Share

GELORA HASRAT MR. SPY
GELORA HASRAT MR. SPY
Penulis: Shira Aldila

Perisai Peluru

“Siapa nama kamu tadi?”

“Yuna.”

“Okey, Yuna. Ini seragam kerja kamu malam ini dan ini bayarannya. Ingat! Tidak boleh keluar dari ruangan itu sebelum jam empat pagi. Kalau ada yang grepe-grepe, layani saja, mereka orang berduit, tidak pelit, kamu butuh duit ‘kan?”

Yuna mengiyakan seraya meneguk ludah saat mendapatkan puluhan titah dari perempuan bergincu merah. Orang-orang di sini memanggilnya dengan sapaan Mami. Tangan Yuna meraih bungkusan yang berisi kostum, juga meraih amplop berisi bayaran untuk pekerjaan nekatnya malam ini.

“Ayo, cepat! Ganti baju kamu dan masuk ke ruangan itu.”

Si Mami pergi, meninggalkan Yuna sendiri di dalam ruangan ganti. Hanya dia sendiri di sini. Yuna sudah terlambat. Perempuan pekerja lain sudah memulai pekerjaan mereka duluan di ruangan Club VVIP di lantai 25. Lantai teratas sebuah hotel bintang lima.

Yuna mengernyitkan kening melihat kostum yang ia keluarkan dari bungkusan. Sebuah Mini dress berwarna merah, berbentuk baju pelayan di serial anime-anime m3-sum. Sangat terbuka dan ketat. Kostum itu dilengkapi bando berbentuk daun telinga kelinci yang mencuat tinggi, berwarna merah menyala, mengkilat-kilat diterpa cahaya.

Yuna meremas amplop bayaran ke dada dengan erat, rasa gugup menyerang sebelum memulai pekerjaan. Jika tidak terdesak uang, dia tidak akan nekat menerima pekerjaan ini. Pekerjaan murahan kata sebagian orang.

Setelah menata make up, memoles gincu tebal, dan mengenakan kostum minim seperti kostum f3-tish om om hidung belang, Yuna mengutuk dirinya di depan cermin. Dia terlihat konyol.

“Seperti penari striptis,” rutuknya menghina penampilannya sendiri.

Yuna keluar kamar ganti, berjalan terseok ulah sepatu berhak tinggi yang ia kenakan. Di ujung lorong, tepat di depan pintu berwarna perak metalik, dua penjaga bertubuh tegap dan besar menyambutnya.

“Kode akses?” tanya salah satunya.

“550196.”

Yuna menjawab dengan lancar. Dia memilikinya dan sudah hapal. Kode angka itu adalah kode akses khusus bagi para pekerja yang akan masuk ke dalam ruangan Club.

“Silahkan! Dan jangan membuat kericuhan di dalam,” pesan si Penjaga pintu. Yuna mengangguk gugup. Tidak mengerti akan maksud kata ‘kericuhan’ seperti apa yang akan ia perbuat di dalam.

Yuna masuk ke dalam ruangan, disambut ruangan dingin dan lampu yang berkelap-kelip. Perempuan-perempuan muda berkostum sama dengannya berjalan dari meja ke meja menata minuman. Alunan musik lembut mengalun. Pria-pria berjas duduk di sofa, saling berbincang serius. Ruangan belum ramai, separuh sofa belum terisi.

“Kamu Yuna? Yang gantiin Sisi? Kok lama amat, sih. Cepat layani para tamu!”

Seorang pria bermake-up mencolok, berkemeja flamboyan warna biru mengkilap, menyambut Yuna dengan wajah menggerutu.

“Maaf.” Yuna berucap lirih dan menunduk. Dia semakin gugup.

“Cepat ke bar!” titah pria itu lagi. Gadis berusia 22 tahun itu mendekat ke bar, tersenyum kikuk pada pria yang sedang mengaduk minuman.

“Anak baru?” sapa laki-laki itu ramah, mereka sebaya.

“Iya, baru, tapi freelance, cuma seminggu, gantiin teman. Apa pekerjaanku?”

Pria muda di balik bar menata Margarita, Long island, dan Koktail ke atas nampam.

“Bawa ke meja paling ujung. Nomor 11, hati-hati, yah. Kalau ada yang lancang ganggu kamu dan kamu ngga suka, kamu bisa tolak baik-baik. Mereka di sini, bukan type pemaksa kalau ngga lagi sedang mabuk.” Yuna mengangguk paham. Si Bartender maklum pada Yuna yang masih baru.

Sebelum menerima pekerjaan sebagai hostes di ruang Club VVIP, Yuna sudah tahu aturan main dan resikonya. Dia sudah menyiapkan nyali. Sisi, teman satu kost, pemilik asli pekerjaan ini, sudah memperingatkan Yuna tentang bagaimana genitnya dunia malam.

“Sekali kau masuk, tempat itu akan menyeretmu semakin jauh ke dalam.” Demikan Sisi berpesan. Yuna menyanggupi segala resiko ketika tawaran pekerjaan itu diberikan. Dia bersedia menggantikan Sisi sementara, mendaftarkan diri ke agensi dan akan mengambil pekerjaan ini seminggu penuh untuk mengumpulkan uang.

Sebenarnya, Yuna bukan perempuan pengganguran. Siang hari, dia memiliki pekerjaan lain, bekerja di sebuah perusahaan pinjaman online sebagai operator penagih utang. Sayangnya, gajinya tidak besar, tidak mencukupi jumlah uang yang sedang Yuna butuhkan.

