Share

Surat Ancaman

“Tentu saja bisa keluar. Ayo ikut aku!” 

Pria itu membawa Yuna menuju meja bar. Mereka berlari, merunduk, mengelak, kemudian berdiri lagi untuk menembak. Begitu terus sampai keduanya berhasil mencapai meja bar. Mereka berdua bersembunyi di sana, Yuna meringkuk ke bawah meja bar sementara si Pria mengisi ulang peluru dan lanjut menembak lawan dari persembunyian.

Di lantai, bartender muda yang tadi sempat menyapa Yuna saat pertama kali memulai kerja, kini sudah tak bergerak di lantai dengan dua lubang peluru di bagian dada. Yuna terpekik histeris dan semakin ketakutan. Belum sempat menguasai diri dari keterkejutan, tangan kekar si Pria sudah menarik tubuh gadis itu.

“Ikut aku ke sini!” 

SI Pria mengajak Yuna masuk melewati pintu yang ada di dekat bar. Pintu itu menuju dapur. Setiba di dalam sana, Yuma merasa semakin terdesak dan terjebak. 

“Di sini … di sini jalan buntu! Ngga ada pintu keluar.” 

Yuna panik. Dia sudah melihat ke seluruh penjuru dapur kecil itu. Sekelilingnya hanya dinding, tidak ada akses keluar selain pintu di dekat bar.  

Si Pria asing masih di dekat pintu. Dia mendorong meja dapur berbahan stainless untuk mengganjal pintu. Pintu akan sulit dibuka karena terganjal meja berat itu.

“Ada.” 

Si Pria menjawab yakin dan santai setelah selesai dengan pekerjaannya. Dia menarik lengan Yuna lagi. Berjalan menuju ujung ruang. Mata Yuna melirik ke arah pintu yang diganjal, terdengar suara tubrukan bertubi-tubi. Orang-orang di luar sana ternyata mengejar mereka berdua. Yuna semakin panik tapi tidak dengan si Pria. 

“Siapa mereka? Kenapa mereka mengejar kamu?” Yuna masih sempat bertanya saat si Pria sedang membuka sebuah pintu berbentuk persegi yang menempel di dinding. Dia tidak menjawab, malah acuh dengan pertanyaan Yuna.

“Cepat, masuk ke sini!” Si Pria berhasil membuka pintu persegi itu. Dia menunjuk ruang sempit yang merupakan lift khusus pengantar makanan dari lantai ke lantai. 

“Kita ngga akan muat berdua di situ.”

“Kamu saja yang masuk, nanti aku menyusul.”

“Baiklah.”

Yuna tidak punya pilihan. Dia masuk ke lift makanan. Si pria menutup pintunya. Saat lift bergerak turun, Yuna mendengar suara hentakan kaki di atas kotak lift tempatnya meringkuk. Ternyata si Pria itu ikut turun ke bawah melalui tali sling penggantung lift. 

Lift berhenti di sebuah lantai, Yuna kebingungan akan apa yang harus dia lakukan sekarang. Gedoran keras di bagian atas kotak lift memecah kelinglungannya.

“Cepat buka pintunya!” Suara samar, sedikit teredam terdengar dari atas kotak lift. Yuna  tahu, itu suara si Pria. 

“I-iya.” 

Gegas, gadis itu membuka pintu lift dan keluar. Mata Yuna disambut ruangan dapur temaram yang kosong tanpa aktifitas. Lift makanan beringsut turun. Kemudian, terlihat sepasang kaki berbalut pantofel hitam mengkilat membelit tali sling dan melangkah keluar melewati celah kecil pintu lift makanan. 

“Ayo!” Si pria merapikan jasnya sedikit kemudian mengajak Yuna melanjutkan perjalanan untuk kabur. 

“Kemana lagi?”

“Di sana, ada tangga jalur khusus teknisi yang lansung menuju basement.” 

Langkah si Pria besar-besar dan panjang, Yuna yang memakai high heel kesulitan mengikuti, di ujung sudut ruangan, ada sebuah pintu persegi di lantai, di bawahnya ada tangga besi yang menempel. Si pria lansung menuruni tangga itu tanpa ragu. Berbeda dengan Yuna. 

“Kenapa? Ayo cepat!” Si Pria menyuruhnya bergegas. 

“Tapi kamu jangan lihat ke atas, yah.” Rok dress yang mini dan hanya 5-centimeter dari pangkal paha, membuat Yuna tidak nyaman dan malu. Si pria paham akan hal itu.

“Santai saja, aku tidak akan melihat ke atas untuk mengintip isi rokmu.” 

Yuna membuang keraguan. Dia melepas high heels dan melemparnya sembarangan. Kaki gadis itu mulai menginjak tangga besi dengan perlahan. Dia turun dengan hati-hati. Ruang sekitar tangga sangat gelap, dipenuhi pipa-pipa sanitasi hotel. 

