Share

Bertemu Mantan dan Calon Istri

Alo Pratama yang memiliki nama Alo Agler sejak lahir tersebut memarkir mobil mewahnya di pelataran parkir sekolah terkemuka di Jakarta, terlalu tua jika dia mengatakan datang untuk mencari ilmu. Keinginan sang kakek untuk makan malam membuatnya berada di kota tersebut, mencari gadis yang diharuskan menjadi istri sang pria agar bisa menjadi penguasa Starla Group.

Ia sudah membulatkan tekad untuk membujuk gadis itu agar menolak rencana sang kakek, kemungkinan membuatnya menggagalkan perjodohan akan sangat besar mengingat hubungan mereka begitu buruk di masa lalu. Alo tak langsung turun, dia justru terpaku di tempat sembari memandang gedung menjulang di depan mata. Sepuluh tahun berlalu begitu cepat, bangunan tersebut pernah ia huni meskipun tak sampai lulus di masa lalu.

“Apa guru-guru masih mengingatku?” gumamnya dengan senyum kecut karena teringat saat terakhir kali kabur dari sekolah demi hal mendesak yang membuat citra sempurnanya berantakan, ada sedikit keraguan untuk maju mengingat betapa mengerikan pilihan yang ia buat di masa lalu.

Namun, dia memang harus menemui Quitta Jofany. Hanya ini peluang dirinya terbebas dari peraturan aneh sang kakek, kenapa harus menikah demi sebuah posisi di perusahaan? Tidak bisakah hanya memberikan bagian untuk cucu-cucunya secara adil?

Setelah dirasa pas, Alo memutuskan keluar dari mobil. Dia berdiri di sisi kendaraan mewah tanpa peduli dengan perhatian para gadis yang tertuju padanya, pria itu hanya melepas kacamata hitam. Menyelipkan di saku jas.

Mata elang itu memindai sekitar, mencari kelas yang disebutkan Daffin. Ini tahun ketiga, artinya Quitta akan berada di lantai teratas sebagai senior. Meskipun ada beberapa perubahan, dia masih hafal jalan menuju kelas yang disebutkan sang pengacara.

“Ternyata bocah itu cukup pintar, dia menempati kelas unggulan. Artinya, di lantai tiga. Apa aku langsung mencarinya atau menyapa guru?” Alo bergumam sembari menimbang langkah yang akan diambil, tetapi dia langsung terlonjak ketika teriakan histeris membahana.

Para gadis sudah terlihat terpukau sambil menunjuk dirinya, menjadi pria idaman dalam sekejap. Memalukan! Alo langsung mengambil inisiatif melangkah, tanpa tebar pesona pun sudah mampu menciptakan kehebohan. Ternyata pesona terbaik masih ia miliki dan tetap mampu menarik perhatian para gadis muda.

“Heh!” Alo dengan sikap tak sopannya mencegat dua orang pemuda yang berjalan dari arah berlawanan, “Kalian kenal Quitta Jofany?”

Dua orang yang ditanya langsung tergelak, hal yang sangat aneh. Kenapa mereka tertawa? Menciptakan kesan kurang nyaman, menjadikan praduga buruk semakin menyabotase pikiran.

“Jadi, Kakak juga mencari Quitta?” Pertanyaan yang membuat kening Alo mengeriput, “Cewek populer memang luar biasa, ada banyak cowok tampan yang mengejar. Apalah daya kami yang hanya cowok biasa? Semua yang datang selalu terlihat kaya.”

Juga? Apa artinya sudah ada yang mencari sebelum dirinya? Jangan-jangan Galen mendahului? Ah, mana mungkin! Daffin bilang, jika dirinya gagal, baru sang sepupu yang akan maju. Isi wasiat tersebut bahkan baru diketahui keluarganya serta sang pengacara, mustahil saudara Alo tersebut tiba lebih awal.

“Tapi, apa Kakak sudah menyiapkan mental dari rumah?” tanya seorang anak yang memiliki jenis rambut kriwil disertai senyum lucu di wajah, “Terakhir kali, seorang laki-laki berpenampilan keren datang mencarinya. Namun, dia pergi dalam waktu tiga detik.”

“Kalau masih sayang mental, sebaiknya Kakak cari perempuan lain. Jangan menggali kubur secara sukarela, ini saran kami sebagai sesama lelaki.” Si pemilik tubuh ceking mendekat sembari menepuk-nepuk pundak kiri Alo, pria itu ingin mengumpat. Namun, dia tahan ketika dari arah depan terlihat rombongan mendekat.

