Share

Hello, Mr. Arrogant!
Hello, Mr. Arrogant!
Author: Zee Jofany

Kisah yang Rumit

“Tuhan menciptakanmu dengan rahasia Braille di dalamnya, harus buta dulu untuk bisa melihat kebenaran yang tersembunyi. Meski ada cinta dan kerinduan di ujung semesta hatimu, tunggu sampai aku lumpuh agar bisa mencapainya,” sambil berujar demikian, dia melepas tangan gadis yang sejak awal sudah terisak, dan perlahan mundur tanpa melepas pandangan.

“Tapi, tak perlu tuli untuk mendengar pengakuanku!” Sebaliknya, si gadis dengan tegas berujar saat tubuh itu berbalik sempurna, “Aku jatuh cinta pada Bobby Alexander, Appa.”

Pengakuan tersebut meluncur lancar lengkap dengan air mata yang terus menganak sungai melewati gundukan pipi tembamnya, perempuan muda itu memaksa sang pria kembali terpasung di tempat. Kesulitan bergerak walau hanya untuk mengayunkan sebelah kaki, gemuruh di balik dada mewakili perasaan sesungguhnya. Kontras dengan raut serta sikap yang tengah dipertontonkan.

Bobby Alexander, pria 39 tahun tersebut hanya mengatur napas sembari memejamkan mata. Dari sudut terlihat air menggenang, luruh sekalipun dia merupakan orang dewasa yang tangguh. Namun, gadis di belakang sana tak boleh mengetahuinya.

Quitta Jofany, putri tunggal Bimby Princesyaila tersebut mengungkapkan perasaan tanpa ragu. Menunjukkan sisi normal seorang manusia, tetapi tidak untuk mereka yang saat ini sedang berada di halaman sebuah rumah. Bobby dituntut menjadi bijak sebagai pria dewasa, dilarang larut dalam pesona kekanakan Quitta.

Dia meniup napas dengan berat, bergerak cepat untuk menyingkirkan air mata. Tak boleh menunjukkan sisi lemah di hadapan sang gadis, pria itu kembali berbalik setelah dirasa air mata sudah bisa dikontrol dengan baik. Berdiri tegap sembari menunjukkan ekspresi datar.

“Di dalam persahabatan dan cinta ada ruang untuk antara, aku berada di sana bersamamu. Lagi pula, kamu adalah putri dari wanita yang hingga detik ini masih sangat menguasai hati. Jadi, perlukah aku minta maaf untuk cinta tanpa akhir terhadap ibumu?”

Quitta membeku, dia merasakan tikaman kali ini jauh lebih sempurna menyerang bagian terlemah dalam diri. Semua sendi penopang terasa kehilangan fungsi, lutut bahkan tak kuasa membuat tubuh itu tetap berdiri. Dia terjatuh.

Satu kaki Bobby bergeser dari tempatnya, tetapi sekuat hati menahan diri untuk tidak mendekat. Ini kesempatan terakhir, hanya butuh satu tembakan lagi untuk melukai Quitta. Dia harus bisa dan tega.

“Apa Appa akan terus begini?” tanya Quitta dengan nada bergetar disertai tangan kanan menekan dada yang terasa begitu sakit, “Hanya karena Amma cinta pertama Appa, lalu aku tak boleh bersatu dengan laki-laki yang kusuka?”

Kerumitan ini tak wajar, bagaimana seorang Quitta yang jelas-jelas dibesarkan olehnya jatuh cinta? Terlebih dengan status Bobby yang mencintai sang ibu di masa lalu, pria itu bahkan mengorban apa pun demi wanita yang melahirkan gadis tersebut, termasuk menjadi ayah pengganti selama lima tahun.

Mustahil! Bagaimana Bobby akan menghadapi Bimby dan Jofan? Dia bahkan bersaing dengan pria itu di masa lalu, berkelahi hanya untuk merebut hati wanita yang melahirkan Quitta. Satu-satunya langkah terbaik memang menghilang, lenyap seperti buih di lautan.

“Quitta, kamu dan aku adalah ayah-anak. Begitu konsepnya, jangan mengubah fitrah yang sudah Tuhan tetapkan.” Bobby masih menguatkan diri untuk terus bernada datar sekalipun gempuran tanpa logika mencoba meruntuhkan pertahanan, dia masih menempatkan akal sehat saat ini. Entah jika waktu diulur lebih lama lagi, bisakah dirinya terus bersikap munafik?

“Ah, ayah dan anak. Begitu?” Quitta menyeka air matanya sembari tersenyum misterius, “Lalu, apa Appa ikut andil dalam proses pembuatanku di masa lalu? Bahkan, Appa datang saat Amma menikah pura-pura dengan Appa, menjadi orang ketiga yang sangat menyedihkan kala itu. Apa aku salah?”

Quitta semakin lancar mengatakan semua kisah kelam di masa lalu, mengenai dirinya yang memang begitu menginginkan Bimby. Namun, harus mengalah ketika cinta tak berpihak, melepas wanita hamil itu untuk sang sahabat. Tak disangka jika gadis di depannya menghafal rekam jejak tersebut dengan baik.

“Appa, jika perasaanku salah dan keputusan kalian benar, bagaimana aku harus melupakan dan meniadakan keinginan kuat dalam diri? Semua orang menyebutnya sebagai kegilaan, hanya sikap cari perhatian yang kekanakan karena kita terpisah selama dua belas tahun. Jika memang semua itu benar, bisakah seseorang membuka batok kepala dan mengeluarkan otak yang menuntun ingatan selalu pada Bobby Alexander?”