Baru separuh jalan, terdengar suara ledakan.  Suara keras itu berasal dari lantai teratas. Yuna melihat ke bawah, ke arah si Pria yang sedang menundukkan kepala. Yuna ingin bertanya ‘Ada apa?’ tapi dia urungkan segera. 

Beberapa lantai telah mereka turuni, si Pria asing sengaja memilih jalur ini agar bisa menyusup keluar tanpa terlihat. Dia tahu betul kalau sekarang sedang dikejar. 

Di koridor ruangan basement, mereka keluar dengan mengendap. Cepat-cepat menuju parkiran.  

Sebuah sedan hitam terparkir. Si Pria mengajak Yuna menuju mobil itu. Gadis itu diminta masuk ke bangku samping kemudi. Mobil melesat pergi dengan cepat. Ketika keluar parkiran basement, ratusan warga kota sedang berkerumun di sekitar halaman hotel. Mereka melihat ke arah lantai atas hotel yang terbakar. Semua ponsel  mereka merekam kejadian itu, kejadian yang akan hangat diperbincangkan warga sepanjang minggu. 

“Aku akan antar kamu pulang, di mana rumahmu?”

Yuna menerangkan di mana alamatnya. Hanya dialog itu yang terucap, selebihnya senyap. Selama di perjalanan, gadis itu hanya bisa meremas jari. Jantungnya belum berdetak normal, masih was-was karena kejadian tadi. Beruntung, dia bertemu dengan pria misterius ini. Si Pria juga sibuk mengemudi. Laju mobil sangat kencang membelah jalanan malam. Mata pria itu tak lepas dari spion, was-was jika mereka masih dikejar.

**

Tepat jam dua dini hari, mobil itu tiba di alamat yang dituju. Si Pria menekan rem kemudian celingukan heran melihat kondisi jalanan. 

“Yang mana rumahmu?” 

“Di sana, di dalam gang. Sampai di sini saja, mobil ngga bisa masuk.”

Mata si Pria menyipit melihat gang gelap nan sempit menuju rumah Yuna. 

“Apa ngga bahaya? Gelap banget.”

“Ngga apa-apa. Udah biasa. Gangnya aman, kok,” terang Yuna, tapi si Pria tampak tidak yakin. 

“Terima kasih, ya Mas. Sudah bantu saya dan antar saya pulang.”

Si Pria hanya mengangguk sedikit, tanpa expresi, apa lagi tersenyum, wajahnya dingin seolah tak peduli pada ucapan terima kasih dari gadis itu.

Yuna turun mobil. Saat sudah melangkah beberapa langkah, si Pria memanggil namanya.

“Yuna!” 

Yuna menoleh ke belakang. Si Pria ternyata sudah keluar dari mobil dan berlari menyusulnya. 

“Nama kamu Yuna 'kan?” tanya Si Pria memastikan.

Yuna melirik ke name-tag yang tersemat di dada kanan dress merah mininya. Gadis itu mengangguk mengiyakan.  

“Okey, Yuna. Kamu pakai ini, bajumu sangat terbuka.” Si pria membuka jas, dan menyelimutkan jas itu ke tubuh Yuna. Rasa dingin yang tadi membekukan lengan dan pundak, kini berganti menjadi rasa hangat. Aroma parfum maskulin yang menenangkan juga berebut masuk ke lubang hidung Yuna saat jas itu membalut punggungnya.

“Terima kasih, Mas. Oh ya … anu. Saya boleh tahu siapa nama, Mas?” Yuna bertanya ragu-ragu.

Laki-laki itu menggeleng tegas. “Kamu tidak perlu tahu siapa namaku.” Yuna mengangguk sambil tersenyum tipis, dia menghargai sikap laki-laki misterius itu. 

Mereka berpisah di ujung gang, mobil perlahan pergi. Sementara Yuna, melangkah pelan tanpa alas kaki dan berhati-hati melewati gang gelap tengah malam menuju kost-annya. Gadis itu berjalan sekitar 50-meter-an, sampai akhirnya berhasil mencapai ke kost dengan aman. 

Pintu kamar dibuka. Di lantai, Yuna melihat secarik kertas HVS dengan tulisan jelek seperti tulisan ceker ayam di sana. Tulisan tangan itu ditulis dengan menggunakan spidol hitam. 

[Antarkan uangku sekarang! Kalau tidak, aku akan mengirimkan jarinya satu per satu ke kost-anmu!] – Ponco-.

Mata Yuna melebar membaca secarik kertas yang berisi ancaman itu.

“Kok malam ini? Bukannya minggu depan? Aduh! uangku belum cukup. Ponco benar-benar kejam.” Yuna merintih, meremas kertas ke dada. Air matanya menggenang, teringat akan satu nyawa seseorang yang kini sedang berada di tangan Ponco. 

Malam ini juga, Yuna harus ke tempat Ponco. Apa pun resikonya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status