Share

Syarat Gila

Yuna berlari menuju ranjang. Mengangkat kasur pegas dan mengambil amplop cokelat yang tersimpan di bawahnya. Gadis itu membuka amplop. Dengan hati yang getir, dia mengecek jumlah uang yang ada di sana.

“Ngga sampai setengah. Ponco pasti ngga mau terima. Aduh!” Gadis itu terhenyak di lantai. Pikirannya kalut, bingung bagaimana cara menutup kekurangan tagihan hutang itu. 

“Semoga dia mau ngasih keringanan dan terima sebanyak ini dulu.” Harapan Yuna sungguh-sungguh di dalam hati. Gadis itu mengemas amplop ke dalam tas sandang hitam. Dia berlari cepat keluar kamar, namun pantulan bayangan dirinya di cermin membuatnya berhenti melangkah. 

“Gila aja aku ke sana dengan pakaian seperti ini.” 

Yuna tersadar bahwa tubuh mungilnya hanya terbungkus jas milik si Pria misterius dan dress mini. Pakaian yang sama sekali tidak aman untuk dikenakan ke tempat Ponco yang merupakan tempat sarangnya penyamun. Gadis itu cepat-cepat mengganti pakaian. Mengenakan jeans panjang, sweater hoddy berwarna burgundy dan sneakers. Tubuhnya tertutup sempurna dan berharap tidak akan menarik perhatian orang. 

Jam dua malam, Yuna meninggalkan kost. Berjalan lagi sendirian melewati gang gelap nan sempit untuk mencari ojek di perempatan.  Tak sampai 15 menit, dia tiba di depan gedung usang bercat kusam. Pencahayaan di sekitarnya remang-remang. Satu-satunya sumber cahaya di depan gedung itu adalah neon box yang tidak jelas lagi tulisannya, tergantung di atas pintu masuk berwarna hijau dengan cat yang mengelupas.

Yuna mendorong pintu, dia disambut alunan lagu dangdut koplo dan semerbak aroma minuman alkohol oplosan. Suara-suara meja dikeprak batu domino terdengar, bercampur dengan suara gelak tawa orang-orang. Gedung ini adalah rumah judi, juga menyediakan perempuan bagi yang membutuhkan. Tempat yang mirip seperti rumah kasino untuk para pria-pria pecundang. Pria-pria yang ketimbang memberikan jatah nafkah pada anak istri di rumah, melainkan mereka lebih memilih duduk melingkari meja, bermain kartu atau permainan apa saja dengan memasang uang taruhan. Jika mereka menang, duit yang didapatkan akan dihabiskan untuk bersenang-senang dengan perempuan-perempuan jalang. 

Yuna berjalan sepanjang lorong pengap yang berbau apek, bercampur bau keringat yang busuk. Ada pria-pria mabuk duduk tersandar di lantai. Mereka adalah orang-orang yang teler hingga tak sadarkan diri. 

Gadis itu mengabaikan dan terus berjalan. Saat tiba di dekat anak tangga, langkahnya dicegat oleh seseorang. 

“Kesasar ya, Neng? Temenin abang joget dong.” Suara parau seorang laki-laki beruban yang sedang teler mencengkeram lengan Yuna. 

“Lepaskan!” 

Yuna berontak. Tak perlu tenaga besar, gadis itu mampu mendorong tubuh si Pria tua teler sampai terjerembab ke anak tangga. Yuna bergegas menaiki anak tangga ke lantai dua, meninggalkan si Pria tua yang kini menyumpah serapah ulah kesal pada Yuna yang mendorongnya. 

Setiba di lantai dua, Yuna kembali disambut lorong panjang namun dalam keadaan sepi. Dia menuju pintu berwarna merah terang yang ada di ujung lorong. Pintu itu dalam keadaan tertutup. Yuna mengetuknya dengan gugup.

Pintu dibuka, seorang pria berambut gondrong keriting awut-awutan menyambut Yuna dengan wajah garang. 

“Cari siapa kau?” tanyanya dengan logat Medan yang kental.

“Cari Bang Ponco, Bang,” jawab Yuna gugup.

“Nama kau siapa? Urusan kau penting atau tidak?”

“Yuna, Bang. Masalah penting, kok. Mau kasih uang ke Bang Ponco.”

“Oh, kalau soal itu, dia pasti lansung mau bertemu kau. Kau tunggu di sini!” 

Pintu kembali ditutup. Yuna menunggu di luar dengan hati gelisah. Tak berapa lama, pintu dibuka lagi. Dua orang gadis belia berpakaian minim dan serampangan keluar ruangan sambil cengengesan. keduanya berwajah teler dan sedang lupa diri. Di belakang mereka, pria berlogat Medan muncul dan mempersilahkan Yuna untuk masuk. 