Mereka bukan dewan guru, Alo mengabaikan ocehan para murid tentang calon istrinya. Dia justru tertarik terhadap satu sosok tak asing yang kian mendekat, debar di balik dada menjelaskan situasi perasaan saat ini. Ada bahagia sekaligus kelegaan.

“Minggir, Kak. Wanita itu adalah donatur terhebat, beri jalan untuk rombongannya.” Anak dengan rambut keriwil itu menarik lengan Alo untuk menepi, dia yang biasanya langsung marah hanya terlihat tak berkedip ke arah depan.

Di sana terlihat seorang wanita dewasa tengah mengangguk-angguk saat lelaki di sisi kanan menunjuk bangunan di sekitar, begitu serius tanpa peduli keadaan lainnya. Melewati Alo begitu saja, tetapi detik berikutnya rombongan berhenti. Barisan para pria terbelah ketika sang bos memilih berbalik.

“Alo …?” Sapaan ini bernada ragu dan kaget disertai dengan ekspresi yang begitu ambigu, pria yang semula berpraduga buruk langsung tersenyum. Mengangguk pelan sebagai jawaban atas keraguan sang wanita.

Tak terduga, wanita yang dikawal ketat tersebut mendekat. Melangkah pelan tanpa melepas pandangan dari wajah sang pria, ada sorot kerinduan. Keduanya hanya berucap dengan pandangan, enggan melontarkan kata apa pun.

“Apa Ibu Anya mengenalnya?” Pertanyaan ini berasal dari salah seorang dewan guru yang mengawal rombongan, tak lain Bobby Alexander.

“Iya, mereka sangat mengenal satu sama lain.” Jawaban ini memaksa semua orang menoleh, Quitta sudah berdiri dengan kedua tangan bersedekap. Tak ada ekspresi apa pun di sana, hanya lirikan sekilas menuju Bobby.

“Sepasang mantan suami-istri viral di masa lalu,” tambahnya membuat semua orang langsung membekap mulut, “Bapak tak pernah membuka Sosmed?”

Bobby hanya bisa menggerak-gerakkan bibir, tak mampu menanggapi ketika Quitta sudah melontarkan bahasa demikian. Alo menoleh, lupa jika sedang berpapasan dengan mantan istri kontraknya di masa lalu. Tertarik dengan narasumber yang begitu lancang menjelaskan status di depan semua orang.

“Ke sini untuk bertemu aku, ‘kan?” Gadis itu masih tak peduli dengan reaksi semua orang, “Ikut aku.”

Alo tak memiliki pilihan, semakin dia menunjukkan rasa bersalah di hadapan Anya, semua orang akan bergosip setelah ini. Pria itu akhirnya mengikuti gadis berseragam putih abu-abu tersebut, menjauh dari rombongan. Bobby menghela napas, menunduk penuh rasa bersalah di hadapan donatur.

“Siapa gadis itu?” tanya Anya dengan nada kecewa, kejutan bertemu Alo mendadak menjelma momen menyebalkan.

“Maaf, Bu. Saya akan menegurnya, apa Ibu ingin lelaki tadi dipanggil?” Bobby mengambil alih sebelum wakil kepala sekolah menanggapi, dia tak mau Quitta dalam masalah besar. Gadis itu memang memiliki masalah dengan sikap, selalu diburu guru lain untuk dihakimi.

“Pak Bobby mau membelanya lagi?” cetus Pak Temmy yang memang sangat kesal dengan tingkah laku Quitta, “Jangan hanya karena dia putri ….”

Pria itu tak berani melanjutkan kalimat karena teringat dengan nama ayah Quitta, kembali terdiam sambil tertunduk. Siapa yang akan menyentuh gadis tersebut? Jofan Dastarasta merupakan pemilik yayasan, yang artinya sekolah ini pun kepunyaan si Pembuat Onar.

“Putri Jofan Dastarasta?” ulang Anya teringat sesuatu mengenai nama tersebut, “Ibunya Bimby Princessyaila?”

“Benar, dia putri pemilik sekolah ini.” Bobby menegaskan sembari membungkuk, tak nyaman telah membuat masa lalu Anya disinggung.

“Quitta Jofany?” tanyanya sekali lagi memastikan nama gadis tadi, Bobby mengangguk membenarkan. Pria tersebut mengernyit saat Anya membuka mulut, senyum tak nyaman itu menunjukkan bahasa berbeda.

Ada apa dengan mereka? Dia mulai gelisah, terlebih saat melihat sosok Alo yang jauh dari kata jelek. Mungkinkah akan ada benang merah serius yang mengikat keduanya?

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status