Share

Membantu Menenangkan Anak

"Makasih, ya, Dek, kamu sudah maafkan Abang. Lain kali Abang tidak akan terlalu laju, " ujarku, masih merasa bersalah. Nurul tertawa sekilas, menggenggam jemariku dengan erat. 

"Aku beruntung punya suami kayak Abang. Pengertian banget. Jarang ada suami sebaik Abang di dunia ini. Stoknya terbatas. Jaga hati Abang, ya, jangan sampai diincar pelakor," balasnya. 

Aku tertawa. Ucapan istriku berlebihan. Aku bukanlah pria tampan dan punya banyak uang berlebih. Aku cuma karyawan di perusahan orang lain dengan gaji yang cuma cukup membiayai keluarga dan sedikit menyimpan untuk tabungan masa depan. Aku tak punya modal untuk berfoya-foya dengan para pelakor yang biasanya mengincar harta korbannya, lalu mencampakkan setelah ia tak mendapatkan apa yang ia inginkan.

Semoga hidup kami jauh dari hal-hal seperti itu. Cinta segitiga yang akan menyakiti salah satu pihak. Ya Allah, tetapkan hatiku agar selalu berada di dalam jalanMu. 

"Dek, pernah gak Adek marahi anak-anak?" tanyaku penasaran karena melihatnya begitu penyabar melihat tingkah anak-anak. 

"Pernah lah, Bang. Tapi jangan sampai melukai perasaan mereka. Marahnya dengan tujuan mendidik. Lagian mereka masih dalam tahap tumbuh kembang, tidak bisa sekali dua kali dibilangin. Kalaupun mereka diam saja, aku yang malah repot."

"Harusnya senang, dong, kok malah repot?" tanyaku. 

"Kalau balita aktif tiba-tiba diam saja, berarti kurang sehat, Bang. Nurul pengen anak-anak sehat-sehat terus," balasnya, memandangi satu-persatu buah hati. Aku memang tidak salah pilih menjadikannya istriku.

Dia memang istri sempurna di mataku. Dalam setiap kemarahan yang biasa terjadi pada wanita, dia tak pernah melampiaskan kekesalannya pada anak-anak. Dia tak pernah lepas kendali. Tutur katanya tak pernah menyakiti meskipun aku salah. Ngomel ya gitu, nyerocos aja. Tidak ada umpatan kasar ataupun menyebutkan nama-nama hewan. Aku jadi jatuh cinta setiap hari padanya yang menawan hati. 

Bagiku dia wanita kuat. Sesekali Nurul menangis di bahuku, lalu mengatakan kalau anak-anak sedikit rewel. Karena cuma menggunakan kata sedikit, suami tak pengertian ini pun sering abai. Ah, aku memang tidak peka. 

"Dek, memang Abang yang nyari uang, tapi menteri keuangan itu adalah seorang istri. Maafkan Abang  sekali lagi karena  membelanjakan dana tidak sesuai dengan APBNN," ujarku lagi dengan nada manja. 

"APBNN apaan sih, Bang? Kayak negara saja," ujarnya dengan nada manja pula. 

"Anggaran pendapatan dan belanja Nyonya Nurul," balasku, menjawil pipinya. Wanitaku semakin bersemu malu. 

Tidak ada salahnya tetap manja-manjaan meskipun sudah punya anak tiga. Mumpung pasukan lagi anteng nonton kartun bertiga, kesempatan jadinya godain mama mereka. Jarang-jarang punya waktu begini karena ada saja halangannya yang harus dihadapi dengan kepala dingin. 

"Paket!" seru kurir dari luar. 

"Paket apa ya. Gak mungkin pesanannya sudah datang," gumam istriku. 

"Lihat sana, Dek. Mana tahu cuma salah alamat," ujarku, tersenyum tipis. 

Nurul bangkit dan bergegas ke luar, menemui kurir yang kuyakini membawa baju untuk istriku.

Aku selonjoran sambil mencuri pandang mimik wajah istriku yang sedang berjalan mendekat. Dia senyam-senyum sambil melihat benda di tangannya. 

"Ini pasti ulah Abang kan? Apaan ini, Bang?" cecarnya. Hmm, padahal senang, tetap aja protes. Kebiasaan emak-emak yang harus dipahami. 

"Buka dong, Dek," balasku dengan senyum lebar. Menepuk lantai agar istriku kembali duduk di dekatku. Dengan gerakan cepat, Nurul membuka kotak berbentuk kado itu. 

"Buat istri sempurnaku," baca istriku. Hah? Aku melirik kartu ucapan yang tersemat dalam kotak. 