Ponco, pria flamboyan pemilik segudang bisnis hitam namun kebal hukum karena rajin menyumbang suapan. Dia duduk di kursi di balik meja, merapikan kemeja merah bermotif kembang sepatunya. Bibirnya terkembang sangat lebar saat menyambut Yuna.

“Eh, ada Dek Yuna, sudah terima surat abang? Sudah dibaca? Ada bagus tulisan Si Parlin?” sambutnya ramah, tapi jangan pernah terkecoh dengan sikap lembutnya itu. Ponco sangat licik dan berdarah dingin. 

“Sudah bang. Tapi aku cuma punya setengah.” Yuna menjawab takut-takut, dia terpaku berdiri di tengah ruang. Semakin gugup. 

“Kok cuma setengah, dek? Abang ‘kan minta bayaran penuh, sudah berapa bulan ini, lho?” balas Ponco masih dengan nada suara yang teramat ramah.

“Janjinya ‘kan minggu depan, Bang. Tapi abang sudah tagih aja hari ini.”

“Ya ngga jadilah, Dek. Bapak dek Yuna itu makin ngelunjak kalau dikasih waktu terus,” balas Ponco dengan gaya bicaranya yang mendayu-dayu.

“Terima aja dulu setengah ini, Bang. Saya janji minggu depan akan bayar lunas. Lepaskan dia, Bang. Kasian.” Yuna memohon. Sikap Ponco yang bersahabat membuatnya tak takut lagi. 

“Bapak kamu itu, kalau ngga diginiin, ngga akan kapok-kapok dia.” Ponco menjawab santai.

“Please, Bang. Seminggu lagi saya bayar kekurangannya. Lepaskan dia, biarkan dia pulang.” 

Ponco mendesah malas karena Yuna merengek terus. Kesabarannya sepertinya terkikis. Dia menggaruk jidat mengkilatnya sebentar kemudian menggamit cerutu yang ada di meja. Ponco membakar, menghisapnya dalam dan menghembuskan asap cerutu yang menggumpal. Aroma tembakau yang pahit menyergap hidung Yuna, hingga gadis itu terbatuk. 

“Ya, sudah. Bawa sini uangmu,” putus Ponco setelah menikmati cerutu.  

Yuna merogoh isi tas, mengeluarkan amplop cokelat. Sementara Ponco, memberi perintah pada laki-laki gondrong yang berlogat Medan tadi.

“Parlin, kau bawalah si Bakti itu ke sini.”

Hati Yuna merasa lega, akhirnya permohonannnya diterima. Bakti, ayah kandung Yuna akhirnya dibebaskan setelah tiga hari disekap Ponco karena tidak sanggup membayar hutang. 

Ponco tersenyum sungging menerima amplop. Dia membuka dan menghitung isinya. Pria itu juga mengangguk-angguk sambil tersenyum. Senyum aneh yang membuat Yuna tak nyaman. 

“Dek Yuna. Saya bebaskan bapakmu. Tapi saya punya syarat. Ngga bebas gitu aja. Syaratnya ngga berat, kok. Plus, hutang si Bakti akan saya anggap lunas.”

“Apa itu, Bang?” tanya Yuna harap-harap cemas. 

“Dek Yuna mau ngga tiga hari di sini. Jadi gadis-gadis abang. Dek Yuna ini cantik. Pasti banyak yang mau beli.” 

Yuna yang tadi sudah lega karena ayahnya dibebaskan, kini malah seperti tersambar petir. Meski Ponco mengucapkan hal itu dengan nada lembut, tapi arti dari kalimat itu tidaklah baik untuk nasib Yuna. 

“Maksudnya apa, Bang?” Yuna sebenarnya paham, tapi dia ingin Ponco menjelaskan maksudnya jauh lebih jelas lagi. 

“Layani tamu-tamu Abanglah. Enak kerjaannya, tinggal ngangk4ng, terus dibayar.” Ponco menerangkan teramat santai seolah tak punya hati. 

“Ta-tapi, Bang ….” Yuna ketakutan dengan syarat yang diberikan Ponco. 

“Tapi, apa Dek? Bisnis sama Ponco, ngga ada pakai tapi-tapian. Saya sudah kasih kamu keringanan. Syarat dari saya mutlak harus diterima.”

Nada suara Ponco berubah total. Nada suara yang awalnya ramah, kini berubah dingin penuh tekanan. Sorot matanya tajam memandang Yuna. Gadis itu meneguk ludah, tak terbayangkan bagaimana nasibnya kini, Yuna tidak akan punya pilihan lain untuk menolak tawaran gila itu. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status