak mau menghadirkan wanita lain dalam pernikahan kami. Rasa cintaku tidak pernah berubah padanya. Meskipun Nurul cuma duduk begini, aku sudah senang. Dia hanya lumpuh, Bu, bukan hilang ingatan. Hatinya masih mencintaiku," ujarku, lantas mengusap pipinya yang sudah mengalir cairan hangat. Aku mencium pipi yang dulu mulus dan menggemaskan itu. Rasa cintaku tetap sama padanya meskipun cantik dalam penilaian manusia sudah tak pantas disematkan padanya.Aku ikutan menangis karena bulir bening yang mengaburkan pandangan istriku telah menular pada suaminya ini. Kami satu hati dan tak akan terpisahkan, kecuali oleh maut. Ibu juga sesenggukan dan menyeka matanya dengan kain sarung yang ia kenakan. Ibu yang tidak selincah dulu memang kewalahan membantu menjaga cucu dan menantunya. Penampilan wanita yang merupakan mertua istriku itu juga ikutan tidak terawat. Aku sebenarnya tak ingin memberatkan masa tuanya dengan harus mengurus ke
Setelah aku menyetujui usul Ibu, beberapa gadis pun diperkenalkan wanita yang menyayangiku itu. Mulai dari anak tetangga yang hidupnya kurang mampu, anak teman Ibu maupun wanita yang tak sengaja ketemu di jalan. Incaran Ibu adalah gadis miskin yang penyayang, janda yang mandul maupun perawan tua. Saat ketemu denganku, mereka memang tertarik. Namun saat kukenalkan istriku dan tiga anak kami, tak satupun yang mau. Mereka menuduhku mau memanfaatkan mereka. Memang tuduhan itu tidak sepenuhnya salah. Tidak baik seorang pengasuh tinggal di sini kalau istriku tidak sehat. Takut menjadi fitnah. Makanya aku harus menikah agar istri baru dan juga perawat anakku bisa tinggal seatap dengan kami. Rumit memang. apalagi aku tidak siap beristri dua. Tapi tiada pilihan lain. Aku sedang duduk di rumah makan dekat kantor dengan hati yang gundah. Tak pernah lagi aku makan bekal yang dimasak istriku. Semua makanan warung ini tak begitu cocok dengan lidah. Tapi tiada pilihan lain. Aku tidak mau merep