Istriku langsung berbinar bahagiada melirik ku dengan senyuman terkulum. Bisa juga Sobari dan istrinya bikin kejutan buat istriku. Nurul membuka baju-baju itu dan tersenyum terus sambil seskali menyenggolku. Aku juga ikut senang karena wrnanya sangat enak dipandang mata. 

"Ini kan baju-baju yang lagi musim, Bang. Sudah lama aku pengen ini. Kok bisa saja Abang tahu seleraku, ya?" lirihnya.

"Kamu kan istriku, Dek. Abang tahu dong apa yang Adek inginkan. Gak marah lagi, kan soal yang tadi?" balasku.

Nurul mengernyit. 

"Marah kenapa, Bang?"

Begitu dapat hadiah yang pas,  istri langsung lupa kesalahanku yang memesan semua isi troli aplikasi belanja online-nya. 

Jadi catatan penting nih, kalau mau istri kembali ceria, senangkan hatinya dengan barang atau makanan yang ia sukai. 

"Makasih banyak loh, Bang. Nurul suka semua bajunya. Apa boleh Nurul coba?" tanyanya. 

Aku mengangguk pasti. Jika dia bahagia, aku lebih senang memandangnya. 

Emak-emak anak tiga itu langsung masuk kamar untuk berganti baju. Tak lama kemudian aku mengekor dan memberikan pujian dengan keserasian pakaian itu di badannya yang ramping. 

Aku dan Nurul pun saling melempar senyum bagaikan pengantin baru dimabuk asmara. 

=====

Malam ini, setelah kami semua makan, kusuruh Nurul dan bayi kami tidur duluan. Biarlah aku begadang menunggui dua bocah yang masih sibuk bermain. 

Mungkin karena perasaannya yang bahagia seharian ini, mama dari anak-anakku itu tidur dengan pulas. Senyumnya juga masih terlihat mebingkai wajahnya yang teduh. 

'Oh duhai bidadari surgaku, ikhlaskanlah semua tenaga dan pikiran yang engkau korbankan untuk keluarga kecil kita.'

Kukecup keningnya dengan penuh cinta, lalu bergegas menemani Wandi dan Pita di ruang tamu.  Dua bocah itu masih sibuk saja bermain lego.

Keesokan harinya, sesuai janji kemarin, aku akan membawa istri dan anak-anakku tamasya sederhana. Terserah Nurul mau dibawa kemana, aku akan mengantar dengan senang hati. Shopping tidak perlu lagi karena sudah dibelanjakan melalui aplikasi.

Tapi sebelum berangkat, tetap saja pagi kami begitu sibuk.  Aku yang berniat membantu memasak juga malah bikin lama dan dapur semakin kacau.

"Abang gendong Dimas saja ya biar aku yang ngerjain semuanya," usul istriku. 

Aku mengiyakan, karena tangan istriku begitu cekatan. Seperti memiliki tangan lebih dari dua. Dia bisa mengerjakan banyak hal dalam satu waktu. 

Luar biasa. 

"Dimas gak mau samaku, Dek. Gimana nih?" tanyaku panik. Anak bungsu kami terus saja menangis saat kugendong kali ini. 

"Pakai dasterku yang tersangkut di belakang pintu, Bang. Bentar lagi siap nih," serunya dari kamar mandi. Masak sambil memandikan bocah. 

Luar Biasa. 

Gegas kupakai daster milik emaknya anak-anak  yang sudah memiliki banyak ventilasi. Sekalian saja kupakai jilbab sorong berwarna merah. Yang penting dedek Dimas gak nangis lagi. 

Ajaib, bocah ganteng itu langsung diam. 

Aku menggendong Dimas di ruang tamu sambil menonton bola si Wandi yang tergeletak di lantai. 

"Assalamualaikum," ujar seseorang dari balik pintu dan langsung masuk. 

Mata kami bertemu dan saling pelototan. 

"Yaqin? Kamu Yaqin anak Ibu atau Nurul menantu Ibu sih?" cerocos  Ibu dan berusaha menyingkap dasterku.

"Jangan dong, Bu. Malu. Ini Yaqin kok," ujarku sambil merapatkan paha. 

"Ibu tidak yakin kalau kamu Yaqin yang ibu yakini anak tertampan Ibu. Kok malah cantik sekarang?" cecar perempuan paruh baya itu. 

Aku terpingkal-pingkal. Apa iya seorang ibu tak mengenali anak lelakinya hanya karena pakai daster dan kerudung. Ibu memang berlebihan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status