“Minumannya, Tuan.” Yuna menata minuman di meja nomor 11. Di sofa ada tiga orang berjas saling berbincang. Rerata berwajah serius dan berambut klimis. Mereka bukan kalangan biasa. Topik bahasan mereka tentang tender milyaran, Yuna sempat menguping pembicaraan.

“Terima kasih, sayang.” Salah satu dari tiga pria berjas menyapa Yuna. Pria berusia 50 tahunan dan bersikap sopan.

“Sama-sama, Tuan.” Yuna membalas dengan senyum ramah semampunya, lantas pamit pergi untuk melanjutkan pekerjaan.

Yuna bisa bernapas dengan lega, ternyata tidak terlalu menakutkan di sini. Orang-orang di sini tidak lancang dan mereka dari kalangan berkelas. Meski berpakaian minim seperti ini, Yuna belum menemukan tanda-tanda akan mendapatkan pelecehan.

Atau mereka belum terlalu mabuk untuk melakukan hal itu?

Malam semakin larut, tamu-tamu berdatangan memenuhi ruangan. Musik yang disajikan mulai menghentak, atmosfer ruangan mulai panas. Para hostes yang satu profesi dengan Yuna mulai kelimpungan melayani tamu. Sebagian dari mereka bahkan tidak kembali lagi ke bar. Mereka sudah duduk tenang di sofa, menemani tamu dengan segala keramah-tamahan yang saru demi lembaran uang tip atau jika mereka beruntung akan dibawa ke kamar.

Berbeda dengan Yuna, dia masih bolak-balik mengantarkan minuman ke beberapa meja. Menurutnya hal ini jauh lebih aman ketimbang tenggelam dalam dekapan pria. Bayaran menjadi hostes untuk mengantar minuman dan membantu memilihkan menu, sudah cukup bagi dirinya.

Tepat di meja 18, perhatian Yuna terfokus pada tamu yang satu itu. Dia terlihat amat berbeda. Seorang pria berjas, duduk sendirian di sudut gelap. Masih muda, berparas serius dan … rupawan, menurut Yuna. Tamu itu memesan segelas air mineral dan soda, seperti sedang tidak berniat untuk mabuk. Yuna yang mengantarkan pesanannya.

“Ini minumannya, Tuan.”

Setelah meletakkan gelas, pria itu menyambar lengan Yuna dengan cepat, menariknya hingga menelusup ke dalam pelukan.

“Awas!” Pria itu memerintahkan dengan tenang. Suaranya dalam dan penuh tekanan. Yuna tidak menolak pelukan itu sedikit pun, karena dia tahu, ini bukan tindakan cabul, melainkan, sesuatu yang benar-benar kacau sedang terjadi di ruangan ini.

Yuna mendengar suara dobrakan keras di pintu masuk ruang VVIP, setelah suara dobrakan, suara lain menyusul, yaitu suara tembakan.

Ruangan bergemuruh gaduh dengan tiba-tiba dan tanpa disangka. Ruangan yang tadi riuh dengan gelak tawa dan musik, kini menjelma menjadi medan perang. Musik dari turntable berhenti, berganti menjadi irama kematian. Suara peluru-peluru yang ditembakkan, gelas-gelas pecah, erangan kesakitan, pekikan perempuan ketakutan dan umpatan. Semua suara-suara mengerikan itu bersatu padu di dalam ruangan Club VVIP yang sudah kacau balau. Aroma mesiu menyeruak di seluruh penjuru ruangan. Asap mengepul dari api-api yang menjalar membakar sofa-sofa.

“Sembunyi di bawah meja!” Pria itu kembali memberi titah. Yuna lepas dari pelukannya dan menelungkup di bawah meja berbahan stainless.

Sementara sang pria asing masih dalam kondisi tegap dan serius. Tangannya menjurus menodongkan senjata ke arah asal peluru yang datang. Pistol ditembakkan. Suara timah panas mendesing-desing memekakkan telinga. Yuna mengucap-ngucap di bawah meja, keringat dingin menanti mautnya.

Pria asing itu serius menembak, peluru juga menghujani lokasi mereka bersembunyi. Yuna semakin ketakutan. Sementara, si Pria asing mulai terdesak. Pelurunya nyaris habis. Dia akan melangkah keluar dari persembunyian untuk kabur mengelak, dan Yuna dengan cepat mencengkeram kaki pria itu untuk menahan.

“Mas, tolong. Tolong saya, jangan tinggalkan saya.”

Si pria menunduk, menatap Yuna lekat dengan manik cokelat gelap yang tajam. Dia meragu, berdebat dengan diri sendiri apakah akan menolong gadis malang ini.

“Tolong, keluarkan saya dari sini.” Yuna memohon lagi. Matanya berkaca-kaca memohon belas kasihan.

Setelah berdecak sedikit kesal dan menggelengkan kepala, pria asing itu akhirnya mengangguk setuju. Dia merentangkan tangan, Yuna masuk ke dalam pelukan. Tubuh tegap dan kekarnya menjadi perisai peluru untuk tubuh mungil seorang Yuna.

“Apakah kita akan selamat keluar dari sini?” rintih Yuna bertanya dalam pelukan si pria setelah melihat ma yat-ma yat korban tembakan bergelimpangan di lantai club.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status