“Kamu mengingatku karena aku adalah ayah asuhmu, pria yang memang wajar dianggap cinta pertama karena sejak lahir hingga usia lima tahuan hanya ada aku di depan matamu.” Bobby masih menyangkalnya, menganggap semua ucapan Quitta sebagai keinginan ambigu seorang anak yang tengah mencoba mendapatkan perhatian.

“Jika begitu, Jo Appa adalah cinta kedua dan Than Appa merupakan cinta ketiga seorang Quitta. Begitu konsepnya?” tanyanya masih dalam posisi berlutut, “Kalau lima tahun saja kebersamaan kita sanggup membuat aku yakin bahwa perasaan ini bukan seperti yang Appa katakan, apa kebersamaan dua belas tahun dengan Jo Appa akan menjadikanku sebagai pelakor karena kemungkinan jatuh cinta padanya lebih besar?”

Lidah Bobby kelu, dia kesulitan berujar sekarang. Usianya sudah 17 tahun, menjelma gadis dengan kecantikan yang mengimbangi pesona sang ibu. Jika ujung kerinduan dari perpisahan hanya untuk menciptakan spasi bernama ‘antara’, seharusnya Tuhan tidak kembali mempertemukan mereka. Melihat Quitta sesedih ini hanya menciptakan rasa bersalah paling buruk dalam dirinya.

“Quitta, dengarkan appa. Ini bukan hanya tentang jatuh cinta yang terlarang, tidak pula mengenai kecaman publik jika sampai kita benar-benar bersatu. Tanpa perlu kujelaskan, apa derita tak bisa kamu pindai dengan benar? Appa mohon, jangan menenggelamkan kesempatan hidup bahagia hanya karena keinginan yang akan membuat semua orang terkena imbasnya. Bagaimana dengan Jo Appa? Perasaan amma? Kamu sudah memperhitungkan semua itu?”

Quitta terpekur, dia hanya memandang lembut wajah pria yang mulai menunjukkan sisi putus asanya. Seketika mengerti, Bobby jauh lebih terluka saat ini. Semua orang bahkan menganggapnya sebagai lelaki tak tahu malu yang memanfaatkan cinta seorang gadis belia.

“Apa dia akan terus memanjakan Quitta dengan meladeni sikap kekanakan anak itu? Bukankah dulu Bimby tinggal bersamanya? Sangat menjijikkan sekali, serakah!”

“Apa Bobby tak tahu malu? Setelah mengejar ibunya, anak sekecil Quitta pun diembat.”

“Bukankah dia Psikolog? Jangan-jangan psikisnya terganggu!”

Quitta membisu ketika semua kecaman justru ditujukan pada Bobby oleh semua kerabat, mereka menempatkan dirinya pada posisi aman. Padahal sangat jelas jika dia yang sangat ingin berjodoh dengan sang ayah asuh, mengejar hingga ke tempat lelaki tersebut mengajar. Kembali pulang ke negara ini hanya untuk mewujudkan impian konyol bersama pria yang ia yakini sebagai cinta sejati sejak masih kanak-kanak.

“Appa, apa memang tak ada jalan untuk kita?” tanyanya dengan nada memelas yang hanya direspons dengan gelengan tegas oleh Bobby, “Kalau begitu, apa Appa hanya menganggapku anak asuh?”

“Iya.”

“Enggak pernah menganggapku sebagai wanita?” Quitta kembali bertanya untuk memastikan perasaan sang lelaki yang hanya kembali menimpali dengan gerakan kepala ke kanan dan kiri, “Sedikit pun?”

Bobby tak bergerak, dia hanya tertunduk. Mana mungkin hanya menganggap Quitta sebatas anak asuh ketika dirinya masih normal? Hanya saja, Tuhan masih menginginkan dirinya sebagai second lead di kehidupan, belum saatnya menjadi tokoh utama.

Takdir yang jahat, menempatkan perasaan tidak semestinya begitu saja. Jatuh cinta dua kali, itu pun pada ibu dan anak. Butuh waktu lama untuk bisa move on dari cinta pertama. Sekalinya kembali merasakan debar berbeda, justru pada Quitta—putri kandung dari cinta pertamanya—.

‘Quita, aku sangat mencintaimu. Jika saja bisa kuteriakkan sekarang, pasti kulawan hukum alam. Namun, kamu berhak hidup tenang, tanpa cibiran dan hinaan dari orang-orang. Kalian sama, kamu dan ibumu akan terus menjadi wanita-wanita tak tergantikan dalam kehidupan Bobby Alexander. Maaf, aku harus mencintai dengan menyakiti. Demi kalian, kamu dan Bimby berhak bahagia tanpa bayang-bayang rasa bersalah. Bagaimana bisa aku menjadi menantu dari cinta pertama? Selamat tinggal, Quitta. Semoga pria baik dipersiapkan sebagai penggantiku.’ Bobby membatin sebelum memutuskan berbalik sempurna, dia mendongakkan wajah  hingga air mata yang menggenang sedikit tertahan.

Pria itu benar-benar telah berbalik, meninggalkan Quitta yang kembali terisak seorang diri. Kalau ini mengenai konsep cinta sejati, Bobby memiliki teori sendiri. Dia sudah terbiasa dengan luka dan kecewa, hanya masalah waktu untuk proses penyembuhannya.

Jika melupakan Bimby butuh 17 tahun untuk mampu menerima cinta yang lain, entah berapa tahun lagi dirinya akan berhasil membuka hati untuk pengganti Quitta. Ah, pria bernasib malang itu memang hanya Second Lead yang menyedihkan, gagal lagi menemukan tambatan hati. Hanya tercipta sebagai jembatan bahagia bagi orang lain.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
UlfSanita
Suka gaya bahasanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status